Saat kelas istirahat, kelas mulai kosong. Gita dan Daffa pergi ke kantin. Jadi, aku hanya berdua dengan Davin. Karena biasanya kami selalu mengobrol dan bercanda bersama, rasanya ada yang mengganjal jika saling terdiam seperti ini. Akhirnya aku mencoba berbalik badan dan menghadap Davin. Aku mencari topik untuk memecahkan suasana yang canggung ini.
“Lo sakit apa?”
Davin menatapku sejenak.
“Gak papa, cuma kemarin jatoh dari motor. Btw lu kenapa? Gua kira lu gak bakal mau liat dan ketemu gua lagi.” jawab Davin dengan nada yang lemas.
Nada bicara Davin terdengar lemas. Sepertinya ia benar-benar sakit. Mengapa perasaanku menjadi pilu dan tidak tega melihatnya?
“Mmm, gak tau juga sih. Gue belum berani bilang karena kita udah punya janji. Kalo soal perasaan gue, ya gue minta maaf, Vin. Gue juga berusaha banget buat nolak perasaan itu. Tapi semakin gue tolak semakin dalam perasaan itu.”
“Na, lu udah punya pacar ya. Lu pikirin pacar lu yang jauh di sana. Gua gak mau lagi masalah yang dulu terulang lagi, lu tuh sama aja sama semua mantan-mantan gua. Gua udah cape punya pacar yang beda agama. Lu baru sekali dan baru suka doang juga capek kan? Gimana gua? Dua dari tiga mantan gua itu beda agama sama gua. Termasuk Gita. Jangan sampe lu jadi yang ketiganya. Gua tau rasanya ditinggal jauh. Gua aja gak tau persis orang tua gua sekarang di mana. Udahlah, Na. Lu suka sama gua cuma makan hati. Gua kasian sama pacar lu. Mending lu jauhin gua sekarang.” Davin terlihat marah dan keluar kelas.
Loh? Ada apa dengan Davin? Aku sudah memberikan satu kesempatan lagi untuk menjelaskan semuanya, tetapi mengapa ia tidak menghargai kesempatan ini? Mengapa hal ini terulang lagi? Kalaupun ia lelah berpacaran dengan orang yang berbeda agama dengannya, lalu mengapa ia ingin balikan dengan Gita? Gita seagama denganku, artinya ia juga berbeda agama dengan Davin. Sudah cukup. Aku sangat membenci Davin yang tidak bisa menghargai perasaan orang yang menyukainya.
Aku sudah muak dengan perlakuan Davin yang sangat tidak menghargai itu. Aku membujuk Gita agar pindah tempat duduk menjauh dari kebencian ini. Aku dan Gita memilih untuk duduk di pojok belakang sebelah kanan. Lumayan jauh dari pandangan manusia itu. Aku hanya bermain ponselku sambil menunggu Pak Jalil masuk kelas.
“Anak-anak, kemarin tugasnya udah di kasih kan? Sekarang coba yuk presentasikan di depan kelas perkelompok.” ujar Pak Jalil.
Apa? Kelompok? Aduh! Aku sekelompok dengan manusia menyebalkan itu! Aku takkan mau maju dan berdiri sampingan dengannya!
“Kelompok pertama, ayo silahkan maju.” Pak Jalil melihat sekeliling anak-anak kelas.
“Ayo maju, Na.” ajakan Gita.
“Mager.” jawabku sambil membuang muka.
Daffa dan Davin juga masih duduk santai.
“Ayo! Mana kelompok satu? Mau dapet nilai gak?”
“Ayo, ish!” ajakan Gita sambil menarik tanganku.
Terpaksa aku maju bersama Gita, Daffa, dan manusia tak berguna itu. Kami menjelaskan materi-materi yang ada di Power Point yang sudah kami buat. Aku membacanya dengan sedikit malas ditambah Davin berdiri di sampingku sesuai urutan nama di slide.
Selesai kelompok kami presentasi, aku kembali ke tempat dudukku. Davin menatap mataku, aku membalasnya dengan tatapan sinis lalu membuang muka. Aku masih belum mengerti dengan anak itu, entah apa yang ada di pikirannya tiba-tiba menjadi iblis. Aku hanya bermain ponselku saat kelompok lain presentasi.
“Eh, kamu perhatiin teman kamu yang lagi presentasi dong! Jangan main handphone.” teguran Pak Jalil kepadaku.
Mataku langsung tertuju ke Pak Jalil. Aku segera menaruh ponselku di kolong meja dan memperhatikannya.
“Iya maaf, Pak.”
Entah apa yang aku perhatikan sekarang. Percuma, tidak ada sepatah katapun yang masuk ke dalam otakku. Ini semua hanyalah tatapan kosong yang tak bermakna.
