Aku Adam. Lelaki dengan sayap yang patah.
Ada seorang wanita yang telah menghantamkan hatiku ke bumi hingga hancur berkeping. Wanita biasa bermata indah, namanya Reina.
Inilah kisahku.
---
(5 tahun yang lalu....)
Semuanya bermula di awal bulan Februari. Pagi itu matahari bersinar malu-malu.
Aku baru saja masuk ke lobi kantor saat kulihat dia.
Wanita itu kuperkirakan berusia sekitar 20 tahunan, bertubuh langsing, tingginya sedang, dengan pakaian muslimah simpel semi formal, khas pekerja kantoran.
Dia sedang berdebat dengan petugas security lantai dasar. Sepertinya dia memaksa masuk, tapi tidak punya ID khusus pekerja. Wajahnya putihnya terlihat memerah, tangannya sibuk mencari-cari sesuatu di dalam tasnya.
"Saya pegawai baru lantai 6, Pak. Baru masuk hari ini," katanya mencoba menjelaskan.
"Maaf mbak, kalau tidak ada ID, tidak boleh masuk," pak satpam berkata tenang.
"Ini hari pertama saya, Pak. Saya sudah terlambat!" ujarnya agak keras, nyaris menangis.
"Mbak pegawai perusahaan apa? Biar saya telepon ke atas untuk memastikan," sahut pak satpam lagi.
"PT. Media Nusantara," sahutnya pendek.
Itu tempatku bekerja. Sudah pukul 8 kurang, akupun sudah akan terlambat tiba di kantor. Perdebatan wanita itu dengan petugas security menghambat jalanku.
Aku mendesak ke samping, lalu menunjukkan IDku kepada pak satpam yang langsung menyapaku dengan akrab.
"Eh, mas Adam. Selamat pagi."
"Pagi," jawabku. Tak suka basa basi.
Pak satpam menahan langkahku.
"Mas Adam, mbak ini memaksa masuk. Katanya dia anak baru di tempat kerja Mas Adam. Media Nusantara," katanya.
Kulirik sekilas wanita itu. Dia balas melirikku. Tatapannya sungguh tajam. Tapi matanya indah sekali.
Aku melengos, "Ya kalo ngga ada ID, jangan boleh masuk, Pak."
Lalu aku melangkah masuk, meninggalkan wanita itu dengan wajahnya yang semakin memerah.
---
Masuk ruangan, Nata memanggilku.
"Oi. Dam!"
Kuhampiri bos sekaligus teman dekatku sejak SMA itu. Nampaknya ada kabar baik yang ingin disampaikannya.
"Kantor kita udah dapat PR baru!" Ujarnya bersemangat.
"Oh, PR. Public Relations? Humas?" jawabku. Lalu kenapa kalau ada anak humas baru?
"Dia bakal banyak bantu kita ngurusin iklan. Dia bisa riset juga," kata Nata lagi, masih girang.
"Oke," jawabku singkat. Aku hanya ingin segera masuk ke ruangan dan memproses hasil hunting fotoku tadi malam.
"Setengah jam lagi, meeting. Sekalian kenalan sama anak baru!" Instruksi.
"Oke, bro", jawabku sambil lalu, dan melangkah masuk ke ruang kerjaku.
Foto untuk terbitan berikutnya harus segera dipilih. Aku menyukai pekerjaan yang selesai tepat waktu.
---
Meeting pagi.
Saat aku masuk ruang meeting, semua sudah ada di sana. Lagi-lagi aku yang paling terakhir muncul.
Wanita bermata indah itu ada di sana. Duduk di ujung meja, di sebelah Nata. Matanya menancap kepadaku. Tatapan yang sungguh galak. Aku menatapnya balik. Dia mengalihkan pandangan, lalu Nata mempersilahkannya memperkenalkan diri.
Dia berdiri dan mulai berbicara.
