Sinar keemasan perlahan menembus kelopak mata Aluna yang masih terpejam rapat. Cahaya matahari dari luar yang masuk tanpa izin membuat saraf Aluna mau tidak mau harus bekerja dua kali lipat lebih cepat. Aluna berdecak kesal, rentetan kalimat bernada jengkel terus menerus keluar dari mulutnya. Alis hitam gadis itu bertaut, menahan pening yang tiba-tiba melanda.
Aluna mencoba untuk membuka kelopak mata yang masih terasa lengket.
“Bangun Aluna Leonidas, ini sudah siang!”
Aluna menggeliat malas. “Ah…aku masih mengantuk…”tangannya menggaruk kepala, matanya masih terpejam. Aluna mendudukkan dirinya di tepi ranjang dengan wajah yang terlihat kacau. Sesaat kemudian ia membuka matanya, melihat siapa yang dengan berani menganggu tidurnya. Ia tersentak kaget begitu mendapati Aiden sudah duduk manis di sampingnya. Dengan mata yang membulat dan rambut yang berantakan, gadis itu berteriak kaget.
“Yak??!!”
Aiden terkekeh kecil, seolah apa yang dilihatnya begitu lucu. Lelaki itu menikmati raut wajah keterkejutan Aluna.
“Kenapa?” goda Aiden masih tertawa, yang dibalas Aluna dengan raut wajah jengkel. Tetapi lelaki itu tidak peduli. Ia bahkan melanjutkan kalimatnya sambil terkekeh. “Sana mandi, wajahmu jelek sekali saat bangun tidur.”
“Yak, siapa kau yang seenaknya menyuruh-nyuruhku? Ini apartementku!”
Aiden terkekeh lagi, “aku tahu ini apartementmu.” Katanya sambil memberikan handuk pada Aluna. “Cepatlah mandi dan jangan lupa menggosok gigimu. Napasmu bau.”
Aluna dibuat melongo oleh Aiden. Tidak bisa membalas perkataan Lelaki itu.
“Keluar!” sahutnya setelah cukup sadar untuk menyeret Aiden keluar dari kamar. Aiden benar-benar sudah membuatnya gila. Bagaimana bisa Lelaki itu masuk ke kamarnya tanpa izin dan mendapati dirinya hampir menyerupai badut taman hiburan. Aluna yakin di dalam hati Aiden pasti sedang tertawa terbahak-bahak dan menganggapnya sebagai lelucon paling konyol seumur hidup. Memalukan.
Tapi bagaimana lelaki itu masuk ke dalam kamarnya? Wajah Aluna dengan cepat menengok pada pintu yang tertutup. Ia tidak mungkin lupa mengunci kamarnya semalam, bukan? Kening Aluna berkerut memikirkan pertanyaannya. Semalam ia memang banyak pikiran, bisa saja karena itu ia lupa mengunci pintu kamar. Tetapi – Ah, masa ia lupa mengunci pintu hanya karena hal seperti itu. Selama ini ia tidak pernah seceroboh ini membiarkan ruang privasinya tidak dalam terkunci, ia selalu ingat untuk mengunci apapun yang menyangkut dengan privasinya. Namun –Aluna mengacak rambutnya, merasa frustasi tidak menemukan pekalan ingatan untuk menjawab pertanyaannya.
Kau tidak mungkin tiba-tiba menjadi pikun dalam waktu semalam, khan Aluna? Gerutu gadis itu dalam hati.
“Kutunggu di meja makan, aku akan membuatkanmu sarapan” teriak Aiden dari luar kamar ketika Aluna hendak meraih pintu kamar mandi. Ia sontak menoleh dan menatap pintu kamar dengan tatapan menyeramkan. Sungguh, ia tidak bisa membayangkan kalau hari ini akan melaluinya bersama dengan Aiden lagi setelah kemarin. Bahkan kemarin pun ia harus rela pulang pergi bersama dengan lelaki itu dikarenakan ia tidak membawa mobil dan Kyuhyun malah memaksanya untuk pulang bersama dengan Aiden padahal jelas-jelas lelaki itu bisa mengantarnya.
Mengingat saudara sepupunya itu malah menambah kekesalan dihati Aluna. Kyuhyun sungguh ingin menguji kesabarannya dengan membiarkan Aiden selalu ada disekitarnya.
ù
Aluna duduk di dalam mobil Aiden dengan canggung. Bagaimana tidak, mereka hanya ada berdua di dalam mobil tanpa Venus yang menemaninya. Kemarin ia berani pergi bersama dengan Aiden ke perusahaan Kyuhyun karena ada Venus yang disampingnya, tetapi hari ini Venus harus pergi menjemput kiriman yang akan sampai hari ini dari Boston.
Aluna memijat kepalanya ringan, lalu meletakkan siku kirinya pada sisi jendela mobil. “Lain kali jangan sembarangan masuk ke dalam kamar orang kalau belum diberikan izin. Itu sama saja tidak menghargai privasi orang.”
Aiden menoleh dan menaikkan alis kirinya. “Venus sendiri yang menyuruhku untuk masuk dan kebetulan pintu kamarmu tidak terkunci. Salahmu yang tidak mengunci kamarmu saat tidur.”
“Apa kau sedang menyalahkanku?” sergah Aluna kesal mendengar Aiden seolah menyalahkannya atas ketidaksopanan lelaki itu masuk ke dalam kamarnya. “Jelas-jelas kau yang tidak sopan masuk ke dalam kamarku.” Ketusnya memiringkan posisi duduknya menghadap ke jendela mobil.
“Aku tidak menyalahkanmu, Al. Tapi kenyataan kau memang membiarkan pintu kamarmu tetap terbuka dan membiarkanku masuk setelah mendapatkan izin dari Venus.” Balas Aiden membela diri. Tidak ingin disalahkan oleh gadis disebelahnya ini.
Siapa juga yang berani masuk ke dalam kamar seorang gadis tanpa izin terlebih dahulu. Biarpun ia ingin melihat wajah Aluna saat bangun tidur, ia tetap tidak akan berani masuk ke dalam kamar gadis itu tanpa ada orang tahu. Memang ia penjahat yang punya niat buat mengintip seorang gadis yang sedang terlelap dalam tidurnya dan mencari kesempatan disaat gadis itu lengah? Tentu saja tidak. Ia tidak akan melakukan hal serendah itu.
Aluna mencebik, merasa tidak percaya kalau Aiden sungguh menyalahkannya. Memang siapa juga yang ingin membiarkan pintu kamar tidak terkunci saat sedang tidur. Hanya orang bodoh saja yang melakukan seperti itu. Hah!
“Ya sudah. Aku minta maaf karena sudah berani masuk ke kamarmu tanpa permisi. Lain kali bakalan minta izin dulu.” Tatap Aiden sambil memeriksa ponselnya. Kebetulan angka perhitungan di lampu merah masih cukup jauh untuk berganti hijau.
