Theo terbangun dari tidurnya pada malam hari, merasakan punggung dan setiap ototnya yang berteriak kesakitan sehabis berkelahi. Ia mengeluh pun tidak akan mengurangi rasa sakit itu.
“Oh, hey, kau sudah bangun.”
Pandangan visualnya buram, seseorang menyandarkan bantal untuk punggungnya. Segelas air dingin yang diberikan orang itu membuatnya mulai rileks. “Terimakasih banyak.” sesaat Theo menoleh, rasa sakit menekan kepalanya.
“Hei, sudah, jangan bergerak dulu.” Theo melihat akibat ulahnya, luka sepanjang pisau lipat di lengannya. Pria yang menjadi dokternya menggelengkan kepala, pasiennya sama sekali tidak mendengar orang itu.
“Lihat itu, lukamu nyaris terbuka lagi. Aku sarankan jangan melakukan hal idiot di depanku.” ucapnya. Walau tampak tidak terkesan orang itu tetap memeriksa kondisinya. Theo mulai tidak menyukainya, dan juga ruangan ini, terlalu banyak debu dan serasa udara yang pengap.
“Enyahlah, Darius.” Balas Theo balik. Darius tidak tahan langsung menjitak ubun-ubun pasiennya dengan rasa jengkel, tentu saja rasa Theo semakin kesal. “Sopanlah sedikit sama orang yang menolongmu ini.”
“Sakit! Kau mau aku gegar otak, hah?!” Sang dokter hanya merespon datar saja. “Tak kusangka sang legendaris secengeng ini. Kau ini apa? Bayi?”
Theo mendecih kesal, ada rasa menang di benak Darius. Pria berambut cepak itu berkata lagi, “Theo, aku mau ambil perban untuk lukamu. Jadi, kau lebih baik diam saja dan jangan banyak bergerak.”
Theo terdiam. “Aku ingin pergi dari sini.”
Tak lama berselang, Darius yang memakai jubah putih namun kusam itu kembali bersama kotak berwarna sama. “Aku juga, ayo ke rumah hantu bersama-sama. Misal, bertemu hantu pria gila dan berobsesi jadi Caesar, raja dunia, namanya Gideon. Oh! Aku lupa setiap hari memang papasan.”
Wajah Theo penuh dengan luka dan sayatan kecil. ia menatap sang dokter lalu berkata, “Bercanda terus kamu, Dok. Ayolah aku ini lagi serius.”
Darius menghiraukannya dan tertawa lepas, “Tentu aku ingin, sangat berharap aku bisa kembalik pulang menemui anakku. Tapi memangnya kamu bisa keluar tanpa cacat dari sini apa? Ingat apa yang telah dia lakukan padamu.”
“Aku tidak mau ceramahmu,” ucap Theo jengkel dan piring aluminium yang kosong dilempar ke arah Darius, tentu saja pria tersebut memegang kepalanya dan mengaduh kesakitan. Namun dalam hatinya ia mengingat hari siksaan-nya, membuatnya semakin kesal.
Hari ketika pertama kali memberontak. Ia menang, yang seharusnya ia harus menunjukkan kekalahannya. Ketika dia kalah Gideon akan mencambuknya, menyiksanya, tidak mengizinkan siapapun kasih makan ke dia, lukanya yang kering kembali parah akibat pria tua bangka itu.
“Aku benar-benar serius. Ayo kita kabur bersama.”
Darius mencibir dan berkata, “Strategi apa yang sudah kamu pegang? Aku tidak mau keluar tanpa perencanaan apalagi pria tipe Romea sepetimu.”
“Romeo apaan–Darius, kumohon jangan bercanda disaat aku serius,” ucap Theo. Darius malah mencibirnya lagi dan mengulangi perkataanya dengan cara yang menyebalkan. Coba lihat itu, tidak ada yang bisa membayangkan betapa kekanak-kanakannya seorang Darius ini.
Kemudian ia membuka perban Theo yang rupanya sudah lengket itu, setelah itu lukanya dibersihkan dan diperban kembali. “Tahan sedikit, Theo.” kata Darius saat Theo mengeluarkan suara rintihan. Theo memejamkan matanya. teringat arena tanding semalam.
Merah.
Semuanya identik dengan merah, yang menelan segala kelemahan dan membuka gerbang ketakutan. Seluruh arena berseteru siapakah yang menang atau taruhan siapa yang akan kalah. Luka di sekujur tubuh tidak ada artinya selain poin menang, dan tubuh manusia yang rubuh di arena. Tidak ada kesempatan untuk lari. Gideon tidak akan membiarkan semua itu terjadi.
“Ingatlah hutang-hutangmu yang belum selesai itu. Aku sudah melakukan banyak hal untukmu,” ucapan Gideon setiap Theo harus menerima hukuman. Tidak ada yang lebih menyebalkan sekaligus menjebak daripada kalimat itu.
“Luka dalammu sudah jauh baikan. Kau dengar aku, Theo? Setidaknya untuk kabur dari sini masih mampu.”
Raut wajah Theo berubah riang, “Rupanya kau mendengarku!”
“Malam ini Gideon pergi ke Roma, jadwal pengecekan jadi sering berubah semenjak tempat persembunyian di Maroko ketahuan publik. Fenomena yang sangat jarang terjadi dalam satu dekade yang sangat disayangkan kalau dilewatkan.”
Theo menegakkan badannya. “Oh? Aku tidak tahu berita itu.”
“Tentu saja kau tidak tahu. Itu terjadi selama kau pingsan.” Darius berdiri disampingnya dan menyerahkan telepon genggam lama. “Kau harus hubungi aku diluar sana. Jaga barang ini baik-baik. Jika perlu keluarkan jurus ninjamu.”
Theo memakai baju dan tampaknya kesulitan karena belum beradaptasi dengan luka-lukanya. Ia memiliki jenggot yang lecet dan sepertinya tidak bercukur selama seminggu, dan rambut pirang panjang. “Darius, aku petinju bukan ninja.”
“Dulu.”
Theo memutar mata. Ia menggeser jendela dan melihat ke bawah, jaraknya hanya satu lantai. “Jadi ini alasannya kau bersikeras memilih ruangan ini jadi ruanganmu. Yah tak apalah, setidaknya kakiku masih kuat melompat.”
Sebelum ia loncat dan kabur dari tempat menjijikan ini, Darius memanggilnya. “Berjanjilah padaku, sekali kau mencari perhatian, bermasalah di luar sana, aku tidak mau membantumu, itu urusanmu. Karena itu kau harus selamat. Aku ingin informasi langsung darimu, diluar sana, bahwa kau masih hidup. Mengerti?”
Siluet wajah Theo dari sinar bulan, pria itu tersenyum. “Aku pergi dulu.”