Read More >>"> LELAKI DENGAN SAYAP PATAH (Ada Apa dengan Hatiku?) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - LELAKI DENGAN SAYAP PATAH
MENU
About Us  

Satu tahun berlalu sejak itu. Langit Jakarta sedang tidak bersahabat. Mendung menggantung sepanjang hari.

Ada rencana ngumpul lagi dengan Nata dan kawan-kawan. Setiap muncul percakapan di WA grup Para Sahabat, hatiku bersorak. Mereka adalah sekelompok manusia favoritku. Khususnya Reina. Dialah yang paling kusuka.

Malam itu, seperti biasa kami berkumpul sambil menikmati makanan dan minuman kesukaan masing-masing. Aku dengan milkshake coklat, Nata kopi pahit, Diny dengan teh hijau, Melly jus stroberi, dan Rafi minum apapun yang dipesankan Melly. Reina? Es kopi. Selalu.

Aku hapal semua makanan dan minuman kesukaan mereka, seperti aku hapal topik bahasan apa yang akan dibicarakan malam ini.

Pasti akan ada update tentang pacar Reina. Pacar Reina? Iya. 

Para sahabat tak bosan-bosannya mencoba menjodohkan Reina dengan teman-teman mereka. Sudah ada sekitar 5 lelaki kurang beruntung yang tak berhasil mendapatkan hatinya.

Reina selalu punya alasan untuk tidak menerima satupun dari para lelaki itu. Aku bahkan sudah hapal semua alasannya. Yang paling menusuk hati adalah "Anakku tidak suka dengan lelaki itu."

Aku sungguh mengerti. Reina belum ingin menikah lagi karena memikirkan nasib anak-anaknya. Sementara keempat temanku yang lain berusaha mencarikan figur ayah baru untuk anak-anak Reina. Niatnya baik, tapi aku yakin Reina lebih tahu apa yang terbaik untuk anak-anaknya.

Malam itu aku memberanikan diri mengantarnya pulang. Aku khawatir, dia pulang sendiri semalam itu. Walau aku yakin dia sudah terbiasa menjalani semua sendirian. Reina mau diantar pulang naik motor. Dia bahkan sesekali berpegangan pada pinggangku, sambil bibirnya tak henti bercerita. Aku lebih banyak mendengarkan. Suaranya membuatku tenang.

Dia bercerita tentang kedua orang tuanya, kakak perempuannya, hobi dan apa-apa yang tidak disukainya. Dan Fahri, sahabatnya.

Aku jadi tahu, sosok lelaki tinggi ramping berwajah keras yang menemaninya di pengadilan agama saat itu adalah sahabatnya sejak remaja. Namanya Fahri.

Aku mengangguk, sambil sesekali menimpali kisahnya. Nama Fahri terus mengiang di telingaku. Nama itu menimbulkan rasa tak suka.

Tapi apa hakku merasa tak suka? Norak. Lalu kutelan saja rasa itu. Pahit.

---

Hari berikutnya, aku mulai merasa rindu pada wanita bermata indah itu. Lalu dengan nekat, aku mengajaknya menonton teater bersamaku. Dan dia mau.

Mungkin hari itu adalah hari keberuntunganku. Aku bisa pergi berdua saja dengannya. Tanpa celetukan ramai dari keempat sahabatku yang lain. It's gonna be a fine day!

Saat aku menjemput ke rumahnya, hatiku berdesir lebih kencang.

Aku belum pernah melihatnya dengan pakaian santai. Selama ini kami hanya bertemu di hari kerja, dulu di kantor, selanjutnya bertemu after office.

Ternyata dalam balutan pakaian santai, Reina semakin terlihat cantik. 

Aku gugup. Sungguhan. 

Terakhir kali gugup begini waktu akan mengikuti wawancara kerja di Media Nusantara. Gugup karena aku begitu menginginkan posisi itu. 

Walau latar belakang pendidikanku adalah ilmu komputer, tapi hobi sekaligus passion utamaku adalah dunia fotografi. Aku menyukai sensasi memandang dunia melalui sebuah lensa kecil, lalu mengabadikannya.

