Loading...
Logo TinLit
Read Story - DanuSA
MENU
About Us  

Jangan mencinta ...
Aku bahkan tidak memiliki rasa, juga tak berniat untuk sekadar menyapa.
Karena kenyataannya selalu sama ...
Datang membawa suka kemudian pergi meninggalkan luka.

Datang membawa suka kemudian pergi meninggalkan luka

"Halo, Galih."

"Astaga Danu, lo di mana sekarang? Lo nggak papa kan?" Suara khawatir terdengar di ujung telepon Danu, sementara suara riuh menyebut nama Danu samar-samar terdengar.

"Iya gue nggak pa pa, tapi Sabina luka dia lagi dirawat di puskesmas. Gue nggak tau lagi di mana yang jelas kasih tau yang lain nggak usah khawatirin kita abis ini gue sama Sabina langsung pulang ke Jakarta," ucap Danu seadanya.

"Sini biar saya yang bicara. Hallo Danu, kamu sama Sabina di mana biar Bapak jemput, ya?" tanya Pak Bambang selaku penanggung jawab acara.

"Nggak tau nih Pak, nggak usah khawatir abis ini kita langsung pulang kok Pak."

"Beneran kalian nggak pa pa?"

"Iya pak, Sabina luka tapi udah di obati sama dokter. Eh, Bapak belum nelpon ke rumah, kan?"

"Syukur kalo gitu. Udah Nu, Mama mu mau dateng ke sini."

"Pak saya mau ngomong sama Danu dong." Suara Gisel terdengar memohon.

"Ck ... telepon lagi deh Pak, bilang ga usah ke perkemahan nanti malem sampe rumah kok. Udah ya Pak hpnya mau kepake." Danu mematikan teleponnya sepihak kemudian mengeluarkan sim card-nya. Ada perasaan kesal di dalam hatinya ketika pak Bambang memberitahu orang rumah tentang dirinya.

Pikirin nanti aja deh yang penting pulang dulu.

"Nih Bang." Danu menyerahkan hp-nya pada abang konter kemudian mengambil uang hasil penjualannya.

"Bang, kalo ke terminal masih jauh, ya?"

"Jauh lah dek, lagian di sini juga jarang ada angkot," jawab abang konter seraya melihat-lihat hp Danu yang kini menjadi miliknya.

"Ada yang nyewain mobil nggak Bang sekalian sopir?"

"Biasanya Pak Rahmat yang nyewain mobil tapi selama ini di daerah-daerah sini aja sih. Coba aja tanyain."

"Di mana rumah pak Rahmat bang?"

"Kamu jalan terus ke sana sekitar dua kilo," abang konter menunjuk jalan ke arah kiri, "nanti ada pertigaan belok kiri, lurus terus ada toko kelontong tulisannya 'warung sembako pak Rahmat', nah di situ."

"Jauh ya, Bang."

Danu melirik sepeda motor yang terparkir di sampingnya, motor bebek jadul berwarna merah. Namun masih terlihat bagus dan terawat. Sebuah ide terlintas di benaknya.

"Boleh pinjem motor nggak Bang? Buat kesana aja Bang bentar nanti dibalikin kok. Janji deh."

Abang konter itu sedikit ragu. Namun, melihat wajah memelas yang ditunjukan Danu akhirnya ia mengangguk.

"Awas kalo kamu bawa kabur," ucapnya seraya menyerahkan kunci motor kesayangannya.

Danu menerima kunci motor itu dengan senang hati.

"Iya-iya." Danu berkata pelan.

"Tunggu, lihat sini." Abang konter itu mengambil foto wajah Danu.

"Ngefans ya, Bang?" tanya Danu terkekeh.

"Ge er! Buat jaga-jaga. Motor nggak balik. Foto ini nyebar dan kamu jadi buronan," ancamnya.

"Kirain." Danu menanggapinya dengan tertawa tanpa sedikitpun tersinggung dengan ucapan pria di depannya. Ia langsung menginjak pedal motor dan melaju pelan ke arah rumah Pak Rahmat.

Tidak banyak aktivitas yang ada di sini, kendaraan jarang melintas, beberapa anak muda yang berkumpul di sebuah posko ronda. Danu juga melihat toko baju sederhana ia berpikir untuk mampir setelah selesai dengan urusannya.

Eh, nggak deh.

Ia menghentikan laju motornya di sisi jalan.

