Aroma hujan menyelinap masuk dari jendela yang terbuka setengah. Gelas coklat panas di genggaman masing-masing. Sara menanyakan yang orang normal lakukan. “Apa kau mau bercerita sekarang?”
Selimut tebal dan segenggam gelas susu cokelat menghangatkan dirinya, seperti apa yang diucapkan Sara. Tempat tinggal Sara memang tidak besar, tapi ia merasa nyaman, yang bahkan tempat tinggal orang yang tidak dikenal. Rona wajah Theo terlihat kebingungan, penasaran, bahkan segan bercampur jadi satu.
Theo mulai bercerita. Apakah ia harus? Jikalau Sara tahu semuanya apakah wanita ini akan aman? Theo tidak ingin Sara mengalami hal yang sama sepertinya. Walaupun hampir satu dekade, bagaikan lautan luas Theo bahkan tidak menyentuh dasar laut yang gelap itu, lautnya sang Caeasrl Gideon. Wataknya yang maniak dunia gelap sudah melelahkan untuknya.
“Oke, baiklah kalau kau tidak mau, setidaknya perkenalkan dirimu. Seperti. . . asalmu?” Tanya Sara dengan penasaran akut.
“Rusia,” ucap Theo dengan singkat. Mata Sara menyipit, lalu alisnya terangkat dan ia mendesah. “Oke, um, ada lagi? Namamu misalkan?”
“Theo.”
“Oh my, seriously?”
Pria itu meletakkan gelas berwarna retro kuning itu, sangat kontras dengan warna sofa tunggal yang merah tersebut. “Aku tidak bisa karena–banyak untuk. .”
“Aku tidak bisa membantumu kalau aku tidak punya petunjuk satupun.”
Theo merutuki diri sendiri, berkali-kali. “Aku. . tidak mau, karena. . .um. .” Namun tatapan pria itu menyiratkan jutaan emosi yang berkecamuk. Mata hijaunya yang dingin itu, Sara menatapnya intens.
“Baiklah. Huft, um, Theo namaku dan asal Rusia dan aku, tersesat. Aku bergabung dengan suatu kelompok yang tidak aku suka dan,” kata Theo dengan suara yang tercekat. Tidak disangka ia akan sesak mengatakan hal itu. Sara langsung merasa tak tega. “I just wanna go home, Sara. I miss it.”
“Alright, I’m so sorry to–Oh no no no, please don’t cry.” Sara berdiri dan mengambil berlembar-lembar tisu dan diberikan padanya. Theo menggeleng dan bilang tidak apa-apa. “Aku akan bercerita, tapi setelah ini mungkin kau menganggapku orang idiot.”
“Dulu aku hidup bahagia. Saking tidak mengenal kata susah, aku lupa kalau roda takdir terus berputar. Dan ketika aku terjerat hutang yang sangat, sangat besar hingga aku tidak bisa membayar dengan gajiku sendiri, Orang-orang yang kusayangi tidak ada lagi. Hanya karena satu masalah buruk semuanya kacau.”
“Lalu orang itu. tiba-tiba saja berdiri di pintu apartemenku. Gideon mengulurkan tangannya dan tentu saja tanpa ragu aku menerima ulurannya. Dan beberapa hari kemudian ia datang ke tempatku, bersama kabar lunasnya hutangku. Saat itu aku merasa lega.”
“Namun euforia kecil itu hanya sesaat,” Sara merasa simpati, melihat Theo membungkuk dan semakin meringkuk di sofa, tidak berani menghadapi kebengisan di atas muka bumi ini. “Pria sialan itu jago berakting. Setelah hutangku lunas ia bilang kini kau punya hutang budi padaku dan–“
Theo mengigit bibirnya. Sara mencengkeram selimut tipisnya. Ia tidak mengatakan apapun. “Aku memberontak, mereka mengikatku. Aku kabur dan berlari jauh, mereka menangkapku lagi seperti kucing kecil. Aku melawan, namun aku diancam. Aku bingung harus apa. Setiap diminta untuk berkelahi, aku hanya bisa mengepalkan tangan dan melawan kematian. Aku terluka dan hanya punya waktu sedikit untuk tidur. A–aku. .”
“Cukup, aku mengerti. Maafkan aku.” Selimut tipis itu sudah ada di pundak Theo. Sara tidak tahu itu akan berguna tapi ia reflek menyampirkan itu. Ia kira Theo hanyalah turis yang tersesat atau dirampok dan tidak tahu bagaimana caranya pulang, ternyata lebih dalam dari itu. Theo tidak lagi bicara. Energinya seolah terkuras habis karena hanya bercerita. Kepalanya terasa berat dan ia langsung bersandar di sofa. Pria itu menoleh kearahnya. “Kau tidak berkomentar? Bukannya tadi kau penasaran sekali?”