Reina saat itu tersenyum manis, membuat jantungku detaknya berkali lipat lebih kencang. Aku takut membalas senyumnya. Aku hanya ingin menikmati moment itu.

Sore itu, kami terlambat tiba di gedung teater. Seolah semesta sedang mengarahkan aku dan Reina untuk mengobrol banyak. Kami menghabiskan waktu sepanjang sore dengan ngobrol santai. Lebih tepatnya aku mendengarkan Reina berkisah.

Sejak awal berangkat, aku sudah merasa ada sesuatu yang berbeda darinya. Walau dia selalu tersenyum, tapi senyum itu berbeda dengan yang biasa terekam di benakku. Aku tahu, dia sedang merasa sedih. Walau tak tahu penyebab sedih itu, aku hanya ingin bersamanya. 

Tak lama suasana mencair. Dia mulai terbuka padaku. Ternyata Reina adalah tipe wanita yang tak suka dikejar-kejar, tak suka diminta melakukan sesuatu. Dia akan bercerita saat ingin. 

Mungkin aku sudah mulai mendapatkan kepercayaannya sejak dia kuantarkan pulang malam itu. Reina bercerita tentang penyebab kesedihannya. Nama Fahri disebutnya dengan nada merana. Fahri lagi.

Katanya, Fahri berselisih dengan istrinya.

Katanya, Fahri sangat sedih.

Lalu katanya, Fahri menghilang.

Aku mengangguk-angguk seperti biasa, saat ada orang yang bercerita padaku. Biasanya cerita orang itu aku abaikan saja, langsung kulupakan setelahnya. Tak jarang aku beranjak pergi saat ada seseorang yang ingin berkeluh kesah di hadapanku. Tapi karena yang bercerita di hadapanku adalah Reina, maka dengan sukarela kudengarkan kegelisahannya tentang Fahri dengan sangat seksama. 

Baru kali ini kulihat Reina menampakkan emosinya. Matanya berkaca-kaca, dia berkisah dengan bibir bergetar. Sesekali dia menarik napas panjang. Usaha yang bagus untuk menahan air mata yang sudah mengambang di pelupuk matanya. Matanya yang indah itu tampak berkabut.

Ingin memeluknya, tapi tak mungkin. Bisa-bisa aku kehilangan dia saat itu juga. 

Maka, aku mendengarkan semuanya. Setiap kata, setiap hela napasnya. Setiap kali pula ada retakan kecil di dalam hatiku. Cemburu? Tak mungkin. Tak pantas aku cemburu. Siapalah aku baginya. Nobody.

Cukuplah otakku merekam kebersamaan ini, mendengarkan suaranya saja sudah membuatku bahagia. Bisa duduk berhadapan dengannya, adalah suatu anugerah besar untukku.

Hari itu aku mengetahui, hati Reina telah berada dalam genggaman Fahri, bahkan tanpa dia sadari. Tapi ada sesuatu di dalam diri Reina yang menimbulkan keinginan besar dalam diriku untuk merebutnya dari Fahri, sebelum dia menyadari perasaannya sendiri.

Keputusan sudah kubuat. Aku ingin memiliki Reina.  

---

Aku tahu, mengambil hati Reina dari genggaman Fahri itu nyaris mustahil. Tapi hanya nyaris. Tak ada yang mustahil. Masih ada peluang. Karena Reina bahkan sangat naif untuk menyadari besarnya cinta lelaki itu padanya.

Aku mulai mendekatinya, awalnya dengan cara mengambil hati anak-anak yang dia sayangi sepenuh hati. Arya, Salsa, dan Anna. Anna, putri Fahri.

Ternyata tak sulit melakukannya. Anak-anak itu sangat mudah dicintai. Tatapan polos dan ocehan mereka membuatku langsung menyukai ketiga anak itu. Terutama Salsa. Di awal bertemu, gadis cilik itu memanggilku "Om Ayam". Aku nyaris terbahak mendengarnya, tapi kutahan, jangan sampai Salsa tersinggung.

Salsa kecil pernah berbisik padaku, "Om Ayam, jangan bikin Bunda nangis ya. Awas!" Lalu mata bulatnya memelototiku.

Aku bertanya, "Memangnya Bunda pernah nangis?"