"Kalo nyewa mobil pake pakaian kotor gini mana mau pak Rahmat nyewain? Ntar gue dibilang gembel lagi. Kayaknya perlu baju baru dulu," batinnya seraya menoleh kebelakang melihat toko baju yang sudah ia lewati beberapa meter. Cowok itu memutar motor tuanya kemudian mendatangi toko baju.

"Mau nyari baju A'?" tanya seorang gadis dengan suara mendayu-dayu.

Danu tersenyum ramah kepada penjaga toko yang ia pikir seumuran dengannya.

"Iya."

Danu masuk ke dalam toko, beberapa baju dan celana tergantung di setiap tempat. Ia mencari-cari yang cocok untuknya meskipun sebenarnya semua yang ada di sini bukan seleranya. Danu terbiasa dengan pakaian yang terbilang bermerek terkenal, meskipun begitu ia tidak pernah bersikap sombong.

"Aa bukan dari sini, kan?" tanya gadis itu dengan senyum manis.

"Iya, hanya kebetulan lewat sini." Danu masih memilah-milah baju hingga akhirnya ia menemukan T-shirt putih polos dengan sebuah kantong di depannya. Ia juga mengambil sebuah celana pendek yang terbuat dari bahan jeans murah tak lupa sebuah celana dalam.

Gadis itu terus tersenyum kepada Danu hingga membuat cowok itu merasa tidak nyaman.

"Emm ... boleh numpang mandi, nggak?" tanya Danu pelan.

"Uh? Oh ya ... boleh-boleh, kamar mandinya di belakang," ucap gadis itu semringah seolah cowok di depannya itu adalah cowok tertampan yang pernah ia lihat seumur hidupnya meskipun penampilannya sangat kotor.

Danu melangkah ke arah kamar mandi kemudian mulai membersihkan dirinya.

"Um ... mbak, boleh minta tolong nggak?" tanya Danu setelah ia selesai dengan aktivitasnya. Kini ia tampak lebih segar dan bersih membuat gadis itu semakin melebarkan senyumnya.

"Boleh, tapi jangan panggil mbak ah, kayaknya kita seumuran. Panggil aja Rina."

"Oh, ya. Umm." Danu menggaruk tengkuknya canggung. Ini akan menjadi obrolan paling memalukan sepanjang hidupnya. "Boleh minta tolong nggak, Rin? Pilihin pakaian dalam buat cewek."

Rina mengernyit, "Untuk siapa A'?"

"Temen."

"Pacarnya, ya?"

Danu menggeleng cepat ia gugup, seharusnya ia tidak perlu merasa seperti ini, "Bukan kok."

"Oh ... kirain. Ukurannya berapa A'?"

"Hah? Ukuran?" Danu kembali menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.

Mana gue tau?

"Nggak tau."

"Yah gimana dong nanti takutnya nggak pas. Badannya seberapa sih?"

"Umm ... nggak kurus, nggak gemuk juga tingginya se dagu saya trus itunya anu ... duh gimana bilangnya, ya?" Danu memejamkan matanya gemas. Sialan, ia membuka matanya tanpa berani menatap lawan bicaranya lalu ia mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah dadanya. "Itunya ... biasa aja, ya gitulah pokoknya."

Anjir ini termasuk pelecehan nggak sih. Tapi masa nggak gue beliin? Masa Sabina nggak ganti?

Gadis itu mengamati Danu dari atas hingga bawah kemudian mengangguk. "Bentar, ya? saya cariin."

Danu bersyukur, ini adalah momen teraneh sepanjang hidupnya. Pertama ia membeli pakaian untuk wanita, kedua ia juga membeli pakaian dalamnya, ketiga ia bertanya dengan gadis yang seumuran dengannya.

Kalo aja Sabi nggak sakit gue nggak sudi ngelakuin ini, ah .. Sudah lah, lagipula gue nggak bakal ketemu Rina lagi.

Selagi menunggu Rina selesai mencari Danu memilih pakaian yang cocok untuk Sabina. Ia memilih warna t-shirt yang sama seperti yang ia pakai dan juga celana pendek dari kain yang modelnya cukup bagus, setidaknya dari semua pakaian yang ada di sana.

"Aa suka sama cewek ini, ya? Sampai rela beliin beginian," goda Rina yang kini berhenti bersikap seperti gadis yang sedang kasmaran.

"Ih nggak! Apaan sih, cuma temen kok," ucap Danu gugup membuat Rina tersenyum simpul.

"Nggak meyakinkan banget sih A'?" Rina membungkus semua yang dibeli Danu, "pasti cantik ceweknya, ya?"

