Aluna keluar kamar dengan menjinjing sepasang sneakers berwarna putih, dengan kemaja putih dan celana jeans serat yang membuat penampilannya terlihat lebih santai. Gadis itu sengaja mengenakan pakaian yang sedikit lebh santai dari biasanya. Hari ini, ia memiliki banyak kegiatan di perusahaan Kyuhyun. Selain ada pertemuaan untuk mempresentasikan rancangannya di depan Aiden dan seluruh staf yang bertanggung jawab dalam project ini, ia juga harus bertemu dengan beberapa sponsor acara untuk agenda sabtu depan di Hotel Seoul International.
Ia dan Kyuhyun memiliki agenda besar dalam kerjasama antara perusahaan milik lelaki itu dan butik miliknya di Boston. Mereka akan mengelar sebuah fashion week yang menampilkan pakaian-pakaian hasil rancangannya dengan memadukan budaya Korea Selatan dan budaya barat dalam style fashion yang casual. Pakaian yang cocok digunakan saat musim gugur seperti sekarang.
Aluna mengambil langkah cepat beberapa saat dan berhenti dengan wajah kaget ketika melihat seorang lelakisedang sibuk di dapur. Memasak sesuatu di depan kompor yang menyala. Seketika pandangan matanya menyapu seluruh apartement, mencari sosok Venus yang tidak terlihat sama sekali. Kemana gadis itu?
“Kau sudah bangun?” Lelaki itu berbalik dari kompor dan menatapnya dengan wajah bersalah. “Mianhae,” ujarnya berbisik ketika Aluna tidak menanggapi sapaan lelaki itu. “Mianhae karena aku sudah lancang menggunakan dapurmu.” Lelaki itu berdeham. “Aku tadi berpapasan dengan Venus di supermarket di bawah, saat gadis itu lupa membawa dompet untuk membayar belanjaannya. Aku hanya sekedar membantu kesusahan gadis itu dengan membayar semua barang belanjanya.” Lelaki itu segera gelagapan saat belum ada suara yang keluar dari mulut Aluna. “Tapi kau tenang saja, aku akan langsung pergi setelah selesai membuatkan kalian sarapan.”
Aluna mengalihkan tatapannya dari Aiden yang masih berdiri melihatnya, menoleh pada Venus yang baru saja keluar dari kamar dengan berpakaian rapi. Gadis itu hanya mendesah, tidak mengatakan apa-apa saat Venus menatapnya meminta maaf.
“Lakukan seperti biasanya, Ve.” Hanya itu yang Aluna ucapkan sebelum melangkah menuju lemari pendingin dan membukanya. Mengambil sebuah apel dari kotak buah-buahan di bagian paling bawah. Ia membalikkan tubuhnya, kemudian sedikit terkejut saat Aiden dengan tiba-tiba merampas Apel ditangannya, lalu menggantinya dengan sepiring roti bersamaan dengan telur setengah masak.
“Isi dulu perutmu dengan yang berenergi, baru makan pemanisnya.” Aiden melangkah mendekat, lebih tepatnya lelaki itu kini berdiri di belakang tubuh Aluna dan mendorong tubuh gadis itu berjalan ke arah meja makan. “Habiskan sarapan pagimu, aku akan menunggumu dibawah. Aku akan mengantar kalian ke perusahaan Kyuhyun.” Kata Aiden dengan sedikit mengelus puncak kepala Aluna, kemudian pergi sebelum Aluna sempat melayangkan protes atas perlakuan Aiden padanya.
“Dia sangat manis!” gurau Venus menampakan wajah memujanya.
Aluna mendengus, menanggapi gurauan Venus yang sungguh membuat perasaannya kesal. Oh, mereka membuat paginya langsung memburuk.
ù
Seperti biasa, melakukan olahraga pagi sebelum bersiap berangkat kerja. Rutinitas yang seperti itu tidak pernah Aiden tinggalkan setiap paginya. Ia selalu meluangkan waktu 20 menitnya hanya sekedar untuk berolahraga dengan lari pagi di kompleks apartement. Kemudian setelah itu, mampir sebentar ke supermarket untuk membeli beberapa keperluan di dapurnya. Kebetulan isi di lemari pendingin sudah hampir habis.
Saat Aiden sudah selesai memilih keperluaan yang diinginkannya, ia melangkah mengantri di depan kasir untuk membayar. Awalnya ia tidak memerhatikan apa yang sedang terjadi di depannya, tetapi suara-suara orang yang berdiri di depan membuat Aiden akhirnya ikut melihat apa yang sedang terjadi hingga orang-orang ini begitu kesal.
Aiden bisa melihat seorang gadis sedang bingung dan panik, menempelkan beberapa kali ponselnya di telinga dan menurunkan dengan wajah sedih.
“Permisi?” sahut Aiden menepuk bahu gadis itu dan seulas senyum ditunjukkan saat gadis itu menoleh padanya. Tapi belum sempat Aiden berbicara, gadis di depannya langsung menyela dengan raut wajah senang.
“Oh, akhirnya penolongku datang.” Ucap gadis itu dengan mata yang berbinar, lalu, “Bantu aku untuk membayar semua ini, aku lupa membawa dompetku, dan Aluna susah dihubungi. Mungkin sekarang dia sedang mandi. Bisakan?”
Oke. Aiden memang terkejut mendengar gadis ini tiba-tiba meminta untuk dibayarkan sementara ia tidak mengenalnya. Tapi, yang lebih mengejutkan bagi Aiden adalah gadis ini menyebutkan nama Aluna. Ia tidak ingin salah menebak dengan berpikir kalau gadis di depannya ini mengenal Aluna calon tunangannya, jadi dengan suara yang sedikit dipelankan atau lebih tepatnya berbisik, Aiden bertanya. “Apa kau mengenal Aluna Leonidas?”
