Read More >>"> The Difference (Chapter 7) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Difference
MENU
About Us  

Sinar matahari pagi menembus jendela kelas kami. Aku, Daffa, dan Gita sedang berdiskusi tentang tugas kemarin. Tiba-tiba, Davin masuk dari pintu kelas sambil merapihkan rambutnya yang masih basah sehabis mandi. Pemandangan indah ini takkan kusia-siakan dengan menatap yang lain. Mataku hanya tertuju kepadanya.

                “Oy, oy, kenapa lu?” Davin melambaikan tangannya di depan wajahku.

Aku segera membuang pandangan dari Davin dan menunduk menahan malu karena tertangkap sedang terlena menatapnya.

                “Cie, liatin gua ya lu?”

                “Idih, pengen banget diliatin.” bantahku dengan tatapan sinis.

                “Eh, mending lo sama Diana aja yang ngumpulin tugasnya.” usul Gita.

                “Yah, Git. Yah.” tolakanku halus.

                “Plis, sekali aja.”

                “Ya udah, mana sini tugasnya?” Davin mengulurkan tangannya dan bersedia mengumpulkan tugasnya.

Gita mengambil tugasnya dari dalam tas dan memberikannya kepada Davin. Dengan terpaksa, aku dan Davin berjalan menuju ruang guru di lantai 1. Kami mengobrol sepanjang jalan.

                “Vin, gue mau bilang sama lo. Kan lo tau nih mama papa gue pada taat agama, nah kalo misalkan mereka tau nih ya lo nonmuslim dan lo udah berhasil ngebohongin mereka, mereka gak akan izinin gue ketemu lagi sama lo. Masalahnya sekarang mereka udah percaya banget sama lo.”

                “Terus gimana?”

                “Ya, gimana ya.”

                “Ya udah, sekarang kita janjian aja. Lu jangan bilang ke orang tua lu dan gua juga gak akan nampakin.” usul Davin cemerlang.

                “Oke, janji.”

Aku mengangkat jari kelingkingku sebagai tanda janji. Davin juga mengangkat jari kelingkingnya, lalu jari kelingking kami bersatu.

Saat kami menuju belokan sebelum tangga, aku menyenggol bahu orang yang ada di depanku. Ternyata itu adalah Otar. Otar terdiam sejenak, ia melihatku dan Davin dengan ekspresi sinis.

                “Mau kemana, Pin?” tanya Otar dengan sinis.

                “Mmm, ini mau ngumpulin tugas.” jawab Davin menunduk.

                “Oh.” jawab Otar dengan nada jutek dan lanjut berjalan melewati kami.

Sepertinya ada yang salah dengan Otar, kelihatannya ia sangat tidak suka denganku dan Davin.

                “Dia kenapa coba?”

                “Biarin aja, dia kan emang suka bercanda.” pembelaan Davin.

Ya sudahlah jika teman dekatnya saja bilang seperti itu, mau diapakan lagi.

4 jam kemudian adalah jam 14.00 atau jam 2 siang. Aku hanya meletakan tangan di atas meja dan dagu di atas tangan, juga kepala yang dimiringkan ke kanan. Aku terus menatap ke layar ponselku dan menunggu nama Dion muncul di pemberitahuan yang berisi ucapan Happy Mensiversary. Aku menunggu sampai mataku terpejam dengan sendirinya. Tak berapa lama, ponselku bergetar. Rasa kantukku seketika hilang. Aku mengambil ponselku. Ternyata Dion melakukan panggilan video. Aku mengambil earphone dari tas dan lari ke pojokan kelas. Aku menancapkan earphone ke ponselku lalu mengangkat panggilan video dari Dion.

                “Hallo, selamat siang. Di sini jam 00.00 aku mau ngucapin Happy 2ndmensiversary buat kamu. Aku mau nyanyiin satu lagu buat kamu.”

Aku melihat Dion di kamarnya sedang memegang gitar lalu mulai bernyanyi dan bermain gitar.