"Jadi semua berapa Rin?" tanya cowok itu mencoba menghindar dari pertanyaan Rina.

"200.000 A'."

Danu segera mengeluarkan uang dari kantong celananya dan memberikan uang yang disebut Rina.

"Makasi banyak ya, Rin."

Danu mengambil kantung plastik dari tangan gadis itu. Ia ingin segera pergi dari tempat itu. Lebih tepatnya tak ingin ditanya-tanya lagi tentang dirinya dan Sabina.

Rina mengangguk, "Salam buat pacarnya, ya?" ucapnya dengan sedikit mengeraskan suaranya ketika Danu melangkah menuju motor yang terparkir di depan toko. Ia terkekeh pelan setelahnya hingga membuat sudut bibir Danu terangkat.

Setelah cukup lama menaiki motor, Danu melihat rumah yang paling menonjol diantara yang lain. Terlihat paling mewah dan besar, kontras dengan yang lainnya meskipun ada juga bangunan yang sudah tergolong sedikit modern namun rumah itu yang paling mewah. Ia melihat plang yang berdiri tegak di sisi jalan.

Nggak salah lagi.

Cowok itu memarkirkan motornya di depan toko lalu masuk ke dalam.

"Nyari apa, Dek?" Suara wanita terdengar dari balik displai kaca ketika Danu sudah berada di dalam.

"Gini buk, saya Danu. Saya dapet info dari abang konter yang di pinggir jalan deket puskesmas, katanya Pak Rahmat nyewain mobil, ya?" Danu berkata sopan.

"Mau kemana emangnya, Dek?"

"Ke Jakarta Buk."

Wanita paruh baya itu keluar agar bisa bicara lebih dekat dengan Danu.

"Oh, bentar ya saya panggil bapak dulu," ucap wanita itu kemudian berjalan ke dalam.

Danu mengamati sekitar, beberpa karung beras terlihat bertupukan serta dus-dus minuman kemasan dan makanan lainnya bertupuk di sebelahnya juga beberapa alat kebutuhan sehari-hari banyak tergantung di bagian dinding.

"Mau ke Jakarta ya, Dek?" Suara rendah yang muncul dari dalam rumah hingga sedikit mengagetkan Danu.

"Iya Pak, saya mau pulang ke Jakarta. Dengan pak Rahmat, ya?" Danu mengulurkan tangannya sopan dan Pak Rahmat tersenyum menyambut uluran tangan disertai anggukan kecil.

"Saya Danu."

"Kebetulan teh saya mau ke Jakarta nanti, boleh kok kalo ikut saya berangkat jam 4."

"Iya saya mau, tapi saya sama temen dia lagi dirawat di puskesmas kakinya sakit."

"Kalo gitu nanti saya datengin ke puskesmas."

"Beneran Pak Rahmat?"

"Iya bener."

"Wah makasi banyak Pak, makasi banyak. Nanti saya siap-siap di sana." Danu melebarkan senyumnya. Ia sangat senang.

Pak Rahmat mengangguk, pria itu terlihat sangat bijaksana dan senyumnya yang hangat mengingatkan Danu pada sosok ayahnya yang sudah meninggal.

"Kalo gitu saya permisi dulu ya pak mau ngasih tau temen saya. Mari pak Rahmat."

"Iya."

Akhirnya bisa pulang ke Jakarta.

Danu kembali menaiki motornya namun beberapa meter di jalan ia ingat jika perutnya sudah mulai lapar. Ia melihat warung sederhana di pinggir jalan dan memutuskan membeli makanan. Tak lupa membungkusnya untuk Sabina.

Gadis itu pasti juga kelaparan, pikirnya.

????????????

Danu kembali ke puskesmas dan mendapati Sabina tengah tertidur dengan nyenyak, ia meringkuk seperti bayi membuat Danu tidak tega mengganggu tidurnya. Danu meletakkan bungkusan yang ia bawa ke atas meja lalu melihat jam di tangannya mereka hanya punya waktu satu jam sebelum pak Rahmat datang mau tak mau cowok itu harus membangunkan Sabina.

"Bi ... Sabi," panggil Danu pelan sambil menggoyang-goyangkan bahu Sabina. "Bangun, Bi."

Merasa kaget, Sabina tersentak sambil memberikan tatapan waspada. Namun, ia segera menghela napas ketika menyadari cowok di depannya adalah Danu.

