Loading...
Logo TinLit
Read Story - DanuSA
MENU
About Us  

"Neng ... bangun Neng."

Sabina mengernyit, samar-samar ia mendengar suara seseorang.

"Jang, bangun atuh."

Mencoba menggali kesadarannya, perlahan Sabina membuka matanya, ia melihat seorang pria dengan brewok di wajahnya tepat di depannya. Sabina berteriak kencang hingga membuat pria itu terlonjak kaget tak luput Danu yang juga ikut tersentak.

"Apaan sih?!" protes Danu.

Menyadari ada orang lain selain mereka berdua Danu terkesiap. Namun, senang melihat ada seseorang menemukan mereka.

Tapi tunggu gimana kalo bapak-bapak itu orang jahat? Tukang jagal yang mengambil organ tubuhnya seperti yang ada di film-film.

"Kalian kok bisa di sini?" tanya bapak itu.

Danu memberi tatapan menyelidik pada bapak itu dari atas hingga bawah Sabina juga melakukan hal yang sama. Dilihatnya sebuah kilatan yang berasal dari parang di tangan kanan bapak itu, Danu dan Sabina menelan ludah dengan susah payah. Tanpa sadar gadis itu menggenggam erat lengan Danu dengan sedikit memberingsut secara naluriah mencari perlindungan dan Danu merespon dengan mempererat pelukannya.

"Ba- bapak siapa?" tanya Danu mencoba berani meskipun tergagap dan suaranya terdengar bergetar.

"Saya Mang Asep, tenang saya bukan orang jahat," ucap pria itu dengan logat sunda-nya yang kental.

Kedua remaja itu menghela napas lega. Sabina menegakkan tubuhnya kemudian menjauh dari Danu -menjauh dari kehangatan yang menyelamatkannya semalam dengan duduk di sampingnya. Sabina menutup matanya rapat meringis menahan nyeri pada lukanya yang terasa lebih sakit daripada kemarin ketika ia bergeser. Ia menjaga jarak dengan pak Asep karena Sabina masih takut.

"Udah nggak dingin?" tanya Danu seraya memperbaiki resleting jaketnya.

Sabina menggeleng. "Makasih," ujarnya pelan.

"Saya Danu Mang." Danu mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. "Dan dia Sabina." Sabina hanya mengangguk tanpa berani menatap Mang Asep dan pria paruh baya itu tersenyum menanggapinya.

"Kenapa kalian bisa di sini?"

"Kita ikut kemah kemarin pak trus tersesat, " jawab Danu seadanya.

Mang Asep melihat mereka berdua bergantian dari atas sampai bawah, merasa tidak nyaman Sabina kembali meraih lengan Danu dan memberingsut kesana. Sosok Mang Asep mengingatkan Sabina pada seseorang.

"Eneng Sabina luka kakinya?"

Tidak ada jawaban dari Sabina membuat Danu menyenggol gadis itu dengan sikunya agar mau menjawab. Dengan enggan Sabina mengangguk.

"Aslinya dari mana?"

"Jakarta Mang Asep."

"Wah jauh, ya? ktalo gitu Mang Asep teh nggak bisa nganter sampai Jakarta. Kalo mau nanti ikut Mang Asep dianter sampe terminal deket pasar. Gimana?"

"Boleh Mang, tapi saya mintanya di anter ke rumah sakit aja Mang," ucap Danu.

Dari tempatnya Danu melihat Sabina yang menatapnya heran tapi cowok itu harus mengobati kaki Sabina terlebih dahulu. Masalah pulang itu gampang kalau sudah ketemu pemukiman, pikirnya.

"Di sekitar sini nggak ada rumah sakit Jang. Adanya puskesmas atau bidan."

"Apa aja Mang yang penting ketemu dokter."

"Udah bangun mereka, Pak?"

Seseorang datang dengan menggendong keranjang berukuran cukup besar dari ukuran tubuhnya.

"Udah Wan, mereka dari Jakarta tersesat katanya."

