"Kak, Papi duluan ya, nanti kalau mau pulang WA aja." Fachry tampak gusar. Papinya itu buru-buru keluar mobil lalu sedikit berlari memasuki rumah sakit.
"Ii... iya, Pih."
Lalu Ayesha bingung sendiri, di mana Cia?
Ia terus berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit yang mulai sepi. Jam tangan di pergelangannya sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Kehidupan malam sebuah rumah pesakitan akan memasuki jamnya.
Belum lama setelah itu, ponselnya berdering. Cia! Tanpa pikir panjang, Ayesha langsung saja menggeser ikon hijau di screen ponselnya.
"Halo, Ci? Lo di mana? Lo nggak pa-pa kan?"
"Gu... Gue... Hiks... Ye."
Jantung Ayesha ingin lompat saat itu juga begitu mendengar suara tangis Cia.
Ia semakin mempercepat langkahnya dengan arah yang bahkan Ayesha sendiri nggak tahu mau ke mana. RMC nggak sekecil itu untuk kemudian Ayesha bisa dengan mudah menemukan Cia begitu aja. Ayesha berjalan serabutan dengan sambungan telepon belum ia matikan.
"Ci...hei, tenang. Lo kenapa? Ini lo di mana? Gue udah di RS. Kasih tau gue lo di mana??" Suara Ayesha juga menjadi panik.
Dan, dalam masa pencarian Ayesha itu, ia semakin mendengar suara tangis yang begitu pecah, menyayat. Ayesha kalang kabut. Pikirannya mendadak blank. Terkait soal Cia yang entah sedang kenapa sekarang, Ayesha tidak ingin mengembangkan asumsi.
Dengan tidak diduga-duga, dalam jarak sepuluh meter dari tempatnya berdiri, ada pemandangan yang lebih mengiris dari suara yang ia dengar di ujung telepon. Namun, suara itu terkoneksi, tampak nyata dan begitu dekat.
Ayesha mematung di tempat. Jantungnya sudah jumpalitan menahan takut.
Ada Cia di sana, menangis sejadi-jadinya, bahkan kini tubuhnya merosot karena sudah tak mampu berdiri. Satu tangan lainnya masih menempelkan ponsel di telinga kanan, teleponnya dengan Ayesha belum terputus.
Ayesha belum bergerak mendekat, ia masih terpaku. Cia nggak sendirian, ada Mbak Sita, Mbak Wena, dan...
...Gifi.
Laki-laki yang menguras akal sehatnya. Laki-laki yang mampu memasuki pikirannya, kemudian menyelam hingga ke dalam, menemukan ruang kosong bernama hati.
"Cia...." Ayesha mendekat, ia langsung disambut oleh pelukan erat Cia.
"Aye!" Seru Ayesha, seperti pertemuan-pertemuan sahabat lama yang mengharukan.
Cia begitu menumpahkan tangisnya, dan Ayesha belum mengerti itu. Jadi, yang Ayesha lakukan saat ini hanya merangkul Cia, kemudian mengelus pelan punggung Cia, berharap sedikit saja rekan kerjanya itu menjadi lebih tenang.
"Ci? Lo nggak pa-pa?"
Aye memastikan bahwa 'sahabat barunya' itu dalam kondisi baik-baik saja. Ia menelisik dari atas hingga bawah tubuh Cia dengan detail.
Tapi, kenapa Cia menangis hingga meraung-raung seperti di telepon dan apa yang dilihatnya beberapa detik yang lalu?
Lalu, Ayesha melihat sekeliling.
"Mbak Sita? Mbak Wena? Ada apa? Kenapa pada ngumpul di sini?" Itu yang membuat dirinya penasaran.
Namun, tidak ada jawaban dari mereka. Entah nggak sanggup menjawab atau tidak ada yang perlu dijelaskan, atau bingung juga menjelaskan dari mana, Ayesha tak mengerti.
Terlebih Gifi, yang berdiri agak jauh dengan dua orang paruh baya di sebelahnya. Siapa lagi itu? Apa mungkin orang tua Gifi?
