Hari kedua dan seterusnya UN berakhir sesuai harapan. Remaja SMA biasanya mengakhiri masa hari terakhir itu dengan konvoi di jalanan. Namun sekolah kami berbeda, penghuninya dilarang oleh kepala sekolah untuk melakukan tradisi buruk, dan benar saja, hampir semua siswa patuh, menyadari betapa berharganya nasehat Pak Hendri karena rata-rata siswa lain yang konvoi, mencoret-coret baju mereka sudah resmi mendekam dalam interogasi polisi.
Sepanjang UN berlangsung, bukan berarti aku bisa belajar normal seperti hari pertamanya, satu hal menusuk-nusuk kepalaku, sesaat kemudian menjadi penghilang nafsu makan, membanjiri sarung bantal dengan tangisan. Betapa hal itu tidak pernah benar-benar bisa kuterima, mengganjal denagn pertanyaan-pertanyaan rumit yang belum menemukan jawabannya. Benarkah Nazriel yang menulis itu, dan sampai segini sajakah persahabatan aku dan Nina?
Di siang tadi, setelah UN selesai, aku mencoba menemui Nina di ruangannya, menagih setiap pertanyaan menyakitkan yang harus kujawab dengan nalarku. Pesanku di BBM, LINE, WHATSSAP, bahkan teleponku tak pernah dijawab. Berpapasan saja seperti orang asing, tidak ada tegur sapa, apa lagi lempar senyum. Sahabatku itu sudah terlanjur kecewa dan tidak habis pikir.
Ya, wajar saja marah.
Setiap wanita mengerti bagaimana rasanya berada di posisinya. Mengharapkan laki-laki menyukainya dengan berbagai cara, lantas laki-laki itu menyukai sahabatnya. Nina terlalu cepat mengambil kesimpulan meskipun telah berkali-kali ku jelaskan. Hingga siang tadi, dia masih bungkam, aku dijadikannya seperti udara yang kehadirannya cukup dirasakan, tapi tidak dipedulikan.
“Nin, kita harus temui Nazriel untuk memastikan yang kita lihat itu, loe nggak boleh ambil keputusan gitu aja!” Ucapku ketika beberapa kali ucapan sebelumnya juga tidak digubris. Nina malah mengacuhkannya dengan mengajak teman yang lain berbicara. Kesabaranku sudah di ambang batas. Ku tarik lengannya, berhenti di depan kelas.
“Gue nggak peduli loe mau anggap gue atau enggak, tapi ini semua pasti ada alasannya”. Aku menarik tangannya. “Kita temui Nazriel sekarang”.
Nina melepaskan tanganku dengan kasar. “Untuk apa? Loe mau pura-pura buta seakan semua yang kita lihat itu tipuan? Cukup, Biel. Gue capek berurusan sama pengkhianat kayak kalian!”
“Pengkhianat? Pengkhianat macam apa maksud loe? Kalo gue dan Nazriel memang saling suka, ngapain kita ngerahasiain ini dari dulu? Nina, jangan egois! Kita harus konfirmasi ini ke dia!” Tegasku.
Nina memalingkan wajahnya dari arahku. Melipat tangannya ke dalam. Sekali lagi, ia kemudian menatapku.
“Biela, lihat gue! loe mau pastiin sepasti-pastinya pun gak ada artinya. Buat apa? Sekarang gue tanya sama loe. Apa Nazriel tau gue suka sama dia? Trus gimana tanggapan dia waktu loe tanya tentang maksud surat cinta busuk itu, apa dengan begitu, dia merasa bersalah dan minta maaf trus jadian sama gue?! Biela loe pikir dong, gimana perasaan gue lihat kalian berdua sering jalan bareng dari perpus waktu itu? Waktu anak-anak pada gosipin kalian berdua pacaran, waktu dia rela nggak ngajar adik kelas karena bela-belain ngajarin loe di perpus?”
Perlahan air mata Nina keluar. Tanpa sadar aku mulai berkaca-kaca, aku ingin membantah, namun Nina lebih dulu melanjutkan kata-katanya “Gue yakin loe nggak sebodoh itu untuk nggak peka sama perasaannya Nazriel. Gue nggak tau udah berapa kali kalian berdua-duaan, tiap hari mungkin. Tapi gue benar-benar nggak nyangka, sahabat bisa setega ini mencabik-cabik perasaan sahabatnya. Loe pembunuh, Biel! Loe pembunuh!”
