Loading...
Logo TinLit
Read Story - DanuSA
MENU
About Us  

"SABI!!" teriak Danu ketakutan.

Gerombolan babi itu sudah berlari entah kemana setelah Sabina terperosok ke dalam jurang. Danu langsung turun dari pohon.

"JAWAB GUE, BI!!" teriaknya sambil berlari.

"TOLONG AKU, NU!"

Sabina berpegangan pada akar pohon yang mencuat dari dalam tanah sementara ia meringis menahan sakit di kakinya. Jurang sedalam 20 meter siap menelan Sabina jika ia melepas pegangannya.

"Tahan bentar Bi, jangan dilepas, gue nyari kayu dulu," ujar cowok itu gusar ketika melihat Sabina bergelantungan di bawah. Ia langsung mematahkan ranting kayu yang cukup besar dengan tergesa-gesa.

"Pegang ini Bi, pegang kuat-kuat, gunain juga kaki lo untuk naik, ngerti kan?"

Gadis itu mengangguk, ia langsung meraih batang kayu yang diulurkan Danu.

Ia tidak boleh mati, masih ada yang menunggunya.

Dengan sekuat tenaga Danu menarik Sabina, sementara Sabina berusaha menggerakkan kakinya yang terluka agar bisa cepat naik ke atas. Danu menghela napas lega ketika berhasil menarik Sabina ke atas.

"Bi, lo nggak papa, kan? Ada yang luka?"

Sabina meringis, ia meluruskan kakinya dan berusaha melihat betis kanannya yang sedari tadi berdenyut-denyut.

"Bi, kaki lo."

Luka menganga sepanjang 5 cm dan cukup dalam terlihat di sana padahal ia memakai celana jeans. Patahan akar pohon itu mengoyak celana dan kakinya, tidak bisa dibayangkan jika ia hanya memakai celana pendek, mungkin tulang kakinya akan terlihat. Cairan kental berwarna merah mengalir deras dari sana menimbulkan sensasi nyeri yang begitu luar biasa menyiksa.

Cowok itu meringis seakan ia bisa merasakan sakit yang mendera Sabina. "Lo bawa perban atau semacamnya?"

Sabina melepas tas punggungnya dan mencari-cari suatu di sana.

"Sini, biar gue yang cari." Danu merebut tas Sabina dan menggeledah isinya dengan tergesa-gesa. Ia mengeluarkan gunting, antiseptik, dan kapas dari sana.

"Sorry, Bi celana lo harus gue potong, ntar gue ganti." Danu menggunting celana Sabina tanpa menunggu gadis itu menyetujuinya, ia memotongnya hingga sebatas lutut lalu melepas sepatu gadis itu. Sementara Sabina tidak bisa berbuat apa-apa, sudut matanya mengeluarkan air mata yang sedari tadi ia tahan. Namun, ia mencoba untuk tidak bersuara.

"Tahan, Bi."

Danu menyiram luka Sabina dengan sisa air mineral yang mereka punya untuk membersihkan tanah yang menempel. Rasa perih langsung menyeruak, Sabina memejamkan matanya, napasnya terasa tertahan di tenggorokannya.

"Bi, kalo lo mau nangis nangis aja gue tau ini bakalan sakit banget." Danu bersiap memberi luka itu dengan antiseptik. Ia menyadari Sabina menahan tangisnya sejak tadi.

Sabina berteriak namun tertahan karena ia menggigit lengan hoodie-nya ketika obat itu menyentuh dagingnya. Napasnya terengah, wajahnya memerah, air matanya mengalir deras. Sebenarnya pantang bagi Sabina terlihat lemah seperti ini. Namun, kondisinya tidak memungkinkan untuk terus bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Danu merasa cemas hingga tak sadar matanya berkaca-kaca melihat Sabina kesakitan, ada perasaan perih di dadanya. Mengalihkan perhatiannya, Danu segera menutup luka itu, tapi kapasnya sudah habis untuk membersihkan darah yang mengalir tadi.

Nggak ada pilihan lain.

Danu melepas jaketnya kemudian melepas kausnya hingga menunjukkan tubuh telanjangnya.

"Kamu mau ngapain?" tanya Sabi penuh antisipasi mengingat mereka hanya berdua.

"Udah diem aja, jangan mikir aneh-aneh!"

Danu merobek kausnya menjadi beberapa bagian kemudian menggunakannya untuk menutup luka Sabina.