"Ci, ada apa? Jangan bikin gue kayak orang bego. Lo yang nyuruh gue ke sini, Ci. Dan sekarang, please kasih tau gue ada ap--"
"Keluarga Gema Kanaya?"
"Saya, dokter."
Satu suara mampu menghentikan celotehnya. Ayesha memalingkan wajahnya pada suara itu.
"Papi?" lirihnya begitu melihat sang Papi keluar ruangan dengan setelan jas putih.
Ia semakin deg-degan, Papinya memasang wajah serius, jauh sekali ketika berada di rumah. Atmosfer ketegangan mendadak menyelimuti.
"Maafkan saya, kami semua sudah berusaha, tapi Tuhan berkehendak lain. Gema Kanaya tidak bisa kami pertahankan."
Kemudian, luruhlah sudah orang-orang di depan Ayesha. Raungan tangis kembali ia dengar. Cia kembali memeluknya dengan senggukan dahsyat. Mbak Sita dan Mbak Wena sudah menjadi-jadi. Dua orang paruh baya di sebelah Gifi tadi, bahkan si Ibu hampir pingsan jika tidak dipapah oleh si Bapak. Sementara Gifi, laki-laki itu berdiri saja, dengan tenang, tapi pandangannya kosong.
Fachry melihat Ayesha tanpa kata, tapi seolah paham bahasa isyarat satu sama lain, hanya anggukan yang Ayesha berikan. Kemudian Papinya pamit, dan melenggang pergi sambil menepuk pelan pundak Ayesha sebelumnya.
Death sentence, inilah kali pertama ia melihat Papinya menyampaikan berita kematian pada keluarga pasien. Tidak mudah, tapi ia tahu Papinya pun saat ini pasti diselimuti rasa menyesal yang tinggi.
Astaga, Ayesha kelimpungan sendiri. Ia begitu sedih, sementara ia bahkan nggak tahu siapa yang Papinya kabarkan meninggal.
Gema Kanaya? Ya, ia ingat. Nama yang tak sengaja ia baca di tumpukan medical record di atas meja kerja Fachry.
Ayesha menyambungkan nama tersebut dengan Naya yang sempat disebut oleh Mang Ucup. Tidak salah lagi, sepertinya memang benar bahwa Gema Kanaya adalah Naya itu.
Perlahan, Cia mengurai pelukannya, ia menyusut air mata yang turun menganak sungai di pipi. Sementara Ayesha belum menapak sepenuhnya. Ia bingung apa yang harus ia lakukan.
Di sini, hanya ia yang tidak menangis.
Tapi ia sedih.
Hatinya terasa berdenyut nyeri. Tanpa alasan, begitu saja.
"Gif, gue kabarin orang HR dulu, ya. Segera urus administrasinya, biar Naya bisa segera dibawa pulang." Cia menepuk bahu Gifi, seperti menyadarkan Gifi dari lamunan kosongnya.
Ayesha mengerjap. Tidak seharusnya ia terbengong bodoh seperti ini. Ada yang lebih membutuhkan penopang, yang mungkin untuk berdiri saja rasanya seperti tak berpijak di tanah.
"Thanks, Ci."
Gifi memaksakan satu simpul senyum kepada Cia. Begitu pula dengan Cia, ia membalas dengan tulus, dan seolah ada energi yang disalurkan kepada Gifi. Energi penguat, Ayesha bisa melihat itu. Ia semakin pilu. Belum ada satu frasa pun tercetus dari bibirnya.
Kelu.
Tapi, pada satu detik berikutnya, pandangan mereka akhirnya bertemu. Ayesha tak sengaja menangkap itu. Sorot kesedihan terpancar sangat dalam dari iris gelap Gifi. Begitu menyayat.
"Gif...," Gifi memaku pandangan itu. "Yang kuat, ya."
Mungkin hanya itu yang bisa Ayesha katakan. Bahkan, ia pun tak tahu mengapa ia bisa mengatakan itu. Tak berdasar, tapi emosinya begitu kuat.