Gadis itu mengangguk dengan semangat bersama seulas senyum diwajahnya. Lalu gadis itu menjawab. “Sangat mengenalnya. Aku Venus William, asisten Aluna, sekaligus sahabatnya.”
Aiden mengangguk, tersenyum tiga jari. Lalu meletakkan barang belanjaannya di atas meja kasir untuk dihitung. Kemudian berbalik lagi seraya berkata. “Apa kalian tinggal di sini?” tanya Aiden berharap kalau Venus akan menjawab dengan berkata ‘ya’.
Sekali lagi Venus mengangguk. “Kami tinggal di lantai 20.” Ucapnya sambil mengucapkan terima kasih pada wanita di depannya. “Kelihatan kau pun tinggal di sini.” Imbuhnya
“Aku juga tinggal di sini, dilantai 20.” Sahut Aiden melepaskan tawa kecil yang tidak menduga kalau selama ini ia tinggal berseberangan dengan Aluna. “Apa hari ini kalian memiliki jadwal?”
“Apa kau lupa kalau hari ini Aluna akan melakukan presentasi di perusahaan Kyuhyun?” Aiden sekali lagi tertawa kecil, mencibir dirinya yang begitu bodoh melupakan jadwal presentasi hari ini.
“Maaf,” kata Aiden saat mereka sudah keluar dari supermarket dan berjalan menuju ke elevator. “Mm, kalau boleh aku tahu, kalian berangkat ….”
“Kyuhyun memberikan Aluna mobil, jadi kau tidak perlu khawatir bila nanti tunanganmu itu pergi dengan menggunakan taksi.” Canda Venus yang seketika ditanggapi oleh Aiden dengan tawa sumbang.
“Jika kalian mau, aku bisa mengantar kalian sampai ke perusahaan Kyuhyun.” Tawar Aiden
“Coba tanyakan itu pada Aluna. Aku tidak bisa memberikan jawaban padamu.” Kata Venus melangkah masuk ke dalam elevator, dan di susul Aiden. “Tapi bukankah kau memiliki kesibukan pagi ini diperusahaanmu?”
“Ya, benar. Tapi aku bisa menjemput kalian siang nanti dan pergi bersama ke perusahaan Kyuhyun.”
Venus berdeham. “Kami akan berangkat pagi ini ke perusahaan Kyuhyun. Aluna harus bertemu dengan sponsor untuk acara agenda sabtu nanti di Seoul Internasional Hotel. Apa kau tidak tahu soal agenda itu?”
Aiden menggeleng dengan kening yang mengernyit. “Kyuhyun tidak pernah mengatakan soal agenda itu padaku.”
Venus menutup mulutnya tidak percaya, bagaimana bisa Aiden tidak mengetahui agenda itu sementara namanya jelas tercantum di surat kesepakatan kalau dia ikut terlibat dalam project. Apa yang sedang terjadi?
“Apa kau baik-baik saja? Kenapa kau begitu terkejut?”
Belum sempat Venus menjawab, dentingan pintu elevator yang terbuka mengalihkan pembicaraan mereka.
“Apa aku boleh mampir?” tanya Aiden ragu begitu mereka sampai di depan pintu apartement. Entah mengapa ia ingin melihat Aluna.
“Aku tidak yakin kalau Aluna akan senang melihatmu berada di apartement kami.” Sahut Venus yang sudah membuka pintu apartamen. “Tapi kalau kau serius ingin ikut masuk bersamaku, baiklah, aku akan mengajakmu masuk ke dalam. Tapi aku tidak akan membantumu bila Aluna mengusirmu.”
“Dia tidak akan mengusirku.”
Dan apa yang diucapkan Aiden dengan yakin langsung menghilang saat melihat raut wajah keterkejutan Aluna yang baru saja keluar dari kamarnya. Gadis itu begitu cantik, dengan kemaja putih dan celana jeans serat serta sneakers putih yang dijinjingnya. Penampilan yang santai namun terlihat begitu menawan.
“Kau sudah bangun?” tanya Aiden yang tidak ditanggapi oleh Aluna. Ia sudah menduga kalau Aluna akan memasang wajah datar seperti ini, tapi ia tidak menyangka bila tatapan datar gadis itu mampu membuatnya kesulitan untuk berbicara. “Mianhae,” ujar Aiden berbisik ketika Aluna tidak menanggapi sapaannya. “Mianhae karena aku sudah lancang menggunakan dapurmu.” Aiden berdeham, membasahi tenggorokannya yang terasa kering. “Aku tadi berpapasan dengan Venus di supermarket di bawah, saat gadis itu lupa membawa dompet untuk membayar belanjaannya. Aku hanya sekedar membantu kesusahan gadis itu dengan membayar semua barang belanja.” Sahut Aiden gelagapan saat belum ada suara yang keluar dari mulut Aluna. “Tapi kau tenang saja, aku akan langsung pergi setelah selesai membuatkan kalian sarapan.”
Tidak ada jawaban sampai Venus keluar dari kamar setelah membersihkan diri seperti yang dikatakan oleh gadis itu tadi padanya. Aluna menatap Venus, saling menatap dan kemudian Aluna berkata.
