Jika ada orang paling nggak santai di muka bumi ini, itu adalah Ayesha. Dikit-dikit kepikiran, terlalu dalam, sampai nggak bisa tidur. Atau, kalaupun ia berhasil tidur, hal yang dipikirkannya tadi terikut dalam mimpinya. Mudah sekali terbawa perasaan, itu sisi lainnya.
Seperti kejadian baru-baru ini, masih segar di ingatan Ayesha soal sebuah kehilangan yang begitu dalam. Terkait Gifi, ia memang selalu penasaran. Termasuk soal perempuan Gifi yang kini meninggalkan luka perih untuk lelaki itu.
Seusai makan malam, Ayesha sengaja menemui Papinya di ruang kerja hanya untuk menanyakan hal yang mengganjal tersebut.
"Ada apa, Kak?" tanya Fachry masih sibuk dengan laptop dan tumpukan kertas-kertas itu.
Ayesha mendekat, menggeser kursi hingga berada di samping Papinya persis.
Kilatan matanya tak sengaja membaca berkas itu lagi. Ya, berkas yang sedang dikerjakan oleh sang Papi.
"Pi? Gema Kanaya itu sakit apa?" Tanpa tedeng aling, Ayesha langsung menumpahkan rasa penasarannya.
Merasa anak sulungnya tersebut memerhatikan apa yang sedang ia kerjakan, Fachry menghentikan aktivitasnya sejenak, menutup berkas tersebut dan membereskannya. Lalu menatap manik Ayesha dalam-dalam.
"Eung... seperti yang Papi tahu, Ayesha ada saat Kanaya nggak ada. It means Ayesha mengenal Kanaya, Pi."
Mungkin, definisi kenal kini sudah bergeser. Sekadar tahu nama, itu sudah bisa dikatakan kenal kali, ya.
Fachry masih memandangnya penuh selidik sebelum mengembuskan napas lelah.
"Ini rahasia pasien, Kak. Nggak bisa begitu aja Papi beberkan ke orang lain. Sekalipun keluarga Papi sendiri. Papi terikat sumpah dan kode etik."
"Harusnya Ayesha tahu kalau jawaban Papi pasti begini."
Seperti yang sudah ia duga, kaum seperti Papinya memang strict soal etik dan memang wajibnya demikian kan. Thats way Ayesha bangga dengan sang Papi.
"Kanaya itu teman apa? Kamu kok nggak pernah cerita?" tanya Fachry berusaha mengalihkan.
"Teman kantor, kenal singkat aja, ya setelah itu Kanaya cuti. Sampai akhirnya gitu."
Fachry hanya manggut-manggut menyimak penjelasan putrinya. Ia sebenarnya juga sempat kaget malam itu, ternyata alasan Ayesha ikut dirinya ke rumah sakit adalah untuk menjenguk temanya yang notebene pasien Fachry. Padahal, sebelum ini tidak ada tanda-tanda bahwa teman Ayesha sedang sakit dan dirawat di RMC. Kalau ada kan Ayesha sudah pasti heboh, palingan bakal sering ke rumah sakit, lah kemarin itu tidak termasuk yang biasanya. Fachry patut curiga.
"Apa memang saat itu nggak bisa dilakukan apapun, Pi?" Kembali, Ayesha bertanya pada Fachry perihal kasus Kanaya.
Fachry mengernyit. Ia sadar betul bahwa ada yang mengganjal di pikiran Ayesha hingga membuat sulungnya itu benar-benar ingin tahu.
"Mmm... maksudnya, apa segitu parah kondisi Kanaya sampai nggak bisa diselamatkan? Ayesha tanya gini, bukan karena ngeraguin Papi, serius. Ayesha hanya ingin tahu, Pi."