Pulang sekolah, aku membereskan semua barang yang ada di atas meja. Aku ingin cepat-cepat pulang dan meninggalkan kenangan pahit hari ini di kelas. Tiba-tiba Davin menghampiri ke mejaku dan Gita.
“Git, kemarin gua beli tiket bioskop 2 nih sama abang gua. Eh, abang gua ternyata gak bisa. Gua ajak Daffa katanya dia ada tugas, lu mau temenin, gak? Berdua aja gitu.” ujar Davin kepada Gita, tetapi matanya melirikku.
Aku tau apa yang kau maksud. Mau membuatku cemburu kah? Hahaha, maaf. Aku… memang cemburu.
Aku segera menggendong tasku dan berjalan cepat melewati mereka berdua. Dengan sengaja aku menabrak pundak Davin saat melewati mereka.
Beruntungnya, aku langsung dapat angkot di depan gang sekolahku. Di dalam angkot, aku termenung. Aku masih belum mengerti dengan apa yang ada di pikiran Davin, mengapa ia menjahatiku. Apa tujuan dia? Ia membuatku baper, tetapi di saat aku sudah baper, ia meninggalkanku begitu saja. Saat aku berbuat baik, ia malah melunjak. Sekarang ia malah sengaja membuatku cemburu. Dia pikir hatiku terbuat dari baja yang tahan banting? Tidak. Semua hati perempuan pasti akan sakit ketika orang yang ia harapkan hanyalah sekadar harapan semu.
Di perjalanan, aku bertemu dengan Otar. Dia naik angkot yang sedang aku naiki juga. Ia duduk di bangku paling pojok, sedangkan aku duduk di bangku pinggir pintu. Di dalam angkot hanya ada 3 orang, aku, dia, dan satu orang perempuan. Aku menutupi wajahku yang basah tersiram air mata dengan terus menunduk sampai angkotnya lewat depan gang rumahku.
Aku turun dari angkot dan membayarnya. Terpaksa aku tak lagi menunduk untuk memberikan uang kepada abang angkotnya. Otar terus melihatku, tetapi aku selalu mengabaikannya dan berpura-pura tidak melihatnya.
Sesampainya di rumah, aku langsung masuk kamar dan melanjutkan tangisanku….
“DAVIN JAHAT! DAVIN GAK PUNYA HATI!” teriakku histeris mengeluarkan semua kekesalan yang terpendam.
Mungkin teriakkanku cukup kencang sehingga mama dapat mendengarnya dan segera memasuki kamarku.
Ekspresi mama berubah panik ketika melihatku menangis. Mama menghampiriku dan membujukku untuk bercerita.
“Eh, kamu kenapa? Cerita sama mama, cerita!” pinta mama dengan panik.
“Davin jahat mama!”
“Jahat kenapa?”
Aku belum bisa menjawabnya karena aku takut salah bicara.
“Kenapa Davin? Kalian lagi berantem, ya? Udah dong jangan berantem, kan agama kita ngajarin gak boleh berantem.”
Agama? Agama aku dan dia saja beda, Ma.
“Mama tuh salah bilang Davin lebih baik dari Dion! Salah! Salah banget! Dia bukan cowok yang baik!” ujarku kesal.
“Salah kenapa? Siapa yang bilang kamu salah sama dia? Dia baik banget kok sama semuanya. Mama pikir dia jodoh yang tepat buat kamu.”
“Gimana mau jodoh kalo Tuhan kita aja beda?” teriakanku tanpa pikir panjang.
Aku sengaja mengungkapkan yang sebenarnya bahwa Davin memang nonmuslim. Aku lelah harus menutup-nutupi, sedangkan Davin sendiri sama sekali tidak menghargai perasaanku.
“Apa? Yang bener kamu?” ekspresi muka mama langsung beda drastis
“Maafin aku, Ma. Selama ini aku dibodohi sama cinta. Cinta yang beda agama. Aku tau Davin itu nonmuslim sejak lama. Tapi aku bohong sama mama dan papa biar aku sama dia bisa temenan terus. Karena kalo mama sama papa tau Davin itu nonmuslim, aku sama dia gak akan boleh ketemu lagi. Dia udah nyakitin aku banget, aku nyesel, Ma! Aku nyesel! Maafin aku! Aku mau mama setujuin aku sama Dion aja.”
Ini adalah penyesalan yang amat sangat pahit yang pernah aku alami. Aku memeluk mama erat. Aku sangat merasa bersalah. Gara-gara Davin, aku membohongi semuanya. Aku telah tertipu dengan rayuan makhluk itu. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan untuk mengembalikan semua kebohongan-kebohongan yang telah kuperbuat. Maafkan aku.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu rumah. Aku dan mama langsung menoleh ke arah ruang tamu dari pintu kamarku yang terbuka. Mama keluar kamar dan membuka pintu.