                “There’s only so many songs that  I can sing to pass the time. And I’m running out of things to do to get you off my mind ooh. All I have is this picture in a frame, that I hold close to see your face everyday.”

Dion menunjukan banyak fotoku dalam bingkai yang telah dicetak dan foto terakhir kami berdua di mall. Aku menutup mulutku dengan tangan karena terharu melihat perlakuan Dion yang begitu menyayangiku.

                “With you is where I’d rather be. But we’re stuck where we are and it’s so hard, you’re so far. This long distance is killing me. I wish that you were here with me, But we’re stuck where we are and it’s so hard, you’re so far. This long distance is killing me. It’s so hard, it’s so hard. Where we are, where we are. You’re so far. This long distance is killing me. Now the minutes feel like hours and the hours feel like days when I’m away. Ya know right now I can’t be home, but I’m coming home soon, coming home soon.”

Mataku mulai berkaca-kaca melihat video Dion yang menyatakan apa yang ingin aku katakan.

                “Oh God, I can’t explain what I feel now.”

                “I’m sorry to make you sad.”

                “No, you make me happy. You’re my happiness, Dion!.”

                “Thanks,  Happy 2ndmensiversary once again.”

                “Happy 2nd mensiversary too. Long last.”

                “Aminn.”

Baru saja aku ingin mengungkapkan keinginanku ke depannya bersama Dion, tetapi Bu Fatimah sudah masuk ke kelas. Itu tandanya kami harus mengakhiri perbincangan haru ini.

                “Emm, On. Maaf ya, guru aku udah masuk kelas.”

                “Oh, oke. Aku juga mau tidur nih. Byee.”

                “Byee.”

Aku kembali ke kursiku. Aku menoleh ke belakang tempat dudukku. Davin tidak ada di kursinya, artinya ia sudah keluar kelas untuk mendapatkan pelajaran tentang agamanya. Tumben sekali ia keluar kelas.

                “Ibu absen dulu ya. Abila Annie, Almira,...M. Davin.”

Absen Bu Fatimah berhenti di nama Davin karena tidak ada yang tunjuk tangan. Bu Fatimah melihat sekeliling kelas untuk mencari siapa M. Davin.

                “Mana M. Davin?”

                “Nonmuslim, Bu.” teriakku dengan refleks.

Aku tidak paham mengapa aku refleks menjawab pertanyaan Bu Fatimah.

                “Oalah saya kira namanya Muhammad Davin, lagi ditulisnya M doang.”

Kita satu pikiran, Bu. Akupun mengira M. Davin adalah Muhammad Davin, ternyata bukan dan tidak mungkin.

Selesai pelajaran agama, Davin kembali ke kelas. Karena aku pikir kami sudah tidak ada masalah tentang perbedaan agama, jadi aku bertanya dengan santai apa yang ingin aku tanya.

                “Vin, minggu kemarin kok lo gak keluar kelas?”

                “Mager.”

                “Haha kaco lo, sama agama sendiri mager.”

                “Suka-suka gua lah, agama gua.”

                “Iya sih, tapi kita kan harus menurut sama keyakinan kita.”

                “Ya udah lah, agama gua ya agama gua, agama lu ya agama lu. Kenapa ribet banget ngurusin agama orang?” tanggapan Davin dengan kesal.

                “Lah? Gue gak ngurusin agama orang kok, gue cuma ngasih tau.” akupun ikut kesal.

                “Apaan sih, gak bagus amat topiknya, kayak gak ada topik lain aja.”

Davin benar-benar kesal lalu keluar kelas.

Loh? Ada apa sama dia? Kenapa tiba-tiba dia jadi sensi?

                “Davin emang gak suka kalo udah ngomongin agama, Na.” ujar Gita.

                “Gue gak ngomongin agama kok, cuma ngasih tau doang.”

                “Ya udah, sabar aja.”

Gita mencoba menenangkanku, tetapi itu tidak cukup.

