Read More >>"> LELAKI DENGAN SAYAP PATAH (Gadis Gigi Kelinci) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - LELAKI DENGAN SAYAP PATAH
MENU
About Us  

Hari demi hari terus berganti.

Usahaku dan Mama untuk melunakkan hati Papa terus berlanjut. Aku belum pernah sesungguh-sungguh ini meminta pada kedua orang tuaku. Aku mengemis, mengiba, memohon restu Papa untuk melamar Reina.

Namun Papa tetap pada pendiriannya. Pendapatnya tentang status Reina tidak berubah, bahkan Mama sudah kehabisan cara untuk membujuk. 

"Adam mencintai Reina, Pa!" ucapku keras.

Papa membentakku, "Dia janda! Hidupnya penuh masalah. Dia akan menyeretmu kedalam masalahnya!"

"Reina tidak seperti itu! Dia sangat tegar. Mampu menyelesaikan masalah apapun tanpa merepotkan orang lain." kataku keras.

Aku melanjutkan, "Cukup Papa Mama melamar dia untuk Adam, setelahnya kami pergi. Adam takkan pernah merepotkan Mama Papa lagi."

"Tidak. Papa tidak akan melamar wanita itu untukmu," kata Papa tegas. 

Aku berteriak sekarang, "Kalau begitu Adam akan melamarnya sendiri!" Emosiku memuncak.

Papa mengatupkan mulut. Tak lama suara Papa terdengar, "Kalau kau tetap menikah dengannya, maka kau bukan anak Papa lagi. Takkan ada rumah atau warisan apapun untukmu!" tandasnya.

Mata tajam Papa menatapku, lalu berdiri dan melangkah pergi.

Kutatap punggung Papa dan rasanya aku semakin marah. Aku terdiam, sangat kalut. 

"Adam," suara Mama bergaung di telingaku. Tangan lembutnya mengusap bahuku.

"Sudahlah, Nak. Turuti kata Papa, ini semua demi kebaikanmu."

Aku menggeleng keras. Tak mungkin aku berpisah dengan Reina. Membayangkannya saja sudah membuat dadaku sesak. Aku bisa mati.

Kutatap Mama, mata tuanya menatapku khawatir. Aku telah mengambil keputusan.

"Maafkan Adam, Mah," ucapku pelan.

Mama mendongak ke arahku, matanya memancarkan ketakutan.

"Adam akan melamar Reina sendiri. Papa Mama boleh hadir ke pernikahan kami nanti. Terserah." Dan aku berlalu.

Malam itu juga, kukemasi pakaianku. Beberapa barang pribadi, foto Reina yang berhasil kuambil secara sembunyi-sembunyi, dan dokumen penting, kujejalkan ke dalam ransel besarku. 

Adikku Nisa menangis, berusaha menahanku. "Kakak, jangan pergi...!" tangis Nisa sambil memelukku.

"Maafkan kakak. Kamu baik-baik, ya, jaga Mama Papa," kataku sedih. Kukecup puncak kepalanya, lalu melepaskan diri dari pelukan adikku satu-satunya.

Usaha Mama menahanku juga tak berhasil. Mama tidak menangis. Mata tuanya menatapku dengan sorot yang tak dapat kupahami.

---

Hari Rabu, tanggal 25 November. Hari yang kelak akan kuingat selalu seumur hidupku. Hari terburuk.

Malam itu, aku tidur di studio fotoku. Tidur yang sama sekali tak nyenyak.  Saat terbangun di pagi hari, kepala terasa pening. Kuputuskan tidak berangkat kerja, lalu melanjutkan tidur dengan perasaan yang masih tak keruan.

Aku terbangun tengah hari, tubuhku masih terasa tak enak. Segera kutunaikan sholat Dzuhur, mencoba mencari kedamaian dengan mengadu pada Sang Pencipta. 

Mengingat percakapan terakhir dengan Mama Papa semalam, aku jadi rindu pada Reina. Sudah kuputuskan, hari ini aku akan menemuinya. Aku akan menyampaikan niat nekatku melamarnya, tanpa kedua orang tuaku. Mungkin aku akan langsung menemui orang tua Reina dan memohon restu. Semoga mereka tak menganggapku calon menantu gila.

Kuremas kuat-kuat rambutku. Berharap dapat menghilangkan segala rasa tak keruan yang memenuhi rongga tubuhku.

Aku meraih HP dan memencet nomor telepon Reina. Beberapa kali dering, tak diangkat. 

Kulirik jam dinding, pukul 12.35, seharusnya dia sedang makan siang sekarang. Kenapa teleponku tak diangkat?

Aku terus menelponnya. Entah mengapa, jantungku berdebar sangat kencang. Reina tak kunjung mengangkat telepon. Itu bukan kebiasaannya.

Kutunggu beberapa saat. Mungkin dia sedang sholat. Detik demi detik berlalu. Kuamati terus layar HPku. Tak ada telepon atau pesan dari Reina. 

20 menit berlalu. Perasaanku tak enak. Tiba-tiba teringat tatapan Mama tadi malam. Kurasa ada kaitannya dengan Reina yang tak kunjung menjawab panggilan teleponku.

Kutelepon Mama, berharap perkiraanku salah.

"Halo, Adam," jawab Mama. Suaranya bergetar.