Fachry menghela napas sejenak. "Gema Kanaya datang ke RMC sekitar dua minggu lalu. Kondisinya sudah tidak dapat dikatakan baik saat itu. Tim Papi sudah melakukan observasi, dan berdiskusi soal terapi apa yang akan kami berikan pada Kanaya. Bahkan, Papi juga harus melibatkan dokter spesialis kulit yang erat dengan diagnosis Papi saat itu. Jadi, kalau kamu merasa, semudah itu Kanaya meninggal, sepertinya Papi ragu bahwa dia temen kamu."
"Hmm?" Kalimat terakhir Papi sedikit tidak ia mengerti.
"Seorang teman nggak mungkin nggak tahu kondisi temannya, Kak. Se-nggak dekatnya mereka, lho."
"Papi, kok gitu?" Merasa tertohok, Ayesha nggak terima.
"Yaa kamu juga gitu. Harusnya, kalau kamu memang temannya, sedikit banyak sudah tahu penyakit Kanaya dari orang-orang terdekat Kanaya lainnya."
Eung... itu benar, sih. Papinya memang terlalu ceplas-ceplos. Nyelekit sih, Pi. Padahal mah, inti kekepoan Ayesha sebenarnya bukan soal Naya, tapi soal siapa sosok Naya bagi Gifi? Dan clue lain yang banyak belum ia pecahkan.
Memang benar, bahwa bertanya pada sang Papi tidak memberikan kepuasan tersendiri bagi Ayesha. Ia harus terima cukup dengan debat singkat tak hasil seperti tadi.
Ia mengalah, memilih keluar dan kembali ke kamar.
Satu yang sempat matanya tangkap saat di ruang kerja Papinya tadi. Berkas itu lagi. Ada informasi yang Ayesha kira menjadi kunci rasa penasarannya. Steven Jhonson Syndrom, entah itu istilah atau apalah yang tertulis di kolom diagnosis kertas di hadapan Papinya tadi. Sepertinya memang nama penyakit, tapi tidak cukup familier di telinga Ayesha.
Balik ke kamar, ia menyalakan pc dan membuka laman andalan. Ia mengecek hal tersebut di mesin pencari serba tahu. Banyak sih penjabaran terkait, tapi hal itu belum bisa memuaskan Ayesha. Lagipula, banyak istilah yang susah untuk dimengerti oleh orang awam seperti dirinya. Apalagi jurnal internasional yang tadi ia unduh, bah! sama sekali tak ia pahami.
Gifi, Naya...
Dua nama itu lagi hobi banget mengerubungi pikiran Ayesha. Apalagi soal Gifi, ia semakin susah dijangkau. Kerenggangan di antara mereka semakin kentara. Ditambah lepas proyek Marshmalove kemarin, tidak banyak bahasan yang bisa Ayesha gunakan sebagai bahan obrolan dengan Gifi. Kalaupun mereka bertemu dengan tidak sengaja, di lift misalnya, seperti tadi pagi pas jam masuk kantor, hanya hening yang menyelimuti. Baik Ayesha maupun Gifi sama-sama tidak ada yang mau memulai percakapan.
Ayesha sendiri bingung dengan dirinya. Kenapa ia harus seperti ini? Bersikap tidak biasa yang sangat kentara. Bisa saja kan ia justru memberikan support agar Gifi bisa kembali ke sosok dirinya yang dulu?
Lagi-lagi Ayesha hanya bisa merutuki ketidakmampuannya tersebut.
*****
"Jadi, ada perlu apa, Kak?"
Pulang kantor hari ini Ayesha sengaja meminta Rayyan untuk menjemputnya. Dengan iming-iming makan malam di Open Kitchen, tentunya mudah bagi Rayyan untuk mengiyakan. Mumpung ya kan? Tidak ada dua cecurut lain yang merecoki kentjan-nya dengan sang kakak. Jelas ini tidak akan disia-siakan oleh Rayyan, masa pemalakan telah tiba. Kali aja kakaknya lebih khilaf dengan mentraktir yang lain.
"Bang, kalau gue konsultasi kesehatan sama lo, nggak bayar, kan?" tanya Ayesha saat pesanan mereka datang.
