Akan lebih tepat menebak seperti apa akhir SMA ku ini. Aku kehilangan segalanya. Sahabat, bahkan laki-laki yang kucintai itu. Andai dulu setiap insan mengerti apa arti pengorbanan dan ketulusan, maka semua masalah tidak akan menjadi serumit ini. Nina, sudah kuhubungi puluhan kali, namun tetap tak ada tanggapan. Tak kuhitung berapa kali sudah aku mengunjungi rumahnya dan menitipkan pesan pada ibu atau adik-adiknya, namun harapan itu dengan mudah menghempaskanku kembali. Sama halnya dengan Nina, mungkin puluhan sms dan panggilan tak terjawab dari Peter dan Nazriel juga tak ku pedulikan lagi. Sesuai prinsipku, sebelum Nina meresponku, aku tak akan merespon kedua lelaki menyebalkan itu.
Tidak akan!
“Bil, ada surat dari..” Panggil Ibu.
“Nina?” Tanyaku langsung melompat dari ranjang merampas amplop putih di tangan Ibu. Ku sobek amplop itu dan menemukan selembar kertas putih.
“Mengapa bawaannya formal gitu, Buk?”
Ibu geleng-geleng kepala. Huruf demi huruf diatas lembar putih itu tak satupun menunjukkan sebuah surat rahasia, melainkan undangan menghadiri acara promnight besok malam. Aku bahkan lupa tanggal berapa hari ini. Seharusnya seminggu lalu semua perlengkapannya sudah matang mulai dari gaun hingga make up.
Aku menarik napas berat. “Biela nggak ikut, Bu”.
“Kenapa?”
“Capek. Aku males ketemu orang-orang. Mereka aja nggak kangen aku”
Undangan itu kini berpindah ke tangan Ibu. “Besok malam kamu harus datang, nggak pake gaun” Ibu tertawa cekikikan.
“Ha? Maksud Ibu?”
“Biela pake gaun vintage ibu, masih bagus kok, Cuma di rombak dikit aja.”
Dengan cepat, aku menggelengkan kepala. Mau jadi apa aku besok malam dengan gaya jadul seperti itu? Ibu malah meresponnya dengan tenang sambil mencubit pipiku. Melenggangkan badannya meninggalkan kamar seolah berhasil memasukkan musang yang ke dalam perangkapnya.
Aku bergerak malas menuju lemari. Mulai dari kaos, dress mini, seragam, hot pants, jeans, semuanya bertaburan. Seharusnya semua sudah tertata rapi saat ini, apalagi cuaca sedang sangat bersahabat. Bersahabat untuk bermalas-malasan maksudku. Dari semalam hingga siang ini hujan terus-terusan mengguyur bumi, suhunya mencapai 25 derjat celcius. Dapat dipastikan orang-orang lebih memilih bertahan di rumah mereka daripada harus membiarkan kedinginan menyelimuti sendi-sendi yang menambah rasa ngilu. Ku hempaskan pintu lemari itu. Dengan langkah malas aku berbalik menghempaskan tubuh di atas ranjang. Ku tekan bantal guling di atas wajah, menjerit dan membenamkan mulutku pada kumpulan bantal-bantal agar tidak ada yang mendengar.
Seketika, memori tentang Nina kembali menyapaku.
“Gimana cara loe bisa kuat menghadapi setiap masalah, Biel?” Tanya Nina suatu hari ketika ia baru saja menceritakan masalah krisis ekonomi keluarganya padaku. Aku tersenyum.
“Dengan cara nggak menangis, Nin” Jawabku.
“Nggak menangis? Gimana caranya?”
“Yaa, dengan menyimpan masalah ini rapat-rapat. Biarkan Tuhan dan diri kita sendiri yang tau”
“Loe benar. Tapi selamanya loe nggak akan bisa, Biel. Buat mengunci perasaan itu nggak mudah. Akan ada satu masalah yang gak ada satupun cara terampuh buat menghadapinya selain curhat dan menangis”
“Loe salah. Sejauh ini gue nggak pernah nangis dan dengan mudah menyimpannya sendiri.” Ucapku sambi merangkulnya. Dengan mata yang masih sembab dan wajah memerah, Nina tersenyum.
“Nanti saat itu akan datang, Biel”.