"Mama di mana?" Ujarku tanpa basa basi.

"Di kantor Reina," jawab Mama.

Petir menyambar dadaku. 

Suara Mama terdengar lagi, "Maafkan Mama, Adam. Terpaksa harus menceritakan segalanya ke Reina."

Dadaku terasa begitu sesak. Wajahku memanas. Sepertinya aku akan menangis. Terbayang wajah Reina, pasti dia terluka luar biasa.

Kuputuskan sambungan telepon Mama, lalu bergegas bersiap menuju kantor Reina. Studio fotoku hanya berjarak 10 menit dengan naik motor kesana. Kupacu motorku sambil dalam hati terus berdoa, semoga Tuhan masih memberiku kesempatan mendapatkan hati Reina. Dalam hati kecilku ada ketakutan jika ini adalah akhir kisahku dengannya.

Dadaku sesak. 

Tiba di kantornya, aku mendapat kabar kalau Reina mendadak ijin pulang cepat siang itu. Jantungku semakin berdegup kencang. Belum pernah aku setakut ini.

Aku memacu motor menuju rumah Reina bagai kesetanan. Tak peduli berapa lampu merah yang kuterobos. Aku hanya ingin segera bertemu dengannya. Tiba di sana, Reina tak ada. Kuputuskan menunggu. Bibirku terus mengucap segala permohonan kepada Sang Pemilik hati, agar Dia tak mengambil hati Reina dariku.

Tak lama, sebuah mobil berhenti di depan rumah. Mobil Fahri. Aku semakin takut. Walau kaca-kaca mobil itu tertutup, aku bisa merasakan kemarahan Fahri menguar melalui sela-selanya. Kukuatkan diri. Akan kuhadapi dia.

Ternyata hanya Reina yang turun dari mobil itu. Langkahnya teratur, sikapnya sangat tenang. Matanya menancap tepat ke arahku.

Mobil Fahri berlalu dengan kencang. Bisa kubayangkan, saat itu si pemilik mobil sedang berimajinasi membunuhku dengan berbagai cara.  

Saat itu Reina menatapku tajam. Sorot matanya begitu terluka. Dia membuatku merasa kecil di hadapannya. Dia mengakui bahwa Mama telah menemuinya dan menceritakan segalanya. 

Aku terpaku, hatiku memberontak. Kucoba meyakinkannya bahwa ucapan Mama tak pengaruhnya untuk hubungan kami.

Aku masih sangat mengingat setiap detail kata-katanya siang itu.

Reina berkata lantang, "Adam. Can't you see? Tidak mungkin kita bersama. Penjelasan ibumu sudah sangat kumengerti. Aku tak layak untukmu."

"Itu bukan keputusan mereka. Ini hidupku!" Ujarku tak kalah keras.

"Dam, kamu ingat, dulu kamu pernah bilang, orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Aku percaya itu," Reina mengingatkan, wajahnya memerah karena marah.

Dia melanjutkan, "Menurut mereka, saat ini kamu bisa jadi mencintaiku. Tapi pernikahan itu bukan hal mudah. Cinta bisa hilang. Bahkan saat kamu merasa cintamu abadi. Bullshit!".

Aku merasa tertampar. Reina murka.

"Ibumu benar. Orang tuamu benar. Kita tidak baik bersama." Ujarnya kemudian. 

Hatiku tercabik. Dia mengatakan itu dengan nada pasrah. Dia sudah menyerah.

Aku terdiam sejenak, lalu berkata, "Kamu mencintaiku, Rei?"

"Sangat." Jawabnya. Matanya berkabut.

"Lalu kenapa tidak ingin memperjuangkan rasa itu bersamaku?" tanyaku lagi.

Reina tersenyum, "Justru karena aku mencintaimu, aku harus menyelamatkanmu dari keputusan besar yang bodoh!" 

Masih tersenyum pahit, dia melanjutkan, "Justru karena aku ingin kamu bahagia, maka aku memilih tidak masuk ke dalam hidupmu yang sempurna." 

Hidupku sempurna? Batinku memberontak.

"Aku ini gelas yang pecah, Dam. Hatiku sudah patah. Kamu mungkin menganggap aku bisa disembuhkan, tapi percayalah, luka itu akan terus ada. Pecahan gelas itu bahkan mungkin bisa melukaimu lebih parah dariku," setengah berbisik dia mengatakannya.

Kalimat berikutnya semakin menghancurkan hatiku. 

"Anggaplah aku kuno. Tapi bagiku, sebuah hubungan yang tak direstui orang tua, takkan berhasil. Untuk hubungan normal saja sulit, apalagi hubungan tak normal macam kita," Reina tertawa pedih.

"Sudahlah, Adam. Jangan mau denganku. Cari cinta sejatimu sendiri. Berhentilah mencintaiku. Ya?" Putusnya.

Kalimat demi kalimatnya menghantamku. Menghancurkan hatiku berkeping-keping.

Kutatap wajahnya, mencoba mencari sesuatu di sana. Cinta? Sedikit saja? Tapi percuma. Tak ada cinta lagi di sana. Reina sudah sangat terluka. Dan akulah penyebabnya.

Mata indahnya masih menatapku, menusuki jantungku. Air matanya sebentar lagi akan mengalir, walau telah dicoba mati-matian menahannya. 