Rayyan mengernyit sejenak. Ia sudah duga sih, kalau Ayesha minta jemput lalu ngajak keluar, berarti ada yang ingin dicurhatin, yang Juwi atau Izzy nggak boleh tahu.
"Lo sakit?" tembak Rayyan defensif.
"Kagak!"
"Oke, jadi kenapa?"
Sambil mulai menyantap makanan di depannya, Ayesha melempar tanya, "Steven Jhonson Syndrom itu apa?"
"Lo tahu istilah ini dari mana? Dan siapa yang kena SJS?"
"Ada lah, Bang. Lo jangan mempersulit gue. Tujuan gue tanya ke lo ya biar mudah aja birokrasinya. Kalau tanya sama Papi, atau lainnya, pasti gue diintrogasi dulu."
"Oke, oke, gue jabarin secara sederhana aja ya, karena ya gue cuma baru pelajari hal itu lewat text book. Secara pastinya seperti apa juga gue belum pernah nemu. Lah, koas aja belum mulai."
"Iye, Bang. Serah lo deh. Penting gue nggak penasaran kek orang bego."
"Itu sebenarnya reaksi yang timbul karena efek obat-obatan atau infeksi sih, Kak. Mudahnya yaa semacam alergi antibiotik lah. Nyerang kulit, dan itu serius. Reaksi yang timbul juga macam-macam."
"Parah?"
"Bisa jadi parah kalau nggak segera ditangani."
"Tadi lo bilang nyerang kulit. Gimana maksudnya?"
"Awalnya muncul ruam-ruam merah, berlanjut jadi bengkak, bahkan kulit bisa sampai mengelupas."
"Terus, bisa komplikasi?" Seolah belum puas, Ayesha terus mewawancarai Rayyan dengan serius.
"Banget, karena bengkak tadi juga nyerang wajah, maka area mata juga bisa kena. Beberapa kasus bahkan matanya lengket nggak bisa dibuka. Terus selulitis, sampai rambut rontok dan segala macamnya. Nyerang pencernaan juga sih, karena nggak bisa nelen jadi asupan makannya ya pakai infus, lebih parah lagi ya pakai NGT."
Ayesha terdiam. Sekalipun ia belum mengenal Naya secara langsung, tapi selintengan soal Naya kerap ia dengar. Tentang Naya yang kalem, cantik dan role model young adult zaman now banget lah. Buat Ayesha jiper sih nggak, justru makin membuat Ayesha penasaran parah.
"Siapa, sih?"
"Temen kantor gue, dan parahnya gue nggak tahu."
"Lah, kok lo bisa nggak tahu?"
"Gue anak baru, Bang. Lupa?"
"Iya juga sih. Dan why lo penasaran sampai segininya?"
"Kagak pa-pa, tanya orang-orang kantor cuma diceritain kalau dia habis kecelakaan motor, terus cuti, nah luka-luka akibat motornya itu udah selesai sebenarnya. Eh nggak tahunya malah demam terus gatel-gatel gitu. Dan yang mereka ketahui ya alergi obat, inaaaaav."
"Trus kok lo tahu SJS?"
"Gue kasih tau tapi lo jangan ember ya," ancam Ayesha jaga-jaga kali aja adiknya ini kelepasan ngomong kalau lagi ngobrol dengan dokter-dokter sungguhan macam Papi, Daddy, Biya, atau Bunda.
"Nggak ember palingan panci bocor."
"Aelah, Bang. Lo maaah." Ayesha geram, bocah satu ini masih bisa melawak saat-saat serius seperti ini.
"Iye-iye, gini-gini gue amanah tau, Kak."
"Gue tahu dari medical record di ruang kerja Papi."
"Hellluk, wah lo parah, Kak. Jangan diulangi deh. Itu privasi pasien. Dan nggak seharunya lo curi tau gitu. Oh, jadi lo tanya gue karena nggak dapat jawaban dari Papi? Tydack mendydick syekali." Kini, giliran Rayyan yang gemas karena kelakuan kakaknya.