Gadis itu benar. Percakapan yang terjadi tiga tahun lalu itu dijawab oleh hari ini. Saat itu kembali setelah sekian kali aku berjanji tidak menangis lagi. Aku mulai mengingkarinya karena Nina. Perlahan air mata turun dan kedua sudut mataku. Lagi, disebabkan karena Nina, aku tak mampu lagi menjadi bendungan untuk diriku sendiri. Aku menangis sejadi-jadinya untuk sebuah hal sederhana yang menjadi rumit dalam tatanan hidupku sendiri. Ternyata masalah terberat itu adalah ketika kita kehilangan sahabat sekaligus orang yang kita cintai.
***
Malam promnight pun tiba. Dari jarak sekian meter seorang gadis telah siap dengan terusan mirabela motif bunga-bunga disepanjang tubuhnya. Gadis itu mematung di depan cermin, memeriksa setiap detail sisi demi sisi wajah tirusnya. Tampilannya berbeda 90 derajat dari kesehariannya yang biasa casual. Pipi pink merona, bulu mata lentik menggoda, kombinasi lipstik sangat cocok dengan warna pakiannnya hingga rambut disanggul bak Cinderella. Lengkap sudah. Ketidaknyamanan mulai menggagguku dari ujung rambut hingga kaki. Ternyata terusan ini yang dikatakan Ibu sebagai gaunnya saat pertemuan pertama dengan Ayah di rel kereta api. Tapi sedikit dimodifikasi agar tidak terlalu kelihatan klasik. Bagian lengan yang dulunya sebahu disambung hingga beberapa senti di bawah siku. Jadi tidak terlalu terbuka dan kesannya sopan.Cukup kreatif rupanya.
“Biel, Ayah dari tadi udah nunggu” Panggil Ibu. Ku hempasan badanku di atas kasur.
“Biela males, Bu!”
Dengan sekali tarikan tangan, Ibu berhasil membuatku menyerah untuk terus mengikuti langkahnya dengan malas. Dari depan rumah, Ayah tercengang sampai geleng-geleng kepala entah apa yang ia pikirkan. Yang kutau dari tadi ia terus menatapku sambil tersenyum tanpa bertanya hingga tiba di sekolah.
Layaknya pesta promnight dalam cerita cinta anak SMA di drama Televisi. Begitulah suasananya yang gemerlapan. Sekali dua kali kusempatkan bergabung dengan teman-teman sekelas dan tampaknya hanya makhluk sepertiku yang terlihat bermuram durja sementara yang lain tertawa menghempaskan temu kangen terakhir mereka di sekolah ini. Aku menyeruput minuman dingin diatas meja, mengacuhkan nyanyian dari band sekolah di atas panggung. Seketika kulihat Nina di meja paling depan sedang memperhatikan laki-laki yang terpisah beberapa meter darinya. Siapa lagi kalau bukan Nazriel. Nina juga bergabung dengan teman-teman lain namun kutau hatinya juga sedang kacau sepertiku. Sesaat kemudian kami saling bersitatap, namun cepat-cepat kualihkan pandangan itu ke arah lain, meskipun begitu bola mataku melirik ke arahnya, dia masih memperhatikanku.
Aku tidak melihat Peter disana. Terkadang ada rasa rindu ingin bertemu laki-laki itu seketika masih teringat jelas saat aku dan dia untuk pertama kalinya akrab di kebun teh walaupun pada awalnya masih terlihat kaku, ada juga saat kedua insan ini saling mengkhawatirkan saat ujian nasional. Ya, aku benar-benar merindukannya. Bukan hanya dia, Nazriel juga menjadi salah satunya. Meskipun ia tidak jauh dari pandanganku, tapi mulut ini tak sabar untuk sekedar menyapanya dan tertawa lepas seperti dulu. Harus ku akui ia terlihat lebih tampan dengan setelan hitam itu meskipun hanya melihatnya sekali di malam ini.
Panggung semakin meriah karena tiba di acara puncak. Yang tadinya sibuk berkelompok dan menyendiri pelan-pelan merapat lebih dekat ke depan panggung. Begitupun aku. Dalam hitungan detik lampu sekeliling pesta dimatikan, hanya tersisa satu lampu di panggung entah apa maksudnya. Aku juga tidak mendengar jelas apa yang diucapkan oleh MC.
“Ya, kita sambut idola kita, peraih nilai UN tertinggi kedua se-Ibukota. Let’s come in. Nazriel Billiandra!”
Serentak tepuk tangan bergema di malam itu. Dari bawah panggung Nazriel telah berdiri rapi di atas podium, buru-buru geng centil Yofanna mengeluarkan handphone mereka untuk memotret Nazriel, tak ketinggalan juga Nina berdiri paling depan, namun tidak memotret, hanya terdiam dengan sorot mata terkesima, ya itulah yang dapat ku tangkap dari dua baris di belakangnya. Aku hafal gaya rambut Nina yang berbeda dari lainnya saat itu.