"Bentar lagi ada yang bakal nganter kita pulang, sekarang lo siap-siap. Gue udah beliin baju buat lo trus habis itu lo makan, gue juga udah beliin nasi." Danu mendikte Sabina seperti bicara pada anak kecil, ia menyerahkan bungkusan pakaian yang ia beli pada Sabina yang sudah duduk di ranjang.

Sabina membuka bungkusan plastik hitam itu lalu mengecek isinya. Ia melebarkan matanya secara sempurna melihat apa yang ada di dalamnya, tak lupa mulutnya yang terbuka lebar sementara wajahnya merah padam.

Ia malu.

"Gue minta tolong penjualnya buat milihin. Nggak, gue nggak liat gue juga nggak megang. Sumpah," ucap Danu sedikit gugup, ia berdeham untuk membersihkan kerongkongannya yang terasa seperti tersumbat ia mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. Sementara Sabina yang masih malu tidak berani melihat ke arah Danu, ia memilih menundukkan kepalanya.

"Aku mandi dulu," ucap Sabina pada akhirnya.

Ini benar-benar memalukan.

"Jam 4 mobilnya dateng Bi, jangan lama-lama, ya?" Danu berusaha bersikap wajar dan hanya ditanggapi anggukan kecil oleh Sabina.

Danu mengemasi bawaannya meskipun ia tidak memiliki bawaan ia hanya mengambil tas milik Sabina kemudian menitipkan pakaian kotornya di sana. Sabina datang beberapa menit kemudian, sudah terlihat lebih segar dan pakaian yang dibelikan Danu pas di tubuhnya. Ia sudah melipat pakaian kotornya dan memasukkannya ke dalam tas.

"Gue nitip celana sama jaket gue."

Sabina mengangguk, ia sudah siap untuk pulang.

"Nasi buat elo." Danu menyerahkan bungkusan nasi pada Sabina dan gadis itu menerimanya.

"Kamu udah makan?"

"Udah tadi, ga tahan sama laper jadi gue makan duluan di warung," jawab Danu seraya duduk di kursi tunggu. "Udah cepet makan. Nggak usah malu."

Sabina tersenyum tipis, ia segera membuka bungkusan nasi itu lalu memakannya perlahan.

"Sebenernya tadi ada sambelnya, enak banget, tapi kayaknya lo nggak suka pedes jadi nggak gue isiin."

Sabina menatap Danu dengan tatapan "darimana kamu tau?"

"Sambel di nasi yang dikasih Mang Asep lo sisihin."

"Oh, umm ya ... aku nggak suka sama pedes." Sabina menanggapi secara datar lalu kembali melanjutkan makan.

Danu memperhatikan Sabina ia tersenyum, bahkan hal sekecil ini bisa membuatnya bahagia.

Gadis itu sadar dan otomatis membuatnya merasa tidak nyaman hingga ia mempercepat makannya namun hal itu membuatnya tersedak.

"Pelan-pelan Bi, nggak ada yang minta." Danu mengulurkan sebotol air mineral pada Sabina dan gadis itu meminumnya.

"Bi."

Yang dipanggil menoleh.

"Salah nggak sih kalo gue sayang sama elo?"

Gadis itu tercengang dengan pengakuan Danu, jantungnya berdegup kencang.

Tapi tidak, ini tidak boleh, pikirnya.

Alih-alih menjawab Danu, Sabina memilih mengemasi sisa makanannya, mendadak ia tidak berniat menghabiskannya. Gadis itu meraih tasnya lalu melangkah keluar dengan tertatih.

Danu terheran-heran, apa dia salah bicara? Ia hanya mencoba jujur dengan apa yang ia rasakan.

"Bi, gue salah, ya?"

Sabina berhenti melangkah namun ia diam, tidak sedikitpun menoleh pada Danu yang kini berdiri di belakangnya.

"Salah."

Hening.

"Jangan jatuh cinta padaku. Aku memperingatkanmu!"

Sabina kembali melangkah namun kembali terhenti ketika Danu membuka suara.

"Gue cuma bilang sayang Bi."

"Rasa sayang lama-lama bisa berubah jadi cinta, jangan kamu teruskan," ujar Sabina datar.

"Kenapa?" tanya Danu lirih.

"Aku benci pria dan aku benci cinta, kurasa itu cukup untuk ngejawab semuanya." Perkataan Sabina membungkam Danu. Tidak mendapat tanggapan, Sabina memilih pergi meninggalkan Danu yang masih mematung bingung.