“Aku hanya tidak suka orang lain masuk ke area privasiku tanpa izin dariku.”
Aiden meletakkan ponselnya kembali di sisi pintu, kemudian memutar tubuh untuk menghadap Aluna dan menarik bahu gadis itu untuk menghadap ke arahnya. Lalu menatap gadis itu intens. “Aluna! Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk membuat kata orang lain menjadi orang spesial dihatimu. Tapi sampai sekarang aku masih berharap suatu saat nanti kau akan melihatku bukan sebagai orang asing yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupmu, melainkan seorang lelaki yang akan melindungimu, mencintaimu dan juga…”
“Bagaimana bisa aku mempercayaimu bila dulu kau telah menorehkan luka di sini,” Sela Aluna menunjuk pada dadanya. “Bagaimana aku menjadikan kau sebagai lelakiku bila kau sendiri telah menunjukkan padaku bahwa kau tidak layak untuk sebutan itu.”
“Aluna, itu semua…”
“Hanya masa lalu yang seharusnya kita lupakan, iyakan?” tatap Aluna sembari mendengus saat Aiden menganggukan kepalanya. “Bagimu seperti itu. Tapi untukku, masa lalu yang telah kau berikan itu telah membekas dan sukar untuk dihilangkan. Jadi, jangan pernah berharap kalau aku bisa menerimamu kembali.”
Aluna melepaskan tangan Aiden yang berada di atas bahunya. Lalu menunjuk pada warna hijau di lampu APILL yang memberikan tanda bahwa seluruh kendaraan bergegas memacu gasnya. Aiden menghela napas, memperbaiki posisi duduknya dan menjalankan kembali mobil. Sesekali Aiden melirik Aluna yang saat ini sudah tidak lagi mau bicara. Gadis itu memilih menolehkan wajahnya ke luar jendela di sisa waktu sampai mereka tiba di parkiran perusahaan Kyuhyun.
Begitu mobil berhenti di pelataran parkir dan Aiden mematikan mesin mobilnya, Aluna bergegas turun dan berjalan cepat sebelum Aiden sempat memanggilnya. Sepertinya gadis itu sedang marah. Kemarahan gadis itu karena dirinya, lagi, dan lagi dia membuat Aluna semakin menjauhinya.
Tapi tidak mengapa bila Aluna sudah berjalan lebih dulu masuk ke dalam perusahaan ketimbang dirinya. Toh mereka akan tetap bertemu di ruang pertemuaan untuk membahas hasil fitting baju hari ini. Besoknya lagi mereka akan tetap bertemu di lokasi pemotretan dan akan bertemu lagi di acara sabtu depan di Seoul International Seoul. Atau mungkin mereka berdua akan terus bertemu karena minggu depan sesuai dengan rencana kedua pihak keluarga bahwa pertunangan mereka akan dilaksanakan kamis depan. Otomatis Aluna akan terus bertemu dengannya. Suka atau tidak, gadis itu tidak bisa mengelak kenyataan itu.
Aiden menyalakan kembali mesin mobil dan berlalu meninggalkan pelataran parkir menuju ke jalan raya. Ia masih harus menyelesaikan pekerjaannya di perusahaan sebelum kembali lagi ke perusahaan Kyuhyun untuk menghadiri pertemuaan sore ini. Mengingat akan bertemu kembali dengan Aluna membuat Aiden begitu bersemangat. Biasanya ia paling malas bila harus balik lagi ke perusahaan bila sudah siang seperti ini.
Ha..Ha..Sebenarnya pagi tadi ia sudah berangkat ke perusahaan karena memiliki rapat penting dengan klien. Saat ia keluar dari ruang rapat, Kyuhyun menelponnya untuk menjemput Aluna di apartementnya karena sejak pagi gadis itu belum terlihat di perusahaan. Padahal pagi tadi gadis itu memiliki jadwal untuk melakukan fitting pakaian bersama dengan model yang sudah dikontrak untuk proyek ini. Alhasil. Jadwal fitting harus diundur menjadi siang dan berlanjut dengan pertemuaan untuk membahas pakaian-pakaian yang digunakan.
Aiden memelankan laju mobil saat kendaraan itu memasuki area pelataran parkir perusahaan. Dan ia begitu terkejut melihat seseorang sedang berdiri menyandarkan punggungnya di mobil hitam yang sedang terparkir.
“Lee Hyuk Jae?”
ù
Jungkook duduk tertegun menatap makan siang yang disiapkan Sinb untuknya. “Apa kau yakin menyuruhku makan ini?’ tanyanya dengan wajah mendongak menatap Sinb dengan ragu.
Sinb mengangguk, malah terlihat mempersilakan Jungkook untuk segera memakan makanan yang ada di depannya.
“Astaga Sinb, masa kau menyuruhku hanya makan siang dengan susu dan sereal, bagaimana bisa kenyang?”
Mata Sinb menyipit mendengar nada protes dalam suara Jungkook. “Lalu kau berharap akan ada makan enak sementara di dalam lemari pendinginmu tidak ada apa-apa selain sereal dan susu putih?” Katanya membela diri.
“Itu tidak mungkin. Aku yakin masih ada daging dan beberapa sayuran,” gumam Jungkook
“Kalau kau tidak percaya denganku, kau bisa melihatnya sendiri,” sahut Sinb tegas. “Kecuali kau menyembunyikannya dan mengatakan kalau aku sedang membohongimu.”
Jungkook memberengut menatap Sinb. “Aku tidak mungkin menunduhmu. Tapi aku cukup yakin kalau masih ada daging dan beberapa sayuran. Ah, pasti masih ada roti. Iya. Aku yakin semalam aku sempat melihat masih ada roti di dalam lemari pendingin.”
Sinb menghela napas panjang, menatap jengkel Jungkook yang masih belum percaya jika di dapurnya sudah tidak ada bahan makan yang bisa diolah selain susu dan sereal itu.
“Sungguh, tidak ada apa-apa di dapurmu,” Sinb menegaskan sekali lagi kalau ia tidak mungkin berbohong pada Jungkook soal lemari pendinginnya yang kosong. Kemudian menambahkan dengan suara yang lebih pelan, “seharusnya kau tahu itu karena kau yang tinggal di sini.”
Jungkook mendesah, menyipitkan matanya menatap Sinb dan gadis itu terlihat tidak memperdulikan tatapan Jungkook padanya.
Sinb kembali bersuara. Kali ini suaranya lebih dipelankan lagi. “Kalau kau mau, aku bisa membantumu membeli persediaan makanan atau apa pun kau butuhkan dan membawanya malam nanti, setelah aku selesai latihan,” Sinb menawarkan diri.