Pasang mata yang tak sengaja lewat melihat momen menyakitkan itu. Nina meninggalkanku dengan banjir air mata. Sudah jelas, ia sangat membenciku, ia mengutukku habis-habisan tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan. Samar-samar terlihat bagaimana Nina menghabiskan waktunya untuk mengkhawatirkanku di kebun teh dulu, Nina yang marah karena sahabatnya pergi tanpa kabar, Nina yang suka bercerita dan mengoleksi barang-barang kesukaan Nazriel, juga Nina yang pencemburu.
Mereka yang heran bertanya-tanya mengapa Nina hari itu bersikap tak seperti biasanya namun untuk saat itu aku benar-benar tidak bisa bercerita. Aku meraih tas yang tergeletak di atas mejanya tadi, berjalan cepat meninggalkan puing-puing kata kasar yang keluar dari mulutnya. Dadaku sesak menahan tangis yang terus mengalir, mataku kabur melihat arah mana yang sedang kutuju, hingga tiba-tiba aku menabraknya. Aku menabrak Nazriel yang sekarang menjadi orang paling kubenci. Ketika akan menghindar, ia malah menghentikanku, bertanya sebab aku menangis.
Aku membuka resleting tas, mengacak-acak isi dalamnya untuk menemukan surat terakhir yang ia selipkan di lokerku. Ketemu, kuremas tanpa ampun kertas itu sampai remuk dalam genggaman lalu meninju dadanya.
“Loe punya satu kesempatan untuk menjelaskan” Ucapku, lantas pergi kemudian menoleh padanya sesaat. Nazriel memungut kertas kusut itu, membacanya. Setelah itu, kubiarkan dia bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan ganjil yang telah lebih dulu bersarang di otakku.
***
Seminggu sudah aku mendekam di rumah. Line, BBM, Whatsapp hanya ku aktifkan pada saat-saat tertentu. Lebih tepatnya, aku merindukan kabar hanya pada seseorang, Nina. Semenjak surat itu memberitahukan nama penulisnya, aku dan Nina nyaris kehilangan kendali. Tak ada lagi teriakan dan omelannya setiap pagi kudengar bila aku terlambat, tak ada lagi cerita-cerita kecil tentag gebetan-gebetan yang kerap kali diperselisihkan untuk menduduki jawara sebagai gebetan yang paling keren. Satu lagi, melamun sambil memperhatikan Peter bermain basket, dan Nazriel yang sibuk mengajar pun hampir tak tersentuh ingatan lagi.
Sejak itu, semuanya kelam. Berita tentang Nina dan jurusan apa yang akan ia pilih juga hanya sebagai harapan sia-sia. Di saat yang lain sibuk menentukan jurusan dan kampus mereka pilih, kami malah tak ambil pusing. Kesepakatan kami dulu, akan mencoba di jurusan dan kampus apapun itu asal tetap bersama-sama. Jalur undangan kemarin, aku dan Nina sepakat menjatuhkan pilihan pada Institut Teknologi Sepuluh November jurusan Teknik Arsitektur. Entah aku atau dia yang paling bodoh, mengecilkan resiko ditolak dengan mengandalkan nilai ulangan matematika yang baru-baru ini meraih nilai 85. Hanya kali itu saja, sebelumnya tak lebih besar dari 60. Bilapun tak diterima nanti, kami akan lapang dada, terus mencoba meskipun akhirnya diterima di Perguruan Tinggi Swasta.
Hujan melengkapi kegalauanku seminggu ini. Biasanya ia berkunjung ke bumi pada subuh, dan berakhir pukul 9 pagi. Siangnya lembab, sesekali malam ia berkunjung kembali sekitar pukul 7 . Orang-orang lebih memilih bermanja di rumah mereka entah untuk berbalut di selimut sepanjang hari atau mengulang kenangan lama dalam memori mereka.
Tentang Nazriel, sudah berpuluh pesan mungkin yang ia kirim padaku, namun tidak satu punku baca. Di satu sisi perasaan bersalah terus bersarang di otakku membuatku beribu kali menepis kehadirannya. Lucunya ia bahkan tidak menelepon, semakin meyakinkanku bahwa ia tidak benar-benar ingin menjelaskan. Hal yang sama juga untuk Peter. Dia tidak bersalah, malah berhasil mengukir memori indah belakangan ini, hanya saja masalahku dengan Nina dan Nazriel menjadikan hati dan pikiranku tidak sinkron untuk sekedar berbalas pesan dengannya. Hal terbaik adalah menemui Nina, tapi mungkin tidak, setelah terakhir kali kami bertemu dan mengucapkan kata-kata kasar itu.
