Read More >>"> Stuck In Memories (Pengakuan Selembar Kertas) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Stuck In Memories
MENU
About Us  

Seminggu setelah kepergian ibunya Nazriel. Seluruh SMA di Indonesia serentak merayakan Ujian Nasional. Tidak ada kunci jawaban dari sekolah, tidak ada manipulasi nilai, semuanya murni hasil kerja keras dan doa. Begitulah beberapa kata yang bisa kutangkap dari pidato terakhir kepala sekolah. Siswa bandel seperti Peter dan komplotannya memprotes habis-habisan di tengah lapangan, menghardik bahwa tindakan itu tidak adil sementara siswa sekolah lain dibantu tanpa terkecuali. Lain halnya bagi siswa pintar seperti Nazriel, di situasi seperti ini dia masih terlihat santai. Kedua tangannya menyusup ke dalam saku celana, dan senyuman meremehkan. Aku dan Nina hanya bisa mengangkat bahu, mengikhlaskan apa yang terjadi dengan nilai akhir kami.

            “Sekolah mana yang tega mencantumkan nilai buruk peserta didiknya, bapak sanggup mendengar sekolah kita memperoleh peringkat terakhir Ujian Nasional?” Protes Gilang, sekomplotan dengan Peter. Pak Hendri, Kepala sekolah kami yang sedang di atas podium melepaskan kacamatanya berlensa bening, kemudian menggantinya dengan lensa gelap. Hal itu sudah menjadi kebiasaan beliau ketika ada hal serius yang harus ditangani.

            “Sekarang saya tanya, kepala sekolah mana yang sanggup mempertanggung jawabkan kecurangan di akhirat nanti. Kamu mau menanggung dosa saya?” Semua yang hadir tertawa. Gilang tersenyum ketus.

            “Pak, hari gini mana ada yang mikirin akhirat lagi. Udah basi!” Yofana ikut nimbrung. Diikuti persetujuan oleh temannya yang lain. Serentak dewan guru menatap tajam Yofanna.

            Ferdy mengambil alih. “Masa depan sekolah ini juga bergantung pada lulusannya, Pak. Kalau terdengar kabar nilai kami pada buruk, otomatis orang tua mana yang mau menyekolahkan anaknya disini?”

            “Betul tu, Pak. Kami setuju. Sekolah ini adalah sekolah unggulan. Apa kata masyarakat kalau tau nilai siswanya jeblok?” Tissa menambahkan. Yang lain mengiyakan.

            Segera Pak Karno, guru olahraga menuju ke arah beberapa orang yang mengatakan pendapatnya secara vulgar itu.  Tangannya siap menyeret mereka dan menghukum lari keliling lapangan seperti yang biasa ia perintahkan pada siswa yang melanggar aturan. Saat itu juga Pak Hendri mengangkat tangan kanannya memberikan aba-aba agar Pak Karno tidak melakukan hal itu. Lelaki 60 tahun itu kali ini turun dari podium, bergerak beberapa langkah ke depan meninggalkan microphone dan menghentikan langkahnya tepat diatas rerumputan lapangan seperti yang kami injak. Dia kembali angkat bicara, kali ini tanpa pengeras suara. Pelan-pelan ia membuka kacamatanya hingga gurat wajahnya yang berubah dua kali lebih serius terpampang jelas.

            “Karena saya pemimpin, maka dunia ada dalam genggaman saya. Saya bisa berbuat apa saja, termasuk memberikan kunci jawaban dengan jalan yang paling mudah. Tapi suatu hari, saya tidak ada apa-apanya. Keadilan mencengkeram saya yang lebih dahulu menggenggam dunia. Lantas? Apa yang bisa saya lakukan kecuali menjelaskan tentang hal buruk dan hal baik yang pernah saya lakukan pada hidup saya? Karena kalian kenal baik sekolah ini memiliki citra baik dihadapan masyarakat. Menghasilkan lulusan berdaya saing tinggi. Tahun lalu, tidak ada kunci jawaban, namun abang dan kakak kalian lulus dengan nilai membanggakan. Kalaupun kali ini kalian mendapat nilai buruk, masyarakat tidak langsung menilai sekolah ini buruk, karena keburukan baru datang sekali sedangkan kebaikan telah datang beribu-ribu kali. Sesuatu yang baik, akan selalu dikenal baik. Harapan saya, guru-guru, dan orang tua kalian sangat besar. Apa artinya bila disia-siakan dengan hal buruk seperti ini?. Jika pilihan kalian adalah kunci jawaban, maka saya sangat menyesal karena pernah menerima kalian di sekolah ini”.

