Jam 1 malam, aku merasa telah melupakan sesuatu, tetapi aku tidak bisa mengingatnya. Aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka lalu bertemu dengan mama yang baru keluar dari kamar mandi. Mama melihatku dengan penuh keheranan karena sebelumnya aku tidak pernah terbangun tengah malam.
“Eh, kok belum tidur?”
“Udah kok, Ma. Ini mau cuci muka aja.”
“Sekalian sholat tahajud, Na.”
“Iya, Ma.”
Selesai dari kamar mandi, aku kembali ke kamar dan melakukan sholat tahajud. Selesai sholat tahajud, aku berniat melanjutkan sholat istikharah. Namun, aku masih bimbang, sholat istikharah itu untuk menentukan sesuatu mana yang lebih baik di antara dua pilihan. Kalau aku sholat istikharah untuk menentukan mana yang lebih baik antara Dion dan Davin, tanpa sholat pun aku sudah mengetahui jawabannya. Tidak mungkin Allah memperbolehkanku suka dengan orang yang berbeda keyakinan.
Aku melepas mukena dan merapihkannya lalu kembali ke kasur sambil bermain ponselku. Aku melihat obrolan terakhir dengan Dion.
OH IYA! Seharusnya aku menambahkan ID Line Dion yang baru sebelum jam 5 sore! Sekarang sudah jam 1 malam! Dion maaf!
Akupun segera menambahkan ID Line Dion yang baru dan melakukan panggilan video.
“Dion!! Dion maaf banget tadi aku lupa, terus ketiduran yaampun.”
“Iya, calm down.”
“Aduh gimana ya, aku gak enak.”
“Kamu kenapa sih santai aja, sayang.”
“Iya sih, mungkin efek baru bangun, hehe. Oh iya Dion, aku mau tanya sama kamu. Ciri-ciri orang suka sama kita itu gimana sih?”
Sebenarnya pertanyaan itu refleks keluar dari mulutku tanpa disaring di otak.
“Apa ya? Sebenernya sih tergantung orang itu. Kalo aku biasanya ngedeketin, terus sering chat, terus sering ngejailin, abis itu suka tanyain temen tentang kamu dan yang paling penting itu suka banget kalo lagi deket.”
Davin jarang memainkan ponselnya makanya ia tidak pernah chat denganku. Davin sering menjailiku di kelas atau di manapun kami berada. Daffa pernah bertanya alamat rumahku dan ia bilang untuk Davin, dan Davin sangat suka berada di sampingku. Davin, aku mohon jangan merusak janji setiaku kepada Dion.
“Kenapa emang, An?”
“Gak papa sih. Menurut kamu, dulu aku susah gak di deketin?”
“Karena kamu yang duluan suka sama aku, jadi enggak sih heheh.”
HAHA awkward moment.
“Hahahah dasar, iya sih emang aku duluan, haha. Dulu kamu keliatannya baik sama orang. Kenyataanya emang baik sih baik banget haha.”
“First impression aku sama kamu, kamu itu kayaknya jutek banget mungkin iya sih. Tapi kalo sama aku gak pernah jutek.”
“Iyalah, aku suka sama kamu masa aku jutekin kamu haha. Adanya kamu tuh cuekin aku mulu.”
“Hahha ya ampun maaf banget ya.”
“Oh iya, waktu itu kamu kenapa bisa tau kalo aku suka sama kamu deh?”
“Temen-temen aku pada bilang gitu. Terus ya aku mau tau aja tentang kamu. Eh, keterusan, haha.”
“OMG, haha”
“Jadi kangen masa-masa SMP.”
“Aduh kangen banget, haha. Gara-gara flashback nih.”
“Hahaha flashback. Inget gak dulu kamu juga suka sama temen aku yang namanya Zaki haha.”
“Ya ampun, kamu inget aja, aku aja lupa. Oh iya, On. Mau tanya lagi. Menurut kamu kalo suka sama orang yang beda agama itu gimana?”
“Hmm, suka sama orang beda agama itu... Ya lebih parah dari LDR. Meskipun itu teman sebangku, teman sekelas, suka main bareng tetap aja di mata Tuhan itu jauh banget. Lebih jauh dari Indonesia Amerika.”