“Na, ada yang mau ketemu kamu.” Mama kembali dengan ekspresi yang sedikit murung.
Aku mengelap air mataku dan segera keluar dari kamar. Aku berjalan melewati ruang tamu dan berjalan keluar dari pintu rumah. Aku melihat satu motor yang sangat kukenal sedang parkir di halaman depan rumah. Saat aku menoleh ke kanan, tepatnya kursi kursi halaman depan, ada satu kursi yang sedang di duduki oleh seorang cowok. Cowok itu tidak lain adalah...
Davin.
Mau apa dia ke rumahku?
Apa ia ingin meminta maaf?
Atau ia ingin menyakitiku lagi?
Atau ingin membuatku menangis lagi?
“Na.”
Davin terbangun dari kursi lalu berjalan menuju ke arahku. Aku mundur perlahan saat Davin semakin mendekat. Aku berusaha menahan genangan air mata yang akan membahasahi pipiku.
“Ngapain lagi?”
Ia semakin mendekat.
“Maaf.” satu kata yang terucap dari mulut Davin.
Davin menatap mataku. Pandangan matanya benar-benar dalam. Tatapan mata yang menandakan rasa sayang, tetapi aku pasti salah besar.
“Ini, gua cuma mau ngasih handphone lu yang ketinggalan di kolong meja. Tadi pas gua mau pulang ada yang bunyi, pas gua cari ternyata handphone lu. Ada video call dari Dion. Jadi gua ambil.” penjelasan Davin mengeluarkan ponselku dari kantongnya dan memberikannya kepadaku.
Mengapa aku bisa tak sadar meninggalkan barang berhargaku yang sudah membantuku berkomunikasi dengan Dion. Apa kesedihan tadi itu membuatku lupa segalanya?
Aku mengambil ponsel itu lalu masuk ke rumah dengan membanting pintu. Aku bersandar di balik pintu rumahku. Air mata itu tak tertahankan lagi, ia mengalir dengan sendirinya. Aku menatap layar ponselku dengan penuh tanda tanya. Ponselku yang masih dalam keadaan mati menampakkan bayangan wajahku yang penuh kesedihan. Cukup banyak pemberitahuan pesan masuk dari Dion.
“An, aku dapet kabar dari Otar katanya kamu abis nangis ya? Kamu kenapa?”
“An kamu nangis gara-gara aku?”
“Hallo, An. Kok gak dijawab? Kamu marah sama aku?”
“An, aku minta maaf kalo aku salah sama kamu. Tapi kenapa? Kok teleponnya gak diangkat?”
“An, please angkat teleponnya.”
“An, kamu bikin aku khawatir L”
Dion….
Aku sangat merasa bersalah. Di sana Dion mengkhawatirkanku karena kejadian yang dilaporkan Otar, tetapi di sini aku malah menangisi cowok tak berguna itu. Aku menyia-nyiakan air mata ini untuk seseorang yang hanya menghancurkan kebahagiaanku, padahal pacarku yang sudah jelas-jelas milikku malah aku abaikan. Maafkan dosa hamba-Mu ini, Ya Allah.
Aku masuk kamar dan pergi ke jendela kamarku untuk mengintip apa yang dilakukan Davin di luar sana. Aku melihat Davin sedang menaiki motornya lalu pergi dari rumahku. Entah mengapa, perasaanku kali ini benar-benar salah, benar-benar tak masuk akal. Alasan Davin pun tak masuk akal. Mengapa ia mendekatiku jika ia menyukai Gita? Mengapa ia berubah drastis tanpa sebab? Lalu apa motivasinya tidak ingin membuatku baper tetapi selalu melakukan hal yang membuatku baper?
Tak lama kemudian, muncul nama Dion di layar ponselku. Ia menelponku dengan panggilan video. Aku ragu untuk mengangkatnya. Aku takut, aku takut salah lagi. Aku tak pantas untuknya, tetapi aku harus mengangkatnya karena ini adalah jalan keluarnya.
“Anna! How are you? Why are you crying?”
Dion terlihat panik dari ekspresi wajah dan nada ia berbicara.
“Dion, I’m sorry. It’s not your fault, It’s my fault. I can’t keep my feeling just for you. I can’t close my heart for another person. I’m sorry.”
“No problem, Diana. I know what you feel. Aku cuma khawatir kamu ada apa-apa.”
“Dion, kamu kenapa sih? Kayaknya no problem banget kalo aku suka sama orang lain? Itukan sama aja saingan kamu, kenapa kamu cuma bilang fine fine aja? Padahal aku udah nolak setengah mati buat kamu.”