            Para siswa terdiam. Beberapa lagi berbisik-bisik merencanakan cara yang tepat melawan argumen dan keputusan kepala sekolah.

Aku terpukau.

Diam-diam setuju dengan pendapat beliau yang sungguh bijak dan tepat. Andai semua kepala sekolah seperti ini, kecurangan tak akan terjadi dimana-mana. Sayangnya populasi orang bijak seperti beliau semakin berkurang.

            “Izin menanggapi, Pak” Peter angkat bicara. “ Saya menerima baik alasan bapak. Murni itu lebih baik. Tapi, ini hanya sebuah konfirmasi dari perwakilan siswa dan siswi disini. Kami rela nggak ada kunci jawaban entah memang khusus tahun kami atau tahun sebelum dan sesudah juga diperlakukan demikian. Who knows? Tapi, kami ingin memastikan bahwa bapak benar-benar memegang ucapan Bapak. Jika keluar hasil nanti dan nilai kami tidak mencukupi, kami mohon uluran tangan pihak sekolah sebisa mungkin. Paling tidak, ya menolak kami menjadi siswa di sini lagi dengan cara apapun agar tidak menjelekkan pamor sekolah ini”. Yang hadir saling bertatapan.

            Semua pandangan tertuju pada Peter. Teman-teman satu geng nya sampai meninju-ninju dan memaki ucapannya namun Peter masih meyakinkan mereka bahwa semua akan baik-baik saja.

            “Tanggapan diterima akan dirundingkan dengan guru-guru, semua siswa kembali ke Kelas” Perintah Pak Hendri segera meninggalkan lapangan diikuti para guru hingga siswa-siswi yang mundur teratur.  Ungkapan-ungkapan kecewa membanjiri tiap barisan acak mereka namun ada juga yang terlihat santai, tidak mau ambil pusing, memilih melanjutkan rencana-rencana mereka.

            Dalam seminggu terakhir ini, kami tidak terlalu dikebut dengan serangkaian pelajaran tambahan untuk persiapan ujian. Ada waktu khusus yang kerap disebut minggu tenang yang biasa dipersiapkan untuk belajar sendiri atau merefreshing otak karena terlalu banyak belajar. Jadwalku, Nina, dan Nazriel di minggu tenang ini adalah menghabiskan pagi hingga siang di sekolah untuk belajar kelompok, dan sisanya di luar sekolah, biasanya nongkrong di Kafe dan sesekali menyempatkan berkunjung ke Panti Asuhan. Memforsir waktu seharian  untuk belajar juga tidak ada gunanya, malah menjadikan diri semakin tertekan dan berdampak buruk di ujian nanti.

            Seminggu ini juga jarang pasangan kekasih yang terlihat bersama-sama pada jam istirahat. Kalaupun ada hanya dua hingga tiga pasangan, selebihnya menggandeng buku sepanjang waktu. Di kantin, pustaka, mushalla, dan taman. Penuh dengan siswa kelas 12 yang belajar kelompok walaupun lebih banyak dihabiskan dengan tertawa dan senda gurau. Aku dan Nina menjadi pengawal setia Nazriel ketika mengajar teman-teman di taman. Siswa Nazriel bertambah hari demi hari, termasuk siswa utamanya, aku dan Nina. Sepanjang waktu di sekolah, soal-soal berinduk dan beranak telah menjadi makanan sehari-hari kami. Mulai dari contoh soal UN tujuh tahun belakang hingga setahun belakang juga hampir dikupas tuntas. Apabila ada kejanggalan, akan di tanyakan langsung pada guru yang bersangkutan. Kami kompak, karena sadar bahwa semuanya tidak berhasil dengan mudah, walaupun masih banyak yang tidak ambil pusing dan melakukan taktik mereka agar tetap lulus dengan cara yang instan.