"Nggak ada pilihan lain Bi, kita kehabisan kapas," ucap Danu seraya membungkus kaki Sabina sedemikian rupa lalu mengikatnya dengan tali yang ia buat dari kausnya.

Cowok itu menghela napas lega, ia mendaratkan bokongnya di tanah, meluruskan kakinya dan menopang tubuhnya dengan kedua tangannya ke belakang. Danu mendongakkan kepalanya ke atas, ia merasa lega karena Sabina selamat meskipun terluka.

Gue harus bawa Sabi keluar dari sini, luka itu bisa bahaya kalo nggak di jahit.

Ia melirik Sabina yang masih berusaha menahan sakitnya.

"Sakit banget ya Bi?"

Sabina mengangguk pelan, "Makasi udah nyelametin aku, Nu." Sedikit ada rasa sesal sempat berpikir buruk pada Danu beberapa saat yang lalu.

Danu mengulurkan sisa air mineral yang hanya tinggal sedikit kepada Sabi, ia merasa kasihan pada gadis di depannya.

"Tinggal itu, lo aja yang minum."

Dengan ragu Sabina menerima botol air itu, ia sangat haus, kejadian tadi begitu menguras energinya.

"Tapi kamu?"

"Udah, minum aja lo lebih butuh."

Gadis itu langsung meminum sisa air yang hanya dua tegukan namun mampu melegakan tenggorokannya yang kering.

"Ada bagian lain yang luka?" tanya Danu memastikan.

"Tangan, lecet dikit. Nggak pa pa." Gadis itu menyembunyikan lukanya.

"Coba lihat!" Danu menarik tangan Sabina paksa.

Danu berdecak, "Ini harus diobatin juga!"

Cowok itu meraih sisa kain di dekatnya lalu membersihkan luka Sabina dari tanah yang menempel, tidak ada air terpaksa ia hanya membersihkan seadanya. Sejenak Sabina merasakan desiran aneh karena perhatian Danu, tapi desiran itu terinterupsi oleh rasa perih ketika Danu mengoles antiseptik pada lukanya.

"Udah. Lo bisa jalan?"

Sabina berdeham mengusir kegugupannya.

"Nggak tau, biar kucoba."

Gadis itu berusaha memakai sepatunya kembali, dengan susah payah ia mengikat tali sepatunya karena ia tidak bisa menekuk kakinya.

"Biar gue yang ngiketin."

Danu berjongkok mengambil alih tali sepatu Sabina dan mengikatnya. Lagi desiran hangat memenuhi rongga dada Sabina.

Tapi nggak, nggak ada perasaan kayak gitu! Gadis itu kembali mengukuhkan hatinya jika ia tidak akan menghabiskan waktunya untuk hal-hal semacam itu. Karena sekali lagi cinta hanya omong kosong baginya.

Sabina berusaha berdiri dan dia berhasil.

"Ayo jalan lagi," ucap Sabina datar. Seperti Sabina yang biasanya dan Danu menyadari hal itu.

Danu segera memakai jaketnya kembali lalu meraih tas Sabina yang tergeletak di tanah dan segera menyusul Sabina yang berjalan tertatih.

"Bi, lo nggak usah maksain diri Bi daripada lo sakit sendiri."

"Trus diem aja di sini gitu?!"

"Ya nggak gitu juga, setidaknya minta bantuan gue buat bantu elo jalan."

Sabina memilih tidak menanggapi Danu, ia tetap melangkah meskipun terseok-seok alih-alih memikirkan tentang meminta bantuan pada Danu, Sabina memilih yakin jika ia bisa menopang tubuhnya diatas kedua kakinya sendiri.

Danu melihat matahari yang sudah menunjukkan sinar jingganya, menampakan siluet tubuh Sabina yang tertatih di depannya, semburat senja berpendar diantara helaian rambutnya yang bergerak seirama dengan langkah kakinya yang tidak seimbang. Mau tak mau memori Danu terlempar pada kejadian kemarin pagi, saat Sabina mendahuluinnya setelah keluar dari minimarket. Dengan pertanyaan yang sama.

Ada apa sebenarnya dengan Sabina Amanda Sahib?

Danu menghela napas lelah, fakta jika sore semakin larut membuatnya secara otomatis menyuruh matanya untuk melihat jam di tangannya.

"Jam setengah 6, Bi. Bentar lagi malem."

"Makanya cepet!"