Berbeda saat Cia yang mengajaknya bicara, kali ini Gifi hanya mengangguk sebagai jawaban. Ayesha hanya mengutas satu senyum miris. Tapi ia juga tak pikir panjang untuk mempermasalahkan hal begituan.
****
Dua hari pasca meninggalnya Naya, kabut duka masih menyelimuti kantor DCA. Ayesha merasa benar-benar tak berguna hingga tidak mengenal siapa Naya sebenarnya. Bahkan, ada karyawan bernama Naya di kantor ini pun, Ayesha tidak mengetahuinya. Ia merutuki diri. Ke mana saja ia selama ini?
Gifi sudah masuk, tapi ia masih bisu. Gifi memilih menjadi makhluk anti sosial dan lebih kerap menghilang saat jam istirahat atau pulang tenggo pada waktunya. Gifi menjelma menjadi manusia kutub yang begitu dingin, beku, tak tersentuh sama sekali.
Seperti saat ini, Ayesha hanya berdua dengan Cia. Makan siang sederhana di kantin bawah. Masih saling diam tanpa keceriaan seperti biasa. Ayesha memesan mie godok, sementara Cia hanya nyemil salad buah. Raga mereka mungkin bersama, tapi jiwa melayang sendiri-sendiri.
Cia memandang jauh keluar jendela, di luar hujan, tidak begitu deras, suara rintiknya meneduhkan. Ah, hujan memang selalu menambah sendu suasana hati para penunggunya.
"Ci...,"
"Hmm?" Cia mendongak, menemukan Ayesha yang memandangnya begitu serius.
"Apa lagi yang gue nggak tahu tentang Naya?"
Ada helaan napas dalam oleh Cia. Ia tahu, mau bagaimana juga, Ayesha bakal penasaran juga. Dan, pertanyaan seperti ini akan terlontar juga pada waktunya. "Apa yang pengin lo tahu?"
"Gue bahkan nggak tahu apa yang nggak gue tahu."
"Hhhh, belibet lo, Ye."
Kemudian, mereka kembali terdiam. Ayesha mulai menyeruput mienya yang panjang. Paduan hawa dingin dan mie godok seperti ini memang pas sekali. Hanya saja, hati mereka sedang tidak pas. Ada ganjalan-ganjalan yang belum terselesaikan dengan damai.
"Jadi, Naya sama Gifi itu....?" tanya Aye pada akhirnya.
"Iya, mereka sepasang kekasih." Begitu pula dengan Cia, ia tak mampu lagi menutup-nutupi.
Ada bunyik kretek di hati Ayesha yang hanya bisa ia dengar sendiri.
"Lo tahu?"
Cia mengangguk.
"Dan lo nggak ngasih tahu gue?!" Aye meletakkan garpunya, ia mengambil tisu dan mengelap pinggil bibirnya. "Gue kayak orang bego, Ci," tambahnya.
"Awalnya gue juga nggak tahu. Pas gue tahu, gue nggak berada dalam posisi yang bisa ngasih tahu lo."
Ayesha menghela napas kasar. Satu yang ia sadari sekarang, ia bukanlah hal penting sehingga perlu tahu persoalan ini.
"Kalau soal Naya?"
"Gue juga nggak kenal Naya, Ci. Gue cuma sekali ketemu dia. Itu pun karena Gifi yang ngajak."
"Gifi ngajak lo?" Mata Ayesha terbelalak. Berapa banyak fakta yang tak ia tahu.
"Mmm, sorry, seperti yang gue bilang. Nggak ada niat buat nutup-nutupin semua ini, Ye. Serius."
"Naya sakit apa? Mmm... maksudnya separah apa sampai berakhir gini?" Dengan takut-takut, Ayesha bertanya lagi.
"Jangan bikin gue akhirnya cerita semuanya, Ye. Gue pun nggak tahu."
Ayesha lantas diam, ia bingung, jujur saja. Ia nggak tahu harus memposisikan dirinya seperti apa saat ini. "Terus gue harus gimana sekarang, Ci?"
"Gimana, maksud lo apa, Ye?"
Cia juga bingung, mau Aye tuh apa sih intinya?