            Hari itu, tiga hari menjelang UN, belajar kelompok berakhir pada pukul 12 siang. Aku menuju ke loker ingin meletakkan buku. Hari itu terik. Suhunya mencapai 36 derajat celcius. Nina menunggu di gerbang sedangkan Nazriel lebih dulu pulang dengan alasan terlalu lelah mengajar. Pantas saja lingkaran hitam berkantung mendekorasi bawah matanya, rambutnya acak-acakan sambil menggenggam pulpen hijau dan lembar-lembar soal. Meskipun begitu, tubuhnya kembali tegap dan kekar seperti dulu, sudah beranjak dari masa kelam karena ditinggal ibundanya.

            “Biela!” Panggil seseorang dari balik dinding. Aku hafal suara itu.

            “Peter? Loe belum pulang?” Dia menarik ujung ranselku lebih dekat disamping kanannya.

            Peter mengarahkan bahuku tepat di depannya. “Biel, gue punya berita bagus buat loe”.

            “Berita apa?”

            Sejurus kemudian ia semakin mendekat, membisikkan sesuatu. “Gue udah dapat kunci jawaban tiap paketnya”. Aku menarik napas berat.

            “Nggak sembarang orang tau ini, Biel. Yofanna dan teman satu gengnya kerja sama dengan kami untuk membeli kunci jawaban itu. Dijamin 100 persen asli, loe mau join, kan?”

            Aku lantas beranjak meninggalkannya namun Peter menahanku. “Gue cuma mau pastiin loe juga bakal lulus, nggak susah-susah belajar sampe bosan. Ini kesempatan emas buat kita”

            “Berapaan harganya?” Tanyaku kesal.

            “Satu orang sekitar sejuta”

            “Sorry, kemampuan gue lebih mahal dari itu”  Aku melangkah akan meninggalkannya. Peter kembali mencegatku kemudian memegang kedua bahuku.

            “Biel, denger gue. Kemampuan itu dibuktikan ada saatnya, bukan pada waktu yang nggak penting ini. Secara, loe udah belajar mati-matian tapi nggak dapat hasil yang memuaskan, gimana?” Peter melepaskan genggamannya. “ UN bukan penentu kemampuan, itu jebakan, Biel. Kita belajar juga bukan karena dipaksa”.

            “Gue nggak belajar karena terpaksa. Walaupun itu jebakan kan perlu otak juga buat cari jalan keluarnya. Peter, gue suka sama semua tantangan loe, tapi nggak kali ini.”

            Peter mengalihkan pandangannya. Dia mengelap keringatnya dengan selembar handuk kecil yang biasa ia gunakan ketika latihan basket. Sebenarnya, dia jauh terlihat lebih tampan saat itu berbalut baju dan celana basket. Di pergelangan tangan kirinya dikelilingi sebuah rajut dengan tulisan “Basketball club”.  Aku melangkah kesekian kali meninggalkannya namun ia tak menghentikanku seperti tadi.

            “Besok ada turnamen basket di Surabaya” Kata-kata itu membuatku berhenti. Peter berjalan mendekatiku.

            “Mulai besok sampai sehari sebelum UN” Lanjutnya.

            “Apa itu artinya, loe nggak ikut Ujian?” Aku menatapnya sebal. Peter tesenyum kecut.

            “Pengecut mana yang menghindari UN hanya karena hobi?” Dia meraba saku celananya dan menyodorkan kartu ujiannya. “Gue suka lupa sama hal-hal kecil begini, titip sama loe ya, ruangan dan nomornya ada disitu, tolong taruh aja di atas mejanya”

            Kartu yang  berada di tanganku bertuliskan namanya dan ruang A04 no. 89. Berbeda jauh dariku yang di ruang B03 no. 104. Aku tersenyum, Peter juga melakukan hal sama.

            “Maaf udah maksa loe buat melakukan hal tadi. Jujur, gue juga udah mikir seribu kali sebelum bilang ini , dan tetap pada pilihan itu ya? Gue kecewa banget kalo loe  menjadi salah satu yang menggunakan kecurangan itu. Paham, bodoh?” Peter menepuk pundakku sambil mengerlingkan matanya. Oh, keindahan macam apalagi ini?. Karena terhipnotis dengan sikapnya tadi, aku tak sadar lelaki itu sudah melangkah mundur lima belas langkah dariku menuju lapangan basket. Teman-temannya menunggu.

