Read More >>"> Belum Tuntas (Aku dan Yogyakarta) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Belum Tuntas
MENU
About Us  

Yogyakarta, 11 Desember 2010

Kata orang-orang, Yogyakarta adalah kota para Seniman. Kota yang dikelilingi oleh bukit-bukit ini kembali mengingatkanku dengan masa kecil. Kota ini merupakan kota kesayangan yang telah menjadi saksi kelahiran dan kebesaranku. Namun kota ini memberikan kenangan pahit yang cukup mendalam. Sebab, sejak diriku masih kecil; aku tidak pernah tahu siapa Ayah dan Ibuku sampai detik ini. Seringkali aku iri dengan sosok anak kecil yang selalu kutemui dengan menggandeng Ayah dan Ibu; ia cukup bahagia. Sejak kecil, aku tidak pernah merasakan kebahagiaan, namun setelah kukenal Desi, aku baru tahu bahwa kebahagiaan itu membuat diri kita semakin semangat menjalani hidup ini.

"Akhirnya aku menginjak kakiku di sini lagi!" gumamku pada diri sendiri dengan raut wajah kebahagiaan sekaligus melihat sekelilingku. Aku pun melangkahkan kaki dengan penuh kenyakinan bahwa diriku akan sukses di tempat asalku sendiri. Dari terminal aku menuju ke arah Malioboro untuk melihat teman-teman masa kecilku, yang kudengar-dengar sebagian dari mereka kini telah memiliki toko pakaian, usaha tatto hingga sebagian dari mereka masih tetap pada profesi yang sama; pencopet. Kita menjalin pertemanan sejak berada di PantI Asuhan hingga menginjak usia 15 Tahun tidak ada yang ingin menjadi orangtua angkat juga. Setelah itu, aku dan teman-temanku memutuskan untuk keluar dari Panti tersebut untuk membekali diri sendiri. Keahlian yang pernah diajarkan oleh Panti pun pernah kami praktekan; dari belajar menjadi wirausaha sampai membantu oranglain. Namun untuk keahlian menjadi pencopet itu belajar dari keinginan perut yang sedang menagih makan setiap waktunya. Sesekali kami melakukannya untuk kebutuhan mendesak, hingga saat ingin mengakhiri sebagai pencopet, aku dan teman-teman melakukan operasi besar-besaran selama tiga hari di tempat yang berbeda untuk pegangan saat hendak merantau ataupun modal kecil-kecilan.

Tak pernah kusangka, kedatanganku kali ini disambut oleh pencopet dan jambret; tas yang kurangkul dan dompet yang berada di celana belakangku pun raib di tangan pelaku secara bersamaan. Aku mengejarnya dan orang-orang yang mendengar teriakanku pun ikut mengejarnya. Dua pelaku larinya sangat cepat sekali sampai tidak terkejarkan; masing-masing larinya ke arah yang berbeda. Dan ada satu pelaku yang sedang menggandeng tasku, aku mengenali zig zag dari langkah pelaku. Zig zag yang digunakan pelaku merupakan strategi lari yang pernah aku lakukan saat menjadi pencopet untuk memberi tanda bahwa itu sekelompokan dari Albest hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk mendatangi sebuah markas besar dari Albest yang letaknya tidak jauh dari lokasi pemberhentianku. Aku pun berjalan saja. Hingga kutemukan sebuah Gang masuk untuk menuju ke rumah padat pendudukan. Warga di Gang ini merupakan wirausaha Bakpia, karena setiap rumahnya digunakan untuk produksi Bakpia yang nantinya akan dijual di depan Gang atau menyebarkan ke toko-toko ternama sebagai oleh-oleh para pendatang.

"Rudi.. Rudi.." ucapku kepada sosok yang sedang membuka isi tasku di salah satu rumah yang ukurannya sekitar 7,6 m x 10 m ini penuh dengan tulisan sajak maupun gambar mural. Ia sedang memperhatikan diriku sepertinya tidak mengenal diriku.

"Masa kamu nggak kenal teman masa kecil sendiri?" lanjutku dengan menepuk pundaknya. Ia tetap memperhatikanku dengan teliti dari segala sisi yang ada. Ia pun duduk dan mengingat-ingat siapa diriku.

"Randy ya? Atau Selamet?"