Sebelum Jungkook sempat menjawab, bel pintu berbunyi. Sinb otomatis menoleh ke arah pintu, lalu kembali menatap Jungkook.
“Apa kau sedang menunggu tamu?” tanya Sinb bersamaan dengan suara bel kembali berbunyi.
Jungkook menggeleng, merasa tidak sedang menunggu siapa pun saat ini.
“Sebaiknya kau melihatnya,”
Sinb menatap Jungkook tidak mengerti.
“Apa kau ingin aku yang kesana dan membuka pintunya?” tanya Jungkook. Salah satu alisnya terangkat sembari menunjukkan tangan kanannya yang cedera pada Sinb.
Sinb mendesah dalam hati menyadari kalau kehadirannya di apartement ini adalah menjadi tangan kanan Jungkook. Sungguh, ia kadang ingin melupakan kecerobohan ini dan menikmati hidup santainya tanpa harus dipusingkan dengan harus datang ke sini lagi disaat tubuhnya benar-benar membutuhkan istirahat.
Dengan enggan, Sinb berjalan ke pintu dan membukanya. Seorang lelaki muda, jangkung, berkulit putih, bahu lebar dengan bibirnya yang sedikit tebal dan hidung mancung menatapnya dengan alis terangkat. “Siapa kau?” tanya lelaki itu tanpa basa-basi, namun tidak ada nada tajam dalam suaranya.
Sinb mengernyit bingung membalas tatapan lelaki didepannya. Seharusnya dia yang bertanya siapa lelaki ini. Sebelum Sinb sempat menanyakan hal sama, suara Jungkook terdengar di belakangnya. “Kau, untuk apa kesini?”
Kening Sinb mengerut menatap secara bergantian dua lelaki di hadapannya ini. Dari apa yang dilihatnya, Jungkook tampak tidak menyukai kehadiran lelaki yang entah siapa namanya ini. Apa mereka sedang marahan?
Sinb menepi memberi jalan. Lelaki yang terlihat lumayan tampan itu masuk dan melewati Sinb ke ruang duduk.
“Siapa gadis itu?” Sinb mendengar lelaki itu menanyakannya kepada Jungkook. “Dan kenapa kau mematikan ponselmu? Appa sejak tadi menelpon karena ada hal yang ingin beliau bicarakan denganmu.”
Sinb menutup pintu dan berjalan ke ruang duduk. Gadis itu mengangguk sekilas ketika tahu siapa lelaki yang sedang berbicara dengan Jungkook saat ini. Ternyata lelaki ini adalah saudara Jungkook. Mereka terlihat begitu berbeda.
“Ponselku sedang dicars di dalam kamar,” kata Jungkook sambil duduk bersandar di sofa. Lalu menoleh ke arah Sinb dan tersenyum samar. “Bisakah kau membuatkan minuman untuknya?”
“Kurasa aku belum memberitahukan kalau di dapurmu tidak ada sama sekali sesuatu yang bisa kau suguhkan untuk tamumu.” Sahut Sinb tersenyum sumbang
“Apa kau belum membeli keperluanmu?” kini giliran lelaki yang duduk di samping Jungkook yang bersuara.
“Aku tidak mungkin pergi sendiri ke supermarket dengan keadaan seperti ini, Jee. Kau mau menambah cedera tanganku dengan membawa kantong belanja yang berat itu?”
“Seharusnya kau meminta gadis yang telah melukaimu itu untuk membantumu setidaknya membeli keperluaanmu. Kalau tahu seperti ini aku sekalian saja mampir ke supermarket untuk membelinya.”
Sekali lagi Jungkook menoleh pada Sinb dan tersenyum samar. “Gadis yang kau sebutkan itu yang berdiri sekarang di depanmu,” katanya pada Jee.
Jee ikut menatap Sinb. “Dia?” tanyanya dengan nada heran. “Kau yang sudah mematahkan tangannya?”
“Tidak! Aku tidak mematahkannya. Tangan Jungkook hanya terkilir dan aku tidak sengaja melakukannya.” Sahut Sinb cepat. Lalu menambahkan dengan suara yang lebih pelan namun nada suaranya meski pelan tapi terdengar kesal. “Lagipula tangannya tidak patah tapi terkilir.”
Jee membalas dengan nada yang juga sedikit terdengar sinis. “Sengaja atau tidak, kau tetap sudah mencederai tangan Jungkook. Harusnya kau menghitung kerugian yang diterima Jungkook karena tangannya cedera.”
“Menurutmu aku kesini karena apa kalau bukan untuk menembus kesalahanku.” Balas Sinb tidak kalah sinis dari perkataan Jee. “Berbicara soal kerugian, memang berapa kerugian yang harus kubayar?”
“Cukup dengan kau selalu ada disaat aku membutuhkanmu.”
Sinb dan Jee serentak menoleh ke arah Jungkook.
“Cukup dengan kau selalu ada disaat aku membutuhkanmu,” kata Jungkook sekali lagi. “Dengan cara itu kau membayar kerugianku.”
Jee mengangkat sebelas alis, merasa jangkal dengan perkataan Jungkook barusan. Sebelum Jee sempat bertanya, suara Jungkook lebih dulu terdengar.
“Jee, kenalkan,” kata Jungkook sambil mengayunkan lengan kirinya ke arah Sinb. “Ini, Lee Sinb, member Bfriend, gadis yang akan menjadi tangan kananku sampai cedera tanganku pulih.”
Sinb mendesah dalam hati. Seperti itulah posisinya di apartement ini. Sebagai tangan kanan Jungkook.
Jee tersenyum kecil. “Tangan kanan?”
Entah sudah berapa kali Sinb mendesah dalam hati. Ia tidak mungkin hanya diam berdiri tidak melakukan sesuatu untuk saat ini selain mengulurkan tangan ke arah Jee dan berkata. “Hai, aku Lee Sinb. Panggil saja Sinb. Kau tidak perlu peduli dengan statusku sebagai seorang idol.”
Senyum Jee melebar dan ia menjabat tangan Sinb dengan tegas. “Shin Jee. Aku saudara Jungkook,” katanya. Lalu, “kau tidak tampak terlihat seperti seorang idola menurutku.”
“Ya, baguslah, kalau kau berpikir seperti itu. Aku cukup lega mendengarnya.” Sinb memperlihat sedikit senyum kecilnya saat tahu bahwa Shin Jee ini sepertinya orang baik dan kejadian ini tidak akan sampai keluar.
“Anyway bisa berkenalan denganmu sungguh kehormatan bagiku. Dan sepertinya aku mengingat sesuatu,” Jee terlihat memikirkan sesuatu. “Sepertinya aku pernah melihatmu di rumah sakit.”
“Ohya? Mungkin saja. Aku memang sering ke rumah sakit.”