            “Peter!”

            Ia menoleh.

            “Kasih tau gue kalo udah di Surabaya!” Teriakku lantang.

            “Gue bakal sempatin buat kabarin. Yang penting jaga diri baik-baik!” Teriaknya. Seketika degup jantungku berdetak cepat. Peter melangkah mundur, tangan kanannya melambai pelan.

            “Gue udah mulai kangen!” Spontan kata-kata itu keluar dari mulutku. Aku cepat-cepat menutup mulut. Menepuk jidatku berulang-ulang. Tiga teman satu klubnya mengarah padaku.

            “Loe bilang apa tadi?” Jeritnya dari lapangan basket.

            “Nggak papa, lupain aja!”

            “Apa?” Teriaknya lagi.

            Aku hanya melambai cepat. Segera mungkin menghilang dari tatapan aneh mereka.

Ah, kata-kata bodoh macam apa tadi?.

***

            Tepat tanggal dua Juni, ujian berlangsung. Persiapan mulai dari pensil 2B, penghapus karet lembut, papan ujian, hingga nomor ujian sudah terangkum sempurna dalam ranselku semenjak tadi subuh. Hari ini segala yang telah dipelajari dan diusahakan akan diuji, sesulit apapun bahkan semudah apapun itu harus dilakukan dengan kejujuran. Itu prinsipku.

            Aku melewati ruang A04 yang siswanya berjumlah 20 orang. Sama halnya dengan ruanganku dan ruang ujian lain yang menampung manusia berjumlah demikian. Aku baru saja masuk ke ruangan Peter untuk melakukan kewajibanku meletakkan kartu ujiannya meskipun ujian akan berlangsung setengah jam lagi, aku juga belum melihatnya. Mungkin iya, Peter dan komplotannya sedang benar-benar mempersiapkan strategi mereka menggunakan kunci jawaban itu. Tepatnya, saat ini aku malah  mengutuk perbuatan curangnya  walaupun seminggu lebih hanya dia yang menjadi bahan perbincangan hatiku.

            Tiga puluh menit itu dihabiskan kebanyakan mereka dengan bercengkerama seperti mengatur jarak lebih dekat dengan siswa-siswi yang lebih pintar. Ada juga yang sedang memenuhi sebaris laci meja dengan coretan-coretan rumus fisika, karena hari ini kami menjalani ujian itu. Selain itu, sekelompok anak-anak pintar yang dijuluki kutu buku juga tak mudah menyerah dengan menghabiskan tiga puluh menit dengan membaca. Semuanya dilakukan terang-terangan, tak ada yang protes, karena masing-masing mereka memiliki cara tersendiri untuk lolos.

            “Gue sih cuma rumus fluida aja, abisnya ribet banget” Kata Nina ketika tertangkap basah olehku mencoret bagian belakang kartu ujiannya dengan tulisan mikro. “Eh, tapi loe jangan bilang yang lain, Ya!”

            Aku merebut kartu ujiannya. “Apanya yang harus dibilang? Orang lain bahkan lebih dari loe” Nina menarik paksa kartu ujian itu dan memutarkan pandangan ke sekelilingnya. Mulai dari barisan pertama hingga akhir para siswa sibuk melakukan hal yang sama.

            Beberapa menit kemudian bel berbunyi. Tanpa mengucapkan salam kesuksesan pada Nina aku bergegas menuju ruanganku. Beberapa pengawas berjalan mantap dibelakang dan berpapasan denganku, mencocokkan nama ruang yang tertera di atas pintu dengan map coklat yang mereka genggam. Yang pas, segera masuk, sementara lainnya masih mencari. Polisi dan pihak keamanan lain juga turut hadir memantau aktivitas serentak ini. Pengawasan cukup ketat, mulai dari pemeriksaan peralatan ujian hingga mengecek fisik agar tidak tumbang. Lima menit kemudian aku tiba di kelas. Pengawasnya adalah seorang laki-laki paruh baya, bertubuh tinggi besar dengan kacamata bergagang hitam. Kesimpulan dari ekspresi wajahnya adalah garang, mengisyaratkan bahwa segala strategi harus dilakukan dengan hati-hati.