"Selamat pagi. Nama saya Reina Tunggadewi. Biasa dipanggil Reina atau Rei. Saya staf humas yang baru. Terima kasih sudah menerima saya." Dia tersenyum manis.
"Single atau dobel nih?" Seseorang nyeletuk. Norak.
Reina tersenyum lagi, "Sudah menikah, Pak, anak saya ada 2 orang."
Ramailah suara para pegawai lelaki bersahut-sahutan di ruangan ini, seolah menyesali. Padahal kalaupun anak baru itu single, memangnya mau sama mereka? Norak.
Aku melengos lagi.
"Oh ya, terima kasih untuk mas Adam di ujung sana, dia banyak membantu saya pagi ini," kata Reina sambil matanya menatap ke arahku. Bibirnya tersenyum sinis.
Aku menjawab, "Sama-sama".
"Wooooo, Jones! Tau aja kalo ada cewek cantik, langsung dibantu!" teriak salah satu teman.
Semua di ruangan itu tertawa riuh. Aku tidak suka keramaian penuh basa basi seperti ini. Apalagi anak baru itu baru saja menyindirku.
"Rapatnya jadi ngga nih, kalo ngga gua balik ke ruangan," kataku lantang.
Perlahan suara-suara itu menghilang, lalu semua kembali sibuk dengan berbagai kertas di hadapannya, sambil menghadap ke arah Nata.
Aku tersenyum simpul.
Reina melirikku sekilas, lalu menoleh ke arah Nata untuk mengikuti arahannya.
---
Aku termasuk pegawai yang jarang di kantor. Pekerjaan sebagai jurnalis sekaligus fotografer menuntutku lebih banyak bekerja di luar sana.
Sesekali saat jam makan siang, tim kami berkumpul untuk membahas berbagai isu terkini. Reina selalu hadir. Nata sangat mengandalkan hasil riset pasar yang dilakukan wanita itu. Walau itu bukan tugas utamanya, namun Reina selalu punya energi lebih untuk mengumpulkan data dan membuat riset kecil-kecilan untuk perusahaan ini.
Reina itu cerdas, lembut, sekaligus tegas. Setiap menyampaikan presentasinya, dia selalu mendapatkan perhatian penuh dari para pimpinan. Tapi itu tidak membuatnya tinggi hati. Terlihat dari sikap semua orang kepadanya, mereka menyukai Reina. Tak sedikit dari mereka, khususnya pegawai laki-laki, berlomba mencuri perhatiannya, mengajak ngobrol basa basi, bahkan ada yang nekat mendekatinya dengan cara yang tidak wajar.
Seolah mereka lupa, Reina itu istri orang! Dasar orang-orang bodoh.
Aku sering mendengar percakapan antar teman lelaki di kantor ini tentang Reina. Beberapa membuat kupingku panas. Mereka membicarakan kesempurnaan fisiknya, senyum manis, bahkan caranya berjalan. Risih mendengarnya!
Lambat laun Reina mulai dekat denganku dan Nata. Sikapnya yang tenang dan santun, ditambah selera humor tinggi membuatnya mudah bergaul dengan siapa saja. Beberapa kali kami bertiga sering berkumpul bersama ketiga sahabatku yang lain, Diny staf bagian legal, dan pasangan kocak Rafi dan Melly. Aku pribadi paling menyukai tawa Reina. Tawa itu terdengar begitu merdu, menulari siapapun di sekelilingnya.
Tanpa kusadari sejak kapan, Reina menjadi salah satu manusia favorit yang selalu membuatku bersemangat bangun pagi lalu bergegas menuju kantor. Namun tetap kujaga jarak, bagaimanapun dia sudah berkeluarga.
Dalam beberapa kesempatan, aku berpapasan dengannya di musholla kecil kantor kami. Dia keluar dari ruang wudhu, lengan bajunya masih tergulung di atas siku. Menampakkan sebagian lengannya yang putih mulus.
Aku langsung menegurnya.
"Rei, tanganmu kelihatan. Tutup lagi!"