“Lakukan seperti biasanya, Ve.” Sahut Aluna, kemudian melangkah menuju lemari pendingin dan membukanya. Mengambil sebuah apel dari kotak buah-buahan di bagian paling bawah. Melihat itu, Aiden dengan cepat merampas buah apel ditangan Aluna saat gadis itu berbalik dan menggantinya dengan piring yang berisikan roti yang sudah diolesnya dengan selai coklat, serta telur yang setengah masak.
“Isi dulu perutmu dengan yang berenergi, baru makan pemanisnya.” Aiden melangkah mendekat, lebih tepatnya ia kini berdiri di belakang tubuh Aluna dan mendorong tubuh gadis itu berjalan ke arah meja makan. “Habiskan sarapan pagimu, aku akan menunggumu dibawah. Aku akan mengantarmu ke perusahaan Kyuhyun.” Katanya dengan sedikit mengelus puncak kepala Aluna, kemudian pergi sebelum Aluna sempat melayangkan protes.
Saat sudah berada diluar. Aiden menyentuh bagian dadanya, merasakan debaran jantungnya yang berdetak begitu cepat. Ia tidak tahu dari mana keberanian itu datang, tanpa sadar tangan kanannya sudah menyentuh puncak kepala gadis itu. Kini lelaki itu menatap telapak tangannya, tersenyum, membayangkan kembali kejadian itu.
Pagi yang sempurna! Gumam Aiden seraya melangkah menuju ke apartementnya yang tidak begitu jauh dari apartement Aluna.
ù
Lee Sinb berlari-lari kecil memasuki gedung agensi SM Entertaiment. Jiu yang duduk di balik meja resepsionis mengangkat wajahnya begitu melihat siapa yang datang, wanita itu langsung terkesiap melompat berdiri dan bergegas menghampiri Sinb. Kecelakaan di tangga yang terjadi kemarin sempat menghebohkan orang-orang di agensi dan Jiu hanya ingin memastikan Sinb tidak menderita luka parah atau semacamnya. Tanpa memberikan penjelasan yang mendetail, Sinb menegaskan kepada Jiu bahwa dirinya baik-baik saja dan malah hari ini berencana mengikuti latihan meski Jeon Suk sudah memberikan izin untuk beristirahat.
Setelah Jiu memperlihatkan kelegaannya, Sinb pergi ke ruang loker untuk bersiap-siap. Jam yang melingkar di lengan kirinya menunjukkan bahwa waktu latihan sebentar lagi akan dimulai.
Sinb adalah orang paling benci dengan duduk diam tanpa melakukan apa pun. Sejak dulu, tubuhnya sudah terlatih untuk bergerak, terlebih saat dirinya mulai menekuni hobi menarinya. Tidak ada satu hari pun tanpa tarian. Tanpa menari, ia merasa kosong. Tidak ada energi yang mengalir dalam tubuhnya, seolah seluruh sistem di dalam tubuh ikut berhenti. Menari seperti sebuah oksigen yang diperlukan untuk hidup. Tanpa hal itu, Sinb merasa mati.
Dan beristirahat di asrama tanpa melakukan sesuatu bukanlah pilihan yang akan diikuti Sinb. Lagian tubuhnya tidak mengalami luka-luka parah yang menyebabkan ia harus berbaring seharian di kamar. Tubuhnya pun tidak merasa ada sesuatu yang mengharuskan ia untuk tetap berada di asrama dan mengabaikan jadwal latihan.
Sinb membuka loker dan mengeluarkan sepatu latihannya. Lalu duduk di bangku panjang di tengah-tengah ruang dan menarik napas panjang. Benaknya sedang memikirkan pesan yang dua jam lalu diterimanya dari lelaki bernama Shin Jungkook itu. Lelaki itu memintanya untuk datang ke apartement sore nanti selepas latihan. Datang dan memenuhi janji yang sudah terucap bukanlah sebuah masalah bagi Sinb, tetapi yang membuat Sinb merasa enggan untuk datang ke sana karena apartement Jungkook berada tepat di bawah apartement Aiden. Ia tidak dapat membayangkan bila Aiden tahu soal kecelakaannya kemarin, dan tahu kalau ia sudah membuat tangan seseorang patah. Aiden pasti memarahinya, mengatakan bahwa ia gadis yang ceroboh, seharusnya ia bisa lebih hati-hati, dan terakhir Aiden akan menemui Jungkook untuk meminta maaf.
Baginya, pantang untuk melibatkan Aiden di dalam masalahnya. Selama ini ia tidak pernah mengatakan apa pun yang membuat Aiden merasa khawatir. Aiden sudah memiliki banyak beban dalam dipikirannya, dan untuk menambahkannya lagi, Sinb tidak ingin.
“Ya! Apa yang kau lakukan di sini?”
Sinb tersentak dan menoleh. “Oh, Umji-Ah,” gumamnya ketika melihat Umji yang sudah menutup pintu ruangan dan melangkah ke arahnya.
Umji duduk di samping Sinb, meletakkan tangan kanannya di dahi gadis itu dan tangan kiri di dahinya, lalu membandingkan suhu tubuh miliknya dengan suhu tubuh Sinb. “Badanmu hangat?” sahutnya dengan mata yang membelalak.
Sinb mendesis seraya melepaskan telapak tangan Umji di dahinya. “Aku tidak apa-apa!” ucapnya sembari merapikan pakaian dan tali sepatunya.
“Sebaiknya kau lepaskan saja sepatumu sebelum kau mencelakai orang lain.” Umji menggerakan dagunya, menunjuk sepatu yang sudah terpasang di kedua kaki Sinb.
Sinb mengernyit ketika teringat kejadian kemarin. “Aku tidak memiliki sepatu cadangan.” Gumamnya. “Dan aku tidak berniat menggunakannya diluar.”