            “Jangan lupa berdoa menurut kepercayaan masing-masing. Saya tidak menegur yang kedapatan mencontek. Silahkan berbuat sesuka hati kalian. Tapi yang harus kalian tau, nilai akhir nanti adalah hasil kerja diri kalian masing-masing. Yang meraih nilai tinggi dengan hasil sendiri, selamat atas kejujuran dan keberhasilannya, sementara yang meraih nilai buruk dengan hasil sendiri, selamat atas kerja kerasnya. Kemudian yang mendapat nilai baik atau nilai buruk karena usaha orang lain, selamat menerima kertas hasil akhir yang hanya berisi kebohongan. Tiga tahun kalian habiskan waktu hanya untuk sebuah kebohongan. Paham?” Kata pengawas itu sambil membagi-bagikan soal sekaligus lembar jawaban.

            “Paham, Pak!” Mereka serentak menjawab. Yofanna berbisik pada teman sebelahnya, mengatur rencana mereka.

            Suasana hening seketika. Bel pertama berbunyi pertanda seluruh siswa harus mengisi biodata secara lengkap. Bel kedua, semuanya serentak mengerjakan soal. Aku melewati soal pertama karena agak sulit, langsung beranjak pada soal ke-35 tentang Taraf Intensitas Bunyi yang menurutku lebih mudah. Aku menyukai materi ini.

            Sepanjang UN berlangsung, seisi ruangan tak pernah benar-benar hening. Paling tidak terdengar bisikan-bisikan kecil entah untuk kompromi atau menukar lembar jawaban. Belajar keras juga tak menjadikan aku berdiri sendiri, sadar bahwa aku tidak sepintar Nazriel yang pasti sedang goyang-goyang kaki menghadapi soal-soal ini. Aku memanggil Yasmin, meminta jawaban no. 27, ia sebaliknya meminta padaku jawaban no. 15. Seketika pengawas melempar pandangannya pada kami, aku kembali santai. Tommy yang berselang tiga kursi dariku juga memberi kode untuk soal no. 21, walaupun aku juga keliru dengan jawabanku. Hampir sepertiga siswa berbisik sana sini, pegawas melirik sesekali pura-pura terbatuk agar sang siswa yang sedang sekarat seperti kami sadar bahwa ada yang memperhatikan.

            Hingga akhir ujian di hari itu, aku mampu menjawab semua soal yang totalnya 40. Tiga soal berkat jawaban teman lain, selebihnya hasilku sendiri. Setelah mengumpulkan lembar jawabannya, semua siswa menghela napas lega, sebagian lagi bercucuran keringat saking lelahnya bertempur. Entah bagaimana hasilnya nanti, aku pasrah setelah berjuang dan berdoa.

            “Salsabiela...!!!” Nina memanggilku di depan lapangan basket. Rambutnya yang dari pagi di kucir rapi kini bercabang-cabang. Ya, efek stress ujian nasional tidak hanya terjadi pada rambut Nina, bahkan rambut siswi lain yang seperti sapu ijuk, aku salah satunya.

            “Sumpah gila, soalnya membunuh banget!” Protes Nina. Ia meninju ninju lembaran soal fisika.

            “Bukan membunuh, tapi mencekik,” Balasku ikut meremas lembaran itu hingga mengerut.

            Nina menuding kepalaku “ Sama aja, bego! Itukan membunuh juga”.

            Kami tertawa lepas. Sesaat kemudian memutuskan untuk mengunjungi loker yang tak jauh dari lapangan basket untuk mengambil buku Kimia yang kusimpan kemarin. Besok jadwal ujian kimia, malamnya aku hanya mengulang bagian tersulitnya saja. Tampak lima siswa berlalu lalang di halaman antara loker siswa dan lapangan basket. Keadaan jauh lebih sepi dari biasanya karena siswa kelas sepuluh dan sebelas diliburkan, begitupun halnya tim basket yang kerap kali latihan disana juga mengkhususkan waktu mereka untuk ujian. Niatku bertemu Peter mungkin akan terkendala juga saat ini, ia tidak di lapangan itu, dari tadi aku tak melihatnya.