Sepanjang perjalanan ke Jakarta Sabina hanya diam seperti yang biasa ia lakukan, Danu merasakan atmosfer yang berbeda dari Sabina dua hari ini. Sabina kembali menjadi Sabina yang sebelumnya. Sabina yang dingin. Beberapa kali Danu menoleh ke arah Sabina yang duduk di belakang. Namun, Sabina sama sekali tidak menanggapinya. Gadis itu memilih melihat ke luar jendela mobil meskipun sebenarnya Sabina juga menyadarinya. Ia hanya sedang memperbaiki benteng pertahanannya yang sempat rapuh karena perhatian Danu.

Ia mendengarkan Danu dan pak Rahmat mengobrol santai, gadis itu baru mengetahui satu hal jika ayah Danu sudah meninggal namun Danu tidak banyak bercerita tentang ibunya.

Pukul 9 malam akhirnya mereka sampai di depan rumah Danu.

"Makasi banyak ya pak Rahmat udah dikasih tumpangan, gratis lagi."

"Iya, salam buat keluarganya, ya?"

"Iya."

Danu keluar dari mobil.

"Makasi pak Rahmat, maaf ngerepotin." Sabina membuka suara hanya agar ia terlihat lebih sopan karena sejak awal jika pak Rahmat bertanya gadis itu hanya menjawab seadanya.

"Iya Neng Sabi, cepet sembuh kakinya, ya." Sabina tersenyum kemudian keluar dari mobil.

Mereka berdua masih di sana hingga akhirnya pak Rahmat melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu. Sabina melangkah ke arah rumahnya tanpa mengatakan apapun.

"Bi," panggil Danu tanpa menghampiri Sabina.

Gadis itu berhenti melangkah.

"Umm ... nggak usah dipikirin yang gue bilang tadi. Emang salah sih padahal gue sama sekali nggak kenal lo tapi gue udah berani bilang sayang," ucap Danu seraya terkekeh hambar. Dia juga merasa bingung dengan perasaannya sendiri, dua hari bersama Sabina mampu membuatnya merasa senang meskipun Sabina sangat dingin dan jarang tersenyum.

Sabina mengangguk lalu kembali berjalan memasuki rumahnya meninggalkan Danu yang masih berdiri di tempatnya. Perasaan Danu bergelut antara ia peduli dengan Sabina, ia merasa senang jika bersama gadis itu. Namun, Sabina seolah menutup diri dari siapapun, membuatnya penasaran.

 Namun, Sabina seolah menutup diri dari siapapun, membuatnya penasaran

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (12)
  • YulianaPrihandari

    @DanFujo itu awalnya blm ada adegan ngambil fotonya Danu buat jaga-jaga, tapi karena ada komen dari @drei jadi saya tambahin biar ada alasannya (sebab akibat).

    Nggak perlu jadi kakak atau adik, cukup jadi sahabat yang "peka" dengan sahabatnya hehe. Temen-temennya Danu pada nggak peka karena Danu cukup pintar menyembunyikan masalahnya hehe

    Comment on chapter Rasa 24
  • DanFujo

    @drei Menurutku itu biasa sih. Kan cuma curiga di awal doang, abis itu hapenya udah jadi hak dia juga. Kurang lebih bahasanya: udah kebukti ni anak lagi butuh. Lagipula dia bilang kayak gitu juga cuma akal-akalan biasa pedagang Wkwkwk

    Btw, @YulianaPrihandari Ini gue pengen banget jadi kakak atau adeknya Danu, biar dia gak sendirian gitu. Biar kalau ada masalah ada tempat curhat gitu. Kok rasanya sedih banget yah pas dia minta penjelasan dari ibunya. Membulir juga air mataku. Meski gak menetes :"

    Comment on chapter Rasa 24
  • YulianaPrihandari

    @drei si Abangnya terlalu kasian sama Danu wkwkwk

    Comment on chapter Rasa 2
  • YulianaPrihandari

    @AlifAliss terimakasih sudah membaca :):)

    Comment on chapter Rasa 2
  • drei

    si abang konter ceritanya nuduh danu nyopet, tapi minjemin motor kok mau? ^^'a motor kan lebih mahal dari hape haha... (kecuali itu bukan motor punya dia)

    Comment on chapter Rasa 7
  • drei

    wah menarik nih... starting off well. will definitely come back. XDD

    Comment on chapter Rasa 2
  • AlifAliss

    Dukung banget buat diterbitkan, meskipun kayaknya harus edit banyak. Wkwkwk

    Comment on chapter Rasa 21
  • AlifAliss

    Kok aku ikut-ikutan bisa logat sunda yah baca ini wkwkwk

    Comment on chapter Rasa 6
  • AlifAliss

    Gue juga jatuh cinta ama Sabi, tapi gak apa-apa kalau keduluan Danu. ????