"Pernah, waktu Ayah pergi dari rumah," ucapnya pelan. 

"Juga waktu Om Fayi tidak datang-datang," lanjutnya dengan wajah menunduk.

"Adek tidak mau Bunda menangis lagi," katanya lagi dengan tatapan mengancam. Lucu.

Aku tersenyum. Kuraih kepalanya ke dalam pelukan, dan menjawab, "Iya."

---

Pendekatanku ke Reina berjalan lancar. Dalam beberapa bulan, usahaku berbuah manis.

Saat akhirnya kuungkapkan perasaanku padanya, dia terkejut. Reina memintaku berpikir panjang. Dia mengatakan semua kekhawatirannya. Tentang statusnya. Tentang anak-anaknya. Tentang kerumitan hidup. Bahkan tentang aku yang dianggapnya tak mengerti arti cinta.

Aku memahami jalan pikirannya. Setiap orang yang mengetahui hubungan kami, pasti akan berpikiran sama.

Reina janda beranak dua, aku lelaki single. Bahkan usianya lebih tua dariku. Masyarakat kita masih sangat sensitif tentang masalah itu.

Namun entah mengapa aku tidak peduli. Persetan apa kata mereka. Ini hidupku. Aku mau Reina.

Saat kutekankan bahwa aku tidak peduli dengan semua itu, hati Reina pun luluh. Dia akhirnya menerima perasaanku, dan menjadi kekasihku. Itu mungkin adalah hal paling indah yang pernah terjadi. Wanita sederhana bermata indah itu, selangkah lagi menjadi milikku. Akhirnya.

Aku mulai bersikap overprotective padanya. Tak ada satu lelakipun yang boleh mendekatinya. Teringat percakapan teman-teman sekerja kami di kantor lama dulu, betapa mereka membicarakan Reina dengan cara yang tidak sopan menurutku.

Mereka bilang Reina cantik, bahkan sampai ada yang menggodanya, bergenit-genit setiap ada kesempatan. Reina tidak pernah mempedulikan mereka, dia tetap dengan gayanya yang santai, anggun, namun tetap tegas. 

Aku yang naik darah setiap mengingat hal itu. Sekarang dia sudah resmi menjadi calon istriku. Dia milikku. Aku wajib melindunginya.

Masalahnya, Fahri selalu ada di sekeliling Reina. Fahri adalah lelaki yang paling pertama ditemuinya setiap pagi. Aku tidak suka. Cemburu membakar dadaku.

Sampai akhirnya hari itu aku akhirnya berhadapan dengan Fahri. Dia menatapku dengan sorot mata tajam. Agak mengerikan sebenarnya. Tapi kuputuskan untuk tetap menghadapinya tanpa rasa takut.

"Lu yang namanya Adam?" tanyanya dengan nada tak bersahabat.

Kuiyakan pertanyaan itu. 

Saat Reina tak ada di dekat kami, Fahri berbicara blak-blakan padaku.

"Lu serius sama Reina?" tanyanya tanpa basa basi.

"Iya," jawabku sambil menantang matanya. 

Matanya menatapku lekat, seolah ingin menggali rahasia terdalam, seolah ada yang sedang kusembunyikan. 

"Cinta sama dia?" tanyanya lagi.

Aku menganggukkan kepala satu kali dengan cepat. 

"Gue juga," katanya pendek. 

Aku sudah menduganya. Lelaki ini memang mencintai Reina. Bukan sebagai sahabat, tapi lebih dari itu.

Aku hanya diam, menunggunya melanjutkan percakapan ini.

"Gue cinta dia sejak kami masih remaja," dia berkata pelan. 

"Dia ngga pernah tahu perasaan gue. Dan gue biarkan tetap seperti itu," lanjutnya.

"Lebih baik dia nggak usah tahu," kata Fahri, nyaris berupa bisikan.

Aku putuskan untuk bertanya, "Kenapa nggak bilang sama dia?"

Fahri menyeringai, "Karena gue takut kehilangan dia. Bego."

"Lu tahu, gue selama ini menjadi siapapun yang dia inginkan. Kakak? Adik? Teman berantem? Sahabat? Semuanya. Kecuali kekasih," tutur Fahri sambil menundukkan kepala.