“Apa kau sedang sakit?” tanya Jungkook khawatir. Raut wajah Jungkook yang seperti itu mengundang keheranan di wajah Jee yang melihatnya,
Sinb menggelengkan kepala. “Aku punya saudara sepupu yang kerja di rumah sakit. Aku sering berkunjung ke sana untuk menemuinya.”
“Ah, Lee Hyuk Jae?”
Kali ini Sinb yang menatap heran ke arah Jungkook. “Dari mana kau tahu namanya?”
Jungkook terlihat bingung menjawab, beberapa kali mata lelaki itu mengerjap mengalihkan pandangannya.
“Mm…Aku pernah bertemu dengannya sewaktu mengambil obat di rumah sakit.” Bohong Jungkook yang langsung Jee tahu. Sinb mungkin tidak mengetahuinya, tapi Jee, lelaki itu mengetahui kalau saat ini saudaranya itu sedang berbohong.
“Kalau begitu bisakah kau meninggalkan kami berdua dulu?” Jee menatap Sinb dengan isyarat agar gadis itu memberikan ruang pada mereka untuk membicarakan hal penting yang tidak bisa didengar oleh orang lain.
Sadar dengan kehadirannya yang sudah tidak perlukan lagi. Sinb berkata berjalan mengambil tas ranselnya, lalu kembali ke ruang duduk.
“Bisakah aku meminta tolong untuk memberikannya makan siang? Di dapurnya tidak memiliki bahan makanan yang bisa dimasak dan aku berencana akan kembali malam ini untuk mengisi lemari pendinginnya. Kebetulan malam ini aku memiliki rencana untuk menemui Aiden di apartementnya. Jadi kupikir sekalian saja aku datang ke sini menunaikan tugasku.”
“Terima kasih dan maaf sudah merepotkanmu.” Ucap Jungkook saat Sinb sudah berjalan menuju ke pintu. “Maaf tidak bisa mengantarmu.”
Sinb memutar bola matanya dengan malas, lalu mencebik. “Apa aku anak kecil yang perlu untuk diantar?”
Jungkook tidak menanggapinya dengan kalimat, melainkan mengacak rambut Sinb. “Sampa jumpa?” katanya begitu pintu apartement sudah terbuka, dan Sinb sudah berada di luar.
“Mm, sampai jumpa.” Balas Sinb melambaikan tangan pada Jungkook. “Masuklah.” Imbuhnya seraya menutup pintu apartemen dari luar.
ù
“Senang bisa bertemu dengan anda. Mohon kerja samanya.” Aluna mengucapkan kalimat yang sama, tersenyum, dan mengangguk sopan berkali-kali pada orang berbeda yang ia temui. Kini, ia berada di salah satu ruang rias yang berada di dalam studio foto. Ada closet besar di ujung ruangan yang dipenuhi pakaian pemotretan, menyisahkan ruang untuk enam ruang ganti yang muat dua orang dewasa. Kemudian kedua sisi ruangan berjejer beberapa meja rias. Satu meja rias berisi sebuah cermin besar berbentuk persegi dengan lampu terang menyala disetiap sisinya, sebuah meja, dan kursi yang nyaman.
Fitting pakaian bersama dengan model yang didapuk menjadi brand ambassador produk fashion telah selesai satu jam lalu. Lagi-lagi Kyuhyun tidak terlihat dengan alasan memiliki urusan yang tidak bisa ditunda dan menyuruh sekretarisnya untuk menggantikan dia sementara waktu dengan sebuah pesan menunggu Aluna di ruangannya setelah melakukan fitting.
“Mari ikut aku,” ujar Park Hani, seorang asisten yang akan membantu Aluna dalam mempersiapkan pakaian untuk pemotretan dan juga hal lain yang berhubungan dengan proyek mereka.
Aluna mengangguk sedikit, kemudian mengikuti Hani yang kini mengajaknya masuk ke sebuah ruangan pemotretan. Ada kilatan blitz yang menyala-nyala saat mereka masuk, cahaya tajam yang sama sekali tidak menyilaukan mata seorang model yang berada di depan, fotografer yang beberapa kali memberikan instruksi, serta beberapa pengawai lain yang sedang bertugas menyiapkan property pemotretan.
“Silakan mengganti pakaian.” Fotografer itu berteriak pada modelnya setelah melihat hasil jepretan di kamera.
“Fotografer Kim!” Hani berteriak dan melambai-lambaikan tangan, membuat fotografer itu mengangkat wajah, kemudian berjalan menghampiri Aluna dan Hani berdiri. “Apa pemotretannya sudah selesai?”
Fotografer Kim menggeleng. “Masih ada sesi terakhir. Kenapa?” tanya lelaki itu heran. Tidak biasanya Hani bertanya seperti itu padanya.
“Tidak. Aku hanya sekedar bertanya saja.” Jawab Hani, lalu menoleh pada Aluna yang berdiri disampingnya. “Kenalkan, ini Desainer yang akan bertanggung dalam pakaian produk untuk musim kali ini. Aluna Leonidas. Kurasa kau sudah pernah mendengar namanya.” Racau Yuna sembari mengayunkan tangannya ke arah Aluna memperkenalkan gadis itu.
“Aluna Leonidas, senang bertemu denganmu.” Aluna tersenyum kecil dan mengangguk sopan, lagi. “Mohon kerja samanya.”
“Ah, ya. Senang juga berkenalan dengan Desainer berbakat seperti Anda. Ini sebuah kehormatan bisa menjadi bagian proyek besar ini.” Fotografer Kim mengangguk sopan dan balas tersenyum.
Aluna hanya mengulum senyum, hampir semua orang yang ditemuinya mengatakan hal sama seperti yang dikatakan oleh fotografer Kim barusan. Ia tidak tahu bentuk rasa hormat seperti apa hingga mereka begitu senang bisa menjadi bagian dari proyek ini. Padahal kalau dipikir-pikir proyek ini tercipta hanya karena Kyuhyun ingin menariknya keluar dari tempat persembunyiannya.
“Nona Aluna?” suara lembut, tegas, namun menyeramkan itu menginsterupsi. “Anda di sini ternyata.”
Aluna menoleh, mendapati gadis jangkung yang tiga puluh menit yang lalu meninggalkannya bersama dengan Park Hani di ruang pertemuan. Saat gadis yang dikenalinya itu berjalan mendekat, di dalam benak Aluna berpikir tentang bagaimana gadis secantik Min Ji bisa terjebak bersama dengan Kyuhyun selama seharian penuh.
Meski tidak sepenuhnya tahu tentang bagaimana kehidupan Kyuhyun selama lima tahun ini, tapi Aluna cukup yakin kalau tabiat lelaki itu belum sepenuhnya berubah dari yang dulu dikenalnya. Lihatlah, hampir semua populasi pengawai yang kerja di perusahaan ini rata-rata berjenis kelamin perempuan, sementara pengawai yang berjenis kelamin lelaki bisa dihitung. Dan ia bisa memastikan kalau hampir semua pengawai perempuan di sini sudah ada yang pernah dikencani oleh Kyuhyun. Hal yang mustahil bila itu tidak pernah terjadi.