"Ini aku Randy. Masih aja jadi copet. Sini balikin tas sama dompet aku," balasku dengan menarik kembali tas yang sedang dipegang.

"Lalu dompetnya mana?" lanjutku.

"Dompet yang mana? Lah emang yang barusan aku jambret itu kamu Ran? Maaf ya, habis aku nggak tahu kalau itu kamu," ujarnya dengan menyengir dan mengaruk-garuk kepala.

"Iyah nggak apa-apa. Terus siapa yang tadi ngambil dompet aku?"

"Aku tidak tahu. Mungkin orang sebelah," pungkasnya, Aku pun langsung mendatangi anak sebelah yang kemungkinan salah satu anggota dari mereka beroperasi. Rudi pun mengikuti jejak langkahku. Aku merangkul tas yang isinya hanya pakaian dan beberapa makanan untuk menunda lapar. Namun nahasnya, setelah kudatangi markas anak sebelah, tak ada satupun yang berada di sana, aku berpikiran bahwa ia masih beroperasi.

"Sungguh sial! Uang itu kan buat hidupku di sini," teriakku lantang. Kekesalanku pun masih berada di puncaknya.

"Uangnya ada berapa Ran?"

"Ada 1,3 Juta di. Niatnya duit itu buat bikin usaha kopi kecil-kecilan di sini," balasku.

"Itu pun juga habis jual motorku waktu di sana," lanjutku.

"Kita cari duit bareng-bareng aja kayak dulu lagi," balasnya dengan senyum ke arahku. Namun aku pun meninggalkannya, karena aku tidak ingin kembali di masa kelam. Bagiku, lebih baik aku mengikuti berbagai perlombaan Sajak ataupun Puisi, meskipun uangnya tidak sebanyak seperti hasil copetan tapi setidaknya aku tidak ingin melukai hati orang lain seperti yang kurasakan saat ini. Kesibukanku mencari pelaku sampai melupakan kekasihku sendiri yang panggilannya tak terjawab sebanyak sembilan kali. Aku pun menelponnya kembali, sedangkan Rudi menunggu dengan jarak yang sedikit jauh dariku.

"Maaf sayang, aku habis mengejar copet, duitku raib sama dia,"

"Kamu kalau sudah sampai kabarin dong! Jangan buat aku khawatir gini. Terus kamu gimana?"

"Iyah maaf, tenang aja sayang. Aku ketemu teman masa kecilku di sini,"

"Cewek apa cowok?"

"Cowok kok."

"Awas aja kalau main cewek di sana ya!"

"Nggak kok. Bagaimana aku bisa lari darimu, sedangkan yang saat ini kuperjuangkan itu hanya untukmu," pungkasku lalu kita saling tertawa bahagia sampai aku tidak tersadar bahwa Rudi masih menungguku selesai menelphone. Aku mengakhiri percakapan dan kembali ke arah Rudi.

"Dari siapa bung?"

"Dari pacarku," tuntasku. Saat aku memberi fotonya pun Rudi langsung meledek diriku karena orang sepertiku tidak mungkin bisa mendapatkan Desi yang sungguh cantik dan manis. Setelah dirinya puas meledekku, Rudi mengajakku untuk pergi ke tempat makan.

"Makan yuk Ran. Nanti aku yang bayarin kok," ucapnya. Aku pun menyanggupinya karena perut ini baru diisi angin saja. Kita pun menuju ke tempat langganan masa kecil di warung makan Pak No. Selain makanannya enak, warung tersebut bisa mengambil sendiri porsinya seberapa banyak dan harganya pun cukup murah. Cocok buat kita yang hidupnya penuh yang seringkali gali lubang tutup lubang. Kita sudah sampai.

Namaku sudah cukup terkenal di warung ini karena catatan hutang yang selalu membanjiri setiap harinya. Dulu biasanya aku membayar saat aku sedang memegang uang, jikalau uangnya pas-pasan pun digunakan untuk hal lain yang bisa menenangkan depresiku ini. Masa laluku memang kelam, namun setiap orang berhak merubah nasibnya untuk ke arah yang lebih baik. Aku percaya bahwa Tuhan selalu ada untuk orang-orang yang ingin berusaha untuk menggapai cita-cita. Namun saat ini cita-citaku sangatlah sederhana yaitu menikahi Desi untuk menjadi Istriku kelak. Aku juga percaya bahwa Tuhan selalu mendengar curhatan hati hambaNya, meskipun nantinya bukan sosok yang selalu kudoakan, namun pada sosok yang lebih baik dari sebelumnya.