Dion hanya bilang itu contoh kan? Bukannya sindiran….
“Wow Indonesia Amerika aja jauh banget ya.”
“Kalo gak jauh aku pulang terus ke Indonesia buat ketemu kamu, An.”
“Hahah, oh iya kamu kapan balik sih ke Indo?”
“InsyaAllah tahun baru, maybe.”
“Loh? Kenapa gak tahun baruan di Amrik? Pasti jauh lebih bagus.”
“Iya sih, tapi menurut aku lebih bagus sama kamu haha.”
“Aduh jadi gak sabar tahun baru, haha.”
Tiba-tiba, seseorang membuka pintu kamarku, ternyata itu mama. Mama bersender di pintu kamarku.
“Kok belum tidur, Na?”
Aku memperlihatkan layar ponselku yang sedang melakukan panggilan video dengan Dion.
“Aku lagi video call sama Dion, Ma.”
Dion juga merespon keberadaan mama. Ia menyapa mama.
“Hai tante, apa kabar?”
“Eh Dion, baik. Kamu belum tidur?”
“Kan di sini masih jam 11 siang tante.”
“Oh iya lupa. Ya udah deh tante mau tidur dulu.”
“Oke tante, have a nice dream.”
Aku membalikan layar ponsel ke arahku.
“Jangan malem-malem tidurnya.”
“Ok, Ma.”
Mama keluar dari kamar.
“Kamu lagi apa, On?”
“Tiduran aja di kamar, bete gak ngapa-ngapain.”
Aku melihat sekitar kamar Dion, ada jendela yang bersinar menandakan suasana di luar sedang cerah.
“Padahal kita sama-sama di kamar ya. Tapi jendela kamar kita berkata lain ya, On.”
“Di kamu gelap di aku terang. Sedih ya.”
“Banget sih, aku mau tidur lagi ya, On. Makasih udah nemenin aku sebentar.”
“Iya, have a nice dream yaap.”
“Thank you.”
Aku kembali tidur sampai jam 7 pagi. Saat aku membuka mata, mama sudah berada di atas wajahku dengan ekspresi marah.
“Pasti kamu lupa sholat subuh lagi ya!”
Aku terbangun dan mengucak mataku.
“Aku ketiduran, Ma.”
“Pasti gara-gara kemarin kamu teleponan sama Dion kan? Jangan-jangan kemarin juga karena itu.”
“Enggak, Ma. Aku emang gak bisa tidur makanya aku telepon dia. Pas pagi aku ketiduran.”
“Kalo kamu gak telepon dia kamu kan bisa tidur lagi, gak kesiangan, bisa sholat subuh.”
“Ya gimana dong, emang takdirnya begitu. Jakarta sama Los Angeles itu beda 14 jam, Ma. Kalo gak aku yang begadang, ya Dion yang begadang. Kalo mau hubungannya tetap jalan. Cuma itu.”
“Lagian kamu ngapain sih gaya-gayaan punya pacar yang tinggal di luar negeri. Kan masih banyak di Jakarta.”
“Loh, sebelumnya dia kan di Jakarta, Ma. Aku jadi pacar dia detik-detik dia mau ke Amerika. Lagian mama kenapa sih? Tadinya ngedukung banget aku sekarang malah jatohin aku.”
“Itu sebelum mama nemuin yang lebih baik dari Dion.”
Hah? Perasaanku mulai tidak enak. Maksud mama itu siapa?
“Maksud mama siapa?”
“Itu yang kemarin.” jawab mama sambil membuang muka dan melipat kedua tangannya.
What??? Maksud mama, Davin? Oh my God, Ma... Andai mama tau Davin itu beda agama.
“Mama! Aduh mama plis banget. Davin itu tuh gak kayak yang mama pikirin. Oke dia baik, dia sopan tapi dia—“
Hampir aja keceplosan.
“Dia kenapa?”
“Gitulah, aku mau mandi.”
Aku segera pergi ke kamar mandi dan meninggalkan mama di kamar.