Cowok itu meletakkan keranjang yang digendongnya ke atas tanah, Sabina dan Danu melihat ke arah cowok itu. Pakaiannya sedikit lusuh dengan wajah kusam penuh keringat. Tubuhnya lebih kecil daripada Danu membuatnya mengira-ngira cowok itu berumur sekitar 14 tahun.

"Dia anak saya, namanya Wawan."

Danu melakukan hal yang sama seperti saat ia berkenalan dengan Mang Asep dan Sabina masih sama. Ia masih belum mempercayai kedua pria di depannya.

"Ayolah Pak ke pasar keburu siang jelek nanti jamurnya," ajak Wawan.

"Tunggu bentar atuh Wan kasihan mereka pasti nggak makan dari kemarin."

Wawan berdecak lidah kemudian memutuskan duduk di samping bapaknya.

"Kalian belum makan, kan?" Mang Asep mengeluarkan dua buah bungkusan kertas berwarna coklat dari dalam keranjangnya kemudian mengulurkan bungkus nasi itu kepada Danu.

"Itu teh bekel kita nanti siang Pak," gerutu Wawan tidak terima.

"Iya Wan, nanti kita bisa beli nasi di warung neng Lastri. Kasian kan mereka berdua."

Wawan melihat mereka berdua bergantian terlihat kelaparan menatap nasi bungkus di hadapannya.

"Nggak usah deh Pak. Nanti kita beli aja. Kita belum laper kok." Danu berbohong, Sabina mengangguk menyetujui perkataan Danu. Selain merasa tidak enak dengan Wawan yang tidak setuju dengan ide bapaknya, Sabina takut makanan itu berisi sesuatu.

"Nggak pa pa, makan aja. Saya tau kalian laper. Nggak usah dipikirin Wawan, dia mah suka gitu, tapi dia baek kok sebenernya." Mang Asep terkekeh pelan sambil mengeluarkan bungkus dji-sam-soe dari kantong celana kainnya lalu mengambil batang rokok dari sana dan menyelipkannya diatara bibirnya lalu menyalakannya dengan korek api. Bau menyengat tembakau yang terbakar langsung menusuk penciuman ketika asap itu mengepul dari mulut Mang Asep.

Danu melihat Sabina dengan tatapan Gimana nih? Karena Danu juga tidak mungkin percaya begitu saja pada orang yang baru mereka temui, Sabina menggeleng tidak setuju. Namun, perutnya yang keroncongan membuatnya ragu, ia benar-benar kelaparan.

"Udah makan aja, itu cuma nasi sama tahu tempe sama sambel dikit, kalo nggak mau ya udah nggak usah dimakan!" Wawan berucap mencoba berbaik hati namun ia masih sedikit tidak terima jatah makan siangnya dibagi pada orang lain. Masakan ibu Wawan yang tiada duanya meskipun hanya tempe dan tahu.

Danu mengangguk, "Makasih, ya." Ia kembali menatap Sabina, meyakinkan dirinya jika makanan ini aman.

"Ayo makan," suruhnya dengan suara rendah.

Danu dan Sabina memakan nasi bungkus itu dengan lahap bahkan sampai tidak tersisa.

"Nih air." Wawan mengulurkan botol air mineral yang sudah tampak lusuh. Entah sudah berapa kali botol minuman itu dipakai, tapi daripada mati kehausan Danu meraihnya. Air di botol itu masih penuh berarti belum ada yang meminumnya ia membiarkan Sabina minum terlebih dahulu baru dirinya. Bukannya tidak percaya dengan apa yang ada di dalam botol itu dan membiarkan Sabina mencobanya terlebih dahulu, Danu hanya mengingat kejadian saat Sabina membalik sedotan susu kotaknya. Ia berpikir Sabina mungkin tidak mau minum jika itu bekasnya.

"Makasi banyak ya Mang Asep sama ... Wawan."

Keduanya mengangguk menanggapi ucapan Danu.