Dia lalu melepaskan gulungan lengan bajunya sambil mengerucutkan bibir. Lucu.
"Makasiiih, pak Ustad," katanya sambil tersenyum.
Aku melengos, lalu pergi dari situ.
---
Siang itu Diny mengundang kami berlima makan siang bersama. Sahabatku itu berulang tahun hari ini. Sudah kusiapkan hadiah untuknya.
Kami bertemu di Kafe Menteng. Saat aku tiba di sana, sudah ada Diny, Nata, Rafi, dan Melly, sahabat-sahabatku yang lain. Mereka melambaikan tangan saat melihatku.
"Bawa apa, Dam?" tanya Diny saat melihat bungkusan berbentuk pipih di tanganku.
"Hadiahmu," ucapku sambil menyodorkan benda itu kepadanya.
Dibukanya hadiahku dengan tidak sabar, lalu menjerit senang. Gambar diri Diny yang sedang tersenyum di dalam frame hitam elegan.
"Huaaa, foto gue, kenapa jadi cakep gini, Daaaam? Makasih yaaaa..." lalu Diny berdiri dan memelukku.
Tiba-tiba Reina muncul dengan napas sedikit ngos-ngosan.
"Haii! Sorry telat!" Lalu dia tersenyum lagi. Dan kenapa senyumnya manis sekali?
Refleks kulepaskan pelukan Diny.
"Hahaha... Rekor Adam dikalahkan sama Reina!" kata Rafi tiba-tiba sambil tertawa.
"Rekor apa?" tanya Reina bingung.
"Rekor telat!" kata mereka berempat bersamaan.
Lalu para sahabatku tertawa berderai.
Aku tersenyum. Ada-ada saja.
---
Hari itu kami membahas usia. Aku baru tahu, usia Reina setahun lebih tua di atasku. Tak dapat dipercaya.
Dia terlihat lebih muda, mungkin karena tubuhnya yang mungil dengan pembawaan yang ceria.
Ditambah tawa spontan yang sering muncul saat teman-teman membuat lelucon. Padahal menurutku lelucon itu basi. Reina terlalu sering tertawa. Tawanya terlalu memikat. Agak mengganggu. Entah kenapa.
Kugelengkan kepalaku. Istri orang, Dam. Back off.
---
Reina pernah memintaku memotret dia dan suaminya, Dirga. Mereka ingin membuat foto romantis dalam rangka ulang tahun pernikahan mereka yang ke-5.
Hari itu mereka datang berdua ke studio fotoku. Reina masih dengan senyum manis dan tawa renyahnya. Sementara Dirga?
Ah, lelaki suami Reina ini jauh dari bayanganku selama ini. Kupikir suami Reina adalah lelaki tampan, ramah, supel, lucu, enak diajak ngobrol, atau apalah. Pokoknya yang mirip Reina. Ternyata tidak.
Dirga tampan, tapi auranya terasa tidak menyenangkan. Dia angkuh. Saat kami diperkenalkan, dia menjabat tanganku dengan gaya formal, lalu melihat sekeliling.
Selama sesi pemotretan, Dirga tidak banyak bicara. Mimik wajahnya seperti anak kecil yang dipaksa melakukan hal yang tidak disukai. Dia bahkan sempat membentak Reina saat wanita itu mencoba memintanya tersenyum lagi.
Aku yang memintanya melakukan itu, karena menurutku senyum Dirga ke istrinya tidak menampakkan kasih sayang sama sekali. Senyumnya hambar.
"Apaan sih!" sentak lelaki itu.
"Senyumku ya begini, apa lagi?" Nadanya cukup keras.
Reina terkesiap, lalu memandangku dengan tatapan meminta maaf.
"Sorry, Mas Dirga. Coba tatap Reina, senyum alami aja, mungkin sambil membayangkan masa pacaran dulu," kataku berusaha mencairkan suasana.
"Alah! Lama. Udahlah, Rei. Dari tadi teman kamu ini macem-macem aja permintaannya." sergahnya sambil bergerak menjauh.