Di kamar mandi, tangisanku pecah, air mataku dengan lancarnya keluar dari kedua kelopak mataku. Mengapa semuanya menjadi seperti ini. Iya sih, aku baper dengan Davin, tetapi ya jangan mengorbankan Dion juga. Ah, apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tidak ingin mengecewakan Dion yang sudah sangat menyayangiku, tetapi aku juga berkeinginan untuk memiliki Davin.
Selesai mandi, aku masuk kamar lalu menelpon panggilan video kepada Dion. Dion mengangkat panggilan video dariku. Ratusan kata sudah menunggu untuk aku bagi kepada Dion, tetapi ribuan tetes air mata ini menghalangiku untuk mengatakannya.
“Hey, what’s wrong Ana? Tell me.”
“I can’t explain.”
“Why? Why are you crying?”
“Who is the person that makes you crying? Your friend?”
“No.”
“Your family?”
“That’s right.”
“Why?”
“My mom is not agree. If we still together.”
“What? Why?”
“Maybe, the time zone.”
“Perbedaan waktu yang membuat kita gak boleh terus bersama? Why?”
“I don’t know. She said, I often overslept.”
“Oke, kalo gitu aku gak akan nelpon kamu saat aku di sini lagi siang. Kalo emang mama kamu mau gitu. Aku aja yang harus ngalah, aku akan begadang buat teleponan sama kamu.”
DION?!
“Gak bisa gitu Dion, itu namanya berat sebelah.”
“Tapi aku mau kita tetep bersama.”
“Kita akan terus bersama apapun masalahnya.”
“Promise?”
“Yes.”
“4 years is not a short time.”
“Yap, I know.”
“Udah ya, kamu jangan nangis lagi. If I can hug you, I will hug you, unfortunately I can’t.”
“Thanks, ini udah buat aku sedikit tenangan kok. Makasih ya.”
“Apa yang buat kamu berhenti nangis?”
“You were here.”
“I’m sorry I can’t.”
“Haha just kidding. Liat kamu udah ngilangin bete kok. Ya udah lah makasih ya, aku mau sarapan dulu.”
“Oke, have a nice breakfast. I love you.”
“Thanks. Love you too.”
Aku mematikan panggilan videonya. Sebenarnya aku tidak sarapan, hanya berbaring di atas kasur sambil menunggu mataku yang sembab ini kembali normal.
Ponselku kembali bergetar di samping tempatku berbaring, ternyata ada pesan masuk dari Davin. Aku segera membuka pesannya.
“Gece keluar rumah gua di depan.”
Hah? Kenapa? Ada apa di luar rumah?
Aku segera bangun dari kasur dan melihat ke jendela. Davin sudah menunggu di depan halaman rumah sambil duduk di motornya dan bermain gadget. Ya ampun dia mau apa ke sini? Lalu apa kabar dengan mataku jika aku keluar rumah dengan keadaan seperti ini.
“Ya ampun, tuh anak ngapain sih! Mata gue masih sembab, lagi!”
Aku keluar rumah sambil memegang sapu tangan yang menutupi mulut dan hidung. Aku menunduk untuk menutupi kesembaban mataku.
“Lo ngapain?” tanyaku sambil menunduk.
“Mau gua ajak ke taman. By the way lu kenapa? Sakit?”
“Gak papa, tunggu dulu ya kalo mau pergi. Gue juga belum tentu boleh.”
“Ayolah, ya kali deh. Mau gua aja nih yang ngizinin?”
“Ih! Tunggu dulu dong! Sabar.”
“Lagian kenapa sih pake ditutup- tutupin segala.”
“Bentar, udah lo tunggu sini aja.”
Aku masuk ke dalam rumah, pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Lalu meminta izin sama mama papa di ruang makan.
“Ma, Pa, Davin ngajak aku pergi, boleh gak? Kalo gak boleh juga gak papa sih. Nanti Davinnya aku suruh balik.” izinku dengan santai karena aku tidak ingin pergi kemana-mana, apalagi dengan Davin yang semakin hari membuat hatiku semakin bimbang.
“Boleh kok, jangan pulang sore lagi tapi, ya.”
“Oh iya, ini papa ada uang jajan buat kamu berdua.”
Papa mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya dan memberikannya kepadaku.
“Makasih ya, Ma, Pa. Assalamualaikum.”