Aku takkan mengizinkan Davin untuk ke rumahku lagi. Memang benar, semua hanya sementara. Dion adalah cowok terbaik yang aku sayang.

Saat pulang sekolah, aku turun dari tangga seorang diri. Bu Syeli, guru bahasa Inggris juga sedang turun tangga. Sebagai rasa hormat, aku menghampirinya dan salim kepadanya. Lalu ia tersenyum dan bertanya kepadaku.

“Kamu kelas berapa, nak?”

“Saya kelas 10 IPA 4, Bu.”

“Besok pelajaran ibu ya? Ibu besok gak masuk nih, izin mau anterin anak periksa ke dokter. Kamu bisa bantuin ibu sebentar gak buat tugas di ruang guru?”

                “Oh bisa, Bu.”

Kami pergi ke ruang guru. Aku duduk di tempat duduk sebelah meja Bu Syeli.

                “Tunggu bentar ya, ibu cari dulu berkasnya.”

                “Oh iya, Bu.”

Aku menunggu Bu Syeli sambil melihat-lihat sekeliling ruang guru.

Aku melihat sekeliling ruang guru, tetapi aku baru menyadari apa yang ada di depanku ini. Ada sesuatu hal yang menarik mataku untuk melihatnya. Di meja yang sedang aku duduki ini, terdapat nama M. Davin kelas 10 MIPA 4. Nilainya merah semua. Ada apa ya?

                “Bu, kalo boleh tau ini yang saya dudukin tempat siapa ya?” tanyaku halus.

Bu Syeli menoleh sebentar ke meja yang sedang aku duduki.

“Oh itu meja Bu Dara, guru agama Kristen.”

OH! Jadi ini meja guru agama Kristen, tetapi mengapa nilai Davin merah semua? Inikan agamanya sendiri.

                2 jam kemudian, aku baru selesai membantu berkas-berkas Bu Syeli. Sekarang sudah hampir jam 5.

                “Makasih ya, Nak. Aduh, kamu pasti capek ya. Maaf ya ngerepotin, nanti nilai kamu ibu tambahin deh.”

                “Gak usah, Bu. Saya ikhlas kok bantuinnya, hehe. Saya pamit dulu ya, Bu.”

                “Oh iya, sekali lagi makasih, ya.”

                “Iya, Bu.”

Aku berjalan keluar dari ruang guru lalu turun ke lantai satu. Saat aku melewati lapangan, Davin sedang eskul futsal. Aku jadi teringat dulu aku sangat sering pulang telat agar bisa melihat Dion sedang eskul futsal secara diam-diam. Ada Otar pula di situ. Dulu, Dion eskul futsal bersama Otar dan teman-temannya. Ia sering memakai baju bola berwarna hitam dengan nomor punggung 16. Ia sangat jago bermain futsal, tak ada yang bisa mengalahkan Dion, kecuali Otar. Namun, Dion dan Otar tak pernah bermusuhan. Mereka sangat akrab, bahkan Dion dan Otar sering bermain bola di koridor kelas Dion.

Kelamaan flashback sambil melihat ke arah Davin membuat Davin peka kalau ia sedang dilihat, ia menoleh ke arahku. Aku langsung membuang pandanganku dan lanjut berjalan melewati lapangan. Aku menunggu angkot di depan sekolah.

Aku baru sadar kalau lebih dari jam 4 angkot memang sudah jarang. Aku bingung bagaimana caranya aku pulang kalau tidak ada satupun angkot yang lewat. Tiba-tiba, ada motor yang berhenti persis di depanku. Pengendara itu memakai helm. Saat ia membuka helmnya, ternyata itu adalah Davin. Aku langsung membuang muka dan menyilangkan tangan. Rasanya, perasaan kesal ini masih berteduh dalam hati dengan perlakuan Davin siang tadi.

                “Kasian banget sih, mau bareng gak?” tawaran Davin sambil meledek.

Aku hanya diam dan membuang muka.