Namun, Cia teringat semua gelagat itu. Soal candaannya yang mungkin saja dibuat serius oleh Ayesha. "Tunggu, jangan bilang lo udah beneran suka sama Gifi?"
"Gue nggak tahu."
Nah! Cia merasa bersalah. Gitu tuh, mangap nggak pake mikir sih. Main asal ngejeplak dan menciptakan kerunyaman di hati orang lain. Which is, itu sahabatnya sendiri. Cia merutuki kebodohannya.
"Astaga. Maafin gue, Ye," sesal Cia.
"It's okay. Gue cuma bingung sekarang kudu ngapain."
"Lo tenang. Gue yakin Gifi cuma butuh waktu. Selebihnya, kita jalanin misi lagi. Gue bakal bantu lo. Dan yaa... justru ini saatnya show up ke Gifi kalo lo layak."
"Gitu?"
"Yaa."
"Belum-belum aja gue udah ketinggalan informasi penting soal Gifi gini. Gue tuh kayak buta banget, Ci."
Seperti itulah Ayesha, selalu saja minder. Belum-belum sudah merasa rendah, tidak percaya diri, dan segala ekpektasi buruknya hinggap di pikirannya.
"Mmm, soal ini emang gue sendiri nggak bisa kendalikan. Karena yaa Gifi yang minta untuk keep banget segala informasi tentang Naya. Cuma Mbak Sita dan Mbak Wena yang memang dekat sama almarhumah. Selebihnya juga pada nggak tahu."
"Ya udah, gue coba dulu. Atau paling nggak ya gue puter balik aja kali ya."
Ayesha membuat Cia gemas gregetan. Ibaratnya, Cia yang mau membantunya sudah semangat berkobar-kobar, sementara dia sendiri ciut nyali belum apa-apa. Seperti mau berupaya sekeras apapun juga nggak akan berguna kalau dia yang dibantuin nggak menunjukkan keseriusan dan niat yang yakin.
"NO! Please, jangan mundur, Ye. Justru ini kesempatan lo. Gifi need you. And i'll help you. Gue bakal jadi informan nomor satu soal Gifi. Dan gue bakal jadi orang yang berada pada lini terdepan pendukung lo. Oke, beb?" rayu Cia.
"Yeaah, we'll see lah," jawab Aye sambil mengendikkan bahu.
****
Gifi terpekur di sudut kamarnya. Ia merasa kosong. Ia kehilangan sekeping hatinya. Bahkan samsak yang menjadi pelampiasan terasa begitu keras hingga ia tak bisa merasakan pantulan pukulannya.
Naya, seseorang yang telah mengisi dua tahunnya di DCA. Menjadi penyemangat di kala siang dan penikmat saat malam walau sekadar ucapan selamat mimpi indah.
Namun kini, Naya telah pergi, membawa separuh hatinya, menyisakan separuh lagi yang berserakan, tercecer berupa serpih-serpihan kenangan yang mungkin saja setelah ini tersapu angin.
Tuhan, di manakah Engkau saat Gifi berada dalam titik paling dasar saat ini? Kalau sudah gini, tidak ada yang lain ia butuhkan selain Kau, Tuhan.
Gifi masih betah duduk bersandar di tembok apartemennya. Satu kakinya berselonjor, satu lagi ditekuk dengan tangan di atasnya. Pikirannya jalan-jalan menyusuri ruang waktu. Ia mampir di setiap kenangan yang pernah dilaluinya bersama Naya.
Hal yang paling tidak bisa terlupa adalah ketika mereka menyusun mimpi masa depan bersama-sama. Masih segar di benak Gifi, bagaimana Naya begitu antusias saat itu.
Flashback On
Di sebuah Sabtu sore, di saat manusia-manusia lain memilih berjibaku dengan kemacetan ibu kota, tidak dengan dua anak manusia ini. Mereka menikmati sore yang hujan dengan duduk di sofa apartemen samping jendela, sehingga pemandangan kerlip-kerlip lampu yang mulai nyala satu persatu menjadi penghias tersendiri. Dua mug cokelat hangat menjadi teman dinginnya suasana hampir magrib. Satu perempuan, datang dari pantry, menemukan lelakinya tampak serius berkutat dengan lembaran berwarna.
