Tangerang, 10 Desember 2010
Sudah ingin menginjak dua bulan. Aku telah mengenal Desi. Aku mulai berpikir untuk mengutarakan apa yang sedang kurasakan sebelum aku merantau ke kota lain. Karena kota ini tidak layak untuk diriku, sebab aku hanya tamatan Sekolah Dasar saja, sedangkan untuk menjadi pembantu rumah tangga di sini saja minimal tamatan Sekolah Menengah Pertama. Tamatan sepertiku susah cari kerja. Menjadi penggiat literasi pun hidupnya tidak menjamin, sebab sebagian orang hanya memberikan apresiasi karya kepada nama-nama yang sudah terkenal. Sedangkan orang sepertiku yang masih menjadi anak kencur pun masih dilirik sebelah mata. Meskipun sebagian orang menganggap diriku cepat putus asa, namun mereka tidak pernah tahu bahwa menelan kepedihan dan kepahitan selama puluhan tahun itu sudah kutelan dengan mentah-mentah.
"Hey Ran, kamu ngelamun aja," ucap Desi dengan menepuk pundakku lalu menyadarkanku dari lamunan yang cukup panjang.
"Aku ingin menjadi pendamping hidupmu. Kamu mau nggak jadi Istriku?"
"Aku ingin melihatmu setiap waktu, makan bersama di meja makan, memelukmu dalam tidurmu bahkan menciummu setiap kamu ingin tidur," lanjutku dengan menggenggam kedua tangannya. Penuh serius. Desi masih terdiam.
"Kamu bisa jawabnya kapan saja. Sekalian hari ini aku juga ingin pamit sama kamu," tuntasku.
"Kamu pergi kemana? Katanya ingin menjadi suamiku, kenapa pergi?" jawabmu dengan raut khawatir.
"Aku ingin mendapatkan hidup yang lebih baik. Menjadi ingin mencari pekerjaan tetap untuk menikahimu," balasku. Seketika itu pula, kamu memelukku dan menangis di pundakku. Airmata terus berjatuhan di bajuku. Semakin basah. Aku pun memegang pundaknya untuk menghentikan tangisannya. "Kamu jangan tangisi kepergianku. Percayalah, aku akan kembali lagi untuk melamarmu".
"Aku akan menunggumu. Aku menerima permintaan hatimu. Aku juga sayang sama kamu,"
"Tenanglah. Kepulanganku hanya untuk dirimu," ucapku dengan menghapuskan airmatanya. Semuanya tentang Desi akan selalu kuingat bahkan sewaktu-waktu aku merindukannya dapat melihat foto kebahagiaan kita berdua yang tak pernah berubah.
Aku pun meninggalkan taman dan pulang ke rumah kontrakan ditemani oleh Desi. Aku mempersiapkan barang-barang yang hendak dibawa, sedangkan Desi menunggu di depan agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Aku telah mempersiapkan semuanya. Aku menemui Desi dengan membawa secangkir teh manis hangat untuk menjadi teman bicara menjelang siang.
"Aku telah merapihkan semuanya, tapi keberangkatan bus masih lama sih," ucapku dengan memegang secangkir teh manis.
"Kamu kenapa melamun?" lanjutku.
"Aku takut kehilangan kamu seutuhnya. Kalau kamu pergi, nanti yang berbagi tawa siapa?"
"Jangan khawatir. Aku pasti pulang kok untuk memenuhi janjiku padamu," balasku dengan mengelus kepalanya. Ia tersenyum ke arahku.
Hari kebersamaan kita ingin diberhentikan oleh waktu. Aku pun bergegas untuk mengambil barang-barangnya keluar lalu menuju ke tetangga untuk berpamitan sekaligus menitipkan kunci kontrakan.
"Assalamualaikum," ucapku dengan mengetuk pintu rumahnya berkali-kali. Hingga akhirnya bapak Bobby keluar, tetangga.
"Mau kemana Ran?"
"Aku mau pamit pak. Aku sudah nggak ngisi kontrakan itu lagi," balasku dengan senyum kepadanya.
"Owalah, mau pergi kemana?"
"Jogja pak."
"Yasudah masuk dulu atuh."
"Maaf pak, saya takut ketinggalan Bus. Titip salam aja buat Bobby ya pak." ucapku dengan penuh kenyakinan untuk meninggalkan kota yang terkenal kali Cisadanenya. Aku dan Desi pun pergi meninggalkan rumah tersebut, sesekali aku menatapnya lagi karena rumah tersebut sudah menjadi tempat peristirahatan dan perenungan.
Tiba di depan jalan raya, kita menunggu angkutan umum yang membawa kita ke terminal. Hingga beberapa menit kemudian, angkutan berwarna hijau putih pun menghampiri. Kita pun langsung menaik angkutan tersebut. Selama perjalanan, Desi menggenggam tangan kananku dan kepalanya bersandar di pundakku. Saat itu aku ingin meneteskan airmata, namun aku tahan. Aku hanya merangkulnya saja agar tidak merasa sendiri.