“Oh, kalau begitu tidak jadi masalah. Aku hanya khawatir saja.”
Sinb mendesah berat. “Terima kasih sudah mengkhawatirkan cerobohanku.”
“Aku selalu mengkhawatirkanmu, Sinb.”
“Mm,”
“Tapi,” Umji yang sejak tadi sudah berdiri di depan lokernya yang terbuka, langsung membalikkan tubuh, menatap Sinb dengan pandangan yang bertanya. “Bagaimana dengan teman Jimin yang kau lukai tangannya? Apa dia baik-baik saja?”
Sinb mendesah berat lagi. Mengingat tangan Jungkook yang terbebat. “Tangannya terkilir dan harus dibebat selama dua minggu ke depan. Itu pun kalau cedera di tangannya tidak parah.”
“Apa seserius itu?”
Sinb mengangkat bahu. “Aku tidak tahu.”
“Semoga cederanya hanya sebatas terkilir. Bukan sesuatu yang serius,” kata Umji
Sinb menatap Umji dan tersenyum samar. “Aku mendoakannya.”
ù
Sore sudah mulai mengantung. Awan orange pukul lima mulai membingkai langit Seoul, menemani dua orang lelaki yang sedang berjalan menyusuri trotoar, kembali ke gedung apartement sambil menyesap kopi dengan perasaan lega. Seharian melakukan pindahan dadakan membuat Jungkook dan Jee harus merelakan waktu makan siangnya berganti dengan makan sore.
“Aku tidak mengerti kenapa kau tiba-tiba ingin tinggal sendiri?” tanya Jee di sela bibirnya yang menyesap kopi sambil menyejajarkan langkahnya dengan Jungkook.
Jungkook tersenyum kecil, memikirkan sesuatu di dalam benaknya. Mungkin alasan kenapa ia begitu ngotot minta pada Tae Go untuk membelikannya sebuah apartement di kawasan kompelks elit yang berada di dekat Hutan Seoul.
Benar. Jungkook sudah memikirkan ide ini jauh sebelum tangan kanannya terkilir. Saat bertemu dengan Sinb tanpa sengaja berapa hari yang lalu, membuat ia memutuskan untuk membeli apartement di gedung yang sama dengan milik kakak gadis itu. Aiden Lee. Jungkook sudah mencari tahu soal silsilah keluarga Lee Sinb, alamat orang tua gadis itu, perusahaan yang sekarang dikelola oleh kakaknya, dan beberapa berita yang menyangkut tentang keluarga Lee. Sudah tahu, dan tidak menyangka bila Sinb lahir dari keluarga yang cukup berpengaruh di Seoul.
Sekali lagi, Jungkook tersenyum kecil, dan berkata. “Seperti yang pernah kukatakan. Hanya ingin mencari sebuah kenyataan yang selama ini tidak pernah aku sadari. Aku sedang ingin mencarinya.”
Jee mengernyit bingung mendengar perkataan Jungkook. Adiknya ini, entah sudah berapa hari ini terlihat aneh dengan tingkahnya. Ia sangat tahu bagaimana setiap kelakukan Jungkook selama ini. Walau mereka tidak begitu dekat, tetapi ia sangat mengenal Jungkook sangat baik melebih lelaki itu mengenal dirinya sendiri.
Jungkook tipe lelaki yang tidak akan peduli dengan hal yang ada disekitarnya. Tipe lelaki yang tertutup dan misterius. Irit bicara, dan lebih senang menghabiskan waktunya di depan komputer ketimbang keluar rumah untuk berbaur dengan yang lainnya.
Tetapi, sejak malam itu, saat Jungkook hampir tertangkap, semua sikapnya berubah. Tidak. Sejak Lelaki itu mengatakan ingin mencari kenyataan yang tidak pernah disadarinya, saat itulah sikapnya berubah. Dia lebih banyak menunjukkan senyumannya. Entah itu hanya senyum kecil, senyum dipaksakan sampai senyum sumbang ditunjukkannya. Dia juga terlihat lebih sering keluar rumah dari biasanya, mengabaikan komputer yang selama ini menjadi teman hidupnya. Dan kini dia memilih untuk tinggal sendiri di sebuah apartement yang jauh dari rumah, yang biasanya rumah adalah tempat yang paling ternyaman bagi Jungkook.
“Dan bagaimana Appa mengizinkanmu?” tanya Jee yang juga merasa bingung kenapa Tae Go, ayah mereka, yang ia kenal begitu menjaga kedua putranya dari jangkauan orang luar mengizinkan Jungkook untuk tinggal sendiri sementara di luar adalah area yang paling berbahaya. Kita sama-sama tahu kalau Tae Go memiliki musuh begitu banyak diluar, dan tidak menutupi kemungkinan bila salah satu diantara mereka akan menyerang Jungkook.
“Sedikit menggunakan nama Aluna Leonidas.” Ucap Jungkook dengan wajah tidak berdosanya. “Ternyata Aluna Leonidas adalah adik dari sahabat Appa. Dan menururtku Appa sangat menyegani kakak Aluna.”
Kening Jee mengernyit. “Dari mana kau mengetahuinya?”
“Hanya membutuhkan beberapa kode untuk membobol data rahasia Appa.” Sahut Jungkook mengedipkan mata kanannya,
“Kau – astaga, Kook. Kau sangat berani melakukannya. Bagaimana bisa kau…”
“Kau tidak perlu khawatir, aku mendapatkannya dengan cara yang paling aman dan tidak akan diketahui oleh Appa.”