"Lo serius ngomong gitu ke gue? Siapa di sini yang jalannya lambat?" sindir Danu, "ck ... sini gue bantu!" Cowok itu meraih tangan kiri Sabina dan mengalungkannya di pundak.

"Nggak usah, aku bisa sendiri!" Sabina menarik tangannya.

"Udah, ga usah cerewet ga usah sok kuat. Gue pengen cepet-cepet keluar dari sini kalo gue biarin lo kayak gitu terus kita bakalan bermalam disini."

????????????

Matahari sudah terbenam sejak satu jam yang lalu. Namun, masih menyisakan kejayaan penguasa siang di ujung barat sana sebelum malam mengambil kuasa penuh atas dirinya. Paduan suara penghuni malam terdengar saling tumpang tindih, beberapa terdengar begitu kencang mendominasi sementara yang lainnya saling mengikuti hingga membentuk irama. Mungkin ini yang disebut nyanyian alam.

"Bi, kayaknya kita nginep di sini deh." Cowok itu masih memapah Sabina.

Mereka memutuskan berhenti di dekat batu besar dan duduk di sampingnya.

Danu menghela napas, seharian ini benar-benar menguras segala sesuatunya. Ia mengamati sekitar yang sudah gelap.

"Bi, lo nggak takut?" Cowok itu mengusap keringat yang mengalir di pelipisnya. Jangan ditanya bagaimana penampilannya, wajah tampan yang biasa terlihat kini dihiasi debu dan keringat. Pakaian yang terbiasa bersih dan rapi kini sangat berantakan. Sama halnya dengan Sabina.

"Nggak."

Sabina berbohong, ia sangat takut dan Danu tahu akan hal itu meskipun sebenarnya ia juga takut.

"Gue mau ke sana bentar, ya." Danu berdiri ia meletakkan tas punggung Sabina di atas tanah.

"Ngapain?" tanya Sabi seraya mendongak ke arah Danu.

"Kencing, lo ikut?"

Seharian ia menahan hasrat membuang cairannya.

Sabina menggeleng cepat meskipun tidak terlihat oleh Danu karena gelap.

"Jangan lama-lama." Sabina bergumam sangat pelan membuat Danu tidak mendengar jelas apa yang ia katakan.

"Apa?"

"Nggak!"

Danu mengeluarkan ponselnya untuk penerangan ia melangkah menjauh, langkah kakinya menimbulkan suara karena menginjak dedaunan kering. Matanya tajam mengawasi sekitar.

"Nu," panggil Sabina.

"Apa?"

Danu menghentikan langkahnya dan berbalik, ia mengarahkan cahaya senter ponselnya ke arah Sabina.

"Aku juga kebelet. Gimana dong?"

"Butuh bantuan?"

Batin Sabina memutar mata, jika saja kakinya tidak sakit ia tidak akan mengatakan hal ini.

Memalukan.

"Nggak!"

"Ya udah!"

Danu kembali melangkah, cukup jauh dari tempat Sabina duduk.

"Permisi, numpang buang air, ya?" Ia bergumam sendiri. Sementara Sabina berusaha berdiri kemudian ia melangkah dengan susah payah ke balik batu. Ia juga melakukan hal yang sama.

"Danu!" teriak Sabina dari tempatnya, ia ketakutan mendengar suara aneh dari semak-semak di sekitarnya.

"Apa?"

"Kamu masih di situ, kan?"

"Iya, emang gue mau kemana? Lo pikir cuma lo yang takut di hutan kayak gini?" Jawaban Danu membuat Sabina sedikit lebih tenang.

Danu kembali ke tempat semula setelah selesai ia membiarkan lampu ponselnya tetap menyala. "Bi, lo bisa sendiri, kan?"

Sabina memutar mata kesal.

Sungguh bisakan ini menjadi lebih memalukan lagi?

"Bi?"

"Iya!"

Sabina kembali setelahnya, ia duduk di samping Danu dengan sedikit memberi jarak. Keheningan membentang di antara mereka, keduanya menatap satu-satunya penerangan yang tergeletak di atas tas. Satu pertanyaan besar yang sejak tadi mengusik pikiran mereka.

"Apa besok mereka bisa keluar dari hutan ini atau mati di sini?"

Pikiran Danu melayang kemana-mana, ia membayangkan hal-hal buruk yang mungkin saja terjadi. Dimakan hewan buas, diculik tukang jagal atau semacamnya untuk pesugihan atau mati kelaparan? Atau mungkin menjadi kanibal hanya untuk bertahan hidup? Membayangkan hal itu sontak membuat perutnya begejolak mual. Sabina memakannya atau dia memakan Sabina. Keduanya sama-sama menjijikkan.