                “Dih, ditanyain diem aja. Lu mau tunggu sampe kapan? Sampe Dion balik ke Indonesia terus jemput lu pake pesawat, gitu?”

                “Apaan, sih.”

                “Serius nih, gua juga mau pulang. Lu mau dimarahin emak bapak lu kalo pulangnya kesorean?” pertanyaan Davin menjebak.

Itu yang memang aku khawatirkan sedari tadi.

                “Ih berisik lo, ya udah gece anterin.”

Akhirnya aku diantar Davin pulang ke rumah.

                Biasanya, mama dan papa sedang duduk di kursi halaman depan ketika aku sampai rumah,  tetapi tumben mereka tidak ada di situ. Akupun turun dari motor dan berjalan menuju pintu rumah. Aku mengetuk pintu rumah yang tertutup rapat.

                “Assalamualaikum, Ma, Pa.”

Tak ada jawaban dari dalam rumah.

                “Assalamualaikum.”

Davin turun dari motornya dan berjalan ke arahku.

                “Coba buka pintunya.” saran Davin.

Aku memutar gagang pintu itu, ternyata pintunya terkunci.

Aku mulai panik sambil terus mencoba memutar gagang pintu yang dikunci.

                “Udah kek, tunggu aja dulu. Duduk di situ, nanti juga bentar lagi pulang.”

Aku dan Davin duduk di kursi halaman depan rumahku sambil menunggu orang rumah pulang. Suasana cukup canggung di sini. Aku hanya memainkan ponselku dan terus membolak-balik menu dan melihat foto-foto lama. Dion sudah tidur, jadi aku tak bisa mengobrol dengannya.

                “Eh, sorry ya, tadi yang pelajaran agama. Gua emang gak suka kalo topiknya agama.”

Mungkin Davin menyesal sudah memarahiku tadi, haha. Oh ya, aku jadi teringat tentang meja yang aku tempati tadi. Mengapa nilai Davin bisa merah semua.

Aku mengubah posisi dudukku menghadap Davin, menandakan pertanyaanku cukup serius.

                “Iya selow. Eh, Vin gue mau tanya deh.”

Davin mengubah posisinya menghadap kepadaku juga dengan ekspresi muka yang penasaran.           

“Apa?”

                “Kenapa....” pertanyaanku terpotong.

Eh tunggu, kalau aku bertanya tentang nilai agamanya yang merah, itu sama aja membahas tentang agama. Nanti dia marah lagi.

                “Kenapa apanya?”

                “Ehm, gajadi deh.”

                “Ih, kalo ngomong yang bener dong! Jangan bikin orang kepo. Serius apaan?”

Davin semakin penasaran dan semakin mendekat. Tolong jangan terlalu dekat, kita belum muhrim, dan bukan muhrim.

Aku menjauhkan pandangan dari Davin.

                “Ih, apa sih.”

                “Ya, lu jangan bikin kepo, dong.”

Aku harus mengganti pertanyaanku. Apa saja lah yang ada di otakku.

                “Menurut lo, gue mending lanjut sama Dion atau udahan cari yang baru?”

Aku memang bertanya tentang apa saja yang ada di otakku. Namun, mengapa aku bertanya seperti itu? Apa itu yang ada di otakku sekarang….

                “Ya itu sih tergantung lu dan Dionnya. Kalo lu atau Dion capek kayak gini terus mending udahan, tapi kalo bisa jangan sih.”

                “Tapi gue gak tau capek atau enggak. Kadang-kadang capek, kadang-kadang enggak.”

                “Ya itu sih ada di keputusan lu.”

                “Oh, hmm satu lagi. Menurut lo mendingan beda benua dan beda waktu atau beda agama?”

APALAGI INI. Pertanyaan spontan yang tidak tersaring keluar begitu saja.

 Ya sudah lah, Davin juga takkan menyadari apa yang aku maksud.