“Diana, maaf kalo kamu jadi mikir kayak gitu. Tapi aku yakin dari lubuk hati aku yang paling dalam, kamu gak akan berpaling. Aku sayang kamu, kamu sayang aku. Cinta kita hanya terpisah oleh jarak. Kalo gak ada jarak? Mungkin gak serumit ini. Aku janji sama kamu, 3 tahun lagi kalo kita masih ada hubungan, aku pulang dan bawa kamu ke Amerika. Aku janji, Na.”
“Maaf, On. Aku udah mikir kayak gitu. Aku cuma takut kamu bilang gak papa tapi ada apa-apa. Aku minta maaf. Aku gak tau harus ngomong apa. Aku lagi ada banyak masalah.”
“You can tell me, all about your life. Because I’m sure that you will tell our kids about our past. Aku ini bener-bener serius sama kamu. Oke kita masih SMA, aku tau itu. Perjalanan kita masih panjang, aku perjuangin kamu, begitu juga kamu. Nothing’s perfect in this world, but we can try to make it perfect.”
Ya Allah. Mengapa Engkau ciptakan satu mahkluk ini begitu sempurna. Sangat sempurna sehingga aku tak bisa mengelakkan apapun.
“Dion, kenapa Allah menciptakan kamu begitu sempurna. So, I think, aku gak pantes dapetin kamu. Aku hanya seorang perempuan biasa yang mendambakan seseorang yang sempurna, tapi kamu adalah prince. Pangeran yang bisa menunjuk siapapun untuk menjadi pasangannya. Kenapa kamu pilih aku, Dion? Banyak yang lebih pantas kamu pilih. Aku udah ngecewain kamu berkali-kali. Aku gak mau ngecewain kamu lagi.”
“Diana, please stop. You are my princess. Aku gak akan menunjuk sembarang orang untuk menjadi pasanganku. Kamu inget? Udah terbukti 5 bulan aku ngegantung kamu dan aku ninggalin kamu selama kurang lebih 3 tahun dengan jarak sejauh ini. Tapi kamu tetep sayang sama aku. Oke aku tau kamu mungkin pernah berpikir untuk mencari yang lain, tapi aku tau kamu gak setega itu sama aku. Jadi, udah ya Diana sayang, kamu gak usah minder atau apapun. Selagi status aku masih nama kamu, aku akan terus percaya dan berusaha buat gak mengecewakan kamu, begitu juga kamu ya.”
Aku tidak mengerti ada apa dengan Dion. Ia sangat menyayangiku, tetapi mengapa aku sangat bodoh untuk mengecewakannya berkali-kali. Diana, jika sekali lagi kamu mengecewakan Dion, aku akan membenci dirimu selamanya.
“Udah yaa, Diana. Tunggu aku sebulan lagi, yaa. Aku juga tunggu kamu ada di bandara buat jemput aku.”
“Yes, I promise. You will know who’s the first person that you see when you come back from US.”
“Yeah, I’ll wait for you. Thanks. I want to sleep, bye.”
“Bye.”
Aku mematikan panggilan video yang sangat mengharukan ini. Tanpa kusadari, mama telah duduk di sampingku.
“Kamu lagi apa? Gimana tadi sama Davin?”
“Gak usah ngomongin Davin lah, Ma. Oh ya, Dion bakal pulang pas tahun baru. Nanti mama dia mau ketemu sama mama dan papa. Boleh kan?”
Senyuman lebar yang keluar dari bibirku, meskipun dengan mata yang masih sembab dan hidung yang masih merah.
“Boleh kok, kenapa enggak?” Mama tersenyum dan mencubit pipiku.
“Makasih ya, Ma. Aku harap mama mendukung aku sama Dion.” senyumku.
Mama hanya tersenyum.
“Oh ya, tadi Tante Olla yang di Yogya telepon mama loh. Katanya kakek di sana kangen sama kamu. Kamu inget kan Kakek Yoga? Yang dulu suka banget ngajarin kamu ngaji.” ujar Mama mengalihkan pembicaraan.
“Ya, aku inget kok Ma. Aku juga kangen banget sama dia.”
Kamipun bercerita tentang kakek dari mamaku yang tinggal di Yogyakarta. Dulu ia adalah orang terbaik untukku karena ia mendukung apapun kegiatanku, dan jika aku salah, ia hanya memberiku peringatan dan tak pernah sampai memarahiku. Ia juga selalu membelaku. Pokoknya, aku sangat merindukannya. Jika aku pergi jalan-jalan ke Yogyakarta, aku harus ke rumahnya. Setidaknya, perbincangan ini bisa mengalihkan perbincangan soal Davin.