"Hai, lagi liat-liat apa, sih? Serius amat? Amat aja kagak serius banget?"
Gifi tersenyum singkat, "hmm, receh ya kamu bawa-bawa amat segala?"
Sementara Naya hanya ber-hehe ria sebagai balasan.
"Ini lho, coba deh. Kamu lebih prefer mana type 36 atau 45?" Gifi menunjukan brosur rumah yang diperolehnya dari pameran kemarin.
Naya mengamati sejenak. Ia membolak-balik brosur tersebut. Ah, setiap cewek memang seperti ini kan? Harus detail dan lama. Begitu gumam Gifi.
"Yaaa kayaknya kalau cewek lebih ke yang 45 deh. Tapi itu semua kembali lagi ke management budget. Nggak melulu misal budget kita cukup buat yang 45 lalu kita ambil. Bisa aja lho kita ambil 36 lalu lebihnya bisa buat nata interior."
"Cerdas! Iya juga, ya? Kenapa aku gak kepikiran sampai situ sih, Yang?" Gifi mengacak gemas rambut Naya lalu merapikan kembali anakan rambut yang berserakan itu.
"Soalnya kaum adam kadang langsung straight to point, nggak lihat peluang kanan kiri dulu. Btw, emang mau beli rumah?"
"Menurut kamu?"
"Terus apartemen gimana?"
"Apartemen itu bukan tempat tinggal permanen, Yang. Nggak sehat untuk mereka yang berkeluarga."
"Lalu?"
"Ya mulai sekarang aku kudu visioner, Yang. Seperti impianmu yang pengin punya rumah dengan halaman luas dan taman di depannya, kan?"
Ada perasaan hangat yang menelusup di tengah hawa dingin ini. Naya bisa merasakan itu. Mungkin terlihat seserhana, tapi Gifi tak pernah main-main soal kata yang terucap dari bibirnya. Terlebih untuk urusan seperti ini.
"Aaaaaaa... udah sampai situ aja, sih," ucap Naya dengan rona marah yang sarat di pipinya membuat Gifi ikut tersenyum.
"Kamu nggak mau?"
"Mau untuk apa dulu nih? Pertanyaan nggak spesifik deh."
"Hahaha. Udah keep dulu jawabannya. Back to topic. Gimana kalau yang 45 aja? Milih rumah kan nggak semudah milih kosan. Ada jangka panjang yang harus kita pikirkan. Kalau 36 kayaknya kekecilan deh, gimana kalau aku pengin punya anak banyak nanti? Kasihan mereka ruang geraknya terbatas."
Aih, pembahasan Gifi semakin menjurus. Namun, Naya berusaha tetap kalem. Santai saja, toh ini hanya bahasan sederhana.
"Ya nggak pa-pa. Kayak tadi kataku, asal paham management budget mah is oke wae."
"Ya tapi kosongan, Yang. Budget-ku cukup buat type 45 tapi kosongan."
"Hmm... ya udah. Aku nanti yang ngisi," putus Naya membuat Gifi semakin tertarik dengan obrolan ini.
"Apa?" Gifi mengatur posisi duduknya. Ia meenyeruput sedikit coklat hangat buatan Naya itu.
"Percayakan padaku soal interior."
"Wait! It's just say 'yes' gitu?"
"Maybe!" Senyum merekah terpancar bersama dengan jawaban Naya tersebut.
Ah, mengembangkann mimpi bersama Naya memang pilihan tepat. Karena itu, Gifi menyukai Sabtu sore yang hujan. Di mana hanya sekadar duduk-duduk begini saja tercipta imajinasi liar lebih dari batas mereka yang biasa. Lalu selanjutnya, ia akan mengagendakan kencan malam minggunya seperti ini lagi. Nanti.
Flashback Off
Memori itu diputar kembali, senyum Naya yang begitu khas, masih tercetak jelas diingatannya. Senyumnya begitu manis, mampu membuat gigi Gifi ngilu karena overdosis. Namun sekarang, sudah tidak ada lagi hal demikian.
