“Tidak kusangka!”
Theo menyeringai puas melihat respon Sara. Ia menyentuh dagunya yang kini sudah dicukur rapi. “Ayahku orang inggris. Itulah mengapa wajahku tidak seperti orang Rusia lainnya, terlihat seperti itu?”
Sara mengangguk. Theo mengintip layar ponsel Sara. Rentetan pesan dari nomor yang tercantum nama office sucks dihiraukannya. Lalu mereka melangkah menjauh dari market dengan gelato ditangan mereka masing-masing. “Oh wow, makanan ini luar biasa enak.” Theo melahap hingga habis dan Sara menggeleng dan kasih tisu kepadanya.
“Stai mangiando come un bambino,” ucap Sara dengan bahasanya. Theo tidak mengerti apa yang ia katakan, tapi ia sepertinya tahu apa yang diucap Sara barusan. “Ayolah Sara, rasanya kurang kalau belum makan eskrim khas ini.”
Sara menggeleng harap maklum. Ia kasih eskrimnya ke Theo.
Theo mana mungkin menolak.
Dua porsi telah lenyap, Sara hanya diam saja melihatnya. “Ada apa, Sara? Apa ada yang ingin kau tanyakan?” Sara bilang sesuatu namun terhenti. Ada yang ingin utarakan namun ia ragu. “Ah, tidak. Maksudku bagaimana selanjutnya? Apa kau tidak menghubunginya, atau harus Darius? Kau tidak menjelaskan rencanamu.”
Sepanjang jalan ia juga menceritakan Darius, dan sebagian rencana ‘sederhana’ juga melibatkan si dokter. Janji harus ditepati, pikirnya. “Sebenarnya simpel. Kita ke stasiun menuju Milan. Tidak harus kereta yang sama asalkan hari ini kita bersama sampai disana. Sebentar lagi aku memberinya kode. Tenang saja.”
“Lalu bagaimana dia? Apa dia bisa keluar tanpa dicurigai? Pasti aman-aman saja ‘kan?”
...................
Kursi bahan kayu tiba-tiba ditendang dan serpihan kayu tersebut melukai Darius. Ia tidak bisa berkutik sekarang. Melawan dalam kondisi tangan terikat akan percuma. Di depannya kini lima pria, badan seperti dewa petir, menatapnya penuh amarah dan bengis.
“Masih ingin mengelak lagi, Dokter?” salah satu pria berucap.
Tak ada yang bisa ia lakukan dalam kondisi tangan terikat, kakinya nyaris menyentuh lantai. Kondisinya kacau sekali. Pelipisnya tidak henti-hentinya berdarah, mata kirinya lebam, sisi mulutnya pun juga robek karena, tentunya, dihajar habis-habisan oleh mereka berlima. Namun ia masih bisa tertawa.
Satu tinju diterima Darius. “Tidak ada yang lucu, aku tidak suka tertawamu.”
Mata sengitnya ia lemparkan ke orang yang memukulnya. “Memang ada, kau berpikir aku menyembunyikan Theo–ugh. . .” rasa mual bergejolak dalam perutnya, “kalian benar-benar berpikir aku temannya, ya? Seriuslah, mate. Aku memang sering bertemu karena harus menguru lukanya. Itu tugasku di sini dasar bodoh.”
Satu kesepakatan antara dirinya dengan Theo, tidak membuat publik berpikir mereka berteman satu sama lain.
“Kau boleh memukulku sampai mati, tapi kau akan kehilangan dokter terbaik yang kau punya. Jadi. . .,” tangan yang tergantung di langit-langit ruangan, sedikit lagi tali itu terlepas. “Silahkan pukul aku lagi.” Pria tidak punya rambut itu terpancing emosi, ia maju tanpa ragu sekalipun. “Kau tahu aku selalu ingin memukul wajah sokmu itu, jangan salahkan aku kau akan mati.”
Pria tersebut rupanya salah. Setelah tali itu lepas, pisau yang Darius pegang sedari tadi sudah menancap di bahunya, darah keluar dan terciprat hingga ke rahang Darius. “Harusnya kau melihat ini datang, bung.”
Suara gebrakan pintu mengejutkan mereka semua. Seorang pria memakai mantel berwarna hitam yang panjangnya sampai lutut, “lain waktu aku akan masukkan kau ke dalam arena, Darius, itu akan menjadi menarik.”
“Gideon.” Terselip ekspresi tegang dari wajah Darius. “Aku tak mengira kau kembali lebih cepat.”
Ia yang disebut Gideon berjongkok di samping korban. “Ugh my ankle.” Lalu ia mengambil pulpen dari mantelnya, lalu menyentuh kepala korban dengan itu. “Dia belum mati, Darius?”
“Dia hanya pingsan, kehilangan sedikit darah,” kata Darius sambil mengelap wajahnya. “Kakimu kumat lagi, Gideon?” Tahu-tahu pria tua itu sudah berdiri di belakangnya, meninggalkan kesan dingin di tengkuk Darius.
“Kau tahulah dokter, aku sudah tua. Wajar saja kaki protes minta istirahat sejenak. Dan lagi kesibukanku di Roma, terlalu banyak tikus yang harus kusingkirkan, prajuritku kebanyakan tidak bisa berkelahi rupanya, akupun harus ikut turun ke arena.” Lalu Gideon dengan isyarat tangan menyuruh orang bawa si botak keluar.