"Ayo berangkat keburu siang."

Mang Asep berdiri ia meraih keranjangnya lalu menggendongnya Wawan juga melakukan hal yang sama. Danu berdiri kemudian mengulurkan tangannya untuk membantu Sabina. Dengan susah payah Sabina berdiri, rasa sakitnya sangat menjadi-jadi nyeri dan kaku menjadi satu.

"Lo bisa jalan?" tanya Danu khawatir.

Sabina menggeleng, "Nggak tau, sakit banget."

Danu menggendong tas Sabina tak lupa memasukkan ponselnya yang sudah kehabisan baterai ke dalam saku jaketnya.

"Sini gue bantu."

Danu memapah Sabina dengan sabar mereka mengikuti Pak Asep dan Wawan yang sudah jalan terlebih dulu.

"Lo masih demam, Bi."

"Hmm." Sabina menjawab seadanya ia melangkah terpincang Danu yakin Sabina benar-benar kesakitan. Ia melepas tangan Sabina yang ada di pundaknya lalu memindah tasnya di depan. Danu berjongkok di depan Sabina.

"Gue gendong Bi, gue kasian sama elo."

"Nggak usah, Nu!"

"Udah cepetan ntar ketinggalan sama pak Asep tuh."

Sabina menghela napas.

"Ayo cepetan!"

Akhirnya Sabina naik ke punggung Danu dan Danu kembali melangkah.

"Sorry, ngrepotin kamu," ucap Sabi pelan. Danu hanya mengangguk menanggapinya.

Embusan napas Sabina terdengar di telinga Danu membuatnya tersenyum, ia sendiri tidak mengerti mengapa. Ia hanya merasa senang dekat dengan Sabina si Gadis Triplek yang aneh. Untuk pertama kalinya Danu merasa apa yang ia lakukan berarti untuk seseorang ia merasa dibutuhkan. Seperti semalam, ia rela tidak bisa tidur nyenyak hanya agar Sabina merasa nyaman di pelukannya.

Danu melangkah cepat menyusul mang Asep.

"Mang Asep kok bisa di hutan gini?" tanya Danu mencoba ramah.

"Nyari jamur buat dijual ke pasar."

"Oh ... tiap hari ke hutan?"

"Iya, tapi beda-beda tempat kebetulan hari ini kita ke sini," jawab mang Asep seraya menebas ranting pohon yang menghalangi jalannya.

"Jauh nggak sih mang sampe ketemu pemukiman?"

"Satu jam jalan kita bakal ketemu jalan raya, masih jauh kalo sampe ke pemukiman. Saya parkir mobil di pinggir jalan."

Danu berhenti, ia sedikit lebih membungkuk agar Sabina tidak merosot dari gendongannya kemudian melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 8.

Setelah berjalan cukup lama akhirnya mereka melihat jalan kecil yang terbuat dari aspal.

Kayak gini dibilang jalan raya? Batin Danu. Ia berpikir akan melihat jalanan yang dipenuhi bus ataupun angkutan umum lainnya, tapi setidaknya jauh lebih baik daripada masih berada di dalam hutan.

"Nu, kita duduk di belakang aja, ya? Jangan mau kalo ditawari di depan." Sabina berbisik ketika melihat mobil carry pickup di pinggir jalan. Ia berbisik sangat pelan di telinga Danu. Danu terkekeh berusaha menjauhkan telingannya karena ia merasa geli, semua bulu di tubuhnya berdiri.

"Ngapain ketawa?"

"Nggak, geli aja. Kenapa emangnya kalo di depan?"

"Takut aja."

"Mereka kan baik."

"Iya sih, tapi tetep aja orang baik pasti ada maunya. Nggak mau kan nanti nama kita masuk koran karena jadi korban pembunuhan atau semacamnya?"

"Hush ngomong apaan, sih? Yakin deh mang Asep tu baik."

"Pokoknya di belakang!"

"Iya-iya!"