"Wih kreditan datang! Kapan kamu pulang ke Jogja?" ucap penjaga warung makan yang suka dengan guyonan masa kini. Aku seringkali disebut kreditan karena seringkali mengutang di warung ini. Tetapi aku saat itu tersenyum saja sambil menepuk pundaknya, "Baru aja sampai tadi pagi pak". Saat itu terlihat Rudi sedang berbisik-bisik ke Pak No, pemilik warung, entah apa yang mereka perbincangkan. Aku tidak mendengar. Hanya sedikit ada yang aneh. Aku mengambil makan semauku sendiri. Apapun lauknya yang pasti harus ada kikil di dalamnya, karena itu makanan favorite yang tidak bisa diganggu gugat. Aku memakan, sedangkan mereka masih asyik membicarakan sesuatu.

Menjelang beberapa menit kemudian. Makananku telah habis, sedangkan Rudi baru saja hendak mengambil makanan. Saat Rudi sedang makan, aku mengirim pesan singkat kepada Desi agar Ia tidak begitu khawatir tentang keadaanku di sini, "Hallo sayangku. Jangan lupa makan agar kamu kuat untuk menungguku," pesan yang kukirim untuknya.

"Pak No, ada lomba menulis nggak?" ucapku.

"Belum ada info Ran. Coba kamu ke warnet aja, cari-cari info di sana," balasnya.

"Masih ikutan lomba-lomba begituan Ran? Kayanya aku megang selembaran kertas deh lomba begituan," saut Rudi yang sedang makan, dengan merogoh-rogoh saku celananya berlagat mencari sesuatu.

"Ada nggak di?"

"Nah ketemu. Nih Ran," tuntasnya dengan memberikan selembaran kertas yang masih terlipat dan sedikit berminyak. Aku pun bergegas membukanya, ingin mengetahui persyaratan lomba tersebut. Namun nahasnya, selembaran yang diberikan oleh Rudi bukan yang sedang kucari, tetapi informasi lowongan kerja sedot wc.

"Bener bukan Ran?"

"Ini mah lowongan pekerjaan."

"Maaf atuh, namanya orang nggak bisa baca."

"Iya sih. Dapat kertas ini darimana di?"

"Dari bungkus gorengan. Soalnya di situ ada angka 2 sama tulisan jt. Langsung kuambil aja kan pasti itu masalah duit," pungkasnya dengan nyengir. Ia kembali melanjutkan makannya. Aku pun melanjutkan baca informasi lowongan ini dan masa pendaftarannya pun tinggal tiga hari lagi. Aku pun belum menyiapkan berkas apapun dan aku juga bersyukur karena yang menjambret tasku ini adalah teman sendiri karena ada Ijazah SD yang mungkin bisa dipertimbangkan oleh pihak sana sekaligus berkas-berkas lainnya.

"Di, kamu punya celana hitam terus kemeja putih nggak?"

"Nggak ada Ran. Coba tanya ke Dedi, dia kan sekarang jualan pakaian,"

"Yauda nanti anterin aku ke sana ya! Udah lama juga nggak jumpa sama dia," pungkasku. Seketika itu pula, pesan singkatku baru saja dibalas oleh Desi, namun dirinya tidak ingin diganggu karena sedang kerja, "iyah nanti, aku lagi kerja," balasnya. Aku membiarkan dulu pesannya sampai Ia benar-benar tidak begitu sibuk dengan pekerjaannya. 

"Jadi semuanya berapa pak No?" tanya Rudi dengan mengeluarkan dompet dari saku celananya. Aku melihat dompet itu adalah pemberianku untuknya beberapa tahun yang lalu. Aku pun tersenyum, karena dirinya masih menjaga pemberian orang. Bagiku hal yang membuat kita sangat berarti dalam hidup ini, ketika kita mampu memberikan sesuatu yang bermanfaat untuknya. Semuanya telah terbayarkan. Aku dan Rudi kembali pergi untuk menuju ke Dedi, teman seperjuanganku dulu.