Korban film gue.

"Bi, kira-kira kalo lo mati di sini bakal ada yang ngerasa kehilangan lo nggak?"

Sabina menghela napas, ia berusaha membuang hal negatif yang berputar di kepalanya sejak tadi dengan berpikir positif.

"Kalo gue kayaknya nggak ada deh."

Penyataan Danu mau tak mau membuat Sabina menoleh ke arahnya. Menyadari hal itu secara otomatis Danu juga mengalihkan tatapannya ke arah Sabina.

"Nggak, lupain." Cowok itu tersenyum, tatapannya terlihat sendu cukup mengisyaratkan luka yang coba ia pendam.

Sabina mengulum bibirnya, ia masih menatap Danu yang sudah kembali melihat lampu ponselnya. Danu seperti memikirkan sesuatu membuat Sabina gusar karena rasa penasaran. Namun, batinnya menolak untuk bertanya. Ia memejamkan matanya sejenak mencoba menguasai dirinya untuk menahan rasa keingintahuan yang cukup besar kemudian kembali menatap lampu di depannya. Ia tidak pernah seperti ini sebelumnya, setidaknya sejak ia memutuskan untuk tidak peduli dengan urusan orang lain.

????????????

"Kalian semua tenang, kami para panitia akan kembali mencari teman kalian besok pagi dan di bantu tim penyelamat dari kepolisian." Pak Bambang mencoba menenangkan para murid yang tengah berkumpul di lapangan. Para siswa sibuk mencemaskan keduanya.
Mereka sudah menelusuri hutan sejak mereka menghilang namun sama sekali tidak menemukan jejak bahkan ketika mengikuti panah penunjuk arah yang terjatuh di pertigaan.

"Gimana udah kasih tau orang tua mereka?" tanya bu Susan dengan nada rendah.

"Udah bu, orang tua Danu akan datang besok sementara orang tua Sabina...-" Pak Bambang menggelengkan kepalanya. "Yang jelas kita harus menemukan mereka secepatnya."

????????????

Malam semakin larut, udara menjadi semakin dingin kedua remaja itu melipat kedua tangan masing-masing di depan dada, mencoba mencari kehangatan. Perut Sabina berbunyi cukup keras membuat Danu terkekeh pelan.

Sabina kelaparan.

"Roti lo masih satu, kan?"

"Uh? Ya."

"Makan gih, cacing lo minta makan tuh."

Sabina meraih tasnya kemudian mengambil roti sandwich-nya. Ia membagi dua roti itu dan memberikannya pada Danu.

"Kamu juga lapar, kan?"

Danu memamerkan giginya. "Iya, udah dari tadi sih sebenernya."

Cowok itu meraih potongan roti dari tangan Sabina kemudian dengan cepat memakannya. Itu tidak membuat mereka kenyang, tapi setidaknya mampu untuk bertahan sampai besok. Mungkin.

Sabina juga membagi susu kotaknya pada Danu.

Suasana kembali hening, suara-suara malam kembali menguasai. Sabina meraih ponsel Danu.

"Pinjem bentar." Ia mengarahkan senter itu ke kakinya. Darah sudah merembes hingga keluar, Sabina meringis mendapati fakta itu.

"Itu harus dijahit, Bi." Danu menimpali, ia ikut meringis seolah bisa merasakan rasa sakitnya. Sedikit kagum dengan Sabina, ia tidak banyak mengeluh bahkan selalu berusaha terlihat baik-baik saja. Tidak bisa dibayangkan bagaimana jika ia bersama Gisel.

"Hmm." Sabina hanya menjawab seadanya, keduanya tahu jika menjahit luka di tempat seperti ini adalah hal yang mustahil. Ia kembali meletakkan ponsel ditempat semula.

Sabina merasa tubuhnya sedang tidak beres. Ia memegang dahinya, ia yakin jika dirinya sedang demam. Tidur mungkin ide baik biar besok bisa melanjutkan perjalanan pikirnya. Sabina menyandarkan tubuhnya di batu di belakangnya kemudian mencoba memejamkan mata, ia melipat kedua tangannya di depan dada untuk mengusir udara dingin di sekitarnya.