Jee menggeleng tidak percaya. Ia memang tahu Jungkook seorang lelaki yang berani, tetapi tidak menyangka kalau dia dengan berani melakukan pembobolan di komputer milik ayah mereka yang dijaga oleh sistem pengaman yang kuat.
“Jangan khawatir, aku tidak akan tertangkap.” Imbuh Jungkook menepuk-nepuk bahu Jee. Lalu mereka pun masuk ke dalam gedung dan menghilang saat pintu elevator tertutup.
ù
Aiden Lee. Lelaki itu tidak bisa melepaskan pandangannya dari sosok Aluna Leonidas yang sedang mempresentasikan hasil rancangan pakaian yang sudah didesainnya di depan semua karyawan yang akan ikut dalam project kerjasama ini. Sudah hampir dua jam gadis itu berdiri di sana, menjelaskan setiap desain pakaian yang dibuatnya dengan sangat luwes dan tertata dengan rapi. Selain itu, pesona yang dipancarkan oleh raut wajah serta gerak tubuhnya membuat gadis itu terlihat begitu sempurna.
“Seluruh pakaian ini akan sampai besok. Aku sudah membuatnya sebelum datang kesini, dan kita tinggal melakukan fitting untuk memaksimalkan desainnya.” Ujar Aluna menyudahi presentasinya dengan cepat. “Kalau ada yang ingin kalian tanyakan, silakan langsung bertanya, jangan disimpan didalam hati yang pada akhirnya membuat kalian bingung sendiri.”
Semua orang di dalam ruangan itu terlihat mulai berdiskusi, satu-satu bertanya secara berbisik-bisik pada teman sebelahnya tanpa ada satu pun yang dengan berani menyuarakan isi pikirannya.
Karena tidak ada yang membuka suara, pertemuan di sore itu selesai dengan semua karyawan ikut di dalam pertemuaan itu satu-satu menyalami Aluna sembari mengatakan selamat bergabung bersama mereka di perusahaan.
Aluna hanya menangapinya dengan seulas senyum kecil, tanpa satu kalimat yang keluar dari bibirnya. Setelah semuanya keluar, kini tinggal ada Aiden dan Aluna yang masih berada di dalam. Sementara Venus sudah keluar lima detik yang lalu setelah merapikan laptop Aluna dan membawanya keluar ruangan.
“Kau tampak berbeda saat berada di depan tadi, sangat-sangat menarik dan kau hampir membuatku lepas kendali untuk menghampirimu.” Kata Aiden dengan begitu gamblangannya, tidak peduli kalau perkataannya itu mendapatkan dengusan dari Aluna.
“Aku seolah melihat sosok Eun Ji saat menatapmu begitu serius menjelaskan di depan tadi.” Imbuh Aiden mengenang.
Aluna yang sejak tadi merapikan barang bawaannya sejenak berhenti, mendongak, dan menoleh untuk menatap wajah Aiden yang ada di depannya.
“Eun Ji yang kau katakan tidak akan pernah hadir kembali. Jadi jangan pernah berharap untuk melihatnya. Dia sudah mati.” Tegas Aluna memperlihatkan tatapan tajam yang menjurus pada mata Aiden yang menatapnya.
“Tidak masalah bila bagimu Eun Ji sudah mati, tidak akan pernah hadir kembali lagi. Tapi buatku, Eun Ji selalu hidup di sini,” Aiden menunjuk pada dadanya. “Dia hidup di setiap degupan jantungku, tidak akan pernah mati sampai kapanpun, selama aliran darah di dalam tubuhku masih mengalir, selama itu pula Eun Ji masih hidup. Tanpa Eun Ji, Aiden akan mati.”
Aluna bungkam. Mulutnya tertutup saat mendengar Aiden mengutarakan arti nama Eun Ji bagi hidupnya.
“Tapi buatku, meski kau tidak ingin mengakui dirimu adalah Eun Ji, melainkan Aluna, itu bukan sebuah masalah. Mau kau Eun Ji atau Aluna sekalipun, kedua nama itu tetap milik orang yang sama. Dan aku tidak akan pernah mundur untuk melepaskanmu lagi, itu tidak akan terjadi.”
Tidak menunggu Aluna membuka mulutnya untuk melontarkan kalimat bantahan, Aiden sudah bergegas beranjak berdiri, pergi begitu saja dan seketika membuat Aluna kesal saat pintu yang tadi dibuka Aiden kembali tertutup.
Beginilah cara Aiden untuk menghindari perdebatan diantara mereka berdua. Ia memang belum begitu mengenal setiap watak yang dimiliki oleh Aluna, selain keras kepala dan kata-kata pedas gadis itu. Untuk saat ini memang belum, namun seiring dengan waktu kebersamaan mereka, ia akan tahu letak kelemahan gadis itu. Bagaimana cara untuk meruntuhkan tembok kebencian yang dimiliki Aluna. Dan perlahan, ia akan masuk untuk mendapatkan keinginannya.
ù
“Lee Sinb, apa yang sedang kau lakukan di sini?” tanya Aiden, yang baru saja masuk ke dalam elevator dan menemukan adik kesayangannya sedang berdiri dengan mata yang melotot kaget.
Sinb mengaruk kepalanya yang tidak teras gatal, pandangannya teralih pada Aluna yang berdiri sedikit jauh dari Aiden.
“Apa dia gadis yang….”
“Ssttt….Jangan mengalihkan pertanyaanku, cepat jawab, sedang apa kau kesini?” Aiden melangkah mendekat, menyudutkan Sinb pada dinding elevator dengan tatapan mata yang mengintimidasi.