"Sorry kalo lama, saya hanya mau hasilnya bagus, Mas," ujarku mencoba menahan sabar.
"Bagus atau ngga, bukan urusan saya! Itu tugas kamu. Yang motret kan kamu," ujarnya. Arogan sekali.
Aku menatap Reina yang sekarang menunduk. Dia malu sepertinya, melihat sikap suaminya.
"Oke, Mas. Sudah selesai," kataku sambil menutup lensa kamera, dan keluar dari ruangan itu. Emosiku harus tetap terjaga, demi Reina.
Lamat-lamat kudengar percakapan Reina dan suaminya. Mereka bertengkar. Suara Dirga yang keras terdengar sangat marah.
Aku menghela napas panjang.
Drama pernikahan. Syukurlah aku belum menikah. Jomblo ngenes, kata teman-temanku. A free soul, kataku.
---
Sejak kejadian itu, hubunganku dan Reina menjadi lebih santai. Aku tidak pernah menyinggung apapun tentang suaminya. Dia menghargai sikapku yang terkesan tak peduli.
Setiap berkumpul dengan Para Sahabat, dan Reina menceritakan tentang masalah dengan suaminya, aku tidak pernah menanggapi. Harus mengatur emosi baik-baik. Entah mengapa, bahasan itu terasa mengganggu.
Sampai suatu saat Reina bercerita tentang kecurigaan kepada suaminya. Dia menemukan percakapan mesra suaminya dengan perempuan lain di HP Dirga. Saat menceritakan itu, wajah yang biasa ceria, terlihat mendung.
Hatiku terasa perih melihat Reina seperti itu. Dia salah satu teman dekatku, wajar aku sedih, kan?
Rafi dan aku memutuskan akan melakukan investigasi kecil-kecilan secara pribadi. Kami memantau pergerakan Dirga. Itu mudah sekali dilakukan, karena kami berdua jurnalis yang sudah biasa memata-matai target.
Akhirnya setelah 1 bulan mengikuti pergerakan Dirga, aku dan Rafi mendapatkan banyak bukti berupa foto-foto Dirga berdua dengan selingkuhannya. Dengan berat hati, kami sampaikan bukti-bukti itu kepada Reina.
Rafi yang memberitahu Reina. Aku hanya diam di sampingnya. Kuamati reaksinya. Tak tega.
Tapi di luar dugaan, Reina malah berkata, "Oh, perempuan ini lagi. Pacar lama Dirga. Aku sudah pernah melabraknya. Nggak kapok rupanya." Lalu wanita itu menarik napas panjang, kepalanya ditundukkan. Menangiskah dia? Aku bertanya dalam hati.
Sesaat kemudian, wajahnya kembali terangkat menghadap kami, bibirnya tersenyum. Senyum yang mengibakan.
"Makasih ya, Rafi, Adam... Foto-foto ini buat aku?" Katanya.
Kami berdua mengangguk.
Reina mengemasi foto-foto itu, lalu melangkah pergi dengan tenang.
Sungguh reaksinya di luar dugaanku. Biasanya wanita yang mengetahui perselingkuhan suaminya akan marah besar, ada yang mengamuk histeris, atau minimal menangis terisak. Tapi Reina berbeda. Dia memang wanita yang aneh. Aneh yang menarik, menurutku.
---
Seminggu kemudian Reina mengumumkan rencana perceraiannya dengan Dirga. Dia telah mengusir Dirga keluar dari rumah.
Hatiku mencelos. Sedih mendengarnya. Tapi ada bagian lain dari hatiku yang bersorak girang.
Itu pasti setan, pikirku. Bukankah perceraian itu dibenci Allah? Segala yang tidak disukai Allah, adalah temannya setan. Berarti sedang ada setan di dalam hatiku. Logika sederhana.
---
Beberapa hari berikutnya, aku mendengar kabar dari teman-teman jurnalis bahwa telah terjadi pemukulan di lapangan parkir sebuah gedung kantor. Kantor Dirga.