            Enam meter di depan loker langkah kami berhenti. Sesuatu yang aneh terpampang jelas saat itu. Kami menyelinap di belakang tembok. Nazriel membuka lokerku yang tak terkunci, meletakkan sesuatu kemudian melirik kanan kirinya dan berlalu. Aku bergegas akan memanggilnya namun dicegat oleh Nina. Nina berjalan lebih dulu dengan lihai membuka lokerku kemudian menemukan sebuah amplop merah muda. Benda yang ku benci habis-habisan yang sempat tidak pernah kujumpai lagi kini ia berada di tangan Nina. Hanya saja kali ini berbeda, penulisnya secara diam-diam telah diketahui dengan jelas. Aku mendekatkan tubuh pada Nina untuk membacanya.

Dear Salsabiela

Dari Seseorang yang terpikat dengan teduhnya angin cemara

Cemaraku, maaf selama ini sudah jarang menanyakan kabarmu

Apa kau tau? Jarak kita tidak seperti bumi dan langit yang ku katakan dulu

Kau penghibur di kala bisu, memaksa mataku untuk selalu terang di atas aksaramu

Mungkinkah kau tau aku sungguh mengagumimu?

Mungkinkah aku diizinkan untuk terus merindukan penghibur itu?

Mungkinkah, KAU AKAN MENJADI MILIKKU? 

Someone

            Degup jantungku berdetak cepat. Sedapat mungkin aku meyakinkan Nina bahwa ini bukan dari Nazriel. Apapun itu, aku lebih memilih air panas disiram ke tubuhku daripada harus melihat wajah Nina yang kaku. Jemarinya gemetar dan menurunkan tangannya perlahan. Ia tidak mengomel seperti biasa, butiran bening menetes dari sudut matanya, jatuh tak terbendung.

            “Nin, ini nggak mungkin Nazriel yang tulis, dia bukan pengecut itu, gue yakin...”

            Kertas itu ia tempelkan ke atas dadaku. Nina berlari sekuat tenaga walaupun aku sempat memegang tangannya untuk menghentikannya. Nina melepaskan genggamanku dengan kasar, memilih menjauh tanpa peduli dengan usahaku untuk menolak kenyataan bahwa Nazriel menyukaiku. Pikiranku kacau, bagaimana jika Nina memutuskan persahabatan kami?

            Aku membenci surat itu sebelum mengetahui penulisnya dan sekarang seribu kali lebih benci pada penulisnya. Nazriel terlalu pengecut menjadikan perasaan hanya sebatas kata di atas kertas. Seandainya dia jujur, semuanya tak akan serumit ini. Aku meremas kertas itu, buru-buru memasukkannya ke tas, tanpa sadar air mataku ikut keluar, membanjiri peristiwa yang tidak seharusnya terjadi.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (10)
  • dear.vira

    @Ardhio_Prantoko hehe, terima kasih sudah membaca :)

    Comment on chapter Pemilik Tatapan Teduh
  • Ardhio_Prantoko

    Cerita remaja yang bikin aku ketawa bacanya. Pembawaan ceritanya bagus. Aku cenderung suka mode showing, tapi ini mode tellingnya enak.

    Comment on chapter Pemilik Tatapan Teduh
  • NinaKim

    Baper :(

    Comment on chapter Peter
  • dear.vira

    @yurriansan terima kasih :)

    Comment on chapter Peter
  • yurriansan

    bagus, baru baca bab awal udah penuh misteri ceritanya

    Comment on chapter Peter
  • dear.vira

    @MS_Wijaya terima kasih banyak 😊

    Comment on chapter Peter
  • dear.vira

    @ShiYiCha terima kasih, oke pasti di like back👍

    Comment on chapter Peter
  • MS_Wijaya

    wah keren ceritanya Kak..

    Comment on chapter Peter
  • ShiYiCha

    Wiw... Nice story. Larut bacanya. Cemungut terus, ya Kak bikin ceritanya.
    Btw, likeback ya.