Sinb menghembuskan napas singkat, yang sesaat menerbangkan sedikit rambut yang sempat menutupi wajah. Gadis itu berdeham, mendorong tubuh Aiden untuk sedikit menjauh darinya.
“Aku akan mengatakan – ah tidak..tidak….maksudku akan menjelaskan padamu. Tetapi itu tidak sekarang – nanti – setelah aku menyelesaikan semuanya,” detingan pintu elevator yang terbuka membuat Sinb bernapas lega. Lalu. “Senang bisa bertemu denganmu, Aiden.” Tanpa permisi, Sinb melesat keluar dari elevator dan melambaikan tangan saat pintu elevator perlahan tertutup.
“Kau sedang melambaikan tangan pada siapa?” tanya Jungkook yang berjalan menuju ke arahnya.
Sinb menurunkan tangannya, kemudian berkata dengan ketus. “Bukan urusanmu, dan cepat katakan apa yang kau inginkan.” Gadis itu sudah melangkah lebih dulu, meninggalkan Jungkook yang mengikuti langkah kakinya dari belakang.
Pikirannya masih berkelana mengingat raut wajah Aiden saat bertemu dengannya di dalam elevator tadi. Aiden pasti menerornya, meminta penjelasan atas apa yang baru saja dilihatnya. Lelaki itu tidak akan berhenti sampai mulutnya membuka untuk mengatakan yang sejujurnya. Aiden mengenalnya, sangat mengenalnya sampai lelaki itu tahu kapan ia berbohong dan kapan ia berkata jujur.
Sinb tersentak dari pikirannya, saat kepalanya membentur dada bidang Jungkook yang entah kapan sudah ada di depan. Gadis itu mendongak, memandangi wajah Jungkook yang begitu dekat dengan wajahnya.
“Apa yang ingin kau lakukan lagi, hah?” tanya Sinb lirih, menahan rasa gugup yang membanjiri tubuhnya yang berada dalam tatapan Jungkook yang begitu intensi dan tajam.
Jungkook tidak menjawab, melainkan lelaki itu hanya memandang wajah Sinb yang terlihat tegang. Sebelah tangannya yang tidak dibebat dengan bebas merapikan anak rambut Sinb yang terlepas dari ikatan rambutannya. Menyelipkan anak rambut itu ke belakang telinga tanpa mengalihkan pandangan matanya dari rona merah yang muncul di pipi gadis di depannya.
“Kau lucu kalau sedang tersipu malu seperti ini,” ujar Jungkook mencubit pipi Sinb yang masih memperlihatkan rona merah muda di kedua pipinya. “Jangan pernah memperlihatkannya pada lelaki lain selain aku, karena aku tidak ingin berbagi dengan mereka.” Kemudian Jungkook menarik wajahnya, kembali memberikan jarak, tapi dengan kecepatan yang tidak Sinb sadari Jungkook sudah meraih pergelangan gadis itu dan mengenggamnya.
“Ya!” protes Sinb berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Jungkook yang begitu erat dipergelangan tangannya.
Sinb menggerutu pada kupu-kupu diperutnya yang mengelitik bahagia. Ia benci saat ia tidak berdaya, tidak mampu melawan, dan membiarkan lelaki yang berjalan di depannya ini melakukan hal-hal yang diluar dari apa yang dibayangkannya. Membuat degupan jantungnya tidak beraturan, membuat napasnya terasa sesak, membuat kupu-kupu sialan itu selalu hadir, dan rasa nyaman yang begitu sulit untuk ditepis saat kehadirannya mulai mengusik ketenangan hatinya yang tidak pernah terjamak oleh hal seperti ini.
Sungguh perasaannya ini mulai hadir akhir-akhir ini setiap kali Jungkook berada dalam jangkuannya.
Jungkook menghentikan langkahnya, tepat di depan apartement yang pintu tidak tertutup.
“Aku sengaja membiarkannya tetap terbuka agar dengan mudah masuk ke dalam.” Tutur Jungkook menjelaskan.
Mereka sudah berada di dalam apartement milik Jungkook yang sudah terlihat rapi. Sangat rapi hingga Sinb berpikir kalau kedatangannya bukan untuk disuruh menjadi pembantu. Cukup bersyukur. Karena setidaknya satu pekerjaan yang selama ini jarang dilakukannya tidak akan ia tunjukkan pada Lelaki itu. Ia bisa malu bila Jungkook memintanya untuk membereskan rumah disaat ia selalu menghindarinya di asrama.
Sinb masih mengikuti langkah kaki Jungkook yang berjalan ke arah dapur. Interior apartement milik Jungkook tidak begitu berbeda jauh dengan milik Aiden. Dapur dan ruang duduknya tidak memiliki batas pemisah, hingga dari dapur bisa dengan langsung melihat aktivitas yang sedang terjadi di ruang tamu. Memiliki dua ruang kamar dengan kamar mandi dua ; satu di dalam kamar, dan satu berada di luar. Hanya sedikit saja perbedaan di antara dua apartemen. Kalau milik Aiden, kakaknya itu lebih senang menaruh barang-barang kesukaan terpanjang menghiasi setiap sudut ruangan yang kosong seperti; grand piano hitam yang dibelinya tahun lalu yang diletakkan dekat dengan jendela apartement, lukisan-lukisan klasik yang menghiasi dinding ruang duduk sampai kamarnya, rak yang dipenuhi berbagai macam buku – kebanyakan buku bisnis – menutupi salah satu dinding di apartementnya, pot-pot bunga kecil – ah lupakan soal kebiasaan aneh Aiden yang entah sejak kapan suka menaruh pot-pot kecil di sekitarnya. Selain di apartement, pot-pot kecil itu ada di kamar Aiden di rumah, dan juga di ruang pribadinya di perusahaan. Bahkan, di dalam mobil lelaki itu pun ada satu pot kecil tapi itu hanya hiasan.