“Biel, kamu lagi apa?” Ujar Ibu membuka pintu kamarku. Di tangannya ada kardus berukuran sedang. Ibu menutup pintu, menyodorkan kardus itu padaku.
“Dari Nina,” Ucapnya lemah. Tampaknya Ibu menjadi seseorang yang tau masalah ini.
Aku membuka isi kotak itu. Isinya sudah seperti yang kubayangkan. Nina mengembalikan semua surat beserta hadiah yang diberikan penulis surat menyebalkan itu. Termasuk barang-barang untukku, yang kemudian kuberikan padanya. Semuanya masih lengkap, gelang, cincin, sepatu, dan sebagainya. Tepat di bagian tepi kardus, ia menyelipkan sepucuk surat.
Dear Biela
Maaf udah lancang untuk mengambil hak milik loe. Seharusnya gue sadar siapa gue,
Nggak sebanding dengan wanita yang dicintai laki-laki yang gue cintai.
Maaf baru bisa balikin ini sekarang, karena dulu gue masih bodoh menganggap ini mestinya untuk gue.
Gue mau mengakhiri ini dengan cara baik-baik. Ikhlas, gue melepas Nazriel untuk loe. Tapi mohon, jangan coba memulai mendekati gue lagi, Biel.
Karena secara langsung, itu membuat gue bisa dengan mudah membenci loe berkali-kali dan menyalahi diri gue sendiri.
Congrats ya!
Benda ini seharusnya tidak perlu ia kembalikan bila harus menikamku lagi. Semudah itu Nina mengambil kesimpulan bahwa aku juga menyukai Nazriel lantaran dia menyukaiku. Aku tak bisa membendung air mata yang akan tumpah, Ibu mendekapku, membiarkanku larut dalam pelukannya.
“Secepat inikah Nina memutuskan persahabatan kami?” Aku terisak. “Biela rela menghapus laki-laki itu, membencinya ribuan kali lipat daripada harus berpisah dengan Nina”.
Ibu membelaiku lembut. “Kalian salah paham, Nak. Ibu saja tidak rela bila harus mengakhiri persahabatan hanya karena laki-laki”.
Tangisku semakin menjadi-jadi. Ibu membelaiku semakin lama. “Bicara sama Nina, selesaikan baik-baik. Dia akan mengerti”
“Ibu boleh tanya sama seisi sekolah, udah beberapa kali Biela ngajak dia bicara, tapi dia menghindar, atau Ibu juga bisa ngecek Handphone ini”. Jemariku gesit membuka obrolan terakhirku dengan Nina. “Lihat, berapa kali Biela menghubungi dia tapi nggak pernah balas. Biela harus gimana lagi, Bu? Gara-gara dia, Biela udah malas menyelidiki yang sebenarnya. Nina tu egois!” Aku meremas suratnya.
“Hadapi semua dengan kedewasaan”. Ibu melepaskan dekapannya. “ Sekarang juga, hubungi laki-laki itu, tanyakan sebenarnya, atau jika memang kenyataannya adalah seperti itu, maka dia harus jadi penengah antara pertikaian kalian”.
Ku hapus air mata sambil terisak. Otakku mencerna dalam-dalam saran dari Ibu. Beberapa menit kemudian Ibu kembali memelukku hangat, mengusap punggungku, dan mengakhiri dengan melepaskannnya dan menatap mataku dalam. Ibu segera berlalu, membiarkanku menyelesaikan masalah ini sendiri.
Kardus yang berisi barang pemberian itu kubiarkan tergeletak begitu saja. Aku menghempaskan diri di atas hamparan kasur. Memandang pigura persahabatanku dan Nina yang tergantung indah di dinding kamar. Otakku berputar berat hanya jika menagkap segala tentang Nina. Ingin rasanya aku berbicara pada fotonya, mengutarakan kekesalanku, secepat mungkin merobek fotonya dan semua hal menyangkut persahabatan kami.