Aku tahu itu. Aku merasakan hal yang sama.

Gagal. Aku telah gagal menepati janjiku kepada Fahri. Juga kepada Salsa. Aku telah menyakiti Reina dengan sangat parah. Seorang laki-laki bukanlah lelaki sejati jika tak dapat memenuhi janji. Dan saat ini, rasanya semua sudah tak berarti lagi. Aku mundur. Tak cukup memiliki harga diri untuk berjuang lagi.

Aku manusia gagal.

Hari itu, Rabu 25 November, aku mengucapkan selamat tinggal pada kekasih yang telah kusakiti hatinya.

Sebagian jiwaku terasa kosong, kuputuskan untuk pergi. Berpisah memang lebih baik. Reina akan baik-baik saja bersama Fahri. Lelaki itu pasti selalu menjaganya sepenuh jiwa.

Selamat tinggal, Reina. Reina-ku.

----

Hari itu juga kuputuskan, aku harus pergi meninggalkan kota ini.

Aku tak bisa hidup di sini, kota yang ada Reina di setiap sudutnya. Kemanapun mataku memandang, kemanapun kakiku melangkah, ingatan tentang Reina terus muncul. Udara berwarna kelabu terasa mencekik. Jakarta membunuhku.

Awalnya aku mengajukan mutasi kerja ke Surabaya, alasannya ada salah satu adik Mama di sana. Tante Maryam selalu baik padaku, beliau pasti akan menerimaku jika pindah kesana. Mama juga bisa menengokku kapan saja.

Namun setelah kupikir lagi, aku tak ingin ditemukan. Aku ingin memulai hidup yang baru. Hidup baru, dimana tak ada siapapun yang mengetahui kisahku dengan Reina.

Saat kau ingin melupakan sebuah kenangan menyakitkan, sebaiknya lepaskan semuanya. Cabut hingga akar-akarnya. Pasti sakit. Tapi itu cara terbaik untuk mempercepat proses penyembuhan lukamu.

Akhirnya aku mengajukan pengunduran diri. Saat melakukannya, di dalam kepalaku, aku nyaris bisa membayangkan wajah Papa yang marah. Puas rasanya.

Aku lalu menjual studio foto, usaha yang kurintis sejak bertahun-tahun lalu. Terlalu banyak bayangan Reina di sana. Motor kesayangan juga kuputuskan dijual. Aku akan membutuhkan setiap receh yang bisa kukumpulkan, untuk membangun hidup baru nanti.

Langkah terakhir, walau berat. Aku keluar dari grup Para Sahabat. I just left. No explanation.

Nata menghubungiku detik itu juga.

"Dam, kenapa keluar grup?" Ujarnya.

"Ngga apa-apa," jawabku singkat.

"Ah, nggak mungkin! Kita ketemu, gue ke studio foto sekarang." Kata Nata, sambil memutus telepon.

Aku tahu, setelahnya dia pasti menelepon Reina. Dan para sahabat akan segera mengetahui semuanya. Tak apalah. Toh mereka sahabat kami. Memikirkan kata "kami" saja, hatiku berdenyut perih.

Saat bertemu Nata, kondisiku sangat menyedihkan. Orang bilang, patah hati itu sakit. Bohong. Patah hati itu menyiksa. Lebih dari sekedar sakit. 

Nata membawakan makanan untukku. Dipaksanya aku makan dulu. Aku mengunyah dan menelan, tapi tak bisa merasakan nikmatnya makan.

"Lu terakhir makan kapan, Dam?" Tanya Nata.

Kugelengkan kepala. Aku memang tidak ingat.

Nata berdecak kesal. Disodorkannya sebotol air mineral dingin ke tanganku.

"Minum," perintahnya.

Aku patuh. 

"Gue udah tau ceritanya dari Rei, and I'm sorry to hear that," ujar Nata.

Dia melanjutkan, "Apa yang bisa gue bantu, Dam?"

Aku masih diam. Di dalam kepalaku banyak kalimat yang ingin keluar. Aku ingin menanyakan kondisi Reina. Apa kabarnya? Apakah dia semenyedihkan aku? Atau justru bahagia tanpaku?

Kutelan saja semua pertanyaan itu. Tak ada gunanya. 

Akhirnya aku mampu bersuara, "Ta, gue mau pergi."

Nata menunggu kelanjutan kalimatku.

"Titip salam buat teman-teman."

"Lu mau kemana? Kapan balik kesini?" Cecar Nata.

"Belum tau. Dan gue nggak akan kembali." Jawabku jujur.

Nata menarik napas panjang. Mata sipitnya menatapku. Ada rasa iba di sana.

"Oke. Kemanapun lu pergi, baik-baik ya. Kalo ada perlu apa-apa, kabarin gue." Kata Nata sungguh-sungguh.

Aku mengangguk. Mencoba tersenyum. 

"Sekalian titip liatin bokap nyokap dan adik gue, Ta."

Dia mengangguk pasti, sambil mengacungkan jempolnya. "Pasti, Dam," ujarnya.

Nata selalu menjadi teman yang baik. Dia tidak banyak bertanya. Tahu kapan harus bicara, kapan perlu diam.

Aku berdiri, akan beranjak dari situ. Dia ikut berdiri menghadapku, memeluk sebentar, lalu melepasku pergi.