"Terminal ya pak!" ucapku dengan mengetuk atap atas angkutan. Kita pun turun lalu membayar tarifnya. Kita menuju terminal.
Sesampainya di ruang tunggu terminal. Desi duduk untuk menjaga barang yang kubawa, sedangkan diriku mencari loket bus yang memiliki tujuan Jogja. Aku menemukan dan mendapatkan tiketnya lalu menghampiri kekasihku. Sebelum aku masuk ke dalam Bus, aku berfoto dengannya dan menitipkan sebuah surat yang telah lusuh. Agar sewaktu-waktu Desi merindukanku, ia bisa membacanya.
"Jika kamu membaca surat ini, maka kamu sudah membaca isi hatiku.
Aku ingin menikahimu, maka doakan diriku agar cepat kembali lalu kita hidup bersama."
Sekiranya seperti itu isi surat yang kutuliskan untuknya. Meskipun hanya sebuah surat, kuyakin dirinya menyukainya. Sebab aku sadar bahwa sosok yang mencintai kita akan menerima pemberian sosok tersebut dalam bentuk apapun, meskipun hanya sebuah surat yang terlihat kuno.
"Ini surat untukmu. Kamu bisa membacanya kalau sudah rindu," ujarku dengan memberikan surat untuknya.
"Kenapa harus merindukanmu dulu?"
"Karena aku ingin rindu dikalahkan oleh cinta kita," pungkasku. Kita kembali bercerita tentang apapun meskipun tidak jelas, yang penting melihatmu tertawa dan bahagia saja sudah membuatku lebih berarti. Hidupku lebih berwarna. Suara informasi keberangkatan Bus yang akan kutumpangi pun iri dengan kebersamaan kita. Kuharap perantauan ini bukan pertanda berakhirnya hubungan kita. Sebab aku paham bahwa jarak bukan sebuah halangan, namun sebuah kepercayaan. Jarak tidak akan mampu memudarkan cinta, kecuali cinta yang main-main.
"Jaga dirimu baik-baik."
"Kamu juga. Jangan lupa kabari aku," tuntasmu. Aku pun memeluknya untuk terakhir kalinya dan menarik nafas panjang-panjang lalu dikeluarkan, karena diriku tidak kuasa untuk meninggalkannya, namun kebahagiaannya di masa depan adalah tanggung jawabku. Oleh karena itu, aku merantau untuk mendapatkan penghasilan yang bisa menghidupinya dan anak-anakku nanti. Aku pun pergi. Desi pun melambaikan tangan sebagai bentuk selamat jalan.
***
Bus yang membawaku pergi telah meninggalkan kota besar. Mobil, truck maupun Bus saling adu gengsi di jalanan. Suasana Bus yang tidak dilengkapi AC ini berasa sejuk karena angin malam pun masuk ke dalam Bus untuk memeluk tubuh para penumpang; dingin.Musik dangdut pun menemani perjalanan ini. Saat aku menikmati perjalanan, ponsel yang kumasukan ke saku celana pun bergetar. Aku pun bergegas untuk mengambilnya bahwa kerinduan Desi sudah dimulai.
"Aku sudah baca suratmu."
"Berarti kamu sudah rindu?"
"Pastinya."
"Kenapa kamu merindukanku secepat ini?"
"Karena kamu ada di hati," balasmu yang membuatku yakin bahwa kamu adalah sosok yang selama ini kucari-cari. Kita saling mengirim pesan; senyum-senyum sendiri, hati ini seperti taman bunga bahkan malam telah ditaklukan oleh kehangatan percakapan kita di ponsel. Aku tidak menghiraukan sosok yang ada di sekitarku. Kuanggap saja Bus ini milik sendiri seperti halnya suara ngorok yang merusak telingaku saat diriku sedang asyik-asyiknya saling kirim pesan kepada kekasihku.
Sudah sembilan jam perjalananku menuju Jogja. Namun kita masih asyik bercerita lewat ponsel; kamu menceritakan masa lalumu di hadapanku dan sedangkan aku bercerita tentang masa depanmu bersamaku. Tidak apa-apa itu semua demi memperpanjang topik pembahasan pada dini hari ini. Terkadang saat kamu menceritakan masa lalumu, aku ingin menjadi hatimu. Aku ingin mengetahui sosok seperti apa saja yang membuatmu jatuh cinta, aku ingin mengetahui cara hatimu melepaskannya dan aku ingin mengetahui apakah dirinya masih ada di hatimu? Namun itu semua hanya keinginanku semata.;Dan sepertinya Desi sudah tertidur karena sudah 30 menit pesanku tidak balas olehnya. Diriku pun sudah lelah, sebab mulut seringkali buka tutup jalan, mata seperti lampu yang redup dan kuharap pada Tuhan agar niat baikku ini untuk menjalankan kewajiban sebagai umatNya diberikan kelancaran. Tubuhku pun melelapkan dirinya sendiri.