"Kekasih adalah seseorang yang bisa dengan gampang menyakiti hati, sekecil apapun masalahnya. Kalau sahabat, akan lebih mudah memaafkan," ujarnya.

"Reina terlihat bahagia dengan hubungan kami. Dia baik-baik aja," katanya sambil tersenyum miring.

Dia melanjutkan, "Dan itu sudah cukup buat gue. Asalkan dia bahagia, gue bahagia."

Aku tak mampu berkata-kata. Lelaki di hadapanku ini sangat mengintimidasi dengan mengatakan semua itu. Setiap ucapannya membuatku merasa mengecil di hadapannya.

Sebesar itukah cintanya? Senaif itu? Mana ada perasaan sebodoh itu? Cinta itu harus memiliki. Kalau tidak bisa memiliki, artinya kau tidak memperjuangkannya. Lalu buat apa ada cinta? 

Aku mengerenyit tanpa sadar.

Tiba-tiba Fahri berkata, "Nah, sekarang udah ngerti, kan? Gue dan Reina terikat kuat, jauh sebelum lu kenal dia."

"Jadi, kalo nekat mau ngelarang gue deket sama dia, percuma. Lu hanya akan menyakiti dia," ujarnya serius.

Aku masih diam. Sangat mengerti maksudnya.

"Jadi, maksud lu apa," aku bertanya, hanya untuk memastikan kembali.

"Pake nanya... Gini, Reina udah jelas suka sama lu, Dam. Gue ngerti. Sikapnya menunjukkan itu. Gue ketemu dia tiap hari, gue tau banget," selorohnya. Senyum pedih mengembang di wajahnya.

"Sekarang, gue tanya, apakah lu yakin bisa membahagiakan dia?" tanyanya sambil menatapku tajam.

"Kalo ngga yakin, mending lu mundur sekarang. Jauhi Reina," tandasnya. Matanya berapi-api.

Jelas sudah. Fahri menawarkan sebuah pertarungan denganku. Dia ingin aku mundur. 

"Gue mencintai Reina, Ri," kataku tegas. 

"Dan gue ngga akan mundur begitu aja," ujarku lagi.

Aku melanjutkan dengan nada tegas, "Gue ngerti, ngga akan bisa misahin kalian, hubungan kalian terlalu kuat. Tapi gue minta lu juga adil."

"Selama ini lu ngga berani ngungkapin perasaan ke Reina. Lalu saat dia suka sama gue, lu minta gue mundur. Itu ngga bener," kataku sambil terus menatap matanya.

"Reina ngga bisa diikat dengan cara seperti itu, Ri. Ngga adil buat dia." Kataku.

"Sekarang, gue tantang lu ngakuin perasaan ke Reina. Persis seperti yang tadi lu omongin ke gue. Kalo berani ambil resiko itu, dan Reina milih lu, gue akan mundur." Pungkasku.

Dia diam, seolah berpikir keras.

Aku menunggu. Sebenarnya aku takut dia akan menerima tantanganku. Rasanya aku akan kalah jika harus bersaing dengan Fahri. 

Kami berdua terdiam cukup lama.

Lalu akhirnya Fahri menghela napas panjang, menundukkan kepala. Sebentar kemudian, dia mengangkat kepala, senyum miring tersungging di bibirnya.

"Oke, Dam," ujarnya.

"Lu benar, gue ngga berani ngungkapin ini ke Reina. Resikonya terlalu besar. Gue bisa kehilangan dia," nada bicaranya begitu sedih.

Aku mengerti. Dia memilih merelakan Reina untukku, karena tidak yakin wanita itu mencintainya atau tidak. Lelaki sekuat dia ternyata bisa sangat lemah jika menyangkut urusan Reina.

Aku mengangguk. Kesepakatan sudah dibuat. 

Fahri berkata lagi, "Tolong jaga Reina. Gue percaya sama lu."

Aku menyahut, "Siap."

Hari itu, satu beban telah terangkat dari pundakku. Fahri tak perlu dikhawatirkan. Dia tipe laki-laki yang akan selalu memegang janjinya.

Dia takkan menjadi halangan hubunganku dengan Reina.