Bukannya menjawab pertanyaanku, ia malah berdiri dari kursi dan berjalan menuju motornya. Aku berpikir sejenak, apa pertanyaanku salah? Mengapa ia tiba-tiba pergi meninggalkanku?

Aku berjalan menyusul Davin.

                “Kenapa Vin? Gue salah ngomong?”

Davin duduk di motor dengan posisi badan menghadapku, ia menatapku dalam.

                “Na, gua minta maaf. Maaf banget, sebenernya sih gua gak tau yang lu maksud siapa. Tapi kalo yang lu maksud itu gua, gua bener-bener minta maaf banget kalo udah buat lu baper. Gua tau lu pasti lelah dengan hubungan jarak jauh, tapi gua kasih tau ya, Na. Hubungan beda agama jauh lebih sakit, jauh lebih capek. Apalagi orang tua lu bener-bener taat agama, sedangkan orang tua gua? Di luar negeri! Agamanya? Gak tau, deh. Mungkin lu sekarang udah gak mau ketemu gua lagi, atau lu bilang sama orang tua lu dan orang tua lu gak akan ngizinin kita ketemu lagi. Lebih baik lu sama Dion aja lah daripada nanti malah tambah salah. Sekali lagi gua minta maaf ya, Na. Oh ya, satu lagi. Gita itu mantan gua dan gua mau balikan sama dia. Jadi, jangan deketin gua lagi.”

Penjelasan Davin panjang lebar lalu menyalakan mesin motornya. Ia pergi begitu saja meninggalkanku sendiri.

Mataku masih terbelalak teringat kata-kata Davin, tidak percaya akan semua yang dikatakan Davin. Mengapa semua begitu cepat? Mengapa semua begitu mudah? Mengapa aku dan Davin ditakdirkan untuk bertemu dan mengisi kekosongan jiwaku, tetapi ternyata ia sangat menyakitiku dan membuatku hancur lebur? Apa yang salah denganku? Apa hanya gara-gara tadi ia langsung sangat marah kepadaku? Entahlah apa yang dikatakan Davin masih belum bisa diterima oleh akal sehatku, apalagi tentang Gita.

Aku kembali duduk di kursi. Meskipun aku belum mempercayai perkataan Davin tadi, tetapi hatiku mempercayai omongannya dan pandangan matanya yang dalam tadi. Aku memang salah memilihnya sebagai pengganti kekosongan hati. Aku memang benar-benar salah, tetapi Davin adalah pilihan dari kedua orang tuaku. Mengapa dia dengan mudahnya mengecewakan kami semua?

Orang tuaku akhirnya masuk ke halaman rumah dengan menaiki motornya. Aku masih dalam keadaan berlinang air mata di luar rumah, sendirian! Mereka melihat putrinya yang sedang terpuruk ini lalu berlari menghampiriku dan bertanya ada apa denganku. Namun, aku belum bisa menceritakan apa yang telah terjadi. Lidahku masih kelu dan bibirku masih terbata-bata. Aku hanya memeluk mama dan papaku. Mereka membawaku masuk ke dalam rumah, kami bertiga duduk di sofa. Aku bersandar di bahu mama, ia mengusap rambutku. Suasana hening, mereka belum berani bertanya sebelum aku tenang dan akhirnya bercerita.

                “Tadi ada orang jahat nyamperin aku, aku takut. Di rumah juga gak ada orang. Aku dikejar sama dia dari sekolah, terus dia bilang jangan teriak. Aku gak tau maksud dia apa. Terus tiba-tiba dia pergi gitu aja dan aku masih takut sampe sekarang.”

Aku tidak mengerti dengan diriku yang secara refleks bercerita bohong kepada mama dan papa. Aku masih belum percaya dengan alasan Davin, aku masih ingin bertemu dengan dia.

                “Siapa orang jahatnya? Kamu kenal ciri-cirinya gak?”

                “Udah! Kita laporin aja ke polisi!” sambung papa super marah.