“Well, pertama jika perkataanku menyinggungmu, maaf. Tapi boleh aku bilang sesuatu? Kau tidak bodoh, saat itu kau tidak bisa melakukan apa-apa. Bukan salahmu. Garis takdir tidak ada yang tahu, kau harus menjalaninya dengan kuat. Setidaknya kau masih hidup dan itu yang terpenting.”
Theo menatapnya sangat lama, “Kau baik-baik saja?” Pria itu memalingkan wajahnya, memandangi gelasnya. Dia orang pertama yang berkata seperti itu. “Biasanya orang lain akan mengkritik bagian negatifnya. Kau tidak.” Sara tersenyum pada akhirnya. “Lalu apa rencanamu selanjutnya?”
Theo hanya mengedikkan bahu. “Awalnya aku hanya punya rencana sederhana. Keluar dari sana, pergi ke kedutaan, meminta pertolongan selayaknya orang tersesat dan kembali ke negara asalku.” Senyuman pedih ditunjukkannya, “Tapi sepertinya tidak akan semudah itu, bukan. Huh, thanks to Gideon.”
Apartemen itu cukup sunyi. Suara televisi sengaja dikecilkan. Sara memutar gelas kopinya. Ia menatap Theo, namun Theo tidak menatapnya. Cahaya abstrak dari televisi memenuhi seluruh wajah Theo.
“. . .Sepertinya aku bisa membantumu. Aku bisa minta tolong ke temanku.”
Theo menoleh kearahnya sangat cepat. “Apa maksudmu? OH! Jangan bilang kau adalah mata-mata yang menyamar dan menyelidiki kasus misterius. Atau–apa kau seorang FBI?”
“Ugh, I wish.” Sara mengesampingkan kopinya, menyilangkan kakinya lalu menghadap kearah Theo. “Aku tahu rasanya punya bos yang sangat diktator, lembur hingga pagi namun yang kudapat hanya gaji kecil dan lelah saja.”
Theo terkekeh kecil. “Penderitaan kita hanya beda beberapa aspek saja.”
“Tapi apa aku boleh bertanya padamu, Sara?”
“Tentu saja.” Sara menatap mata hijaunya begitu lama, seolah mencari petunjuk atau jawaban dari segala kebingungannya.
“Kenapa kau dengan mudahnya percaya padaku? Aku bisa saja melukaimu.” Sara menunjuk samurai yang digantung. “Ayah ajari aku beladiri sejak muda, sekedar informasi.”
“Dan juga, mana ada orang jahat menangis di depan korbannya,” ucap Sara sambil menyeringai. Theo menyandarkan kepalanya dan menutup mata dengan satu tangannya. Tawa Sarapun mengisi ruangan itu.
“Sial, itu memalukan.”
.......................
“Ouch! pelan sedikit.”
“Makanya jangan banyak gerak!” Keringat mengucur di kening Sara. Theo berinisitif mengelap dengan ujung lengan bajunya. “Kenapa harus di sini, sih? Remang-remang begini.”
“Jangan bawel, jangan bergerak sedikitpun. Diam.” gertak Sara. Pria itu mengerucutkan bibirnya. Pisau kecil berbalutkan gumpalan putih kecil dibuangnya ke wastafel. “Aku baru kali ini mencukur dagu seseorang. Kalau mau dagumu bersih tanpa luka, diam dulu.”
“Ya ya baiklah.”
TIdak lama dari itu, ransel yang disiapkan Sara sudah ada di pintu depan, tidak sabar membuka pintu untuk pertualangan mereka. Theo sendiri sibuk menelepon Darius untuk mengatur waktu pertemuan dan perjalanan mereka selanjutnya. Pagi buta ini mereka akan berangkat.
“Theo, perlengkapan sudah siap!” Theo menutup telepon dan menghampiri Sara yang menarik napas.
“Hey,” Sara menoleh, “semuanya baik-baik saja. Aku tidak akan membiarkan apapun, siapapun melukaimu.” Tatapan Sara yang diberikan untuk Theo agak sukar dimengerti. “Kau tidak bisa menjanjikan itu.”
“Sekalipun demikian, aku tetap memegang janji itu.”
Theo berjalan dengan tegapnya hendak mengambil tas ransel. “Aku hanya bertanya saja, kenapa kau tidak membawa pedangmu?” Sara berbalik dan menyeringai padanya, “Itu hanya replika.”
Ia mengangkat tasnya dan membuka sedikit, nampak senjata kejut listri di dalamnya. “Aku hanya bilang padamu beladiri, bukan ahli samurai. Lagipula aku punya alat pelindung tersendiri, dan asli.”
“O–oh, oke siap.” Kata Theo singkat. Sara membuka pintunya dan berkata, dengan nadanya yang nampak semangat.
“Let’s go out of here.”