Berbeda dengan apartement milik Jungkook yang terasa kosong. Tidak ada apapun yang menghiasi setiap ruang di dalam apartement. Hanya ada satu set kursi sofa yang empuk, dua kursi berlengan, dan meja rendah dari kayu ditengah-tengah ruangan. Meja makan yang bertemankan enam kursi menggelilinginya. Tidak banyak barang yang terlihat di dalam apartement ini selain apa yang sudah disebutkannya itu.
Mendadak langkah Sinb terhenti dan ia mengerjap menatap keadaan dapur yang kacau-balau. Ada empat jenis sayuran yang sudah dipotong asal-asal tersebar di meja dan dilantai, bercampur dengan bahan-bahan yang sudah tidak berbentuk lagi. Genangan air terlihat di permukaan meja dan juga di lantai. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?
“Bisakah kau membersihkan dapur ini dulu?”
“Apa yang terjadi di sini?” tanya Sinb. Namun Jungkook hanya menunjukkan kerlingan matanya. Sinb mendengus dan kembali menatap kekacauan di hadapannya. Ia bisa menebak apa yang terjadi di dapur ini. Sepertinya Jungkook ingin memasak sesuatu, tetapi ia tidak bisa melakukannya dengan menggunakan satu tangan. Beginilah hasilnya.
“Setelah kau membereskan kekacuan ini,” akui Jungkook dengan cengar-cengir tidak jelas menunjuk dapur yang berantakan. “Temani aku membeli sesuatu di mini market dan makan malam bersamaku karena sejak pagi tadi aku belum mengisi perutku.”
“Kenapa kau tidak memesan makanan siap antar saja ke sini?” tanya Sinb. Namun Jungkook tidak menjawab. Sinb menoleh dan menyadari Jungkook sudah tidak berada di tempatnya tadi. Sedetik kemudian Sinb mendengar bunyi pintu ditutup. Seperti Lelaki itu sudah masuk ke kamar.
Sinb mendesah menoleh di balik bahunya, menatap pintu kamar yang tertutup, dan bergumam, “ Pada akhirnya dia membuatku seperti pesuruhnya.” Ia mendengus pelan. “Yah, yang benar saja.”
ù
Malam sudah semakin larut, gadis itu masih belum beranjak dari posisi duduknya di depan laptop yang menyala. Kedua atensinya masih serius memerhatikan layar laptop yang menampilkan sebuah file yang terbuka. File yang baru diterimanya dua jam yang lalu melalui email. Isi dari file itu adalah sesuatu yang selama ini dicarinya. Bukti kejahatan yang telah dilakukan oleh orang-orang di masa lalunya. Mereka yang telah merengut kebahagiaan dan kedua orang tuanya. Membuat ia harus kehilangan begitu banyak di dalam hidupnya.
Hanya tinggal selangkah. Untuk membawa semua bukti yang didapatkannya ke meja pengadilan. Ia tahu. Kasus ini sudah lama di tutup oleh pihak kepolisian karena pihak keluarga korban tidak ada yang melakukan tuntutan balas pada pihak tersangka atau naik banding untuk meminta keadilan. Mereka langsung menutupnya tanpa menunggu putri dari korban itu bangun dari komanya. Mereka langsung menyimpulkan sendiri, memilih jalan damai, dan membebaskan tersangkanya.
Tapi ia tidak peduli dengan peraturan itu. Rasa sakit yang selama ini dialami tidak pernah mereda sebelum melihat mereka yang telah merampas kebahagiaannya merasakan apa yang dulu pernah dirasakannya. Ia tidak melakukan kejahatan dengan membalas, tetapi melakukan sesuatu yang jelas tidak akan pernah mereka lupakan. Sama seperti ia tidak bisa melupakan bagaimana mereka pernah menyakitinya.
“Al! kau belum tidur?” Venus yang baru saja keluar dari kamar begitu terkejut melihat Aluna masih duduk di kursi meja makan dengan laptop yang menyala. Padahal ia berpikir kalau saat ini gadis itu sudah tidur karena sempat mengeluh lelah.
Aluna, gadis itu menoleh, yang sebelumnya dengan cepat menutup laptopnya saat melihat Venus yang sudah berjalan ke arahnya. Venus tidak boleh tahu soal ini. Gadis itu pasti akan mencercanya dengan berbagai pertanyaan bila tahu rahasia yang selama ini disimpannya seorang diri. Tidak ada yang tahu. Keluarga Leonidas pun tidak tahu soal rencana balas dendamnya. Mereka pasti akan sangat syok bila mengetahuinya. Ia tidak ingin melibatkan keluarga itu dalam urusannya, keluarga Leonidas sudah begitu baik dengan menerima kehadirannya di dalam keluarga, ia tidak akan dengan tega menyeret orang-orang disayanginya ke dalam masalah yang akan ditimbulkannya.
“Ini sudah mau tidur,” ucap Aluna merapikan barang-barangnya yang berserakan di atas meja makan. Sekilas gadis itu memperlihatkan raut wajah mengantuknya pada Venus yang tengah meneguk air minumnya sampai habis. Sebenarnya ia belum mengantuk, itu hanya beralasan saja agar Venus tidak menaruh curiga dengan apa yang baru saja dilakukannya.