I'm leaving.

---

Kota tujuanku adalah Yogyakarta. Yang kutahu, kota itu tenang. Memang agak padat saat liburan, tapi tidak pernah sepadat Jakarta.

Aku akan menata hidup di kota ini. Pertama kali, mencari lokasi untuk mendirikan studio foto sekaligus tempat tinggal. Itu satu-satunya yang terpikirkan olehku.

Sebuah rumah mungil nan asri di kawasan Sosrowijayan menjadi pilihanku. Terletak di area Malioboro, dekat dengan Stasiun Tugu. Lokasi yang strategis untuk memulai sebuah usaha, pikirku.

Bismillah.

---

Adams' Photography. Begitu plang yang terpasang di depan rumah mungilku. Desainnya sederhana saja dengan tulisan beberapa jenis usaha yang kujalankan. 

Aku mengerjakan semuanya sendiri. Rasa lelah ternyata dapat mengalihkanku sejenak dari pikiran tentang Reina. Tapi aku masih sulit tidur. Sesekali aku menghubungi Nata. Hanya dia yang tahu keberadaanku. Aku membuatnya berjanji tidak cerita ke siapapun. Tanpa kecuali.

Dari Nata aku tahu kabar Reina. Dia memang nampak sedih. Kata Nata, Reina sekarang jarang ikut hangout dengan Para Sahabat lagi. Alasannya capek, ingin langsung pulang saja sepulang kerja. Kalaupun akhirnya Reina bisa hadir, tatapannya banyak menerawang walau bibirnya terus menyunggingkan senyum. Biasanya dia pulang dijemput Fahri. 

Hatiku masih berdenyut perih setiap mengingat mereka bersama. Dalam hati aku terus bertanya-tanya apakah Fahri telah mengakui perasaannya kepada Reina? Atau dia masih sepengecut dulu?

Ralat. Fahri bukan pengecut. Dia hanya terlalu mencintai Reina hingga rasa itu mengekangnya, mengaburkan akal sehatnya. Kalau saja dia menyadari, betapa dekatnya dia dengan kesempatan memiliki Reina seutuhnya. 

"Lelaki bodoh," gerutuku.

---

Tak terasa hampir satu tahun aku menjalani hidup di kota ini. Segalanya sudah mulai tertata, kecuali hatiku. Wajah Reina masih terus muncul di setiap sudut ruangan.

Saat ini musim liburan. Banyak orang datang ke studioku, sekedar ingin difoto atau mencetak foto liburan mereka dengan berbagai bentuk.

Aku sedang sibuk mengutak-ngatik kameraku, saat seorang pelanggan memasuki studio.

"Mas, mau cetak foto," katanya dengan suara cempreng.

Aku mengangguk, tanpa mengangkat kepala. Kameraku sedang ngadat, harus dibersihkan sedikit lagi.

"Mas! Hoi!" sentak suara cempreng itu lagi.

Aku terpaksa mengangkat muka dengan malas. 

Berdiri di hadapanku seorang gadis belia bertubuh mungil. Usianya sekitar 20 tahunan, berambut pendek acak-acakan. Matanya bulat berbinar-binar. Berkulit putih dengan hidung mancung hingga bagian atas bibirnya terangkat. 

Gadis itu tersenyum lebar, nampak kedua gigi depannya yang besar-besar muncul mendominasi wajahnya. Pipinya kemerahan. Memang udara Yogyakarta sedang panas-panasnya.

Aku menatapnya dengan wajah datar.

"Cetak apa?" tanyaku.

"Fotolah! Masa kueh?" jawabnya ceria.

Aku melengos. Dia melawak. Aku tak suka gadis yang sok lucu.

"Bentar," kataku pendek.

Dia mengambil kursi lalu mendudukinya. Kursi beroda itu bergerak ke arahku dengan dia di atasnya. Gadis itu nyengir lebar lagi. Matanya menatap ke kamera DSLR yang sejak tadi kukutak-kutik.

"Canon EOS-1D X Mark II. Woooowww!" ucapnya keras-keras. 

Aku mengerenyit, kuangkat wajah.

Mata bulatnya masih bersinar-sinar, masih memelototi kameraku.

"Kamera DSLR tercepat yang pernah ada. Shutter speed maksimum satu per delapan ribu! ISO bisa sampe 51 ribu! Ada sensor CMOS, resolusinya 20.2 megapixel. Kereeenn!" ujarnya lagi. Masih dengan suara cemprengnya yang mengganggu.

Aku menarik kamera ke dalam pelukan. Antusiasme gadis ini menakutkan. Aku takut dia akan menyambar kameraku lalu kabur sekencang-kencangnya. Kupelototi wajahnya.

"Kamu mau cetak foto apa? Memory cardnya mana?" tanyaku mengalihkan perhatiannya.

Matanya masih menatap kameraku dengan pandangan memuja.

"Autofokusnya 16 titik kan, Mas? Actuation rating empat ratus ribu! Waterproof kan, Mas?! Uwooww...!" katanya, nyaris berjingkrak di atas kursinya.

Aku menatapnya was-was. 

"Heh! Berhenti melihat kameraku seperti itu!" bentakku.

Gadis itu kaget, dan berhenti melompat-lompat. Diperhatikannya mimik wajahku, lalu garis wajahnya berubah marah.