“Saya hanya ingin mengingatkan, kalau anda sudah ditunggu di ruangan Cho Sajangnim.” Ujar Min Ji saat sudah berhadapan dengan Aluna dan Hani. Fotografer Kim sudah berpamitan karena masih ada sesi pengambilan gambar terakhir.
Aluna menghela napas mengingat ia harus kembali bertemu dengan saudara sepupu menyebalkan seperti Kyuhyun. Lelaki itu suka sekali mengundang rasa kesalnya, sama seperti sahabatnya Aiden. Entah terbuat dari apa dua makhluk berjenis kelamin lelaki itu hingga begitu mudah mengacaukan suasana hatinya.
“Apa perlu saya temani anda ke ruangan….”
“Tidak perlu, terima kasih. Aku bisa ke sana setelah menyelesaikan urusanku dengan Hani.” Aluna menarik tangan Hani untuk pergi meninggalkan Min Ji yang masih berdiri di tempatnya, berjalan keluar dari ruangan dengan cepat.
“Maaf bila aku lancang menanyakan hubunganmu dengan Cho Sajangnim.” Langkah kaki Hani terhenti begitu mereka berjalan di lorong perusahaan menuju ke elevator. Aluna juga ikut berhenti, seulas senyum tipis gadis itu tunjukkan saat mendengar perkataan Hani.
“Apa mereka mulai membicarakan soal hubunganku dengan Kyuhyun?” tanya Aluna tanpa ragu memanggil nama Kyuhyun dengan santai di depan Hani. Sedangkan Hani sendiri cukup terkejut mendengarnya, tidak menyangka bila Aluna memanggil atasannya seperti itu.
“Sepertinya hubungan kalian begitu dekat, kau bahkan memanggil Sajangnim dengan namanya.” Ujar Hani dengan suara yang masih terkejut, antara tidak percaya dengan yang baru saja didengarnya.
Aluna hanya terkekeh singkat. “Tentu saja kami sangat dekat. Aku bahkan tahu sifat buruk atasan kalian dulu seperti apa.”
“Apa kau mantan kekasih Sajangnim?” tanya Hani cepat, yang ditanggapi oleh Aluna dengan tawa kecil. “Kenapa kau tertawa?”
“Hanya lucu saja. Kau sepertinya begitu penasaran dengan hubungan kami. Apa kau mantan kekasihnya?” Aluna berbalik bertanya, dan pertanyaan itu membuat Hani jadi salah tingkah. “Ah, ternyata benar, kau pernah memiliki hubungan dengan Kyuhyun. Berapa lama?” imbuhnya, melangkah mendekat ke arah Hani.
“A-aaku tidak, ehm-mm…aaku…” Aluna kembali tertawa kecil melihat Hani kesulitan menjawab pertanyaannya. Sudah bisa ditebaknya, Kyuhyun pasti sudah pernah mengencani pengawainya. Dan ia sudah menemukan buktinya.
“Kau tidak perlu gugup atau pun takut bila memang benar kalian pernah memiliki hubungan. Itu bukan hal yang baru lagi untukku mendengarnya. Dulu Kyuhyun juga sering bergonta-ganti pasangan, dan kurasa kebiasaan itu belum hilang dari dalam dirinya.” Aluna menurunkan pandangannya, menatap Hani yang memiliki tinggi yang sedikit dibawahnya.
“Aku tidak akan memaksamu untuk mengatakan sejujurnya padaku. Itu masalah pribadimu dan kau berhak untuk tetap diam.” Suara lembut sekaligus tepukan pelan di bahu Hani membuat gadis itu mengulas senyum samar yang tidak kentara, dan dibalas oleh Aluna dengan hal yang sama.
Mereka masih sempat berbincang sebentar mengenai persiapan pemotretan, lalu berpisah di depan pintu elevator. Untuk sampai ke ruangan yang ia tuju, ia tidak perlu lagi berdesakkan dan melalui work station para karyawan Cho Industries, partisi-partisi sibuk yang menjenuhkan. Ia hanya perlu menuju ke lantai delapan, dan menyusuri koridor lalu menemukan pintu tunggal yang berada di ujung matanya, seperti saat ini.
Langkahnya terhenti, tepat di depan yang ia ketahui pasti seorang bernama Cho Kyuhyun dengan kursi kebesaran di dalamnya telah menunggu kehadirannya. Aluna mengeluarkan napas malas saat tangan kanannya yang akan mengetuk pintu tiba-tiba menggantung di udara, ia enggan masuk bertemu dengan Kyuhyun. Dan kemungkinan Aiden juga berada di dalam.
Huft! Aluna melipat lengan di dada, kemudian mencebik. “Begitu malas harus bertemu dengan Aiden lagi.” Ya, dalam waktu yang hanya berselang satu jam – sejak bertemu di ruang pertemuan tadi – ia harus bertemu dengan lelaki itu lagi bersama dengan sepupunya Cho Kyuhyun.
“Permisi.” Suara sopan itu menghentikan tingkah bingung Aluna yang belum bergerak di depan pintu ruangan.
Aluna menoleh, segera meminta maaf karena – mungkin – menghalangi seseorang yang akan masuk menemui Cho Kyuhyun. Ia mengambil tiga langkah mundur, membiarkan tubuhnya kini berhadapan dengan…Ehm begini, biar ia menjelaskannya secara singkat dan perlahan. Di hadapannya kini ada satu orang wanita muda dan satu orang gadis yang menatapnya begitu tajam. Wanita muda yang begitu cantik, memakai setelan mix and match blazer cokelat dengan kemeja hitam dan angkle boots, sedangkan gadis disebelahnya memakai setelan blazer putih yang dipadukan dengan t-shirt polos dan shortpants hitam, bagian bawah gadis itu kenakan flat shoes berwarna serasi, disikunya menggantung tas Channel. Wanita muda itu menatap Aluna seolah ia adalah seorang gadis yang baru saja ditemui sejak beberapa puluh tahun lamanya, menganga dengan mata melotot, kemudian mulai mengeluarkan suara gelagapan.
“Kau…! Eun Ji..!” Dan wanita itu adalah….kakak perempuan dari Cho Kyuhyun, Cho Ahra, yang dulunya pernah menjadi atasannya saat ia bekerja part-time di café mom house. Baiklah, nasib buruk sedang ingin berteman dengan Aluna hari ini.
“Eun Ji..!” Ahra menurunkan tatapannya ke ujung stiletto putih Aluna, perlahan naik hingga puncak kepalanya. Dan tingkah memperhatikan itu dilakukan berkali-kali sampai wanita itu kembali bersuara. “Kau benar Cho Eun Ji?” tanyanya dengan suara tidak percaya.