    Comment on chapter Peter
  • dede_pratiwi

    nice story :)

    Comment on chapter Peter
Similar Tags
Cinta Pertama Bikin Dilema
3135      1024     3     
Romance
Bagaimana jadinya kalau cinta pertamamu adalah sahabatmu sendiri? Diperjuangkan atau ... diikhlaskan dengan kata "sahabatan" saja? Inilah yang dirasakan oleh Ravi. Ravi menyukai salah satu anggota K'DER yang sudah menjadi sahabatnya sejak SMP. Sepulangnya Ravi dari Yogyakarta, dia harus dihadapkan dengan situasi yang tidak mendukung sama sekali. Termasuk kenyataan tentang ayahnya. "Jangan ...
Love Dribble
9276      1671     7     
Romance
"Ketika cinta bersemi di kala ketidakmungkinan". by. @Mella3710 "Jangan tinggalin gue lagi... gue capek ditinggalin terus. Ah, tapi, sama aja ya? Lo juga ninggalin gue ternyata..." -Clairetta. "Maaf, gue gak bisa jaga janji gue. Tapi, lo jangan tinggalin gue ya? Gue butuh lo..." -Gio. Ini kisah tentang cinta yang bertumbuh di tengah kemustahilan untuk mewuj...
Venus & Mars
4530      1261     2     
Romance
Siapa yang tidak ingin menjumpai keagunan kuil Parthenon dan meneliti satu persatu koleksi di museum arkeolog nasional, Athena? Siapa yang tidak ingin menikmati sunset indah di Little Venice atau melihat ceremony pergantian Guard Evzones di Syntagma Square? Ada banyak cerita dibalik jejak kaki di jalanan kota Athena, ada banyak kisah yang harus di temukan dari balik puing-puing reruntuhan ...
Letter hopes
852      477     1     
Romance
Karena satu-satunya hal yang bisa dilaukan Ana untuk tetap bertahan adalah dengan berharap, meskipun ia pun tak pernah tau hingga kapan harapan itu bisa menahannya untuk tetap dapat bertahan.
Kamu, Histeria, & Logika
52796      5209     58     
Romance
Isabel adalah gadis paling sinis, unik, misterius sekaligus memesona yang pernah ditemui Abriel, remaja idealis yang bercita-cita jadi seorang komikus. Kadang, Isabel bisa berpenampilan layaknya seorang balerina, model nan modis hingga pelayat yang paling berduka. Adakalanya, ia tampak begitu sensitif, tapi di lain waktu ia bisa begitu kejam. Berkat perkenalannya dengan gadis itu, hidup Abriel...
Lost Daddy
4157      893     8     
Romance
Aku kira hidup bersama ayahku adalah keberuntungan tetapi tidak. Semua kebahagiaan telah sirna semenjak kepergian ibuku. Ayah menghilang tanpa alasan. Kakek berkata bahwa ayah sangat mencintai ibu. Oleh sebab itu, ia perlu waktu untuk menyendiri dan menenangkan pikirannya. Namun alasan itu tidak sesuai fakta. AYAH TIDAK LAGI MENCINTAIKU! (Aulia) Dari awal tidak ada niat bagiku untuk mendekati...
When I Found You
2570      860     3     
Romance
"Jika ada makhluk yang bertolak belakang dan kontras dengan laki-laki, itulah perempuan. Jika ada makhluk yang sanggup menaklukan hati hanya dengan sebuah senyuman, itulah perempuan." Andra Samudra sudah meyakinkan dirinya tidak akan pernah tertarik dengan Caitlin Zhefania, Perempuan yang sangat menyebalkan bahkan di saat mereka belum saling mengenal. Namun ketidak tertarikan anta...
A Ghost Diary
4676      1469     4     
Fantasy
Damar tidak mengerti, apakah ini kutukan atau kesialan yang sedang menimpa hidupnya. Bagaimana tidak, hari-harinya yang memang berantakan menjadi semakin berantakan hanya karena sebuah buku diary. Semua bermula pada suatu hari, Damar mendapat hukuman dari Pak Rizal untuk membersihkan gudang sekolah. Tanpa sengaja, Damar menemukan sebuah buku diary di tumpukkan buku-buku bekas dalam gudang. Haru...
Rindu
360      259     2     
Romance
Ketika rindu mengetuk hatimu, tapi yang dirindukan membuat bingung dirimu.
I'll Be There For You
1062      498     2     
Romance
Memang benar, tidak mudah untuk menyatukan kembali kaca yang telah pecah. Tapi, aku yakin bisa melakukannya. Walau harus melukai diriku sendiri. Ini demi kita, demi sejarah persahabatan yang pernah kita buat bersama.