Nazriel mengawali pidatonya dengan tersenyum, kemudian mulai membukanya. Hanya beberapa kata yang dapat kutangkap karena suasana terlalu riuh.
“Tiga tahun kita disini, guys. Bahkan waktupun belum bisa benar-benar menjadi pengingat tentang semua hal yang udah kita lakukan disini. Kalian, aku, kita semua mencetak memori masing-masing untuk dijadikan karya terindah sepanjang hidup. Tapi ingatlah semua itu nggak pernah ada tanpa campur tangan dari Tuhan, pastinya. juga orang tua yang merestui kita sekolah disini juga guru yang layak menjadi bagian dari kesuksesan kita. Setiap detik begitu berharga. Dan, setiap kita tak akan ada tanpa satu dan lainnya. Kalian luar biasa, guys!”
Yang hadir ada yang terharu hingga menangis, ada juga yang bersorak gembira. Seketika mata Nazriel menatap gadis yang berdiri paling depan. Wajahnya mengguratkan sesuatu yang berat untuk dikatakan lagi.
“Teruntuk Salsabilla Saffarizky” Ucapnya kemudian. Semua mata mencari-cari keberadaanku. Ada yang menyela bahuku, juga tak sedikit yang cuek. Aku menunduk.
“Mungkin ini akan kedengaran sedikit aneh, tapi tujuanku agar tidak ada lagi kesalahpahaman dan saling nggak enak diantara kita. Aku, kamu, dan mereka. Terima kasih telah menjadi sahabat baru yang lucu. Thanks banget udah pernah menjadi penghibur setia di hari-hari terakhir wanita yang sangat kucintai itu. Aku tidak pernah menjadi setegar sekarang sebelum semangat itu datang dari kamu. Mungkin kejadian ini adalah seburuk-buruknya kenangan bersama kamu, Biel. Tapi biarkan kata maaf itu menjadi pembatas diantara kita. Jujur, aku dan dia sama sekali nggak bermaksud mempermainkan perasaan kamu dan juga Nina. Seperti pertemuan terkhir kita, murni, itu karena kebodohan kami.Ya, itu karena laki-laki pecundang sepertiku. Kalian berhak marah semarah-marahnya dan menghapus pecundang ini dari hidup kalian.”
Spontan jantungku berdebar lebih cepat. Di menit terakhir itu Nazriel menatapku yang sebelumnya mengucapkan kata-kata itu dengan menunduk. Semua mata menatapku tak percaya, langsung saja kutinggalkan mereka dan berlari sejauh mungkin. Pepohonan membisu tak bergerak namun dingin masih menusuk tulang. Di depan pintu gerbang aku mengeluarkan handphone dari tas dan memencet nama Ayah disana. Aku ingin pulang. Sebelum Nina dua kali lipat membenciku habis-habisan walaupun kata-kata Nazriel tadi tanpa sadar membuatku terharu.
“Maafin gue, Biel!”
Pelukan seseorang tiba-tiba menghampiri. Aku hafal benar pelukan ini. Kulihat rambut hitam terurai panjang disini. Nina yang melakukan itu. Ia menangis sejadi-jadinya meminta maaf karena Nazriel telah menceritakan yang sebenarnya sebelum ia berada di penats tadi. Begitupun halnya denganku. Lelah rasanya menanggung rindu yang terlalu lama ini.
“Temui Peter, Biel. Dia di lapangan futsal De Vista tadi gue nggak sengaja liat waktu kesini.”
Aku diam. Belum yakin dengan apa yang dikatakan Nina.
“Ini kunci motor gue”. Lanjutnya sambil menyerahkan kunci motornya. “Loe pasti tau kan, itu tempat biasa dia futsal. Loe harus cepat, jangan mengulangi kesalahan yang sama lagi, Biel!”
Aku bergegas mengambil kunci motor itu dengan perasaan kalut, mengatur posisinya kemudian bersiap akan pergi. Tiba-tiba Nazriel menghentikanku dari kejauhan, yang kumengerti maksudnya bahwa ia ingin meminta maaf. Namun kuacungkan jempol dan tersenyum.
“Jaga Nina, ya!” Perintahku akhirnya. Keduanya tersenyum, saling menatap.