Korbannya masih hidup, tapi wajahnya babak belur hingga susah dikenali lagi. Dia dipukuli seseorang yang mengenakan penutup wajah, sulit mengidentifikasinya.
Nama korban pemukulan itu, Dirga.
Lagi-lagi setan di dalam hatiku bersorak gembira.
---
Proses perceraian Reina - Dirga berjalan lancar. Diny membantu Rei dengan merekomendasikan pengacara yang terbaik.
Di hari persidangan putusan cerainya, aku datang ke Pengadilan Agama. Kulihat dia di sana bersama kedua orang tua dan seorang lelaki. Mungkin kakaknya. Mereka semua terlihat begitu saling menyayangi.
Aku tidak menghampiri mereka. Kuawasi saja ruang sidang itu, menunggu di salah satu sudut sambil terus mengucapkan doa terbaik untuk Rei dan keluarganya.
Saat kulihat dia keluar dari ruang sidang dengan tegak tanpa jejak air mata, hatiku lega. Apalagi melihat Dirga berjalan di belakangnya sambil menunduk. Tak ada seorangpun yang menyambutnya di luar. Bahkan perempuan selingkuhannya pun tak terlihat.
Aku bernapas lega, lalu segera berlalu dari sana, sebelum mereka mengenali sosokku.
---
Hari-hari berikutnya, kami berlima selalu memperhatikan Rei. Dia tampak baik-baik saja di permukaan. Itu mengkhawatirkan. Setahuku perceraian itu berat, apalagi jika penyebabnya adalah pengkhianatan. Ada temanku yang jadi gila setelah bercerai.
Rei memang jadi berbeda. Tapi berbeda yang bagus menurutku. Wajahnya lebih bersinar, seolah ada beban berat yang akhirnya terangkat dari pundaknya. Senyum dan tawanya masih menawan. Tubuhnya bahkan menjadi lebih bugar dan berisi.
Kuperhatikan dia menjadi lebih tenang dan religius. Di jam-jam tertentu aku mendapatinya sedang duduk di mushola sambil membaca ayat-ayat Al Qur'an dengan suara pelan.
Mungkin memang ada perceraian yang membawa kebaikan bagi yang mengalaminya, ya? Bless in disguise.
---
Tak lama, aku mengundurkan diri dari pekerjaanku di PT. Media Nusantara. Kedua orang tuaku bersikeras memintaku melamar sebagai abdi negara. Sebenarnya hatiku menolak, tapi Nisa, adik perempuanku pun ikut-ikutan membujuk.
Menurut keluargaku, bekerja sebagai PNS akan menjamin kesejahteraan keluarga di masa depan.
Alasan lainnya adalah agar aku mudah mendapatkan jodoh. Huh. Mengapa semua orang begitu sibuk dengan urusan jodoh ini?
Walau menikah itu adalah untuk menyempurnakan agamaku, tapi tak terbayangkan jika aku harus tergesa-gesa menikah hanya karena kedua orang tuaku ingin segera menimang cucu. Aku sering mengatakan pada mereka, jika ingin cucu, segera nikahkanlah adikku dengan pacarnya. Perkataanku disambut dengan protes berat dari Nisa.
"Kakak! Aku kan masih SMA!" teriaknya manja.
Akhirnya sebagai bentuk baktiku pada orang tua, akupun melamar ke salah satu Kementerian di Jakarta. Tak sulit. Aku lulus dengan nilai yang baik.
Kujalani pekerjaan sehari-hari dengan santai, sambil tetap mengelola studio foto kecilku.
Secara berkala, aku dan Para Sahabat bertemu, sekedar ngumpul bareng sambil membahas segala jenis topik pembicaraan yang super random.
Aku tak pernah banyak bicara, seperti biasa. Hanya melihat betapa sehat dan bahagianya para sahabatku, melihat Reina tersenyum, hatiku sudah tenang. Re-charge.