Oh, Gifi bakalan rindu senyuman itu. Lebih rindu lagi soal menata mimpi-mimpi itu. Bahkan Naya nggak tahu, bahwa mimpi mereka sebentar lagi menjelma nyata. Kalau sekarang, apakah mungkin Gifi masih antusias untuk melanjutkan mimpi mereka berdua? Entahlah.
"NAYAAAAAA!" teriak Gifi frustasi.
Ia kembali memukul-mukulkan tangannya ke dasar lantai yang dingin. Lalu, ia menangis kencang, jeritnya begitu pilu.
Mungkin, bagi beberapa orang, laki-laki menangis adalah hal cengeng. Namun, salahkah ia jika menumpahkan segala emosinya saat ini? Atau begini deh, bukankah justru menjadi hal aneh jika ia sama sekali tak menangis?
Baiklah, itu semua lagi-lagi kembali kepada pribadi masing-masing. Tidak perlu dipersoalkan sebenarnya.
Hanya saja, entah sampai kapan Gifi harus meratapi dukanya. Hatinya terlanjur beku, ia belum berpikir untuk mencairkan. Ia rasa, ia mulai nyaman dalam dingin dan sendirinya saat ini. Lagi, ia juga tak berpikir untuk mencari pengganti Naya. Untuk jangka waktu yang belum ia tahu, dan belum ia tentukan.
"Lo jahat, Nay!!! Terus lo tega ngebiarin gue ngisi rumah itu sendiri? Dan nempatin sendirian? Mana janji lo, Nay!!!!" Sekali lagi, Gifi bermonolog masih dengan tangis tak tertahan itu.
Gifi masih betah dengan ratapannya. Ia semakin menjadi dengan menenggelamkan kepalanya di tumpuan tumit yang ia tekuk. Masih menangis, meski kini tanpa suara, sisa-sisa sesak itu masih terdengar.
Ponsel yang ia geletakkan di lantai, di sampingnya, berkedip, satu pesan Line tampil di screen ponsel tak sengaja tertangkap matanya.
AyeshaA
Gif, mungkin nggak begitu banyak yang kutahu tentangmu. Tapi, begini.
Mungkin kamu biasa dengannya.
Dia biasa ada kamu.
Namun hidup ini jangan berhenti, hanya karena dia pergi.
Bila hanya kata bisa jadi kalimat,
Maka yang ingin kusampaikan sebenarnya;
Gif, harusnya kamu ikhlas, bahwa kini Naya sudah nggak sakit lagi. Naya sudah menang melawan semua itu.
Maaf ya, Gif. Kesannya aku sok tahu banget. Tapi, aku, kita semua di sini tidak ingin kamu terus berlarut-larut.
Yang kuat, segera pulih, ya.
Gifi menyudahi tangisnya. Ia serius membaca kalimat demi kalimat dari Ayesha. Di akhir, satu senyum itu kembali terutas. Satu simpul saja, tapi itu cukup baik.
Setidaknya.
_______Nantikan kelanjutannya_______
?
? AyeshaA, CiaGaitsa, Sitatalia, RudyDermawan, and 2371 others
GifiPrama Kata orang kamu sudah nggak sakit lagi, Nay? Iya, tapi kini giliran aku yang sakit, Nay.Rasanya nggak ada kamu nggak asyik. Dan entah sampai kapan sakit ini terus mengikis hatiku hingga tipis, dan habis. Deep missing you, bae.
View all comments
RudyDarmawan bangkit, bro!
Wenadiara udah Gif, please udah. ????
Wigunaguna besok ngopi berdua sma yuk, bro.
Sitatalia kalo lo gini, dia di sana nggak tenang, Gif.
CiaGaitsa ada pembukaan stand Mango Thai di GI, nggak pengen? Gue traktir deh yg bayar @AyeshaA tapi
E N J O Y R E A D I N G
Mantap & kreatif, smpai masukin gambar. Jadi bisa kebayamg deh karakternya.
Comment on chapter Sembilu Dusta