Aluna mengangguk, tidak mengeluarkan suara untuk menjawab. Kedua matanya membalas tatapan Ahra dengan menegakkan lehernya walau ia ingin segera pergi dari sini. “Apa kabar eonni?”
“Oh! Tidak mungkin.” Ahra mengatup mulutnya dengan wajah yang tidak percaya. “Kau – sangat berbeda.” Ucapan itu sebelumnya sudah Aluna prediksi akan keluar lagi dari bibir merah muda Ahra, setelah Aiden dan Cho Kyuhyun ketika bertemu pertama kali dengannya. “Sungguh, kaukah ini?” Ahra memajukan langkahnya, mendekatkan wajahnya untuk menatap Aluna seraya mengangkat kedua tangannya untuk menyentuh wajah Aluna. Gadis yang selama lima tahun ini telah hilang, dan kini ada di depan matanya. “Oh! Aku sungguh – kau – a..aku sangat merindukanmu, Ji.” Ahra merengkuh tubuh Aluna ke dalam pelukannya. Menumpahkan segala rasa tidak percaya sekaligus bahagianya bisa melihat Aluna kembali. Ini sesuatu yang selama lima tahun ini dinantikannya, bertemu lagi dengan Aluna, mengatakan bahwa gadis itu tidak sendiri dan keluarga Cho akan menerima kehadiran gadis itu di dalam keluarga mereka.
Sementara Aluna sendiri sedang menahan perasaannya untuk tidak membalas pelukan Ahra. Ia tidak ingin larut dalam suasana mellow seperti ini. Bila ia mengikuti perasaan yang kini berkecambuk di dalam dirinya, maka setetes air mata akan jatuh tanpa ia bisa mencegahnya. Ahra adalah sosok kakak perempuan yang dulu begitu menyayanginya. Ahra orang yang pertama kali menyambut kehadirannya meski orang-orang diluar sana memandangnya sebelah mata. Ia sangat menyayangi wanita ini, sangat merindukan pelukan hangat yang dulu selalu mampu menenangkannya. Bahkan kehangatan pelukan itu masih sama seperti apa yang dirasakannya sekarang.
Tapi, ia tidak bisa menunjukkan perasaannya, masih ada dinding yang begitu tinggi menghalangi perasaan itu untuk terlihat. Ia….
“Aku senang melihatmu lagi, Ji.” Ucap Ahra perlahan mengurai pelukannya. Di wajah wanita itu masih ada air mata yang belum sepenuhnya dihapus. Dengan suara yang sedikit serak, Ahra berkata kembali. “Oh! Andai kau tahu, kalau selama ini aku mencarimu. Aku dan Aiden menyewa orang untuk melacak keberadaanmu. Tapi nihil, dia tidak bisa menemukanmu. Orang itu hanya….” Kalimat Ahra terjeda, sorot matanya memancarkan sebuah kesedihan, dan Aluna tahu arti dari tatapan Ahra padanya.
Keluarga Cho sepertinya sudah tahu soal kematian kedua orang tuanya. Aluna mendengus tanpa sadar, berpikir kalau ketahuan mereka sudah tidak memiliki arti apapun lagi untuknya. Semua sudah terlambat. Rasa sakit di hatinya sudah terlanjur berakar, sebentar lagi akan berbuah dan tinggal menunggu kapan ia akan memetik hasilnya.
“Mereka sudah tenang di tempat yang sekarang, tidak ada lagi orang yang akan memisahkan mereka, apalagi merusak hubungan mereka. Lagipula selama hidup mereka pun tidak pernah kekurangan apa pun. Mereka bahagia meski hanya tinggal di sebuah desa dengan rumah yang sederhana.” Aluna melangkah mundur, memberikan jarak di antara dirinya dan Ahra yang tampak terkejut mendengar perkataannya.
Ia tidak marah pada Ahra, ia hanya marah pada keluarga Cho yang telah membuang ibunya dan berusaha untuk memisahkan kedua orang tuanya. Ia tidak mungkin bisa lupa bagaimana kenyataan masa lalu kedua orang tuanya akhirnya terkuak sehari sebelum kecelakaan itu terjadi. Adik ayahnya, Kim Ji sung, menceritakan bagaimana kehidupan kedua orang tuanya selama ini, yang harus lari dari kejaran keluarga Cho karena mereka tidak merestui hubungan mereka. Bagaimana ayahnya harus berusaha membangun usaha berkali-kali setelah keluarga Cho terus-menerus mengagalkan usahanya. Ia tidak bisa mengabaikan setiap penggalan-penggalan cerita perjuangan orang tuanya menjalani hidup mereka hingga kematian menjemput.
Ia tidak bisa, dan ketidakbisanya itulah membuat ia juga membenci keluarga Cho.
“Eun Ji,”
Aluna menambah jarak di antara mereka, dengan mengambil satu langkah mundur kebelakang seraya berkata. “Mereka tidak butuh penyesalan kalian, bahkan aku pun tidak membutuhkan pengakuan dari keluarga Cho. Cukup hanya sekedar status keluarga saja, tanpa perlu dituliskan dan diucapkan.”
“Eun Ji?” suara itu terdengar dari ambang pintu. Dan entah sejak kapan pintu itu terbuka. “Apa yang kau bicarakan?” Ada Kyuhyun yang sedang berdiri di sana, bersama dengan Aiden di belakangnya. Menatap ke arah Aluna yang terlihat santai dengan kehadiran mereka. “Kau…”
Aluna menyela. “Aku berhak untuk berbicara soal apa yang kurasakan, Kyu. Kenapa aku harus memendam perkataan ini dan malah tersenyum di depan kalian. Aku bukan orang munafik, Kyu. Aku punya perasaan yang telah terluka berkali-kali. Lalu kenapa aku harus diam, hem?”
“Tapi tidak dengan…”
“Apa kau takut, kalau orang-orang diluar sana mengetahui bagaimana keluarga Cho berusaha merusak kehidupan keluarga mereka lainnya? Seperti kalian berusaha untuk membuat kehidupan kedua orang tuaku menderita?” Aluna mendengus sekali lagi, tersenyum kecut memandangi empat orang di depannya sekarang. Beginilah jadinya, bila rasa sakit menemukan tempat untuk dilampiaskan. Tidak ada yang bisa ditahan, bibir seolah tidak lagi saling sinkron dengan logika pikiran, pintu kemarahan yang selama ini tertutup akhirnya terbuka dan mengeluarkan semua isinya tanpa sisa.
Hari ini ia mengeluarkan kemarahannya, di depan Ahra kakak yang begitu disayanginya, di hadapan Kyuhyun dan Aiden yang dibencinya.