"Pelit! Mau lihat aja, nggak boleh!" ujarnya, lalu menyambar tas kamera yang sejak tadi disandangnya.

Gadis aneh itu berderap keluar.

Aku mendengus sambil kembali mengusap-usap kameraku dengan sayang. 

Kupikir-pikir lagi, gadis itu hebat juga. Dia bisa mengenali jenis dan spesifikasi kameraku hanya dengan melihatnya sebentar. Dia bahkan tidak memegangnya. 

Melihat gayanya, sepertinya dia penyuka fotografi juga. Cukup unik, jarang ada gadis seusianya yang mendalami bidang ini. Biasanya gadis belia senangnya difoto dengan gaya aneh, lalu sibuk posting ke sosmed dengan berbagai caption yang tak kalah aneh.

Aku bergidik. Untung tadi dia tak sempat menyentuh kameraku. Gerak-gerik gadis itu serampangan, ceroboh. Bisa rusak nanti kameraku yang ini. Susah lagi nanti mencari gantinya.

----

Malam menjelang, aku menutup studio foto. Setelahnya aku duduk di teras depan yang mungil.

Beberapa hari ini cukup banyak pelanggan datang. Beberapa dari mereka memintaku jadi fotografer pribadi untuk beberapa hari. 

Biasanya mereka adalah pasangan pengantin baru yang sedang berbulan madu, dan ingin setiap momennya diabadikan. Kecuali saat mereka di dalam kamar tentunya! 

Aku senang mengabadikan kebahagiaan orang lain. Berharap rasa itu bisa segera menulariku. Ingin berbahagia seperti mereka. 

Mendadak wajah Reina muncul lagi. Apa kabar dia sekarang? Aku rindu sekali. Saat mengingatnya, ada rasa perih yang mengikuti.

Aku menelepon Nata.

"Halo, Bro" sapa Nata dari ujung sana.

"Hoi. Apa kabar?" Jawabku.

"Lu yang apa kabar," sahutnya, disusul tawa khas membahana.

"Baik," jawabku pendek.

"Rei juga baik," ujarnya, lalu terbahak lagi.

Aku tak dapat menahan senyum.

Kami mengobrol beberapa lama. Nata menceritakan kondisi Mama Papaku. Mereka semakin kurus, katanya. Papa beberapa kali masuk rumah sakit. Entah sakit apa.

"Pulanglah, Dam. Tengokin mereka," kata Nata.

Aku menarik napas panjang. Rasanya masih belum ingin bertemu Papa. "Liat nanti, deh," jawabku pendek.

"Lu ngga nanya tentang Rei?" Nada suaranya terdengar jahil.

"Ngga ditanya juga lu bakal cerita," jawabku.

Nata terbahak. Setelah habis tawanya, dia melanjutkan, "Rei masih belum jadian sama Fahri."

Hatiku senang mendengarnya. Namun tak lama. Rasa sedih menyergap lagi, jika ingat wajah marah Reina saat terakhir bertemu denganku. 

Aku tak ingin ingat. Inginku lupa saja.

---

Seminggu kemudian Nata menghubungiku, suaranya terdengar panik.

"Bro, bokap lu masuk ICU."

Malam itu juga, aku sudah berada di dalam kereta api Taksaka Malam yang membawaku kembali ke Jakarta. Kota yang paling tak kusukai. Dadaku berdentam-dentam. Rasanya sulit bernapas. Deru kereta api semakin membuatku merasa tak tenang. Aku khawatir tentang Papa.

Tengah malam, aku beranjak dari kursiku. Kakiku melangkah ke gerbong restorasi, perut mulai terasa keroncongan. Sepertinya aku juga butuh kafein untuk menenangkan diri.

Gerbong restorasi cukup sepi. Aku memilih kursi yang paling pojok, dan mulai menikmati mie rebus hangat yang nikmat.

"Eh, mas-mas tukang foto! Ketemu lagi!" Mendadak terdengar suara yang cukup familier tapi mengganggu.

Sebuah tangan mungil menepuk bahuku, dan si pemilik tangan sekarang tiba-tiba sudah duduk di hadapanku. Tubuh mungil berkulit putih pucat. Rambut pendek acak-acakan, mata bulat berbinar, dan gigi kelinci. Tak salah lagi, si cerewet penikmat fotografi. 

Aku menggelengkan kepalaku, tak percaya.

Apa salahku, Tuhan? Kenapa harus ada dia di sini?

Dia masih menyeringai di hadapanku. Matanya liar mencari-cari sesuatu. Seolah aku sedang menyimpan berlian besar di dalam saku jaketku.

"Apa?" tanyaku dengan suara dibuat galak.

"Mana kamera yang waktu itu?" tanyanya dengan mata bulat memandang lurus ke arahku.

"Hah?" 

"Jangan pura-pura budek. Mana kamera yang waktu itu?" diulanginya pertanyaan tadi.

"Ngga dibawa," jawabku sekenanya. Lalu melanjutkan makan.

"Aku suka kamera itu," katanya sambil menerawang.

"Hmm ..." gumamku lagi sambil mengunyah. Berharap dia segera pergi. Aku terganggu dengan kemunculannya.