                “Jangan, dia gak bermaksud apa-apa. Lagi pula aku juga gak tau dia gimana, dia pake helm.”

                “Kok gitu sih? Terus motif kejahatan dia apa?”

                “Udah, Pa. Dia juga udah gak disini. Kalo dia ganggu aku lagi aku pasti bilang. Udah, sekarang kita berdoa aja supaya dia gak ganggu lagi.”

Aku hanya menunduk. Aku bingung harus beralasan apalagi supaya mereka percaya kepadaku.

                “Ya udah deh kalo kayak gitu.”

Papa pasrah lalu meninggalkan aku dan mama. Mama memelukku erat dengan penuh kekhawatiran.

Maaf banget ya, Ma, Pa. Aku berbohong lagi. Aku tidak ingin mengambil keputusan saat sedang marah, kesal, atau  sedih.

Aku mencuci wajahku lalu pergi ke kamar. Aku membuka pemberitahuan yang ada di layar ponselku.

“Hallo, An. Good after noon.”

Ini dia, orang yang mungkin paling kecewa di antara yang lain. Aku sangat mengecewakan Dion jika ia tau. Namun, aku tak bisa menutupi semua kesalahan ini. Aku ingin mengungkapkan semua kesalahanku kepada Dion. Aku melakukan panggilan video dengan Dion.

                “Hallo, Diana.  Ada apa video call aku?”

                “Dion....”

Baru sepatah kata yang keluar dari mulutku saja aku sudah meneteskan air mata.

                “Kenapa, An? Kok kamu nangis? Tell me.”

                “Dion aku mau meluk kamu.”

                “Oh my God, Diana. Kalo bisa aku juga mau meluk kamu. I miss you so bad.”

                “Yeah, I miss you too. Tapi ada yang lebih penting yang mau aku kasih tau kamu.”

                “What’s that?”

                “Aku minta maaf, On.”

Nangis lagi....

                “Minta maaf kenapa? Kamu salah apa sama aku?”

                “Aku minta maaf banget, belakangan ini aku sering cuekin kamu, aku sering abaikan kamu. Aku minta maaf banget ya. Itu semua aku khilaf, aku salah.”

                “Yeah no problem, Diana. Aku tau kok urusan kamu bukan aku doang. Jadi aku wajarin.”

                “Iya, tapi waktu itu....”

Aduh bilang gak ya, bilang gak ya....

                “Waktu itu kenapa?”

                “Waktu itu bukan hanya urusan aku yang bukan kamu doang. Tapi isi hati aku yang bukan kamu doang. I’m so sorry.”

                “What? Who is he?”

                “My friend, Davin.”

                “Yang waktu itu telepon aku untuk pertama kalinya?”

                “Yap, I’m so sorry, On. Aku janji gak akan ulangi itu lagi.”

                “Ok, no problem.”

Ekspresi Dion tak meyakinkan kalau itu bukanlah masalah baginya.  Dion maaf, aku sudah mengecewakanmu.

                “Ekspresi kamu gak menandakan kalo itu gak masalah, On.”

                “Terus aku mesti gimana? Serius ya, Diana. Aku gak papa kok. Aku tau LDR itu emang berat banget, jadi aku terima itu. Udah ya, kamu jangan merasa bersalah lagi.”

                “Ahh Dion....”

                “Udah ya, aku mau menghibur kamu aja nih ya. Bulan depan kan udah tahun baru, mama aku udah siapin tiket balik ke Indonesia. Siap-siap kita ketemu lagi ya yeyy!!”

OH MY GOD! It’s very good news! I’m so excited.

                “Dion are you serious?”

                “Yes I’m serious!”

Rasanya semua kegelisahan dan kesedihan itu pergi dengan mudahnya. Senyum manisku kembali bersinar, berkat Dion.

                “Ahh! Aku gak sabar!”

                “Me too!”

                “Kita bakal kemana aja nih di Jakarta?”

                “Kita ke tempat papa aku dulu ya, udah lama gak ketemu hehe.”