“Sepertinya pembicaraan kita hari ini sudah selesai, Cho Sajangnim.” Ujar Aluna sedikit membungkukkan tubuhnya. “Kalau begitu saya permisi!” imbuhnya berbalik pergi dengan langkah panjang meninggalkan keempat orang yang menatap kepergiannya.
“Di matanya penuh dengan kebencian, aku tidak pernah melihatnya semarah ini.” Gumam Aiden yang berada di belakang Kyuhyun. Lelaki itu bisa merasakan kemarahan yang diperlihatkan Aluna di depan mereka. Kemarahan yang sama seperti gadis itu tunjukkan di depannya berapa hari yang lalu, saat pertama kali mereka bertemu.
Rasa benci yang bersarang di dalam diri Aluna telah mengubah gadis itu begitu keras dan dingin. Dari apa yang dilihat Aiden hari ini, tidak akan ada yang bisa mencairkan keras bekuan dingin itu. Kecuali Aluna sendiri yang menginginkan bekuan itu mencair, dan membiarkan permintaan maaf mereka menghangatkan kembali perasaan gadis itu.
Tapi, entah kapan itu, ia tidak tahu. Aluna bukan gadis yang mudah untuk ditebak, kadang ia akan bersikap manis sekaligus terbuka, dan kadang pula ia akan menutup agar orang lain tidak mendekatinya.
“Kyu,” suara Ahra terdengar, wanita itu sudah berbalik menatap Kyuhyun. “Aku ingin bicara denganmu!”
ù
“Apa?” tanya Jungkook melihat Jee belum juga melepaskan pandangannya menatap ke arahnya. “Aku sudah menjelaskan berulang-ulang kali padamu, Jee. Sinb hanya ingin menembus rasa bersalahnya karena sudah melukai tangan kananku. Hanya itu, dan jangan berpikir macam-macam lagi. Sekarang antar aku kembali ke apartement karena tubuhku sudah begitu lelah dan ingin segera istirahat.”
Mereka berdua sudah masuk ke dalam mobil milik Jee yaitu Audi A6 berwarna putih. Mobil ini diberikan Tae Go sebulan yang lalu, karena Jee berhasil memenangkan proyek besar dan membuat perusahaan mengalami peningkatan dengan sahamnya. Itu hadiah yang sangat sepadan dengan usaha yang dilakukan Jee dalam mengelola perusahaan keluarga Shin.
“Biarkan aku bertanya?” seru Jee yang duduk di depan kemudi. Lelaki itu memasang seatbelt lalu menyalakan mesin mobil. Sembari menjalankan mobilnya meninggalkan halaman rumah, suara Jee terdengar kembali. “Apa dia tahu soal pekerjaanmu?”
Jungkook tidak serta-merta menjawab pertanyaan itu. Mulutnya cukup lama tertutup, mencari kalimat untuk disusun agar Jee mudah mengerti dengan apa yang akan dikatakannya. Dengan satu kali tarik napas, bibir yang lama terkatup itu terbuka untuk berucap. “Aku tidak tahu. Aku bertemu dengan Sinb saat polisi mengejarku di malam itu. Kau tentu masih ingat dengan kejadian itu bukan?”
Seketika Jee menghentikan mobilnya, wajahnya menoleh dengan mata yang melebar. “Bagaimana bisa?” gumam Jee menatap Jungkook yang tertunduk.
Flashback 5 bulan yang lalu.
Jungkook berlari sembari sesekali menoleh ke belakang, melihat jarak antara dirinya dan juga lima polisi yang sedang mengejarnya. Ini sungguh hari yang sial, umpat lelaki itu di dalam hati. Ia sudah hampir kehabisan napas karena sudah dua jam berlari tanpa ada kesempatan beristirahat. Sekali lagi ia menoleh ke belakang, jaraknya dengan polisi sudah begitu dekat, melihat itu membuat ia menambah laju kedua kakinya untuk berlari. Sialan! Polisi-polisi itu memiliki energi dan oksigen lebih banyak darinya, mereka sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan.
Jungkook meringis merasakan sakit pada bahu kanannya yang terkena tembakan saat berusaha lari tadi dari rumah itu. Ia tidak tahu kalau kehadirannya sudah ditunggu oleh kelompok polisi yang menyamar sebagai pengawal menteri perdagangan. Ia berpikir kalau tugasnya malam ini memaksa Menteri Park untuk menanda tangani perjanjian jual beli barang illegal akan berjalan lancar, tapi nyatanya ia malah mendapatkan kejutan yang tidak diperkirakan sebelumnya. Ia begitu kaget saat lima senjata api itu tertondong ke arahnya, memberikan peringatan untuk tidak melawan dan ikut bersama mereka ke kantor polisi.
Saat itu Jungkook hanya bisa mengangkat kedua tanganya ke atas, tanpa memberikan perlawanan. Namun begitu polisi-polisi itu terlihat lengah, ia menggunakan kesempatan itu menerjang salah satu polisi itu dan merampas senjata apinya.
Ia bisa keluar dari rumah itu berkat menyandar salah satu polisi. Begitu ia sudah berada di luar, di luar pagar rumah, ia langsung mendorong tubuh polisi itu ke depan, dan saat itulah satu tembakan terlepas mengena bahu kanannya. Meski terasa sakit, ia tidak mungkin tetap diam di tempat dan membiarkan mereka menangkapnya.
Itu bukan pilihan bagus, akan sangat membahayakan bagi keluarga Shin bila dia tertangkap. Ia memang tidak menyukai pekerjaan ini, berharap pekerjaan kotor ini cepat berakhir dan ia bisa hidup dengan bebas. Tapi tidak dengan cara tertangkap polisi dan membuat namanya berserta keluarga Shin tercemar. Ia hanya berharap satu-satu orang yang akan menembus kesalahan ini hanyalah Shin Tae Go, pria tua yang sudah membuat mereka harus ikut di dalam pekerjaan kotornya.
Jungkook masih terus berlari dengan luka tembak di bahunya. Darah sudah merembes membasahi t-shirt hitam dan juga jaket kulitnya. Pandangannya mulai mengabur, langkah kakinya yang tengah berlari perlahan-lahan terasa pelan. Ia menoleh sebentar ke belakang, memastikan kalau polisi-polisi itu masih jauh berada di belakangnya.
Ia berhenti sebentar, bersandar pada dinding pagar dengan cahaya lampu jalanan yang temaram. Menengok kebelakang bahunya, mengecek luka tembak yang masih mengeluarkan darah segar. Bau darah yang khas langsung menyapa indera penciumannya.
“Ergt! Sialan.” Umpat Jungkook saat rasa sakit di bahunya kembali terasa. Ini pertama kalinya ia mendapatkan luka tembakan dan ia tidak tahu bagaimana cara untuk mengobatinya di saat keadaan genting seperti ini.
Jungkook merogoh saku dalam jaketnya, mengeluarkan ponsel dan menekan tombol cepat saat itu juga.