Ku kencangkan laju sepeda motor agar Peter belum lebih dulu pulang. Jam menunjukkan pukul 10.36 WIB, biasanya tujuh menit lagi sampai. Udara dingin malam itu tak membuatku menyerah untuk sekedar melihat wajahnya.
Tujuh menit kemudian aku tiba. Beberapa laki-laki yang sebagiannya teman Peter bersiap akan pulang. Mereka heran sampai-sampai menjailiku di parkiran namun kuacuhkan saja sambil terus menuju tempat Peter biasa berisitirahat. Sayangnya, yang dicari juga tidak terlihat. Aku bertanya pada beberapa orang disana namun mereka mengatakan bahwa semua pemain baru saja pulang. Putus asa menyelimutiku. Dengan terseok-seok aku berjalan keluar lapangan. Tak lama kemudian, sepasang kaki berdiri di depanku. Ku telusuri hingga kepalanya. Benar, Peter berdiri tepat di depanku mengenakan baju bola dan wajahnya kelihatan sangat lelah. Tapi dia begitu keren. Tak banyak berkomentar, ku peluk tubuhnya yang masih berkeringat meskipun ia belum mengerti.
“Eh, kenapa loe?” Tanyanya mencoba melepaskan pelukanku.
“Gue kangen loe.”
“Gue barusan nyemplung ke kolam buaya. Apaan sih, lepasin!”
Menyerah. Ku lepaskan pelukan itu dengan wajah cemberut. Anak ini masih saja menyebalkan. Bukannya senang, malah membuatku mati kutu. Beruntung saja hanya tinggal beberapa orang karena yang lainnya lebih dulu pulang.
“Mengapa peluk-peluk segala sih? Kemana aja dua minggu lebih sampe semua orang hampir gila mengubungi loe?”
“Gue ke dunia lain. Yang nggak ada loe disana.”Jawabku menjulurkan lidah. Peter menarik lengan gaunku.
“Baju apaan ni? Loe pikir jaman kerja rodi?’
“Sialan loe. Ini limited edition punya nyokap, gak ada tuh di obral sana sini. Suruh aja pacar loe yang sok cakep itu keliling dunia, gak bakalan ada.”
Peter tertawa. Dipandanginya penampilanku dari atas hingga bawah sambil geleng-geleng kepala.
“Ah udahlah, percuma gue kesini cuma buat nyariin loe. Mending tidur.” Lanjutku bergegas meninggalkannya.
“Biel. Tunggu.” Ia mengejarku hingga berhasil berdiri di depanku menghalangi jalan. Aku mengomel kesal pada tingkah jailnya.
“Tusuk konde loe gue copot, nih!” Katanya. Benar saja benda itu ada padanya. Pantas saja seperti ada yang hilang di rambutku.
Ia menyelipkannya di belakang punggungnya, memaksaku merampas kembali benda itu. Berulang kali tanganku menyelinap namun juga tidak berhasil. Peter terlalu lihai menyembunyikan sesuatu hingga rambutku yang tadinya disanggul pun lama kelamaan terurai. Yakin benar pasti sangat berantakan. Pada kesekian kalinya ingin merebut kembali. Ia tiba-tiba memelukku erat. Amat lama. Dielusnya rambut panjangku yang sepinggang.
“Lepasin woy, loe bau keringat!” Pekikku tepat di telinganya. Ia tak peduli bahkan tertawa geli.
“Sekali-kali keringatnya dibagi-bagi biar awet,” Kelakarnya. Kami tertawa. Lama kelamaan nyaman oleh kehangatan itu.
“Gue nggak peduli apakah kejadian dulu itu masih menjadi permasalahan diantara kita berempat, terutama loe dan gue. Tapi yang pasti, kebersamaan saat ini akan menjadi yang paling nyaman di hidup gue, Biel.” Katanya sambil terus mengelus lembut rambutku.
Setelah itu, aku dan Peter pulang dari tempat futsal. Tempat dimana pertama kalinya aku gigih mencari seseorang, dan tempat pertama kalinya wanita bergaun berpelukan dengan pria berseragam bola. Aneh memang. Malam itu juga Nazriel dan Nina tiba di tempat itu dengan mobil mewah Nazriel. Mereka hanya berdua. Langsung dari tempat itu, aku pulang diantar oleh Nina, dan Peter bersama Nazriel. Malam ini, adalah malam yang seakan tercipta oleh insan-insan yang baru saja menemui cintanya.
@Ardhio_Prantoko hehe, terima kasih sudah membaca :)
Comment on chapter Pemilik Tatapan Teduh