    Comment on chapter Rasa 2
  • AlifAliss

    Jatuh di hadapan siapa, Nu? Di hadapanku? Eaakk.. ????

    Comment on chapter Rasa 2
Similar Tags
One Day.
538      359     1     
Short Story
It's all about One Day.
Babak-Babak Drama
471      326     0     
Inspirational
Diana Kuswantari nggak suka drama, karena seumur hidupnya cuma diisi itu. Ibu, Ayah, orang-orang yang cuma singgah sebentar di hidupnya, lantas pergi tanpa menoleh ke belakang. Sampai menginjak kelas 3 SMP, nggak ada satu pun orang yang mau repot-repot peduli padanya. Dian jadi belajar, kepedulian itu non-sense... Tidak penting! Kehidupan Dian jungkir balik saat Harumi Anggita, cewek sempurna...
Neighbours.
3384      1199     3     
Romance
Leslie dan Noah merupakan dua orang yang sangat berbeda. Dua orang yang saling membenci satu sama lain, tetapi mereka harus tinggal berdekatan. Namun nyatanya, takdir memutuskan hal yang lain dan lebih indah.
Parloha
10610      2520     3     
Humor
Darmawan Purba harus menghapus jejak mayat yang kepalanya pecah berantakan di kedai, dalam waktu kurang dari tujuh jam.
Ellipsis
2312      971     4     
Romance
Katanya masa-masa indah sekolah ada ketika kita SMA. Tidak berlaku bagi Ara, gadis itu hanya ingin menjalani kehidupan SMAnya dengan biasa-biasa saja. Belajar hingga masuk PTN. Tetapi kemudian dia mulai terusik dengan perlakuan ketus yang terkesan jahat dari Daniel teman satu kelasnya. Mereka tidak pernah terlibat dalam satu masalah, namun pria itu seolah-olah ingin melenyapkan Ara dari pandangan...
The Past or The Future
452      360     1     
Romance
Semuanya karena takdir. Begitu juga dengan Tia. Takdirnya untuk bertemu seorang laki-laki yang akan merubah semua kehidupannya. Dan siapa tahu kalau ternyata takdir benang merahnya bukan hanya sampai di situ. Ia harus dipertemukan oleh seseorang yang membuatnya bimbang. Yang manakah takdir yang telah Tuhan tuliskan untuknya?
Hunch
39099      5520     121     
Romance
🍑Sedang Revisi Total....🍑 Sierra Li Xing Fu Gadis muda berusia 18 tahun yang sedang melanjutkan studinya di Peking University. Ia sudah lama bercita-cita menjadi penulis, dan mimpinya itu barulah terwujud pada masa ini. Kesuksesannya dalam penulisan novel Colorful Day itu mengantarkannya pada banyak hal-hal baru. Dylan Zhang Xiao Seorang aktor muda berusia 20 tahun yang sudah hampi...
Patah Hati Sesungguhnya adalah Kamu
1969      776     2     
Romance
berangkat dari sebuah komitmen dalam persahabatan hingga berujung pada kondisi harus memilih antara mempertahankan suatu hubungan atau menunda perpisahan?
Shades Of Nuance
1611      856     2     
Romance
"seandainya kita diciptakan untuk menjadi satu, pasti suatu saat kita akan bertemu – Putri Zein" "aku selalu teringat tentang pertama kali aku bertemu dengan mu, kau hanya menatapku datar bukan tatapan memuja. Seorang siswi pindahan yang selalu membuatku muak, dengan kelakuan nya yang selalu ikut campur urusan orang lain. – Choi Min Ho" "mata kami saling bertemu, m...
My world is full wounds
487      345     1     
Short Story
Cerita yang mengisahkan seorang gadis cantik yang harus ikhlas menerima kenyataan bahwa kakinya didiagnosa lumpuh total yang membuatnya harus duduk di kursi roda selamanya. Ia juga ditinggalkan oleh Ayahnya untuk selamanya. Hidup serba berkecukupan namun tidak membuatnya bahagia sama sekali karena justru satu satunya orang yang ia miliki sibuk dengan dunia bisnisnya. Seorang gadis cantik yang hid...