Diam-diam aku teringat pada nasehat Ibu. Ku raih handphoneku lalu mencari kontak Nazriel disana. Kontaknya pernah ingin kuhapus namun urung ketika ingat kebaikannya mengajariku selama ini. Aku menekan tombol dial. Persahabatan kami yang singkat itu berkurang dalam satu hal. Nazriel tidak pernah tau alamat rumahku atau dia tidak mau tau.
Tiba-tiba seseorang menjawab di ujung sana.
“I... iya Salsabiela” Suara itu terdengar gugup
“Malam ini, di Melodi Taste, gue butuh penjelasan sebenarnya” Ucapku lemah.
Telepon itu ku tutup. Ditemani perasaan kacau, aku mengejamkan mata menunggu datangnya malam itu. Saat dimana perasaan Nazriel terungkap jelas meskipun setelah itu aku menutup rapat-rapat pintu hatiku untuknya.
***
Melody taste malam itu cukup ramai. Terakhir lewat di tempat ini sebulan yang lalu, tempat inilah yang menjadi sasaran muda mudi untuk melakukan pertemuan. Dekorasinya berubah setiap minggu, hal itu terlihat jelas pada walpaper dindingnya. Sebulan lalu walpapernya bunga sakura dihujani salju-salju hijau meskipun tak masuk akal.
Tahun tiga ribu berapa itu, salju menyerupai warna daun?
Malam ini jauh berbeda. Mungkin tema yang dimaksud adalah musim hujan karena walpaper dindingnya lebih sederhana. Hanya butir-butir hujan berwarna biru terang, dengan berpasang-pasang manusia memegang payung. Tentu saja tidak semua pasangan kekasih, ada Ibu dan putri kecilnya, seorang nenek dengan wanita muda, bahkan sepasang pria juga sepasang wanita walaupun yang mendominasi adalah sepasang kekasih. Romantis. Tema tepat pada musim hujan seperti ini.
“Pesan apa, Mbak?” Tanya seorang Pelayan wanita. Aku meletakkan kardus pemberian Nina, duduk di bagian luar, kursi paling dekat dengan pintu masuk.
“Cappucino hangat, gulanya dua sendok aja” Jawabku. Pelayan mengagguk, langsung melakukan tugasnya.
Aku melirik kardus itu yang rencananya segala isinya akan ku kembalikan pada Nazriel atau jika dia mengaggap itu pemberian yang tak sopan jika dikembalikan, akan ku berikan isi kardus itu pada gadis lain yang beruntung. Setelah penjelasan itu cukup jelas, aku segera pulang karena tidak ada hal yang mewajibkanku untuk bertahan, semakin lama akan terasa semakin pahit.
Cuaca semakin dingin. Ada sesal dibenakku memilih meja dan kursi ini untuk di duduki. Seharusnya tempatku di dalam merasakan sedikit kehangatan seperti mereka yang disana namun jika kondisinya satu sisi seperti ini, orang yang kutunggu setengah jam juga belum sampai, maka tempat ini adalah tempat terbaik untuk menunggu, setidaknya lalu lalang manusia-manusia di depannya bisa menjadi pengusir bosan walaupun dingin semakin menyusup disela-sela tubuhku.
“Ini cappucinonya, mbak” Si Pelayan meletakkan pesananku dengan baik, kemudian berlalu. Ku lingkarkan jemariku pada mug cappucinno itu untuk sekedar menghangatkan. Sejurus kemudian, laki-laki yang kutunggu tiba, dari jauh aku dapat melihat jelas sosoknya. Dia melindungi kepalanya dengan kedua tangannya dari hujan sambil berlari. Kemudian Nazriel duduk di depanku. Jauh lebih rapi daripada sebulan lalu, saat kami berada di Nightflower yang bertetangga dengan Kafe Melody taste. Nazriel jauh lebih tampan, parfumnya tercium khas di hidungku.
“Sorry Biel, tadi macet. Mana hujan lagi”.
“Pesan makanan aja, dulu” Ucapku tak bersemangat. Nazriel memanggil barista cafe. Mereka terlihat jauh dari sekedar pembeli dan penjual. Lebih akrab. Bahkan Nazriel hanya perlu memberi tanda dari jauh, barista itu mengagguk. Mengacungkan jempolnya.
“Kamu udah lama?” Nazriel bertanya. Ku angkat cangkir cappucinno dan meneguknya sedikit.