"Akhirnya sampai." Mang Asep meletakkan keranjangnya ke atas mobilnya juga keranjang milik Wawan. Danu menurunkan Sabina dari gendongannya.

"Wan, kamu duduk di belakang, ya? Mereka biarin didepan."

"Eng ... nggak usah Pak. Kita di belakang aja." Danu dengan cepat menyela Wawan yang ingin memprotes bapaknya.

Wawan menyeringai senang mendengar Danu.

"Beneran nggak papa?"

"Iya nggak papa. Ya kan, Bi?"

"Iya," sahut Sabina kaku.

"Ya udah kalo gitu, sok atuh keburu panas nanti."

Mang Asep dan Wawan masuk ke dalam mobil sementara Danu berjalan ke belakang membuka bak mobil terbuka itu kemudian menyuruh Sabina naik.

"Bisa kan Bi?"

"Bisa."

Sabina berangsur duduk lebih ke depan ia menggeser berbagai macam hasil bumi yang dibawa mang Asep. Danu memanjat ban mobil untuk naik setelah menutup bak mobil. Ia membantu Sabina menggeser keranjang-keranjang mang Asep.

"Udah Mang jalan." Danu berteriak setelah selesai.

"Ah ... akhirnya keluar juga dari hutan." Danu duduk bersandar di kepala mobil kemudian tersenyum lebar, ia menoleh pada Sabina di sampingnya. Sabina tersenyum tipis dan Danu senang akan hal itu.

Mobil pickup tua berwarna hitam usang itu membelah jalanan yang sangat sepi. Sepanjang perjalanan hanya ada hamparan pepohonan, udara sangat sejuk cenderung dingin Sabina merapatkan kedua tangannya ia tidak kuat menahan hawa dingin yang menerpa tubuhnya mengingat ia sedang kurang enak badan.

Tanpa menawari Sabina, Danu langsung menarik gadis itu ke dalam pelukannya.

"Nggak usah protes, gue tau lo kedinginan."

Mau tak mau Sabina mengakui jika dia lebih hangat jika Danu memeluknya.

Mobil itu mulai memasuki pemukiman, bukan kota namun juga bukan desa pelosok terbukti dari adanya beberapa toko kelontong dan toko baju sederhana juga konter hp kecil di pinggir jalan meskipun aktivitas tidak ramai seperti di kota. Sayangnya hp Danu kehabisan baterai ia tidak bisa menghubungi siapapun mungkin nanti ia harus meminjam charger seseorang, pikirnya.

Mobil mang Asep berhenti di sebuah bangunan dengan plang bertuliskan puskesmas. Mang Asep turun dari mobilnya.

"Udah sampai nih," ucap Mang Asep dengan senyum ramahnya. Sejenak Sabina merasa bersalah karena sejak tadi selalu berpikiran buruk tentang Mang Asep.

"Makasi banyak ya Mang Asep," ucap Danu seraya melompat turun dari mobil. Ia membuka bak mobil untuk menurunkan Sabina, Mang Asep ikut membantunya.

"Iya, sama-sama. Tapi maafin mang Asep ya cuma bisa bantu sampe sini aja."

"Iya Mang ini udah berarti banget buat kita. Coba kalo nggak ketemu mang Asep mungkin kita nggak bakal bisa keluar dari sana."

"Hati-hati pulang ke Jakartanya, ya?"

"Iya Mang, mudah-mudahan laris jualannya, ya? Sekali lagi terimakasih banyak."

Mang Asep terkekeh, "Iya, kalo gitu saya pamit." Pria tua itu masuk ke dalam mobil tuanya dan menyalakan mesin.

"Mang Asep," panggil Sabina, ia mendatangi mang Asep yang sudah berada di dalam mobil. "Makasi banyak, ya?" Akhirnya Sabina tersenyum ramah.

Mang Asep mengangguk dengan senyumnya.

"Wawan, makasi juga, ya."

"Ya Kak, sama-sama," balas Wawan dari kursi penumpang.

