Sara meletakkan botol kecilnya di meja lipat menelan benda kecil itu dan menghabiskan air segelas. Mencoba tenang namun apa daya, ia tidak bisa berpikiran jernih. “Theo, bukannya aku bermaksud tidak sopan, tapi bisa kau berikan kaleng itu padaku? kau sudah menghabiskan tiga kaleng.” Theo meremas kaleng bir itu dengan emosi, suara kaleng yang dilempar ke tong sampah menjadi perusak keheningan.
Pria itu memakai tudungnya dan mengumpat frustasi. Sara mengusap wajah hingga ke rambutnya. “Aku sudah memperkirakan kejadian buruk ini namun, mendengar langsung darimu aku tak menyangka rasanya seburuk ini.”
Nafas Theo terdengar berat untuk dilepaskan. “Aku khawatir dengan Darius sekarang. Kalau memang aku sedang diburu, Pastinya ia dipojokkan sekarang.”
“Berdoa saja ia bisa keluar dari kondisi darurat ini.”
“Masalahnya Gideon sedang ada di markas. Baik aku atau Darius tidak mengira ia akan kembali secepat ini. Argh astaga, bisa berantakan rencananya. Apakah ini terlalu mudah bagi Gideon. . . der'mo, ya ne znayu bol'she. “
Theo gusar mengacak rambutnya. “Oh, rekan kerjamu masih menelepon?”
Kini giliran Sara yang menghela napas. Ia menatap teks-teks di ponselnya, walaupun ia menjawab tidak usah khawatir tapi ada rasa sedikit ragu bercampur sebal dari nada suaranya.
“Apa kau tidak terlalu santai?” Tanya pria itu. Sara tidak mengerti.
“Apa tidak apa langsung menghilang seperti ini? dan bagiku itu wajar. Kau langsung menghilang wuush. Kau bisa kehilangan sumber nafkahmu.”
Sara memutar badannya ke arah jendela kereta, sukar menatap Theo. ”Haha, tidak perlu memikirkanku begitu, Theo. Lagipula mereka lekas akan menemukan penggantiku. Akupun tidak masalah. Tabunganku juga sudah cukup dan aku masih bisa cari pekerjaan lain. Kau juga tidak perlu khawatir.”
Botol putih itu menjadi objek penasaran Theo. Sara tahu dan memasukkan itu ke dalam tasnya. Sara masih tidak mau membuka pintu hatinya. Memaksa sama saja tidak bersyukur atas bantuan wanita itu. Bisa ganti baju dan mandi saja sudah beryukur.
“Aku juga punya satu pertanyaan untukmu. Tidak sulit kok.”
“Apa itu?”
“Kalian berdua, kau dan Darius menjadi teman. Mengapa kau tidak pergi bersamanya? Karena kalian dekat pasti Darius jadi sasaran empuk.”
Theo pun menjawab, “Tidak ada yang tahu kita dekat. aku pernah melayangkan tinju ke rahangnya dan itulah yang membuatkan bertahan. Dan lagipula ini salah satu strategi kami.”
Sara tergelak. “Cara kalian berteman cukup aneh juga.” Kantung mata Sara terlihat buruk, jelas sekali sudah tidak fokus dan ia pun terlihat bergumam asal sambil memainkan ponselnya, Theo jadi tidak enak.
Ia menyelimuti Sara dengan jaketnya, wanita itu mengerutkan kening. “Kau yang harusnya tidur seperti bayi.”
Theo melempar jaket kepadanya dan tersenyum simpul. “Aku mampu berhari-hari tidak tidur. Tidurlah, aku yang berjaga.”
........................
Darius kewalahan hebat. Hanya siluet senja dan udara yang tidak lagi panaslah kenikmatan baginya. Kaus putih yang sudah tidak berbentuk lagi terletak di ujung arena. Tertinggal bekas cakaran, dan bercak darah dari telinganya mengalir ke leher.
Pria tak berambut itu lagi, orang paling keras kepala yang pernah ia kenal, selain Theo. Ia masih merasa takjub dan heran darimana ia mendapat rasa kepercayaan dirinya sebesar itu. Otot tangan dan lekuk badan yang seperti badak mungkin menambah rasa keras kepala, menjadi besar kepala untuknya. Terkadang kita merasa tidak pede dan takut keluar dari batasan kita, tapi sepertinya orang ini tidak.