Kita menelusuri toko demi toko, berdesakan dengan pengunjung Malioboro lainnya, bau keringat yang menyerang hidungku secara bergantian. Dan pada akhirnya kita sampai di toko Dedi yang tempatnya tidak jauh dari kejadianku saat kecopetan. Aku tidak tahu bahwa toko yang megah itu  milik temanku sendiri. Rudi masuk ke dalam dan sedangkan aku menunggu di luar dengan menggendong tasku. Terlihat Rudi menanyakan ke salah satu pegawainya. 

"Ada nggak orangnya Di?" tanyaku.

"Nggak ada. Dia lagi di Magelang, katanya besok balik sih," balasnya. Hingga akhirnya kita pun pergi dari toko tersebut lalu diriku memutuskan untuk menginap bersama Rudi di markas Albest sekaligus berbaur dengan orang baru yang tak kukenal. Aku tak menyangka bahwa Rudi adalah Bos besar Albest karena salah satu dari mereka bercerita mengenai dirinya. Aku ingin menasehatinya, namun belum saatnya karena takut dirinya tersinggung dengan apa yang kuucapkan nanti. Sebab aku sudah mengenalnya sejak lama. Aku membaringkan tubuh untuk tidur lebih cepat, ponselku telah kumatikan untuk dicharger. Namun, Rudi dan kawan-kawannya masih asyik berbincang-bincang. Hingga akhirnya aku tertidur.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Sepasang Dandelion
6049      1154     10     
Romance
Sepasang Dandelion yang sangat rapuh,sangat kuat dan indah. Begitulah aku dan dia. Banyak yang mengatakan aku dan dia memiliki cinta yang sederhana dan kuat tetapi rapuh. Rapuh karena harus merelakan orang yang terkasihi harus pergi. Pergi dibawa oleh angin. Aku takkan pernah membenci angin . Angin yang selalu membuat ku terbang dan harus mengalah akan keegoisannya. Keindahan dandelion tak akan ...
Bersyukurlah
377      257     1     
Short Story
"Bersyukurlah, karena Tuhan pasti akan mengirimkan orang-orang yang tulus mengasihimu."
The Twins
3962      1367     2     
Romance
Syakilla adalah gadis cupu yang menjadi siswa baru di sekolah favorit ternama di Jakarta , bertemu dengan Syailla Gadis tomboy nan pemberani . Mereka menjalin hubungan persahabatan yang sangat erat . Tapi tak ada yang menyadari bahwa mereka sangat mirip atau bisa dikata kembar , apakah ada rahasia dibalik kemiripan mereka ? Dan apakah persahabatan mereka akan terus terjaga ketika mereka sama ...
Strange and Beautiful
4216      1144     4     
Romance
Orang bilang bahwa masa-masa berat penikahan ada di usia 0-5 tahun, tapi Anin menolak mentah-mentah pernyataan itu. “Bukannya pengantin baru identik dengan hal-hal yang berbau manis?” pikirnya. Tapi Anin harus puas menelan perkataannya sendiri. Di usia pernikahannya dengan Hamas yang baru berumur sebulan, Anin sudah dibuat menyesal bukan main karena telah menerima pinangan Hamas. Di...
kekasihku bukan milikku
1269      636     3     
Romance
Aku Tidak Berlari
594      427     0     
Romance
Seorang lelaki memutuskan untuk keluar dari penjara yang ia buat sendiri. Penjara itu adalah rasa bersalahnya. Setelah bertahun-tahun ia pendam, akhirnya ia memutuskan untuk menceritakan kesalahan yang ia buat semasa ia sekolah, terhadap seorang perempuan bernama Polyana, yang suatu hari tiba-tiba menghilang.
Melihat Mimpi Awan Biru
3380      1148     3     
Romance
Saisa, akan selalu berusaha menggapai semua impiannya. Tuhan pasti akan membantu setiap perjalanan hidup Saisa. Itulah keyakinan yang selalu Saisa tanamkan dalam dirinya. Dengan usaha yang Saisa lakukan dan dengan doa dari orang yang dicintainya. Saisa akan tumbuh menjadi gadis cantik yang penuh semangat.
Kisah Kita
1813      624     0     
Romance
Kisah antara tiga sahabat yang berbagi kenangan, baik saat suka maupun duka. Dan kisah romantis sepasang kekasih satu SMA bahkan satu kelas.
Loading 98%
599      360     4     
Romance
Confusing Letter
743      400     1     
Romance
Confusing Letter