"Sudah lama aku ingin beli kamera tipe itu. Tapi harganya muaaahaall sekali. Uang hasil motret setahun belum cukup untuk membelinya. Bahkan yang second-pun tidak mampu." Dia bercerita tanpa peduli aku tertarik atau tidak.

Dia melanjutkan, "Waktu aku lihat Mas Adam punya kamera itu, aku langsung jatuh cinta!"

Aku nyaris tersedak.

"Tahu namaku dari mana?" Tukasku galak.

"Adams' Place. It's obvious! Itu namamu kan?" Katanya sambil menatapku riang. Matanya yang bersinar-sinar, menatapku.

"Oh." Aku merasa bodoh.

"Tenang, aku bukan jatuh cinta padamu. Tapi pada kameramu," lanjutnya sambil memberiku tatapan melecehkan.

Aku mendelik, tapi segera menunduk lagi. Mie rebusku sebentar lagi dingin, bisa hilang kenikmatannya.

"Tenang, aku ngga doyan om-om, kok," katanya lagi sambil tertawa renyah.

Tidak lucu. Sumpah.

"Eh, ngapain ke Jakarta, Om?" tanyanya lagi.

Sungguh, gadis ini tidak bisa diam rupanya. Berisik.

"Jangan panggil aku Om, aku tidak pernah menikah dengan tantemu."

"Oh, Om Adam belum menikah?" tanyanya lagi. Suaranya makin cempreng.

Rasanya ingin kubuat dia menghilang saat itu juga.

Dia bertanya lagi, "Kenapa belum nikah? Berapa usiamu?" Mata bulatnya menganalisa wajahku.

Aku tidak menjawab. Berharap dengan diabaikan, gadis ini akan tersinggung lalu pergi.

"Usiamu 35," terkanya.

Kuangkat wajahku, dan menatap matanya dengan sorot mata yang kuanggap kejam.

"Kamu bisa diem, nggak?"

Dia tertawa lagi. Nada ketawanya seperti mengejekku. 

"Sensi banget sih, Om," ujarnya. Lalu tersenyum lebar. Lumayan manis.

Aku diam lagi. Kusesap kopi yang sudah hampir dingin.

Gadis itu memandang sekeliling, lalu mendadak berdiri meninggalkanku. Langkahnya ringan seperti peri, tak lama dia kembali dengan secangkir teh hangat di tangannya.

Tuhan, kenapa dia harus kembali? Kupikir tadi aku sudah berhasil mengusirnya.

Aku mendengus, lalu beranjak pergi. Kembali ke kursiku di gerbong 2. Hilang sudah moodku untuk berlama-lama di gerbong restorasi yang tenang. 

Kakiku melangkah cepat-cepat. Kudengar ada langkah kaki tak kalah cepat di belakangku. Aku sungguh tak ingin menoleh, tapi akhirnya kulakukan juga. 

"Ngapain ngikutin aku?" Tanyaku galak.

Dia berdiri di belakangku dengan wajah inosen. Gelas kertas berisi teh hangat masih berada di tangannya.

"Siapa yang ngikutin? Kursiku di gerbong 1. Paling ujung." Katanya, lalu sambil menatapku geli, dia melangkah melewatiku. 

Di depanku, dia menoleh ke belakang, lalu berkata, "Om-om ge eran!" Sambil membuang pandangan kembali kedepan dan melangkah cepat dengan ringan. Bisa kubayangkan, dia sedang menertawaiku sekarang.

Aku menggerutu, lalu kembali duduk di kursiku.

---

Tidurku lumayan nyenyak. Kereta tiba di Jakarta tepat pukul 04.00 pagi hari. Mataku masih mengantuk.

Setengah terhuyung, kusambar ranselku lalu bergegas turun. Aku harus segera ke RS Harapan Sehat, tempat Papa dirawat. Kucek kembali pesan Nata. Kamar VIP 204.

Aku menarik napas panjang. Udara Jakarta menjelang pagi lumayan segar. Tapi itu tak lama. Sebentar lagi kota ini akan terbangun dan mulai menyiksa penghuninya dengan kemacetan dan kesemrawutan di mana-mana.

Antrian taksi burung biru ada di depan sana. Aku harus buru-buru, Papa menungguku. Kulangkahkan kaki secepat mungkin agar bisa mendapatkan taksi segera.

Tiba-tiba sesosok tubuh mungil dengan jaket bertudung menutupi kepalanya, berjalan cepat mendahuluiku. Tas ranselnya berwarna shocking pink dengan gambar kartun yang sangat mengganggu pandangan.

Gadis tak sopan itu lagi. Aku mendesah. Harapanku agar tak bertemu lagi dengannya, pupus sudah.

Saat tiba di line antrian, gadis itu berdiri tepat di depanku. Puncak kepalanya yang tertutup tudung hoodie-nya tepat sejajar dengan dadaku. Pendek sekali dia.

Aku mendengus kesal.

Kepala itu menoleh ke arahku, lalu tersenyum mengejek.

"Ngapain ngikutin aku?" tanyanya sambil menyeringai. Gigi kelincinya terlihat jelas.

Aku menatapnya balik, lalu membuang pandangan ke depan. Aku akan mengabaikannya lagi saja. Kepalanya kembali menghadap ke depan, bahunya berguncang pelan. Dia sedang tertawa. Huh.

Taksi berikutnya lama sekali. Aku semakin tak sabar. Berkali-kali kulirik jam tanganku. Sudah 10 menit menunggu. Sungguh lama.