“Dosang-daero 16-gil, 13-20 Cheonggu Building, 3F. Palli!” ujarnya menyebutkan alamat keberadannya.
Saat ini ia berada di salah satu distrik Gangnam. Sebenarnya ia sengaja berlari ke arah sini agar Jee bisa dengan mudah menemukannya. Kedua kaki yang masih merasakan lelah selepas berlari jauh, bergerak dengan perlahan mencari tempat yang aman.
“Apa kau sedang terluka?”
Tubuh Jungkook seketika membeku mendengar seseorang bertanya dari belakang. Dengan rasa takut, ia berbalik dan bernapas lega melihat siapa yang sedang berdiri di depannya.
“Ini,” gadis itu memberikannya kotak P3K kecil. “Obati lukamu dan cepatlah pulang.” Sahutnya.
“Ya! Lee Eun Bi., Apa sedang kau lakukan di sana? Cepat ke sini!”
Gadis itu sudah berlalu pergi tanpa mendengarkan ucapan terima kasih Jungkook. Dia pergi setelah membuat Jungkook terpaku melihat seorang gadis dengan tampilan kaos garis-garis warna merah hitam, celana jeans warna hitam dan sepatu kets. Jujur, bagi seorang Shin Jungkook, ini adalah pertama kalinya ia berinteraksi dengan seorang gadis. Selama ini ia tidak pernah dekat atau pun memiliki teman seorang gadis. Karena Shin Tae Go selalu melarangnya. Dan selama ini pula ia selalu menghabiskan waktunya hanya di depan komputer.
Jungkook menyentuh dada kirinya, merasakan detak jatungnya yang mulai terasa cepat. Perasaan apa ini? Kenapa tiba-tiba ia merasa degupan jantungnya kian berdetak cepat, oksigennya mulai berkurang, mencekik lehernya. Ia merasa ada sesuatu yang sedang terbang di dalam perutnya, menggelitik dengan sensasi aneh.
Ada apa dengannya?
Rasa sakit di bahunya tidak terasa lagi. Seolah rasa sakit itu sudah dibawah pergi oleh gadis bernama Lee Eun Bi itu.
Dengan kesadaran yang masih ada, ia mengeluarkan kembali ponsel dari dalam jaketnya. Mengambil gambar gadis yang masih berdiri bersama dengan seorang lelaki di sampingnya. Dan malam itu, Jungkook telah mengklaim gadis bernama Lee Eun Bi itu sebagai gadis 49 detiknya.
Flashback End
“Dari mana dia tahu kau terluka?” tanya Jee begitu Jungkook selesai menceritakan bagaimana awal pertemuannya dengan Lee Sinb di malam itu.
Jungkook menggeleng tidak tahu pun soal itu. Sinb tiba-tiba saja sudah ada di belakangn dan memberikan kotak P3K. Ia juga tidak sempat berkata apa pun pada gadis itu karena dia sudah pergi sebelum bibirnya terbuka. Dan saat pertama kali lagi bertemu setelah lima bulan itu, Sinb sama sekali tidak mengenalinya. Bahkan mereka sempat berdebat dan berakhir gadis itu menjadi tangan kanannya.
“Kenapa kau tidak menggunakan kotak P3K itu untuk membuatnya mengingatmu?” saran Jee yang seketika mendapatkan jitakan dari Jungkook. “Yak! Kenapa kau menjitakku?” balas menjitak kepala Jungkook.
“Otakmu kau taruh dimana, hah? Kalau Sinb mengingatku, itu sama saja membongkar identitas. Kalau dia ingat pernah memberikan kotak P3K pada lelaki yang terluka dengan berpakaian serba hitam serta topi dan masker yang menutupi wajahnya, dia bakalan langsung bertanya tentang apa yang terjadi di malam itu. Kau mau dia sampai curiga?”
“Ah, benar juga. Mungkin sebaiknya dia tidak perlu mengingatmu. Dan kurasa kau pun harus cepat-cepat menjauh darinya. Sebelum dia ingat dan mengetahui siapa kau sebenarnya.”
Jungkook terdiam, tiba-tiba pikirannya melayang.
Haruskah?
Haruskah ia menjauhi Lee Sinb di saat tatanan rasa di dalam hatinya sudah mulai rapi tumbuh dengan indah-indahnya? Bisakah ia melakukan hal itu dengan mudah? Ia tidak tahu. Seperti ketidaktahuannya tentang bagaimana mengendalikan perasaannya sendiri dalam meletakkan hati pada gadis yang tidak seharusnya hadir di dalam hatinya.
“Jungkook-ah?” Jee menepuk punggung Jungkook saat menyadari kalau lelaki itu sedang melamun.
“Ah, wae?”
“Apa yang sedang kau pikirkan? Apa kau sedang memikirkan Lee Sinb? Gadis yang kau inginkan untuk berada di sampingmu?”
Jungkook tahu Jee sedang meledeknya. Ia hanya merespon ledekan itu hanya dengan menunjukkan senyuman tipis yang tidak akan dapat dilihat Jee.
“Fokus saja dengan kemudimu, Jee. Bangunkan aku kalau kita sudah sampai.” Jungkook balas menepuk punggung Jee.
Tapi belum sempat Jungkook memejamkan kedua matanya, Jee sudah lebih dulu bertanya, membuat kedua mata itu terbuka dan meraih ponselnya di pinggiran pintu.
“Aku akan menghubunginya setelah sampai di apartement nanti.” Ujar Jungkook menatap nomor kontak Aluna Leonidas di layar ponselnya.
Sudah dua hari ia belum memberikan kabar pada Aluna soal cedera ditangannya. Padahal tempat tinggal mereka hanya berbeda satu lantai. Ia harus menemui gadis itu besok pagi, berharap kalau gadis itu belum berangkat kerja saat ia datang berkunjung ke apartementnya.
Jungkook menekan nomor telepon seseorang di layar ponselnya. Lalu menunggu panggilannya di angkat, dan suara seorang gadis terdengar dengan suara yang setengah tidur.
“Besok pagi aku memiliki urusan mendadak, kau tidak perlu datang dan kembali lagi besok harinya. Aku memberikanmu libur satu hari. Selamat tidur dan mimpi yang indah, Bi.” Ucap Jungkook memutuskan sambungan. Ia baru saja menelpon Sinb, menyuruh gadis itu untuk tidak datang besok ke apartementnya.
“Bi? Apa itu panggilan sayangmu untuknya?”
“Itu bukan panggilan sayangku untuknya. Bi adalah dua huruf terakhir dari namanya. Eun Bi.” Jelas Jungkook kesal. Sejak tadi Jee selalu merundungnya dengan pertanyaan-tanyaan menjengkel seputar Sinb.
Lee unji hehe nice story :)
Comment on chapter Fate