Han Soo memarkirkan motor bebeknya di halaman rumah. Rumah Han Soo kecil dan sederhana. Meskipun demikian, rumah itu asri dan bersih. Dulu, orang tua Han Soo selalu bilang bahwa kenyamanan itu nomor satu. Tidak ada gunanya hidup di sangkar emas kalau tidak bahagia. Ia membuka pintu rumah. Perasaannya campur aduk. Ada rasa khawatir, marah, dan bingung. Semua karena Ayah dan juga pertemuannya dengan laki-laki yang menuduh Han Soo memporak-porandakan keluarganya.
‘Apakah Papa selingkuh? Apa mungkin Papa tega mengkhianati Mama dan menghancurkan rumah tangga orang?’ Han Soo seolah tidak habis pikir.
Sosok ayahnya selalu hangat dan kekeluargaan. Rasanya tidak mungkin sang Ayah tega melakukan hal seperti itu.
Han Soo menapakan kaki di ruang keluarga dan disambut oleh tidak hanya ibunya, melainkan juga ayahnya dan sepasang Kakek dan Nenek.
“Masuk, sayang,” kata Mama. Senyumnya terlihat canggung.
Han Soo membalas senyum canggung Ibu dan Ayah.
“Ada tamu, Ma?” tanya Han Soo.
“Han Soo, kenalin. Ini Kakek dan Nenek kamu,” kata Ayah.
Walaupun Han Soo sudah menduga bahwa pasangan Kakek dan Nenek itu adalah kakek dan neneknya, rasanya tetap saja kaget. Selama ini orang tua Han Soo mengatakan bahwa Kakek dan Nenek sudah meninggal. Ternyata mereka masih sehat walafiat dan bahkan terlihat…kaya. Lihat saja kalung mutiara berjuntai yang dipakai wanita bernama Nenek!
“Halo, Kek, Nek. Saya Han Soo.” Dengan gugup Han Soo menyodorkan tangan kanannya untuk menjabat tangan Kakek dan Nenek.
“Ternyata cucu Nenek sudah besar sekali!’ kata Nenek. Iya memegang tangan Han Soo dan tidak berniat untuk melepaskannya.
Han Soo menatap ayahnya dengan tatapan penuh arti. Sang Ayah memutuskan untuk menghindari kontak mata dengan Han Soo karena sepertinya ia juga merasa suasana rumah saat ini sangat tidak nyaman.
“Kasian sekali cucu Nenek selama ini tinggal di rumah yang begitu…jelek.”
Han Soo tersentak. Dia tidak bisa mempercayainya telinganya sendiri. Apakah Nenek baru menyebut rumahnya jelek? Rumah tempatnya dilahirkan dan dibesarkan!
“Mulai sekarang kamu tidak perlu lagi hidup sederhana dan susah, Nak. Kalian semua akan pindah ke rumah Kakek dan Nenek.” Nenek terlihat sangat bersemangat, sama sekali tidak menyadari bahwa kata-katanya tadi cukup tajam untuk keluarga Han Soo.
“Ma, tidak usah buru-buru. Saya belum menjelaskan apa pun pada Han Soo.” Ayah berusaha mengontrol situasi. Keringat terlihat mengucur di dahinya. Sudah pasti ia takut diinterogasi oleh istri dan anaknya.
“Kalian sekeluarga pindah minggu depan,” kata Sang Kakek. Intonasi bicaranya lebih seperti pernyataan ketimbang pertanyaan.
“Sebegitu cepat?” Ibu terlihat keberatan.
Namun sebelum Ibu dapat memberi argumen lain, Nenek sudah memberinya tatapan maut. Han Soo tidak mengerti keadaan ini sama sekali.
“Ji Soo, ini perintah. Kamu sudah terlalu lama pergi dari rumah. Banyak sekali hal yang harus kamu pelajari untuk memimpin perusahaan kita,” jelas Kakek.
“Baik, Pa.” Ayah terlihat begitu kecil dan lemah di hadapan Kakek. Memang seberapa tua pun kita, tetap saja kita ini anak kecil di mata orang tua.
“Begitu saja. Kita pergi dulu.” Kakek bergegas berdiri dan Nenek mengikutinya.
Nenek hanya melihat Ibu sekilas dan tanpa berpamitan, ia berjalan meninggalkan ruang keluarga. Ayah membuntuti orang tuanya di belakang.
“Akhirnya kita keluar juga dari rumah yang sumpek dan berdebu ini,” gumam Nenek sambil lalu.
Han Soo tampak sangat tersinggung. Dari sudut mata, ia melihat sesuatu terbentang di atas sofa tempat Nenek sebelumnya duduk.
‘Astaga naga negeri sembilan dewa! Itu taplak meja?! Nenek menilami sofa kami dengan taplak meja?! Memangya Ia pikir rumah kami sekotor kandang sapi? Ini penghinaan!’ batin Han Soo.
Setelah Ayah mengantar orang tuanya ke gerbang rumah, Ia kembali ke ruang keluarga.
“Papa berhutang penjelasan!” tegas Han Soo.
Ayahnya duduk di sofa dan menghela napas. Ibunya menundukkan wajah dan juga menghela napas. Han Soo ikut duduk di sofa. Sebelumnya ia sudah melempar taplak meja itu jauh-jauh.
“Nak, Papa sebenarnya selama ini berbohong sama kamu dan Mama kamu. Papa adalah anak tertua PT Kim Semen Jaya. Nama asli keluarga kita adalah Kim. Bukan Lee,” jelas Ayah.
“Ap..Apa?!”
“Maafin Papa, Nak. Papa dulu sangat cinta sama Mama kamu. Saat Papa muda, semua wanita mengejar Papa karena mengincar harta keluarga. Oleh karena itu, Papa muak sekali dengan embel-embel nama keluarga kita.”
“Jadi Papa bohongin Mama saat itu karena Papa takut Mama mau dengan Papa hanya untuk uang?” Akhirnya Ibu angkat bicara.
Ada kepedihan dan kekecewaan di suaranya.
“Bukan gitu maksud saya, Mira. Dulu saya masih polos. Setelah kita kawin lari, saya rasa tidak ada lagi artinya untuk mengungkit masa lalu.”
“Jika memang tidak ada artinya lagi mengungkit masa lalu, kenapa sekarang kamu memutuskan untuk menggusur kita semua ke sangkar emas keluarga kerajaan kamu itu?!” bentak Ibu. Biasanya Ibu tidak pernah membentak. Oleh karenanya, Han Soo cukup terkejut.
“Kemarin ini saya dapat kabar kalau Papa saya mulai tidak sehat. Oleh karena itu saya datang untuk menjenguk.”
“Terus?”
“Saya sebelumnya tidak menyadari betapa saya merindukan orang tua saya, rumah saya, kemewahan, dan kenyamanan yang dulu saya terima tanpa habis pikir… Hingga saya pulang ke rumah lama saya seminggu yang lalu.”
Ibu menghela napas lagi. Han Soo menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
‘Hari ini sudah terlalu panjang,’ keluh Han Soo.
bagus nih, mnarik. ini seting t4nya jkarta? tokoh utamanya bnyk nma asing, cm td ada bca plaza senayan.
Comment on chapter Pengakuan Ayahkyknya seting t4nya prlu d prjlas lagi (saran aja :D).
mampir2 juga ya, ke story about three boys and a man
untuk saling krisan :D