---

Sekarang tinggal satu langkah lagi. Aku harus mempertemukan Reina dengan kedua orang tuaku. Setelahnya, aku akan melamar Reina, dan menghabiskan sisa usia bersamanya.

Malam itu juga, aku menghadap Mama Papa, dan menceritakan tentang Reina sekaligus meminta restu mereka. Mama Papa saling berpandangan saat aku selesai bercerita tentang Reina.

"Kamu yakin, Dam? Janda dua anak?" tanya Mama hati-hati.

"Yakin, Mah," jawabku tegas.

Papa menyambar, "Berpikir panjang, Dam. Jangan hanya mengikuti hawa napsu."

Aku menatap Papa, "Adam tidak pernah mencintai wanita lain seperti ini, Pa. Adam mau Reina." 

"Dia janda! Apa kamu ngga punya teman dekat yang masih gadis?" suara Papa mulai meninggi.

"Punya! Banyak. Tapi tak ada yang seperti Reina." Aku menjawab dengan suara tak kalah keras.

Mama memegang tangan Papa, menenangkannya.

"Sudah, sudah. Adam, Mama mau ketemu Reina. Bisa kapan?" tanya Mama lembut.

"Kapan saja Mama ada waktu," sahutku pelan.

"Baik, pertemukan kami. Nanti baru kita putuskan, layak atau tidakkah dia menjadi istrimu," kata Mama tegas.

Papa diam saja. Membatu menatapku dengan marah.

---

Beberapa hari kemudian, aku berhasil mengatur pertemuan Mama dan Reina. Walau hanya sebentar, cukup menegangkan.

Sepulang dari rumah Reina, Mama lebih banyak diam sepanjang jalan.

"Mah." Aku memulai percakapan.

"Ya," sahut Mama tanpa menoleh ke arahku.

"Bagaimana menurut Mama?" tanyaku. 

Mama menghela napas panjang.

"Reina kelihatannya wanita yang baik, Dam. Mama menyukainya."

"Tapi?" Desakku.

"Tapi Mama tidak yakin Papamu akan setuju," ujar Mama. Nada suaranya sedih.

"Mama pasti bisa meyakinkan Papa kan?" Ujarku lagi. Memaksa.

"Entahlah." Mama menjawab pendek.

Aku merasa panik mulai melanda. Mama adalah orang yang selalu mampu membuat Papa melakukan apapun. Dan saat ini Mama merasa tidak yakin. 

---

Waktu terus berlalu.

Mama tak henti-henti mencoba menyampaikan pendapat pribadinya tentang Reina kepada Papa. Menggambarkan betapa cantik, lembut, dan baiknya dia. Bahwa segala yang ada pada Reina belum tentu ada di diri wanita lain, khususnya yang belum pernah menikah.

Dalam setiap kesempatan, aku dan Mama terus mencoba meluluhkan hati Papa. Setiap kali pula Papa menolak.

Akhirnya, aku memutuskan bertemu Reina dan menyatakan niat untuk melamarnya. Kukatakan bahwa setelah menikah nanti, aku akan membawanya pergi. Entah mengapa, rasanya aku sudah nyaris putus asa dengan sikap Papa.

Aku bahkan sudah bilang ke Reina, kami akan memulai segalanya dari nol. Aku berniat pindah kerja ke daerah lain. Menjauh dari Jakarta dan segala keruwetannya. Reina saat itu terlihat ragu, namun dia mengatakan siap saat kukatakan akan membawa kedua orang tuaku untuk melamarnya.

Aku sangat bahagia. Dalam hati berharap ada mukjizat yang dapat membuat Papa Mama bisa benar-benar melakukan itu.