Danu masih mengamati sekitar, ia menggosok-gosok kedua telapak tangannya yang dingin agar menjadi lebih hangat. Ia melihat Sabina yang sudah terlelap lalu memutuskan ikut tidur karena ia sangat lelah.

.
.

"Nu ...," Sabina menarik-narik jaket Danu, suaranya bergetar, giginya bergemeletuk.

"Danu ...."

Merasa terkejut Danu membuka matanya, ia berusaha melihat Sabina di sampingnya yang terlihat sangat lemas dan gemetar, "Kenapa Bi?"

"Ak ... aku kedinginan."

Tidak ada pilihan lain, Sabina sudah berusaha menahannya sejak tadi. Namun, nyatanya ia tidak sanggup.

Danu berpikir keras, apa Sabina minta dipeluk?

Danu mendekatkan tubuhnya, "Maju dikit," suruh Danu dan Sabina mau tak mau menurutinya. Cowok itu membuka resleting jaketnya.

"Sini, biar anget."

Sabina ragu, tapi ia benar-benar kedinginan. Akhirnya ia mendekat ke arah Danu yang duduk di belakangnya. Danu langsung menarik tubuh Sabina ke dalam dekapannya, membiarkan Sabina bersandar di dadanya. Ia merapatkan jaketnya agar menutupi tubuh Sabina.

"Badan lo panas, Bi." Danu menyentuh dahi Sabina dan membiarkan tangannya tetap di sana sambil mengusapnya. Gadis itu hanya diam, ia merasa canggung dan merasa hanya menyusahkan Danu.

Sabina meringkuk dalam dekapan Danu yang nyaman, mencari kehangatan di tubuh cowok yang memeluknya dan ia baru menyadari jika Danu telanjang. Sabina tidak sengaja menyentuh kulit perut Danu, ia bisa mendengar detak jantung Danu yang berdegup tidak beraturan meskipun dirinya merasakan hal yang sama.

"Nu."

"Hmm?"

"Jangan mikir aneh-aneh, ya?"

Danu terkekeh pelan, "Gue cowok normal Bi, nggak mungkin gue nggak mikir yang aneh-aneh, tapi gue nggak seberengsek yang lo pikirin."

Sabina mengangguk pelan merasa sedikit lebih tenang. Wajar baginya untuk khawatir mengingat ia bersama cowok dan tidak begitu mengenalnya.

Jangan lupa vomment ????

Jangan lupa vomment ????

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (12)
  • YulianaPrihandari

    @DanFujo itu awalnya blm ada adegan ngambil fotonya Danu buat jaga-jaga, tapi karena ada komen dari @drei jadi saya tambahin biar ada alasannya (sebab akibat).

    Nggak perlu jadi kakak atau adik, cukup jadi sahabat yang "peka" dengan sahabatnya hehe. Temen-temennya Danu pada nggak peka karena Danu cukup pintar menyembunyikan masalahnya hehe

    Comment on chapter Rasa 24
  • DanFujo

    @drei Menurutku itu biasa sih. Kan cuma curiga di awal doang, abis itu hapenya udah jadi hak dia juga. Kurang lebih bahasanya: udah kebukti ni anak lagi butuh. Lagipula dia bilang kayak gitu juga cuma akal-akalan biasa pedagang Wkwkwk

    Btw, @YulianaPrihandari Ini gue pengen banget jadi kakak atau adeknya Danu, biar dia gak sendirian gitu. Biar kalau ada masalah ada tempat curhat gitu. Kok rasanya sedih banget yah pas dia minta penjelasan dari ibunya. Membulir juga air mataku. Meski gak menetes :"

    Comment on chapter Rasa 24
  • YulianaPrihandari

    @drei si Abangnya terlalu kasian sama Danu wkwkwk

    Comment on chapter Rasa 2
  • YulianaPrihandari

    @AlifAliss terimakasih sudah membaca :):)

    Comment on chapter Rasa 2
  • drei

    si abang konter ceritanya nuduh danu nyopet, tapi minjemin motor kok mau? ^^'a motor kan lebih mahal dari hape haha... (kecuali itu bukan motor punya dia)

    Comment on chapter Rasa 7
  • drei

    wah menarik nih... starting off well. will definitely come back. XDD

    Comment on chapter Rasa 2
  • AlifAliss

    Dukung banget buat diterbitkan, meskipun kayaknya harus edit banyak. Wkwkwk

    Comment on chapter Rasa 21
  • AlifAliss

    Kok aku ikut-ikutan bisa logat sunda yah baca ini wkwkwk

    Comment on chapter Rasa 6
  • AlifAliss

    Gue juga jatuh cinta ama Sabi, tapi gak apa-apa kalau keduluan Danu. ????