Oh, bukannya tidak, belum saatnya. Dan itu terbukti sekarang.
Luka baret panjang di betisnya, menurut diagnosis Darius dia akan sulit berjalan, pria itu masih bernafas, walau terlihat tidak bergerak sama sekali. Hasil akhir ini tentu terlihat jelas. Darius menang.
Satu tepuk tangan dari Gideon. “Sesuai yang kubilang, lihat, kau hebat! Botak satu ini mudah ditaklukan bagimu–Ah! mana tata kramaku,” Gideon menyematkan tangannya dengan tangan Darius. “Selamat Dokter, mulai sekarang kau sah menjadi pengawal pribadiku.”
Mata Gideon mengacu pada tangan Darius. Tanpa menghalangi rasa sakit dari luka, kepalan tangan sang dokter makin mengeras dan bergetar. Ia menahan luapan emosinya. GIdeon menyeringai.
“Kau terlihat sangat senang, Gideon.” ucap Darius dingin. Atap arena yang terbuka lebar, tangan melindungi matanya dari sinar matahari, kepala seperti berputar-putar, sudah lama ia berkeringat banyak seperti ini jadinya ia kehilangan tenaga banyak juga.
“Aku punya alasan! Dan juga bertanya-tanya. Pagi tadi kau bersikeras menolak kemauanku. Namun barusan, huh, apa yang baru saja terjadi? Kau berubah pikiran lebih cepat dari yang kuduga. Apa tujuanmu?”
Darius hanya terdiam, tatapannya sedikit buram karena noda darah masuk ke matanya. “Memang kau menyembunyikan sesuatu, akui sajalah.” ucap pria botak itu. Darius menendang bagian betisnya, yang masih mengeluarkan darah, dengan kesal.
Gideon mengernyitkan kening tidak suka. ucapnya dengan gaya khasnya, menyuruh dengan dua jari. “Hei! Bawa si botak ini pergi.” Kemudian dia berpaling ke Darius. Percayalah, suara langkah kakinya itu membuat bulu kuduk Darius merinding, sementara dirinya berjuang keras menahan rasa sakit luka sayatan yang ada dibetisnya.
“Dia faktanya idiot, rambut saja enggan tumbuh dikepalanya. Tapi aku masih membutuhkan tenaga dia. Dan kau tidak punya berhak memutuskan apapun di sini tanpa persetujuanku.“ Darius masih diam. Matanya terkunci oleh tatapan Gideon yang kosong itu. “Dan juga aku masih butuh kau. Jangan lakukan itu lagi.”
“Aw, so you car about me huh,” ucap Darius sarkastik. “Sudahlah. Kau pergi sana, aku harus menyusul asistenmu itu sekarang. Aku ingin masalah ini cepat selesai.” lanjutnya bersama senyuman mematikan. Gideon terlihat percaya padanya. “Cecunguk itu harus diberi pelajaran, bukan begitu Caesar?”
“Ya,” jawabnya. Tidak ada kalimat lain lagi, hanya itu–membuat alis Darius naik sebelah. “Well, ada lagi yang mau katakan kepadaku, Caesar?” Tanya Darius. Tatapan kosongnya memudar, Namun langkahnya terhenti sejenak. “Aku selalu mendapatkan apa yang ku inginkan.”
Sang doktor menengadah. “Iya ‘kan, Darius?”
Tenggorakan Darius serasa kering. Ia mengelap noda darah di pelipis matanya, “. . sesuai keinginanmu, Caesar. Selalu.” Kemudian pria tua itu berjalan meninggalkannya arena tersebut.
Kini tinggallah Darius sendirian. Seketika dia langsung ambruk, kakinya tidak kuat lagi menopang tubuhnya, dadanya bergerak naik turun dengan cepat. Bekas luka tadi pagi di wajahnya terasa perih terkena keringat. Kemudian ia mengambil baju bersih yang sudah dipersiapkan.
Terimakasih untuk sang Caesar yang terhormat, Gideon, rencana mereka harus diubah secepatnya. Darius enggan berpikir keras namun ia terpaksa. Dia harus lebih berhati-hati karena tingkah Gideon patut dicurigai. Gideon mudah sekali percaya padanya kali ini. Ia memiliki firasat tidak menyukai ini.
Darius harus segera menyusul Theo.