“Lumayan” Jawabku singkat.
Kami serasa canggung, beda jauh dengan sehari-harinya. Beberapa menit kemudian saling diam, tak ada yang berani melanjutkan perbincangan lagi.
Nazriel dapat menangkap jelas kardus di sampingku itu. Walaupun tak ada pertanyaan langsung, aku yakin dia mengerti isi di dalamnya.
“Ceritain yang sebenarnya” Pintaku.
Nazriel setengah terkejut. “Sekarang? bahkan pesananku belum sampai, Biel”.
“Kamu baik, pintar, perfect. Semua wanita menyukaimu” Aku memulai cerita itu.
Dia mengangkat alis, tak mengerti.
“Semua wanita menyukaimu, termasuk Nina. Dia bahkan mencintai kamu dari dulu. Aku rasa, nggak ada lagi cowok yang enggak mengerti perasaan cewek di zaman serba gampang ini”. Aku melipat tangan ke dalam mencoba bersikap tegas, Nazriel malah tersenyum tipis.
“Intinya Nina menyukaiku, walapun tanpa ada ungkapan langsung dari orangnya, tanpa pernah ada pedekate diantara kami, ah, okelah ada pedekate, tapi nggak pernah bahas masalah suka atau sebagainya. Hanya sebatas tentang hobi dan pelajaran” Nazriel memajukan kursinya lebih dekat dengan meja, lebih dekat denganku.
“Biel, kalo dibilang Nina suka aku, it’s normal. Dia sama seperti cewek-cewek lain, yang pernah belajar bareng sama aku dan berbagi pengalaman juga. Gimana aku tau dia mencintaiku tanpa terus terang, dan sekarang alasannya cukup aku yang nggak mengerti perasaan dia? Kalian lucu”
Segera aku naik pitam. Mengapa dia dengan mudahnya tidak merasa bersalah sekalipun?
“Nazriel, kamu........” Kata-kataku terhenti ketika pelayan tiba mengantarkan pesanannya. Sejenak kemudian terjadi perbincangan antara mereka yang dapat kutangkap adalah pelayan itu memujinya sangat tampan malam ini. Pujian yang membuatku menelan ludah berkali-kali.
“Hey, sorry telat!” Kata seseorang yang lain.
Aku mengerjapkan mata berulang-ulang untuk memastikan yang kulihat ini memang benar. Di sini, juga hadir Peter, malah memerkan kedekatannya dengan Nazriel. Hal ini belum pernah ku temui disaat apapun di masa sekolah. Kedua manusia itu memiliki hobi berbeda, karakteristik berbeda, lagi pula tidak ada satu momen pun menggambarkan kedekatan mereka kecuali malam ini. Peter duduk di tengah. Diantara aku dan Nazriel karena meja di depan kami itu berbentuk bundar. Kepada pelayan yang sama, ia memesan pesanan yang sama dengan Nazriel, ekspresso.
“Hay, Biel!” Sapanya. Ia memakai jeans levi’s biru dan kemeja putih polos. Lengannya di gulung hingga pertengahan lengan bawah. Tatapan nakal dari cewek-cewek di sekitar sana sudah mewakili bagaimana kesan Nazriel dan Peter malam itu yang nyaris sempurna. Hanya saja aku yang perlu minggat agar yang memperhatikan kami tidak berpikir macam-macam.
“Lagi ngomongin apa nih?” Tanya Peter bergantian melihat aku dan Nazriel.
Aku menatap Nazriel tajam. “ Kita janjian cuma berdua, kenapa ada dia?”
Nazriel garuk-garuk kepala. “Sorry Biel, tadi aku lupa bilang, sekalian Peter juga ada keperluan sama kamu”.
Keduanya memandangku yang masih bingung entah ini bagian dari rencana Nazriel atau sebuah kebetulan belaka. Tapi mustahil jika hanya kebetulan. Tak lama kemudian pesanan Peter sampai. Aku menghabiskan cappucinno yang tinggal setengah, begitupun mereka. Karena kehadiran Peter, aku sampai gelagapan harus mengatakan apa, segala hal yang kurancang semula lenyap begitu saja.
“Oke, ini pilihan loe. Kalo loe mau orang lain tau masalah diantara kita, resikonya loe tanggung sendiri.” Aku menarik napas panjang.