                “Oh iya, hehe. Abis itu kamu ke rumah aku ya! Orang tua kita ketemuan.”

                “Oke deh, tahun baruannya kemana?”

                “Ke puncak yuk!”

                “Ayo aja! By the way, aku mau siap-siap sekolah dulu nih. Bye bye, sampai ketemu lagi, An.”

                “Oke!”

Dion, kamu memang benar-benar pahlawanku. Kamu memberikanku harta termahal, yaitu senyuman. Hanya kamu yang bisa mengembalikan senyumku di antara air mataku ini. Terima kasih banyak, Dion. Kamu adalah salah satu malaikat yang Allah kasih untuk selalu menghiburku dan menumbuhkan senyuman di bibirku.

                Aku tertidur pulas di kasurku sambil membayangkan jika Dion sudah kembali ke Jakarta dan kami bertemu. Pagi harinya, aku terbangun dan bersiap untuk pergi sekolah. Namun, jalan menuju ke sekolah itu tidak seperti yang biasa aku lewati. Ada 2 jalan yang berbeda. Aku harus memilih di antara 2 jalan itu. Aku memilih yang pertama, jalan itu bercabang dan terus bercabang lagi, sampai aku tidak menemukan ujung dari jalan itu. Akhirnya aku lelah lalu berbalik arah. Aku mencoba jalan yang kedua, jalan itu banyak belokannya dan banyak jalan rusak, tetapi jalan itu satu, tidak mempunyai cabang seperti yang pertama.

Lalu aku terbangun dari tidurku dengan keadaan di bawah tempat tidur. Ya, aku terjatuh dari kasur! Aku tidak mengerti apa maksud mimpiku semalam.  Mungkin itu hanya bunga tidur. Untungnya, sekarang mentari sudah mulai terbit. Jadi, aku tidak perlu tidur lagi untuk menunggu pagi datang.

                Setelah mandi, sholat, sarapan dan rapih-rapih, aku berangkat sekolah seperti biasa. Entah mengapa aku secepat itu melupakan kejadian kemarin, mungkin aku memang tidak menyukai Davin, hanya sekadar nyaman. Aku sangat malas untuk pergi ke sekolah karena aku pasti bertemu dengan Davin. Aku muak melihat wajahnya yang dulu pernah ada di hatiku dan berusaha menghancurkan hubunganku dengan Dion.

                Di sekolah, aku melihat bangku Davin masih kosong. Aku tidak peduli lagi apapun tentangnya. Aku menaruh tasku di kursi sambil tersenyum kepada Gita. Lalu ia menyapaku dengan ekspresi gelisah.

                “Na.”

                “Ya?”

                “Lo tau tentang masalah Davin?”

Ekspresi Gita tambah gelisah. Apakah Gita mengetahui tentang kejadian kemarin?

                “Enggak, kenapa?”

                “Hari ini dia gak masuk. Sakit gara-gara lu.” tuduhan Daffa dengan nada kesal.

Davin sakit? Sakit apa? Kok gara-gara aku? Memangnya ada apa denganku?

Aku refleks membalikan badanku ke arah Daffa.

                “Hah? Sakit apa?” tanyaku dengan panik.

Daffa tidak menjawabnya.

                “Davin kenapa woy! Sekarang dia di mana?!” tanyaku tambah panik.

                “Loh, lu lebih deket dari gua sama Davin kan?  Kenapa lu gak sadar kalo ini salah lu?” tanya Daffa dengan kesal.

Tiba-tiba, Davin masuk kelas dan duduk dibangku sebelah Daffa, wajahnya memang sedikit pucat. Badan dan kelopak matanya banyak memar dan jalannya juga terlihat lemas. Aku kembali ke tempat dudukku seperti semula.

Ada apa dengan Davin? Apa dia jatuh dari motor? Atau kenapa? Mengapa aku baru tau sekarang. Aku tak tega melihatnya seperti ini.