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Arion
978      553     1     
Romance
"Sesuai nama gue, gue ini memang memikat hati semua orang, terutama para wanita. Ketampanan dan kecerdasan gue ini murni diberi dari Tuhan. Jadi, istilah nya gue ini perfect" - Arion Delvin Gunadhya. "Gue tau dia itu gila! Tapi, pleasee!! Tolong jangan segila ini!! Jadinya gue nanti juga ikut gila" - Relva Farrel Ananda &&& Arion selalu menganggap dirinya ...
An Invisible Star
1776      931     0     
Romance
Cinta suatu hal yang lucu, Kamu merasa bahwa itu begitu nyata dan kamu berpikir kamu akan mati untuk hidup tanpa orang itu, tetapi kemudian suatu hari, Kamu terbangun tidak merasakan apa-apa tentang dia. Seperti, perasaan itu menghilang begitu saja. Dan kamu melihat orang itu tanpa apa pun. Dan sering bertanya-tanya, 'bagaimana saya akhirnya mencintai pria ini?' Yah, cinta itu lucu. Hidup itu luc...
Daniel : A Ruineed Soul
529      301     11     
Romance
Ini kisah tentang Alsha Maura si gadis tomboy dan Daniel Azkara Vernanda si Raja ceroboh yang manja. Tapi ini bukan kisah biasa. Ini kisah Daniel dengan rasa frustrasinya terhadap hidup, tentang rasa bersalahnya pada sang sahabat juga 'dia' yang pernah hadir di hidupnya, tentang perasaannya yang terpendam, tentang ketakutannya untuk mencintai. Hingga Alsha si gadis tomboy yang selalu dibuat...
Aku menunggumu
4536      955     10     
Romance
Cinta pertamaku... dia datang dengan tidak terduga entahlah.Sepertinya takdirlah yang telah mempertemukan kami berdua di dunia ini cinta pertamaku Izma..begitu banyak rintangan dan bencana yang menghalang akan tetapi..Aku Raihan akan terus berjuang mendapatkan dirinya..di hatiku hanya ada dia seorang..kisah cintaku tidak akan terkalahkan,kami menerobos pintu cinta yang terbuka leb...
FAKE NERD AND BLIND ALPHA
2305      866     4     
Fantasy
Seorang Alpha buta berjuang menjaga matenya dari garis taqdir yang berkali-kali menggores kebahagian mereka. Jika jarum runcing taqdir mengkhianati mereka, antara cinta ataukah kekuatan yang akan menang?
injured
1223      660     1     
Fan Fiction
mungkin banyak sebagian orang memilih melupakan masa lalu. meninggalkannya tergeletak bersama dengan kenangan lainya. namun, bagaimana jika kenangan tak mau beranjak pergi? selalu membayang-bayangi, memberi pengaruh untuk kedepannya. mungkin inilah yang terjadi pada gadis belia bernama keira.
Ending
4641      1203     9     
Romance
Adrian dan Jeana adalah sepasang kekasih yang sering kali membuat banyak orang merasa iri karena kebersamaan dan kemanisan kedua pasangan itu. Namun tak selamanya hubungan mereka akan baik-baik saja karena pastinya akan ada masalah yang menghampiri. Setiap masalah yang datang dan mencoba membuat hubungan mereka tak lagi erat Jeana selalu berusaha menanamkan rasa percayanya untuk Adrian tanpa a...
Reminisensi Senja Milik Aziza
771      397     1     
Romance
Ketika cinta yang diharapkan Aziza datang menyapa, ternyata bukan hanya bahagia saja yang mengiringinya. Melainkan ada sedih di baliknya, air mata di sela tawanya. Lantas, berada di antara dua rasa itu, akankah Aziza bertahan menikmati cintanya di penghujung senja? Atau memutuskan untuk mencari cinta di senja yang lainnya?
A Story
243      194     2     
Romance
Ini hanyalah sebuah kisah klise. Kisah sahabat yang salah satunya cinta. Kisah Fania dan sahabatnya Delka. Fania suka Delka. Delka hanya menganggap Fania sahabat. Entah apa ending dari kisah mereka. Akankah berakhir bahagia? Atau bahkan lebih menyakitkan?
Love Dribble
9503      1689     7     
Romance
"Ketika cinta bersemi di kala ketidakmungkinan". by. @Mella3710 "Jangan tinggalin gue lagi... gue capek ditinggalin terus. Ah, tapi, sama aja ya? Lo juga ninggalin gue ternyata..." -Clairetta. "Maaf, gue gak bisa jaga janji gue. Tapi, lo jangan tinggalin gue ya? Gue butuh lo..." -Gio. Ini kisah tentang cinta yang bertumbuh di tengah kemustahilan untuk mewuj...