“Kau sedang mengerjakan apa?” tanya Venus yang seketika menghentikan kaki Aluna untuk pergi.
Aluna menoleh ke balik bahunya, menatap Venus yang berdiri, dan bergumam, “Hanya pekerjaan sampingan yang membutuhkan bantuanku.”
“Ah, ternyata Harry masih saja meminta bantuanmu.” Tawa kecil terdengar dari mulut Venus. Gadis itu memang tahu kalau Harry Leonidas, ayahnya, memang selalu suka meminta bantuan saat beliau sedang malas menyelesaikan pekerjaan di perusahaannya. Menyuruh Aluna untuk membaca tumpukan berkas di ruang kerjanya, kemudian pria tua itu tinggal menandatanganinya setelah menerima saran dari Aluna.
Ia cukup bersyukur kalau kebiasaannya itu bisa digunakan alasan dalam situasi seperti ini. Aluna mengulas senyum kecil yang tidak begitu kentara, memasang kembali wajah mengantuknya di depan Venus.
Melihat Aluna yang sudah berapa kali menguap, membuat Venus menghentikan percakapan mereka dengan menyuruh Aluna untuk segera masuk ke dalam kamar dan tidur. Gadis itu tidak lupa juga mengucapkan salam perpisahaan sebelum Aluna masuk ke dalam kamar, begitu pun dengannya.
Setelah Aluna masuk ke dalam kamarnya, ia meletakkan laptop yang belum mati itu di atas tempat tidur. Berjalan menghampiri tepian jendela kamar lalu berdiri di sana. Jalanan cukup ramai, sangat ramai meski malam sudah beranjak pukul tiga pagi. Kota Seoul yang tidak pernah sepi. Selalu ada cahaya yang lahir dari lampu-lampu yang menyala disetiap tempat, begitu ribut dengan hiruk pikuk kendaraan dan penjalan kaki yang mungkin baru saja pulang dari bekerja, atau baru saja memulai pekerjaannya. Hawa atmosfer yang selalu berganti-ganti sesuai musim yang datang. Saat ini musim gugur, sebentar lagi musim dingin akan menghampiri. Angin malam diluar sana pasti begitu dingin, sangat dingin hingga menusuk sampai tulang.
Satu desahan sudah lolos dari bibirnya. Ingatan-ingatan yang selama ini hanya disimpannya seorang diri tanpa berniat untuk membaginya bersama orang lain, kembali hadir memenuhi rongga kepalanya. Menarik konsentrasinya untuk mengingat masa lalu yang belum ingin dilupakan. Dia mendengus, saat ingatan pertama yang terbersit di dalam benaknya adalah saat-saat kebersamaanya bersama dengan Aiden lima tahun yang lalu.
Itu adalah memori yang seharusnya tidak pernah hadir lagi tapi selalu datang dengan sejuta rasa yang berbeda-beda. Kadang ia merindukan masa bahagia itu, masa dimana ia merasa seperti seorang tokoh kartun yang tengah dijemput oleh sang pangerannya, hidup bahagia tanpa memikirkan masa depan yang akan datang. Kadang pula mengutuk dirinya yang begitu bodoh menerima begitu saja kehadiran Aiden di dalam kehidupan damainya, berpikir kalau kesalahan semua yang telah terjadi di antara mereka adalah kesalahannya sendiri karena terlalu percaya dengan semua kebohongan Aiden.
Mereka berdua adalah dua kutub yang berbeda, yang dipaksakan menjadi satu takdir yang menyakitkan. Yang pada akhirnya hanya mengoreskan luka yang sukar untuk sembuh meski waktu sudah berlalu begitu banyak.
Seperti slide yang berpindah. Sebuah ingatan lain yang tiba-tiba datang sekaligus membuat dadanya terasa penuh. Ia merindukan kedua orang tua kandungnya, sangat merindukannya hingga tanpa sadar air mata sudah menetes membasahi pipinya. Wajahnya sedikit terangkat ke atas, menatap pada langit malam yang berhiaskan bintang-bintang yang terang. Dalam hatinya ia bergumam; semoga saat ini dua orang yang dirindukannya sedang menatapnya di bawah sini, melihatnya telah tumbuh menjadi seorang gadis yang tidak akan pernah ditindas lagi. Ia selalu teringat setiap kali ayahnya menguatkannya untuk tetap melanjutkan sekolah di saat teman-temannya selalu mengejeknya. Beliau mengatakan kalau mereka akan lelah sendiri dengan perlakuan itu, dia meminta untuk tetap bersabar, dan tidak membalasnya dengan perlakuan yang sama. Tapi sayangnya, saat ini, perkataan itu harus diabaikanya. Ia tidak bisa bersabar, menunggu bukan hal yang ingin dilakukannya, melainkan ia akan membalas. Membalas segala kesalahan mereka dengan caranya sendiri.
Awalnya ia berpikir untuk membalaskan dendamnya akan terasa sulit tanpa ada alasan yang pasti. Ia tidak mungkin datang kembali ke sini dengan tujuan yang begitu kentara. Tetapi siapa yang menyangka, bila kesempatan untuk membalas malah terbuka dengan lebar di depannya. Dan siapapun tidak akan curiga jika alasan kembalinya adalah untuk tujuan ini. Bukan karena memiliki kerjasama dengan perusahaan Cho Kyuhyun. Apalagi dengan alasan bertunangan dengan Aiden.
Ia datang karena keinginannya sendiri, untuk membalaskan kematian kedua orang tuanya.
ù
Lee unji hehe nice story :)
Comment on chapter Fate