    Comment on chapter Rasa 2
  • AlifAliss

    Jatuh di hadapan siapa, Nu? Di hadapanku? Eaakk.. ????

    Comment on chapter Rasa 2
Similar Tags
Pisah Temu
1039      561     1     
Romance
Jangan biarkan masalah membawa mu pergi.. Pulanglah.. Temu
Love Warning
1486      679     1     
Romance
Dinda adalah remaja perempuan yang duduk di kelas 3 SMA dengan sifat yang pendiam. Ada remaja pria bernama Rico di satu kelasnya yang sudah mencintai dia sejak kelas 1 SMA. Namun pria tersebut begitu lama untuk mengungkapkan cinta kepada Dinda. Hingga akhirnya Dinda bertemu seorang pria bernama Joshua yang tidak lain adalah tetangganya sendiri dan dia sudah terlanjur suka. Namun ada satu rintanga...
Ignis Fatuus
2044      774     1     
Fantasy
Keenan and Lucille are different, at least from every other people within a million hectare. The kind of difference that, even though the opposite of each other, makes them inseparable... Or that's what Keenan thought, until middle school is over and all of the sudden, came Greyson--Lucille's umpteenth prince charming (from the same bloodline, to boot!). All of the sudden, Lucille is no longer t...
Perfect Candy From Valdan
3175      1324     2     
Romance
Masa putih abu-abu adalah masa yang paling tidak bisa terlupakan, benarkah? Ya! Kini El merasakannya sendiri. Bayangan masa SMA yang tenang dan damaiseperti yang ia harapkan tampaknya tak akan terwujud. Ia bertanya-tanya, kesalahan apa yang ia buat hingga ada seorang senior yang terus mengganggunya. Dengan seenaknya menyalahgunakan jabatannya di OSIS, senior itu slalu sukses membuatnya mengucapka...
Alex : He's Mine
2447      923     6     
Romance
Kisah pemuda tampan, cerdas, goodboy, disiplin bertemu dengan adik kelas, tepatnya siswi baru yang pecicilan, manja, pemaksa, cerdas, dan cantik.
G E V A N C I A
1115      615     0     
Romance
G E V A N C I A - You're the Trouble-maker , i'll get it done - Gevancia Rosiebell - Hidupnya kacau setelah ibunya pergi dari rumah dan ayahnya membencinya. Sejak itu berusaha untuk mengandalkan dirinya sendiri. Sangat tertutup dan memberi garis keras siapapun yang berniat masuk ke wilayah pribadinya. Sampai seorang cowok badboy selengean dengan pesona segudang tapi tukang paksa m...
You Can
1224      768     1     
Romance
Tentang buku-buku yang berharap bisa menemukan pemilik sejati. Merawat, memeluk, hingga menyimpannya dengan kebanggaan melebihi simpanan emas di brankas. Juga tentang perasaan yang diabaikan pemiliknya, "Aku menyukainya, tapi itu nggak mungkin."
Lost In Auto
1506      597     1     
Romance
Vrinda Vanita, adalah seorang remaja putri yang bersekolah di SMK Loka Karya jurusan Mekanik Otomotif bersama sahabatnya Alexa. Di sekolah yang mayoritas muridnya laki-laki, mereka justru suka pada cowok yang sama.
déessertarian
6187      1897     3     
Romance
Tidak semua kue itu rasanya manis. Ada beberapa yang memiliki rasa masam. Sama seperti kehidupan remaja. Tidak selamanya menjadi masa paling indah seperti yang disenandungkan banyak orang. Di mana masalah terbesar hanya berkisar antara ujian matematika atau jerawat besar yang muncul di dahi. Sama seperti kebanyakan orang dewasa, remaja juga mengalami dilema. Ada galau di antara air mata. Di sa...
Hey, Limy!
1467      676     3     
Humor
Pertama, hidupku luar biasa, punya dua kakak ajaib. kedua, hidupku cukup istimewa, walau kadang dicuekin kembaran sendiri. ketiga, orang bilang, aku hidup bahagia. Iya itu kata orang. Mereka gak pernah tahu kalau hidupku gak semulus pantat bayi. Gak semudah nyir-nyiran gibah sana-sini. "Hey, Limy!" Mereka memanggilku Limy. Kalau lagi butuh doang.