Tiba-tiba gadis itu menoleh lagi padaku. Matanya mengamatiku. 

"Om, buru-buru ya?" tanyanya. Perhatian sekali.

Aku mengangguk cepat. Berharap dia akan merelakan posisi antriannya untukku. Berharap dia adalah gadis yang murah hati. Kuberi dia senyum yang kuanggap manis, semoga dia luluh dengan itu. Dia membalas senyumku. Mata bulatnya bersinar penuh ide.

"Aku juga buru-buru, Om," katanya membuyarkan harapanku. Senyumku redup.

Dia masih berbicara, "Tujuanmu kemana?"

"Harapan Sehat," jawabku tak semangat.

" Rumah Sakit? Nah!" pekiknya, lalu melanjutkan, "Rumahku di Casagoya, tepat di seberang RS. Harapan Sehat, bagaimana kalau kita sama-sama saja naik taksinya, nanti bayar patungan?" ujarnya, seolah itu adalah ide yang paling brilian.

Aku menatapnya tak percaya. Berada di sampingnya sebentar saja sudah membuatku gerah. Dia berisik sekali. Apalagi kalau harus satu kendaraan dengannya?

Kugelengkan kepalaku keras-keras.

"Ngga. Makasih," jawabku tegas.

Dia mengangkat sebelah alisnya. Masih mengamatiku.

"Yakin, Om?" tanyanya dengan nada riang.

Aku mengangguk keras-keras. No way. No way, aku semobil dengan gadis berisik ini.

Dia mengangkat bahu, lalu tertawa sambil memiringkan kepalanya.

Taksi berikutnya datang, tiba saatnya giliran dia naik ke mobil berwarna biru itu. 

Sebelum naik, dia berhenti sejenak, lalu membalikkan badan menghadapku. Mata bulatnya menatapku lama.

"Om, serius, ngga mau bareng? Kesempatan terakhir nih, sebelum aku berubah pikiran," tanyanya dengan suara lantang.

Aku berpikir ulang. Kulihat tak ada lagi taksi biru yang datang. Sepertinya giliranku akan lama tiba. Sementara kondisi Papa entah seburuk apa.

Gadis itu masih menunggu, tangannya menahan pintu mobil yang terbuka sejak tadi. Dia tersenyum, seolah sudah tahu aku akan berubah pikiran.

And, I am. I change my mind

Sambil menghela napas panjang, aku masuk ke mobil biru itu, disusul si ceriwis duduk di sebelahku. Taksipun melaju kencang menuju RS Harapan Sehat. 

Sepanjang perjalanan aku diam. Sesekali kulirik gadis itu, dia sibuk bersenandung sambil menatap keluar melalui jendela. Akupun melakukan hal yang sama, kubuang pandanganku keluar sana. 

Kenangan tentang kota ini kembali membanjiriku. Reina. Reina lagi. Apa kabar dia sekarang? Masihkah dia marah padaku? Atau lukanya sudah sembuh oleh waktu, dibantu Fahri tentunya. Memikirkan itu, hatiku terasa sakit lagi.

"Om, siapa yang sakit?" Suara cempreng itu mengembalikanku ke dunia nyata.

"Hah?" 

"Hahheh hah heh. Ngelamun terus. Aku tanya, siapa yang sakit?" cerocosnya.

"Ayahku," jawabku pendek. Lalu membuang pandangan keluar lagi.

"Oh... Semoga lekas sembuh ya, Om," ujarnya. Ada nada tulus di dalam suaranya.

"Makasih." 

Dia melihat keluar lagi. Bibirnya bersenandung. Lamat-lamat kudengar, dia bernyanyi pelan.

"But I'm a creep

I'm a weirdo

What the hell am I doing here

I don't belong here"

Suaranya rendah, halus. Berbeda dengan suara aslinya saat berbicara denganku.

"Hey," kataku.

Dia menoleh, senandung itu terhenti. Mata bulatnya menatapku.

"Makasih ya, sudah mengijinkan aku naik taksi ini," ucapku pelan.

Senyum gigi kelincinya mengembang. Dia mengangguk.

"Oke, Om! You're welcome."

Aku melanjutkan, "Dan, tolong berhenti panggil aku Om. Cukup panggil Adam saja."

"Oke, Om Adam Saja," jawabnya riang, sambil memamerkan senyum lebarnya lagi.

Aku menghela napas panjang lagi. Pasrah. Gadis ini susah diajak bicara yang normal. 

Lalu kudengar dia tertawa renyah, dan berkata, "Oke, Adam." Aku mengangguk, senang mendengar caranya menyebut namaku. 

Dia berbunyi lagi, "Kau tak ingin tahu siapa namaku?"

Sebelum aku menjawab, dia sudah mengulurkan tangan. 

"Kenalkan, aku Anaya. Kau boleh panggil aku Ana, atau Nay, atau tuan puteri. Terserah saja." Katanya sambil menyeringai lebar.

Aku menyambut uluran tangannya. Telapak tangan itu terasa kecil sekali di dalam genggamanku. 

Dia berkata lagi, "Karena kita sudah berteman, kapan-kapan aku ke studiomu, aku ingin menjajal Canon yang waktu itu!"