Mang Asep melajukan mobilnya meninggalkan mereka berdua.

Danu kembali memapah Sabina memasuki puskesmas.

"Cie, ada yang merasa bersalah udah nethink sama Mang Asep dari tadi," sindir Danu seraya terkekeh.

"Ck ... apaan sih?! Wajarkan aku takut sama orang asing."

"Iya iya."

"Nu."

"Apa?"

"Aku pinjem dulu duitnya buat bayar biaya kaki ku nanti, ya? Aku nggak punya uang sekarang."

"Ya elah Bi, gampang kalo urusan itu," ucap Danu menyembunyikan keraguannya pasalnya dia sama sekali tidak membawa uang dompetnya ia tinggal di camp.

Suasana puskesmas cukup sepi, mungkin karena sudah siang. Sabina langsung ditangani oleh dokter yang berjaga di sana. Danu berpikir keras untuk membayar biaya pengobatan selagi menunggu dokter menjahit luka Sabina. Danu terlihat gusar dan itu berhasil menarik perhatian Sabina, gadis itu bertanya-tanya tentang apa yang dipikirkan Danu.

"Bi, gue keluar bentar, ya?"

"Kemana?"

"Nyari charger ngasi tau yang lainnya kalo kita selamat. Mereka pasti bingung nyariin kita."

Sabina mengangguk cemas. Ia takut Danu berpikir untuk meninggalkannya.

Danu menatap Sabina, tatapannya teduh mengisyaratkan ketulusan seolah bisa membaca pikiran Sabina Danu tersenyum lembut.

"Gue nggak bakal ninggalin elo. Gue janji."

Sabina mengangguk percaya, untuk kesekian kalinya Sabina merasa hangat ... di dalam rongga dadanya dan ini pertama kalinya ia rasakan di dalam hidupnya.

"Dok, saya titip teman saya dulu sebentar, ya?"

Dokter itu mengiyakan selagi tangannya masih sibuk dengan jarum jahit dan benang.

Danu melangkah keluar dari puskesmas menuju konter hp yang ia lihat tadi. Ia mempunyai rencana, pertama menjual hp-nya karena itu satu-satunya benda berharga yang ia miliki, kedua membeli baju untuknya dan juga Sabina, penampilan mereka sudah seperti gelandangan, ketiga mencari makanan lalu pulang ke Jakarta terakhir tidur sepuasnya di kamarnya yang nyaman. Ia benar-benar merindukan kasur empuknya dan juga ... Bi Sumi.

"Bang, mau beli hp saya nggak? Masih bagus nih saya baru beli bulan lalu."

Abang konter hp itu melihat Danu dari atas sampai bawah dengan tatapan bertanya karena Danu tiba-tiba duduk di kursi dan langsung menawarkan hp-nya. Danu mengulurkan hp dengan logo apel di belakangnya.

"Berapa dijual?"

"4 juta deh Bang, masih mulus itu."

"Mahal amat?"

"Yah, Bang itu kan hp bagus Bang baru beli juga, udah setengah harga itu bang. Tawar deh berapa?"

Abang konter itu kembali melihat Danu dengan tatapan menyelidik.

"1 juta saya ambil, takutnya hape bodong sekarang ini kan banyak juga yang palsu," ucap Abang konter itu seraya memainkan hp miliknya.

Danu mengernyitkan alisnya sementara mulutnya menganga tidak percaya

"Sadis banget dah Abang nih nawarnya. Asli itu Bang!"

"Ini kan hp aja, charger nggak ada kelengkapan yang lain nggak ada. Bisa aja kan kamu nyuri," gertaknya.

"Astaga bang, emang saya keliatan kayak pencuri?!" sentak Danu tidak terima.

Abang konter itu menggedikan bahunya tak acuh membuat Danu berdecak lidah. Ia pergi dari sana ke konter sebelah.

"Mbak, mau beli hp saya nggak?"