“Nazriel, kita sama-sama tau, gue lebih dekat dengan loe ketimbang Nina. Kita banyak menghabiskan waktu berdua bahkan untuk hal yang nggak penting sampai loe tiba-tiba naksir gue dan mengungkapinnya lewat puisi jelek dan hadiah-hadiah yang nggak pernah gue minta. Tapi maaf, gue nggak bisa menganggap loe lebih dari sekedar sahabat”.
Nazriel tersenyum tipis.
” Maksud kamu?”
“Lebih dari sahabat?”
“Puisi jelek? “ Lelaki ini tertawa renyah.
“Gue nggak butuh orang yang pura-pura bodoh!” Bentakku. Aku membereskan tas bersiap akan pergi. Peter sepertinya menikmati pemandangan itu di sela-sela gerimis yang perlahan turun.
“Biel, aku juga hanya menganggap kamu sebagai sahabat” Ujar Nazriel lagi.
Aku memandangnya jengkel.
Semudah itukah dia berdusta setelah puluhan puisi ini menjadi saksinya. Aku sudah benar-benar muak. Lantas segera melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu. Tiba-tiba tangan seseorang menghentikanku.
“Nazriel nggak salah” Kata seseorang itu. Peter perlahan melepaskan cengkeramannya.
“Puisi dan surat yang sering loe temukan di loker, selipan hadiah, dan tempat-tempat tertentu itu memang tulisan dan buah pikir Nazriel. Maaf, buat hadiah jelek dan puisi menyebalkan tanpa pengirim yang membuat loe bete seharian. Biel, semuanya itu memang Nazriel yang tulis, tapi.... atas perintah gue”
Aku membalikkan badan. Menatapnya tak percaya.
“Someone was me. Peter yang terpikat dengan teduhnya cemara. Dear Salsabiela, I am into you. Dari kita SMP hingga masa-masa terakhir di SMA itu, loe selalu menjadi cemara gue. Lewat puisi itu, gue titip perasaan ini di dalamnya. Yang sms loe malam-malam lewat line dan bbm Nazriel, itu gue. Gue menyayangi loe lebih dari kata-kata indah dalam puisi. Puisi terakhir itu gue titip ke Nazriel untuk menyelipin dalam loker loe karena harus segera ikut kompetisi basket di luar sekolah, sementara yang sebelum itu selalu gue yang selipin. Kedekatan kita belakangan ini memaksa gue untuk segera mengatakan yang sejujurnya. Sekali lagi maaf, waktunya nggak tepat, tapi gue dan Nazriel lega karena akhirnya pengirim, penulis dan pembaca bisa bertemu”
Tanpa terasa mataku berkaca-kaca. Dari belakang tubuh Peter, Nazriel tersenyum puas. Tatapan Peter menyiratkan sesuatu begitu dalam, dari punggungnya ia menyodorkan sebuket mawar merah. Sama sekali tanganku tak bergerak bahkan untuk menyentuh mawar itu. Peter di depanku bukan seperti Peter yang ku kenal. Mungkin kebanyakan wanita akan sangat bahagia diberikan bunga oleh lelaki tampan, buktinya pasang mata sekitar hanya tertuju pada kami. Saat itu, aku malah terpenjara dalam kebencian yang membara.
Aku membenci keduanya, Nazriel dan Peter.
Dua lelaki itu begitu mudah bersandiwara melibatkan perasaan wanita. Aku memang mencintai Peter, juga menyayangi Nazriel. Tapi keduanya menghempaskan perasaaanku dan Nina. Jika mulut diciptakan untuk berbicara, mengapa harus bungkam dan berbohong? Skenario mereka sukses menjadikan perasaan wanita sebagai permainannya. Dua lelaki yang begitu mudah menyatakan cinta dengan mengorbankan persahabatan orang yang dicintainya.
Perlahan, aku menerima mawar itu, wajah Peter berbinar. Dengan kedua mata yang masih menatap matanya, aku meletakkan mawar itu di atas meja.
“Makasih ya, Perasaan loe udah menghancurkan gue!” Ucapku sambil berlalu. Ku cepatkan langkahku lalu masuk ke taksi yang kebetulan berhenti. Air mataku tumpah, malam itu, kutinggalkan perasaanku disana.
@Ardhio_Prantoko hehe, terima kasih sudah membaca :)
Comment on chapter Pemilik Tatapan Teduh