Wajahnya berbinar-binar, menatapku penuh harap. Tapi langsung berubah jadi tatapan takut saat aku balik menatapnya dengan sorot mata "tak-akan-pernah-kuijinkan-kau-menyentuh-kameraku".

Dia segera memalingkan wajah, dan tiba-tiba berkata, "Ha! Kita sudah sampai di Harapan Sehat! Kau turun di sini. Aku akan melanjutkan perjalanan pulang."

Aku mengangguk sambil menyerahkan sejumlah uang untuk membayar taksi. Dia memelototi uang di tangannya, sambil nyeletuk, "Banyak amat!" Pintu taksi kubuka, aku turun sambil menoleh sekilas, dan berkata, "Tak apa, hati-hati di jalan ya!"

Sempat kulihat dia mengangguk sebelum pintu taksi kembali menutup. Mobil biru itupun kembali melaju menembus kabut pagi kota Jakarta.

Aku menarik napas panjang. Saatnya bertemu kedua orang tuaku.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Be My Girlfriend?
14141      2203     1     
Fan Fiction
DO KYUNGSOO FANFICTION Untuk kamu, Walaupun kita hidup di dunia yang berbeda, Walaupun kita tinggal di negara yang berbeda, Walaupun kau hanya seorang fans dan aku idolamu, Aku akan tetap mencintaimu. - DKS "Two people don't have to be together right now, In a month, Or in a year. If those two people are meant to be, Then they will be together, Somehow at sometime in life&q...
Daniel : A Ruineed Soul
528      300     11     
Romance
Ini kisah tentang Alsha Maura si gadis tomboy dan Daniel Azkara Vernanda si Raja ceroboh yang manja. Tapi ini bukan kisah biasa. Ini kisah Daniel dengan rasa frustrasinya terhadap hidup, tentang rasa bersalahnya pada sang sahabat juga 'dia' yang pernah hadir di hidupnya, tentang perasaannya yang terpendam, tentang ketakutannya untuk mencintai. Hingga Alsha si gadis tomboy yang selalu dibuat...
My Teaser Devil Prince
5564      1337     2     
Romance
Leonel Stevano._CEO tampan pemilik perusahaan Ternama. seorang yang nyaris sempurna. terlahir dan di besarkan dengan kemewahan sebagai pewaris di perusahaan Stevano corp, membuatnya menjadi pribadi yang dingin, angkuh dan arogan. Sorot matanya yang mengintimidasi membuatnya menjadi sosok yang di segani di kalangan masyarakat. Namun siapa sangka. Sosok nyaris sempurna sepertinya tidak pernah me...
My Sunset
6368      1353     3     
Romance
You are my sunset.
Aku menunggumu
4536      955     10     
Romance
Cinta pertamaku... dia datang dengan tidak terduga entahlah.Sepertinya takdirlah yang telah mempertemukan kami berdua di dunia ini cinta pertamaku Izma..begitu banyak rintangan dan bencana yang menghalang akan tetapi..Aku Raihan akan terus berjuang mendapatkan dirinya..di hatiku hanya ada dia seorang..kisah cintaku tidak akan terkalahkan,kami menerobos pintu cinta yang terbuka leb...
For Cello
2550      883     3     
Romance
Adiba jatuh cinta pada seseorang yang hanya mampu ia gapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang ia sanggup menikmati bayangan dan tidak pernah bisa ia miliki. Seseorang yang hadir bagai bintang jatuh, sekelebat kemudian menghilang, sebelum tangannya sanggup untuk menggapainya. "Cello, nggak usah bimbang. Cukup kamu terus bersama dia, dan biarkan aku tetap seperti ini. Di sampingmu!&qu...
You Are The Reason
1998      800     8     
Fan Fiction
Bagiku, dia tak lebih dari seorang gadis dengan penampilan mencolok dan haus akan reputasi. Dia akan melakukan apapun demi membuat namanya melambung tinggi. Dan aku, aku adalah orang paling menderita yang ditugaskan untuk membuat dokumenter tentang dirinya. Dia selalu ingin terlihat cantik dan tampil sempurna dihadapan orang-orang. Dan aku harus membuat semua itu menjadi kenyataan. Belum lagi...
My Doctor My Soulmate
61      55     1     
Romance
Fazillah Humaira seorang perawat yang bekerja disalah satu rumah sakit di kawasan Jakarta Selatan. Fazillah atau akrab disapa Zilla merupakan seorang anak dari Kyai di Pondok Pesantren yang ada di Purwakarta. Zilla bertugas diruang operasi dan mengharuskan dirinya bertemu oleh salah satu dokter tampan yang ia kagumi. Sayangnya dokter tersebut sudah memiliki calon. Berhasilkan Fazillah menaklukkan...
G E V A N C I A
866      476     0     
Romance
G E V A N C I A - You're the Trouble-maker , i'll get it done - Gevancia Rosiebell - Hidupnya kacau setelah ibunya pergi dari rumah dan ayahnya membencinya. Sejak itu berusaha untuk mengandalkan dirinya sendiri. Sangat tertutup dan memberi garis keras siapapun yang berniat masuk ke wilayah pribadinya. Sampai seorang cowok badboy selengean dengan pesona segudang tapi tukang paksa m...
Love Never Ends
10395      2050     20     
Romance
Lupakan dan lepaskan