"Maaf Dek, lagi bokek belum ada uang nih," ucap mbak penjaga konter itu.

Sialan!

Terpaksa Danu kembali ke konter sebelumnya karena tidak ada lagi konter di sekitanya dan abang konter itu menyeringai.

"Gimana?"

"Tambahin lah Bang, butuh banget uang nih buat pulang ke Jakarta. Temen saya juga luka tuh lagi di rawat di puskesmas nanti buat bayar biayanya," ucap Danu memelas.

Merasa kasihan abang konter itu mengeluarkan uang dari dalam dompetnya. "1,5 juta, ya? Udah pas nggak nawar lagi."

Danu kembali berdecak kesal, "Ya deh ya! Tapi pinjem dulu charger-nya mau make hpnya bentar."

Abang konter itu mengangguk sekilas senyum kemenangan tercetak di wajahnya. Ia paham jika Danu benar-benar butuh uang dan ia memanfaatkan keadaan Danu untuk mencari keuntungan.

Jangan lupa vomment ????

?

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 0
Submit A Comment
Comments (12)
  • YulianaPrihandari

    @DanFujo itu awalnya blm ada adegan ngambil fotonya Danu buat jaga-jaga, tapi karena ada komen dari @drei jadi saya tambahin biar ada alasannya (sebab akibat).

    Nggak perlu jadi kakak atau adik, cukup jadi sahabat yang "peka" dengan sahabatnya hehe. Temen-temennya Danu pada nggak peka karena Danu cukup pintar menyembunyikan masalahnya hehe

    Comment on chapter Rasa 24
  • DanFujo

    @drei Menurutku itu biasa sih. Kan cuma curiga di awal doang, abis itu hapenya udah jadi hak dia juga. Kurang lebih bahasanya: udah kebukti ni anak lagi butuh. Lagipula dia bilang kayak gitu juga cuma akal-akalan biasa pedagang Wkwkwk

    Btw, @YulianaPrihandari Ini gue pengen banget jadi kakak atau adeknya Danu, biar dia gak sendirian gitu. Biar kalau ada masalah ada tempat curhat gitu. Kok rasanya sedih banget yah pas dia minta penjelasan dari ibunya. Membulir juga air mataku. Meski gak menetes :"

    Comment on chapter Rasa 24
  • YulianaPrihandari

    @drei si Abangnya terlalu kasian sama Danu wkwkwk

    Comment on chapter Rasa 2
  • YulianaPrihandari

    @AlifAliss terimakasih sudah membaca :):)

    Comment on chapter Rasa 2
  • drei

    si abang konter ceritanya nuduh danu nyopet, tapi minjemin motor kok mau? ^^'a motor kan lebih mahal dari hape haha... (kecuali itu bukan motor punya dia)

    Comment on chapter Rasa 7
  • drei

    wah menarik nih... starting off well. will definitely come back. XDD

    Comment on chapter Rasa 2
  • AlifAliss

    Dukung banget buat diterbitkan, meskipun kayaknya harus edit banyak. Wkwkwk

    Comment on chapter Rasa 21
  • AlifAliss

    Kok aku ikut-ikutan bisa logat sunda yah baca ini wkwkwk

    Comment on chapter Rasa 6
  • AlifAliss

    Gue juga jatuh cinta ama Sabi, tapi gak apa-apa kalau keduluan Danu. ????

    Comment on chapter Rasa 2
  • AlifAliss

    Jatuh di hadapan siapa, Nu? Di hadapanku? Eaakk.. ????