Pengin tahu sih, tapi ini tidak seharusnya dilakukan oleh Ayesha.
"Ya gimana, Bang? Gue nggak sengaja lihat tuh berkas dua kali. Iyes, karena waktu itu mah niatnya tanya Papi, tapi jawaban Papi penuh pengalihan isu. Dan mata gue siwer lihat aja tuh tulisan lengkap dengan nama temen gue itu."
Penjelasan panjang Ayesha hanya dibalas helaab napas lelah oleh Rayyan. Lha sudah kadung juga mau piye, coba?
"Oke, oke karena ceritanya sekarang lo klien gue. Gue bakal keep deh soal ini."
Sumringah terbit di muka Ayesha, berbinar banget dengan efek glowing-glowing in the dark gitu.
"Nah! Itu baru adek gue."
"Tapi ada syaratnya." Ayesha nggak jadi senang, kalau gitu. Mukanya kembali masam sambil mencebik manja.
"Eeg! Mau apa lagi? Kurang nih makanan segini?" rajuk Ayesha.
"Thai Tea doang elah, lu pengaretan amat sih. Dua setengah persen harta lo itu adalah hak orang lain, Kak!"
"Dudul! Lu nggak termasuk dua setengah persen itu. Udah ah, anterin gue pulang."
Rayyan paling suka kalau Ayesha sudah berhasil membuat kakaknya ngambek gini, kayak bocah baru menetas gitu. Dua puluh lima sih katanya, tapi Rayyan meragukan angka itu.
*****
Rasa penasaran soal penyakit Kanaya memang sudah terjawab. Namun hal itu tak menjadikan Ayesha bisa bersikap normal kembali kepada Gifi. Pun dengan Gifi, justru ia semakin dingin.
Yang Ayesha nggak paham adalah ada apa sih dengan dirinya dan Gifi? Padahal kalau ia lihat Cia nih, masih bisa tuh santai ngobrol ini itu ya walaupun tanggapan Gifi singkat dan tanpa ekspresi sih.
Kedekatan yang begitu erat itu, justru menjadi sekat yang terlalu lekat. Ayesha tak bisa menembusnya.
Seperti sekarang, tanpa Ayesha tahu--eung... sebenarnya kenapa juga Ayesha harus tahu?--Gifi dan Cia baru saja kembali dari makan siang bersama.
Awalnya Ayesha biasa saja. Menjadi tidak biasa ketika mereka--perkumpulan ibu-ibu kompleks DCA--bercie-cie ria saat dua manusia tersebut masuk kantor.
Kok nyeri, ya?
Ada cemburu yang mencumbu relung hati Ayesha. Kalau dilihat-lihat mereka memang serasi, sih. Kemudian, pikiran-pikiran konyol itu melintas begitu aja. Ayesha berusaha menampik, yeah, ini cuma makan siang, kan? Tidak ada yang salah soal itu.
"Gaes, besok lunch di Coccari ya, peje-nya si Cia sama Gifi." Yang menggosok pertama adalah Mbak Wena, orang Finance dengan frekuensi siaran berita nomor satu di kantor DCA.
"Duuuh, bener yaa kalau baper dan laper itu beda tipis. Perut gue mendadak menci-menci lihat hot couple balik lunch. Uuncch deh kaka." Risfia, anak media buyer teman satu departemennya Naya dulu, ikut menimpali Mbak Wena.
"Mendadak gerah, drop ac pleasee," lanjut Risfia sambil kipas-kipas agar terkesan lebih drama.
"Kalian apaan, sih? Balik kerja sana. Lagian ngomongin orang pas di depan langsung." Cia yang merasa dibicarakan akhirnya ikut nimbrung.
