Kota ini sama sekali tidak berubah sejak terakhir kali ia melihatnya. Masih kota yang antik dan kelewatan indah. Entah bagaimana Gideon bisa menyembunyikan dia, dan semua pekerja maupun para tahanan miliknya bawah kaki Bologna, yang secara sangat terbuka untuk bisnis gelapnya.
Darius memberinya kartu akses kereta yang entah bagaimana caranya karena sekali lagi, mereka adalah tahanan Gideon yang tidak boleh keluar sama sekali. Theo berbalik dari jendela dan keluar dari kereta itu, Ia harus serileks mungkin, walaupun tangannya sedikit gemetar, takut ada yang mengikutinya diam-diam. Bisa jadi anak buah Gideon pikirnya.
Ha, jadi ini rasanya, seperti anak anjing tersesat di tempat nyaris ia tidak kenal. Melihat haluan orang seperti anti. Ingin mengontrol frustasinya, tidak semudah memukul dan meruntuhkan seseorang.
Dalam diam ia berjalan hingga ke suatu tempat yang gelap, bodohnya ia lupa mengambil brosur peta di stasiun tadi, “Ugh, kenapa aku bodoh disaat genting begini.” Namun dalam kegelapan itu ia melihat benda yang pikirnya bisa melindunginya, pemukul baseball usang di tumpukan sampah. Tanpa berpikir panjang ia langsung mengambil itu.
Ada tepukan pelan di bahunya yang mengejutkan Theo. Pemukul baseball itu langsung jatuh ke tanah. Orang pertama yang ia lihat wajah seorang wanita berambut pendek, membawa tas kertas yang isinya seperti bahan makanan atau sesuatu. Sejenak ia tercenung oleh mata wanita ini yang sebiru langit. “Signore, che ci fai qui? Stai bene?”
“What?”
Wanita itu mengerjapkan mata, pertanda bingung sepertinya. Theo menyesal tidak pernah belajar bahasa Italian, harusnya ia mengiyakan saja permintaan Lev. “Maaf bila aku tidak sopan, namaku Theo. Apa nona bisa berbahasa inggris?” Aksen Rusianya yang kental menyadarkan wanita itu dari diamnya dan ia mengangguk.
“Namaku Sara, apakah kamu tersesat?” tanya wanita itu dengan nada yang lucu menurut Theo. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, mencoba tidak menampilkan kegelisahannya. “Aku mau pulang tapi sepertinya. . . Aku tersesat.”
Sara melihat lingkungan sekitar, ia hanya melihat jalanan yang sepi nan gelap, dan tampilan gaya pria ini yang seperti butuh bantuan. Pria ini memiliki wajah yang rupawan, dibalik debu dan jenggotnya yang tidak terurus. Baju tipisnya, di sisi bahunya ia melihat noda merah kehitaman yang kiranya sudah lama menempel. Dan ia tadi melihat pria tersebut mengambil pemukul usang dari tempat sampah. Ia penasaran apa yang terjadi oleh orang ini.
Diantara sudut jalan kota ini, mengapa ia harus bertemu orang di jalan mencurigakan begini, ditambah seorang gadis. Daripada merasa gugup, yang padahal semenit lalu, ia lebih merasa canggung dan bingung.
“Sepertinya kau butuh bantuan.” Theo mundur beberapa langkah dari Sara. Tidak ada yang salah dari ucapannya, tapi terdengar sensitif di telinganya. Mau itu dari pria atau wanita. “Tenang, aku bukan orang jahat aku hanya ingin membantu,” Sara menunjuk dirinya kemudian menunjuk dirinya, “I want to help you, okay?”
Nada suaranya berubah dari sebelumnya lembut menjadi penuh intimidasi. Theo memegang erat pemukul itu. “Mengapa kau berkata seperti itu? Kau tahu aku?”
“Tahu apanya? aku bahkan baru pertama kali melihat dan bertemu kau–” Seru Sara, namun sorot matanya berubah. Ia juga melangkah mundur. “Dar, daripada menjadi rumit sebaiknya aku menelepon polisi.” Sara memencet nomor polisi namun Theo bertindak cepat menghentikan Sara, dimana tanpa berpikir, memelintir tangannya.
“Ouch!”
Argh bodohnya. Harusnya jangan sekeras itu, pikirnya. “Maaf, aku bertindak tanpa. . . tsk, Ta–tapi kumohon jangan menelepon polisi.” Theo lalu mengambil alih seluler milik Sara.
“Tapi tidak perlu membuat tanganku patah!” Sara menendang tengkuk Theo dan mengambil ponselnya sebelum jatuh ke tanah. “Aku bukan pendendam tapi ini sudah impas.”
Luka-luka Theo yang sebelumnya belum pulih kembali nyeri. “I notice.” suaranya serak.
Melihat Theo meringis kesakitan, dan tangannya yang mungkin tanpa disadari memeluk dirinya sendiri kedinginan. Ditambah lagi ia melihat pria itu tidak membawa barang satupun, jaketpun tidak ia menghela napas. Sara menyerahkan sweater abu-abunya yang ia ikat di pinggangnya ke Theo.
“Baiklah. Aku memang warga biasa saja dan beruntung bisa tinggal dan kerja di kota yang keren ini, tapi apartemenku bisa membuatmu hangat dan aku punya susu cokelat. Ambil ini.”
“Tapi. . . Aku orang asing.”
“Please just take my sweater.” Sara menepuk pundak pria itu dan menatapnya seolah minta mengikutinya, “Sudahlah. Kau terlihat butuh bantuan dan aku yang akan menolongmu. Lihat jalanan ini sepi dan aku tidak mau besok pagi ada polisi di pintu rumahku.”
“Dan buang pemukul usang itu.”