                “Kok lo masuk? Katanya sakit?” tanya Gita khawatir.

Aku merasa sedikit cemburu saat Gita bertanya kepada Davin. Mengapa ia tiba-tiba peduli dengan Davin? Apakah mereka benar-benar ingin balikan?

                “Gak papa, gua takut ada pelajaran ketinggalan aja.”

Loh? Sejak kapan juga Davin menjadi rajin?

                “Kok diem aja sih, Na? Tadi ngoceh mulu pas orangnya gak ada.” sindiran Daffa.

Aku hanya terdiam, menahan malu sekaligus kesal dengan Daffa.

                “Kenapa sih?” tanya Davin.

Kami semua terdiam dan tidak menjawab pertanyaan Davin. 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 1
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kenangan
578      353     1     
Short Story
Nice dreaming
Pantang Menyerah
202      175     0     
Short Story
Rena hanya ingin mengikuti lomba menulis cerpen tetapi banyak sekali tantangannya, untuk itu dia tidak akan menyerah, ia pasti akan berhasil melewati semua tantangan itu dengan kegigihan yang kuat dan pantang menyerah
Love is Possible
95      90     0     
Romance
Pancaroka Divyan Atmajaya, cowok angkuh, tak taat aturan, suka membangkang. Hobinya membuat Alisya kesal. Cukup untuk menggambarkan sosok yang satu ini. Rayleight Daryan Atmajaya, sosok tampan yang merupakan anak tengah yang paling penurut, pintar, dan sosok kakak yang baik untuk adik kembarnya. Ryansa Alisya Atmajaya, tuan putri satu ini hidupnya sangat sempurna melebihi hidup dua kakaknya. Su...
HER
539      306     2     
Short Story
Temanku yang bernama Kirane sering memintaku untuk menemaninya tidur di apartemennya. Trish juga sudah biasa membuka bajunya sampai telanjang ketika dihadapanku, dan Nel tak jarang memelukku karena hal-hal kecil. Itu semua terjadi karena mereka sudah melabeliku dengan julukan 'lelaki gay'. Sungguh, itu tidak masalah. Karena pekerjaanku memang menjadi banci. Dan peran itu sudah mendarah da...
Coklat untuk Amel
181      158     1     
Short Story
Amel sedang uring-uringan karena sang kekasih tidak ada kabar. HIngga sebuah surat datang dan membuat mereka bertemu
Tell Me What to do
435      304     1     
Short Story
Kamu tau, apa yang harus aku lakukan untuk mencintaimu? Jika sejak awal kita memulai kisah ini, hatiku berada di tempat lain?
Your Secret Admirer
2297      796     2     
Romance
Pertemuan tak sengaja itu membuat hari-hari Sheilin berubah. Berubah menjadi sesosok pengagum rahasia yang hanya bisa mengagumi seseorang tanpa mampu mengungkapkannya. Adyestha, the most wanted Angkasa Raya itulah yang Sheilin kagumi. Sosok dingin yang tidak pernah membuka hatinya untuk gadis manapun, kecuali satu gadis yang dikaguminya sejak empat tahun lalu. Dan, ada juga Fredrick, laki-l...
Give Up? No!
404      264     0     
Short Story
you were given this life because you were strong enough to live it.
KAMUFLASE KAMERA DAN CINTA
561      387     1     
Short Story
lelaki bertubuh besar berjaket hitam menunjukan senyum simpul yang khas .senyum yang membuat jantungku berdegup tak beraturan, dan senyum yang selalu mengingatkanku pada perpisahan di bulan Januari. Konflik antara Mas Pras dan Om Tegar tak kunjung usai ,Kamera lah yang membawa aku dan dia pada satu titik dan kameralah yang membuat kita....
Seperti Cinta Zulaikha
1773      1147     3     
Short Story
Mencintaimu adalah seperti takdir yang terpisahkan. Tetapi tuhan kali ini membiarkan takdir itu mengalir membasah.