"Loh, justru! Lambe turah zaman now kan gausah bisik-bisik tetangga, basi cyin. Biar lo lo pada nyadar, lovey dovey di sini kagak gratis minimal Coccari kek tadi Wena bilang." Satu lagi, Mbak Sita, yang se-geng sama Mbak Wena dan Risfia, sepertinya nggak suka banget, risih gimana gitu lihat Gifi dan Cia dekat.
Padahal nih, harusnya mereka senang, setidaknya Gifi sudah sedikit seperti manusia kembali. Esnya udah agak mencair. Apa Cia begitu hot, ya?
Namun ya gitu, mereka memandang Cia tuh kayak kegatelan sama Gifi. Oh, Ayesha pernah mendengar sendiri saat para geng Ceriwis Ceria sedang on air kayak radio pas makan siang.
"Anyiiink!!! Gif, bantuin woey, lo mah diem aja." Cia misuh-misuh nggak terima, sementara Gifi berlalu gitu aja menuju kubikelnya.
Dengan tetap datar.
Dan mata Ayesha mengikuti gerakan Gifi sampai ia duduk sempurna.
Gifi, kayak sumur ya? Dalem banget buat dijangkau. Kalau mau nekat terjun mah, nggak ada yang jamin bakal selamat. Nyungsep, tenggelam, wassalam. Fwalala banget lah batin Ayesha.
"Ye, lo kan sohib nih. Bantuin, Ye." Kini Cia mencari bala bantuan lain.
"Ya kalau bener ya harus Coccari, Ci. Lo nggak briefing gue dulu sih tadi. Ya gue ikut mereka aja." Sambil terkikik, Aye yang berpura diam depan komputer jadi mendongak merasa dirinya dilibatkan.
"Monyi ya kalian. Buyar-buyar." Cia balik ke kubikelnya dengan mencak-mencak.
Satu yang Ayesha tangkap, kenapa Cia blushing kalau memang tidak ada apa-apa? Oh, mungkin lunch di luar kena panas lalu begitu masuk kantor lagi kan adem nyes nih, jadinya heat shock kali, ya? Makanya pipi Cia kayak ditonjok gitu.
Ayesha jadi nggak fokus kerja. Ia menyekrol apapun di layar monitor. Sementara pikirannya lagi jalan-jalan ke tempat lain.
Baru saja satu fakta ia tahu soal Gifi yang punya Naya, kini...
...ah, masa iya?
Diam-diam Cia memerhatikan sahabatnya itu. Ada satu ide untuk menjahilinya. Lagian, jadi anak serius banget natap komputer nggak kedip gitu.
"DOR!" hentak Cia menepuk pundak Ayesha dari belakang.
"Meooong!! CIA!!!! apaan sih? Gabut banget lo sampai ngagetin gue gitu?"
"Hwahaha santai dong bozzku, lo serius amat sih kek mau dikawinin," cerocos Cia sambil menggeret kursi nganggur ke dekat Aye.
"Eh mulut, emang lo tahu rasanya dikawinin sampai bisa bilang gitu?" tanya Aye sambil malas.
"Duh, tegangan petir banget sih, Buu. Yang selaw dong, Ye."
"Apaan, Ci? Gue ribet dan males diganggu."
"Ribet pantengin vlognya awkarin?"
"Cucur! sana lo Ci, gue bilangin Pak Nazar koit lo," ancam Aye, menyebutkan nama manajer HRGA yang baru.
"Idih emang Pak Nazar mau ngapain gue? Palingan diajak goyang pantura doang mah tebal gue ini."
Cia makin melantur dengan menyamakan Pak Nazar yang ini dengan Naza penyanyi dangdut. Sementara Aye cuma bisa geleng-geleng lihat tingkah sableng Cia.
"Geli, Ci. Lo kok jadi nggak simetris gini sih? Kurang asupin micin atau gimana?"
"Hahaha, udah, Ye. Udah, serius yang ini. Temenin gue nge-Pump dong pulang kantor, ntar?"