    Comment on chapter Rasa 2
Similar Tags
Telat Peka
1329      611     3     
Humor
"Mungkin butuh gue pergi dulu, baru lo bisa PEKA!" . . . * * * . Bukan salahnya mencintai seseorang yang terlambat menerima kode dan berakhir dengan pukulan bertubi pada tulang kering orang tersebut. . Ada cara menyayangi yang sederhana . Namun, ada juga cara menyakiti yang amat lebih sederhana . Bagi Kara, Azkar adalah Buminya. Seseorang yang ingin dia jaga dan berikan keha...
Qodrat Merancang Tuhan Karyawala
1068      695     0     
Inspirational
"Doa kami ingin terus bahagia" *** Kasih sayang dari Ibu, Ayah, Saudara, Sahabat dan Pacar adalah sesuatu yang kita inginkan, tapi bagaimana kalau 5 orang ini tidak mendapatkan kasih sayang dari mereka berlima, ditambah hidup mereka yang harus terus berjuang mencapai mimpi. Mereka juga harus berjuang mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang mereka sayangi. Apakah Zayn akan men...
Mars
1169      633     2     
Romance
Semenjak mendapatkan donor jantung, hidup Agatha merasa diteror oleh cowok bermata tajam hitam legam, tubuhnya tinggi, suaranya teramat halus; entah hanya cewek ini yang merasakan, atau memang semua merasakannya. Dia membawa sensasi yang berbeda di setiap perjumpaannya, membuat Agatha kerap kali bergidik ngeri, dan jantungnya nyaris meledak. Agatha tidak tahu, hubungan apa yang dimiliki ole...
Hidup Lurus dengan Tulus
199      177     4     
Non Fiction
Kisah epik tentang penaklukan Gunung Everest, tertinggi di dunia, menjadi latar belakang untuk mengeksplorasi makna kepemimpinan yang tulus dan pengorbanan. Edmund Hillary dan Tenzing Norgay, dalam ekspedisi tahun 1953, berhasil mencapai puncak setelah banyak kegagalan sebelumnya. Meskipun Hillary mencatatkan dirinya sebagai orang pertama yang mencapai puncak, peran Tenzing sebagai pemandu dan pe...
I'm Growing With Pain
13946      2101     5     
Romance
Tidak semua remaja memiliki kehidupan yang indah. Beberapa dari mereka lahir dari kehancuran rumah tangga orang tuanya dan tumbuh dengan luka. Beberapa yang lainnya harus menjadi dewasa sebelum waktunya dan beberapa lagi harus memendam kenyataan yang ia ketahui.
Unthinkable
13075      2294     6     
Romance
Cinta yang tidak diketahui keberadaannya, namun selalu mengawasi di dekat kita
ALUSI
9580      2283     3     
Romance
Banyak orang memberikan identitas "bodoh" pada orang-orang yang rela tidak dicintai balik oleh orang yang mereka cintai. Jika seperti itu adanya lalu, identitas macam apa yang cocok untuk seseorang seperti Nhaya yang tidak hanya rela tidak dicintai, tetapi juga harus berjuang menghidupi orang yang ia cintai? Goblok? Idiot?! Gila?! Pada nyatanya ada banyak alur aneh tentang cinta yang t...
Violetta
616      365     2     
Fan Fiction
Sendiri mungkin lebih menyenangkan bagi seorang gadis yang bernama Violetta Harasya tetapi bagi seorang Gredo Damara sendiri itu membosankan. ketika Gredo pindah ke SMA Prima, ia tidak sengaja bertemu dengan Violetta--gadis aneh yang tidak ingin mempunyai teman-- rasa penasaran Gredo seketika muncul. mengapa gadis itu tidak mau memiliki teman ? apa ia juga tidak merasa bosan berada dikesendiri...
Melawan Takdir
1794      878     5     
Horror
Bukan hanya sebagai mahkota pelengkap penampilan, memiliki rambut panjang yang indah adalah impian setiap orang terutama kaum wanita. Hal itulah yang mendorong Bimo menjadi seorang psikopat yang terobsesi untuk mengoleksi rambut-rambut tersebut. Setelah Laras lulus sekolah, ayahnya mendapat tugas dari atasannya untuk mengawasi kantor barunya yang ada di luar kota. Dan sebagai orang baru di lin...
TAK SELALU SESUAI INGINKU
12719      2752     21     
Romance
TAK SELALU SESUAI INGINKU