Masih berpikir dia adalah Caesar rupanya, pikir Darius.
“Sepertinya aku harus merekrut orang baru,” Gideon melirik dirinya. Darius menunjuk dirinya sendiri. “Oh maksudmu aku?”
Darius melangkah ke peralatan kotak medisnya, perlahan meraih telepon rahasianya dan mengecek isi pesan berusaha tanpa Gideon tahu. “Aku lebih tertarik menjahit luka daripada membuat luka baru.”
“Tapi dengan keahlianmu, terlalu sayang tidak dipakai,” balas Gideon, ia tersenyum jenaka padanya. “Aku bisa memaksamu kalau perlu.”
Darius melirik dengan ekspresi–jangan–bercanda. “Aku tahu apa maumu, Gideon. Jangan lupa dengan kondisi sekarang, Theo menghilang, dimana aku tidak peduli, dan kau mau aku menggantikan posisi Theo? Hell no, wajah tampanku terlalu sayang untuk di pukul.”
Pulpen yang ia pegang dilemparnya, seolah itu anak panah kearah bahu Darius. Likuid merah itu kembali bercucuran. Tentu saja sang dokter kesakitan. “Kita sudah kenal sejak lama, Darius. Apa salahnya aku meminta lebih padamu?”
“Ya tuhan, Gideon, jangan memohon padaku. Jijik.”
Gideon terbahak “Aku suka humormu.” Kemudian pria tua itu menepuk bahu Darius, dimana letak sakitnya akibat digantung terlalu lama, dan mencabut pulpen berdarah tanpa ampun. “Namun kau juga tahu aku tidak menyukai penolakan.”
Darius merintih kesakitan lagi, kini ia mengerti kenapa Theo selalu cengeng setelah bertarung.
Sebelum Gideon keluar dari ruangan itu ia berkata, “Ikuti asistenku, bantu ia melacak Theo. Lalu tarik dia kembali kesini sebelum aku melakukan sesuatu yang, kau tahulah aku.”
“Just go away.”
“Jangan sampai kau tidak membawanya pulang, Darius.” Dengan posisi tangan Gideon di dalam saku celananya, Darius sudah keringat dingin. Ia tahu di tangan Gideonnya ada pisau kecil yang siap menyerangnya jika ia menolak. Ia tidak punya pilihan selain mengangguk.
Gideon tersenyum puas. Kemudian ia menelepon asistennya selagi keluar. “Belum bisa terlacak? Ayolah aku tidak punya waktu banyak. . .” Suara Gideon masih menggema sepanjang lorong. Darius sendirian di ruangannya, berjalan ke lemari meraih obat antiseptik.
“Sialan kau Gideon.” pulpen yang ia tancapkan tadi sebelumnya terkena darah korbannya. “Dia tidak punya otak apa gimana sih?” lalu serentetan sumpah serapah bahasa daerahnya, Perancis, keluar dari mulut dengan indahnya.
Tangannya secara otomatis meraih sesuatu dimantel putihnya. Selembar foto drinya bersama gadis kecil dipangkuannya. Darius tersenyum melihat foto itu, tidak peduli luka robek dimulutnya terbuka lagi.
Semuanya merasa kembali ke awal. Ingatan akan kehidupan sebelumnya yang semanis gula masih segar di kepalanya. Saat dulu ia tidak keberatan waktunya diinterupsi gadis kecilnya. Namun apa yang bisa ia lakukan? Seperti kata orang, takdir berkata lain. Tidak ada yang mampu melawan arus takdir. Dengan segala kesalahan di masa kelam, ia merasa malu akan perbuatan bodohnya. Ia saat ini merasa hidupnya asam seperti lemon.
Darius tertawa sendiri. “Bukan kau saja yang pernah melakukan hal bodoh, Theo.”
....................
“Well, ini aneh.”
Sara melirik ke Theo, “Ada apa?” Raut wajahnya tidak lagi cemberut. Seharian mereka hanya berjalan di daerah yang sama dan untungnya sekali lagi tidak ada yang mengenali Theo. “Darius lupa apa gimana, dia tidak membalas pesanku satu hari ini dan–”
Ucapannya berhenti membuat Sara penasaran. Theo merendahkan dirinya, bersembunyi di belakang Sara, wanita itu tentu risih dan coba menghindar, Namun Theo menarik lengan jaket Sara yang ia ikatkan ke pinggang. “Ada masalah, Theo?”
Waktu cepat berlalu menjadi malam, waktu yang tepat untuk orang-orang yang berniat jahat keluar dari tempat persembunyiannya. Sara yang tidak bisa mencerna kondisi dengan cepat, bingung lebih tepatnya. “Bisa dijelaskan apa yang terjadi?”
Kumpulan pria persis apa yang ia lihat semalam, penampilan mereka membuat orang-orang menjauh. Sedetik kemudian wanita itu menyadari apa yang terjadi sebenarnya. “Ya ampun!”
Wajah Theo terlihat tidak senang. “Kita harus pergi sekarang.”