"Kudu, ntar banget?"
"Iya. Badan gue sakit-sakit kalau sebulan belum nge-Pump. Olahraga sekaligus hiburan paling edge kebatinan banget lah. Daripada nge-gym ntar jadi ngehe gue."
"Lo makin kacau, Ci. Gue nggak bisa ngejangkau omongan lo," balas Ayeha semakin gedeg.
Anak AE kok sedeng begini sih? Mana ada klien yang nyantol? Tapi emang Cia kalau lagi dengan klien dan Cia yang di kantor bisa beda sih. Ayesha salut soal itu.
"Gausah jangkau omongan gue kakak. Cukup jangkau hati masnya dong."
Nah! Makin-makin kan sarapanya si Cia. Eh tapi, yang ini agak sedikit menyentil sih ya.
Glek. Ayesha menelan ludah dalam-dalam. Kemudian, sunyi menyergap.
Hening.
"Kok diem? Jadi, how?" tanya Cia merasa Ayesha terintimidasi dengan guyonannya barusan.
"Lihat ntar," jawab Ayesha singkat, dan Cia manggut-manggut aja dan memilih balik ke tempatnya.
****
Jam pulang kantor tiba, Cia bilang untuk menunggunya di depan lobby bawah sementara ia mengambil mobil. Tumbenan sekali Cia bawa mobil, sudah niat jalan-jalan lepas kantor sepertinya, pikir Ayesha dalam diam.
Ia mondar-mandir sambil sesekali mengecek jam tangan di pergelangannya. Selang limabelas menit setelah itu, satu Brio menyamperi dirinya. Kaca penumpang depan diturunkan.
Loh? Kok?
"Kuy, cabs!" ajak Cia mengarahkan Aye untuk duduk di bangku belakang.
"Sama Gifi?" tanya Aye begitu dirinya sudah mendarat di dalam mobil.
"Iya, Ye. Nggak pa-pa, kan?" Gifi melirik dari sunvisor.
Kalau gue pa-pa ya bisa apa juga?
"It's okay. Makin rame makin seru."
Dusta! Padahal hati Ayesha sudah senat-senut lihat mereka haha-hihi di depan. Hell sayang! Dirinya merasa jadi setan penunggu kalau begini.
"Iye, ntar orang se-mal lo ajakin nge-Pump deh kalau kurang seru," sambar Cia sambil mengeluarkan alat make up dan mulai berdendong.
"Gif, habis makan siang sama lo kok nih bocah makin ngaco sih? Lo racun apa, Gif?"
Aye mencoba mengembalikan semuanya. Kalau dipikir-pikir, ini kali pertama ia mengobrol dengan Gifi kembali setelah entah kapan tepatnya bahkan Ayesha lupa.
"Mampir apotek, Ye. Keknya efek obat habis. Jadi sakau lagi dia," timpal Gifi dengan cengiran khasnya.
Ah, semoga memang jadi langkah baik untuk memulai kembali. Gifinya perlahan kembali.
Oke, mungkin tidak seharusnya ia memiliki prasangka buruk soal Cia. Kali saja, ada sesuatu yang Cia siapkan untuk kemaslahatan dirinya di masa depan.
"Anjir ya kaliaaan, ini contoh live bullying pemirsa. Jangan tiru adegan beginian tanpa pengawasan bullyer profesyioniel, nggeh!" Cia mengeplak lengan Gifi lalu mengoceh sendiri di cermin rias yang kini ia pampangkan.
Ramai memang, tapi tetap saja, hati Ayesha belum utuh.
Belum utuh kalau Gifi belum menoleh kepadanya sepenuhnya.
Namun, ini setidaknya lebih baik. Kelabu duka perlahan memudar berganti awan biru yang tergelar luas di atas sana.
_______Nantikan Kelanjutannya_______
Mantap & kreatif, smpai masukin gambar. Jadi bisa kebayamg deh karakternya.
Comment on chapter Sembilu Dusta