Aku dan Davin pun pergi. Ia bilang, kami akan pergi ke suatu taman yang tidak jauh dari sini.
Ia mengajakku ke suatu taman yang cukup ramai dan banyak jajanannya. Kami duduk di suatu bangku taman yang teduh karena di atasnya ada pohon yang menghalangi sinar matahari langsung.
“Tadi lu kenapa sih?”
Cie, penasaran ya?
“Gak papa, cuma sedih aja. Gue sama Dion gak disetujuin buat lanjut sama orang tua gue.”
“Serius? Kok bisa? Cerita dong.”
“Ya karena perbedaan waktu. Kita bisa komunikasi kalo gue yang begadang atau Dion yang begadang. Nah, kalo gue yang begadang gue pasti kesiangan bangunnya, gak sholat subuh. Itu yang bikin gue sama dia gak disetujuin.”
“Agama emang penting, Na. Itu artinya lu lagi diuji. Apalagi yang namanya cinta beda agama, itu lebih diuji lagi. Karena kita harus memilih, antara keyakinan dan cinta, sedangkan kita udah yakin sama cinta, haha.”
Mengapa kamu tidak menyadari bahwa yang baru saja kamu katakan itu adalah aku.
Aku mendekati Davin dan menatap matanya.
“Lo pernah juga cinta beda agama?”
“Ya pernah lah, bukan pernah lagi malah. Di sini kan agama gua minioritas. Sama aja kayak si Dion di Los Angeles. Susah cari yang seagama.” curhatan seorang Davin membuang muka dari tatapanku, cie salting ya aku lihat? Haha.
Davin nonmuslim kan, berarti firasatku benar.
“Ehm, bentar. Lo nonmuslim? Maaf tanya gini.”
“Iya, selow aja.”
Dia sih seribet apapun masalahnya tetap saja bilang santai.
“Tapi kok lo—“
“Iya, gua tau apa yang ada dipikiran lu. Gini ya, lu pasti taat banget sama agama lu karena orang tua lu taat sama agama juga kan? Kalo orang tua lu biasa aja, lu juga bakal biasa aja, kan?”
Davin menatap mataku. Aku merasa tatapannya seperti tatapan Dion saat di mall dulu.
“Ehm, iya.”
Sekarang aku yang menunduk salting.
“Nah, itu. Gua di rumah cuma sama nenek gua. Orang tua gua di luar negeri, mereka—“
Davin berhenti berbicara dan menghela nafas.
“Why?”
“Haha, kenapa kita jadi ngomongin agama, sih?”
Davin berusaha mengalihkan pembicaraan, sedangkan aku masih penasaran dengan omongan Davin tadi.
“Emang apa lagi yang bakal kita omongin selama masih ada topik?”
“Ada kok. Lu merasa gak sih ada orang yang diem-diem suka sama lu?”
Davin menatap mataku ‘lagi’. Ah jangan-jangan ini waktunya! Vin, kamu tau kan aku sudah memiliki pujaan hati di luar sana? Tetapi kamu juga menjadi pujaan hati di dalam sini.
“Ehm, maksudnya secret admirer? Rata-rata orang pernah lah pasti yang namanya kegeeran.”
“Haha, menurut lu gimana?”
“Apanya gimana?”
Ponselku bergetar dari dalam kantong celanaku dan berhasil memecahkan suasana yang canggung ini. Aku mengambil ponselku, ada pesan masuk dari Dion. Mengapa Dion selalu hadir di saat aku dan Davin sedang berdua?
“Don’t forget tomorrow. 2nd mensiversaryJ.”
Actually yeah, I’m almost forget it.
“Yeap.”
“Sakit gak sih kalo sayang sama orang yang beda benua dan beda waktu?”
“Literally it’s very hurts. Tapi ada yang lebih sakit dari itu.”
“Apa?”
“Yah, kayak yang lo omongin tadi.”
“Emang gua ngomong apa?”
Davin lupa atau dia pura-pura lupa?
“Hmm, apa ya.”
“Rese lu, haha.” Davin mendorong badanku pelan.
Perlakuan seperti ini saja sudah cukup membuatku tersenyum sampai rumah.
“Udah lah, pulang sekarang aja yuk.” ajakanku.
“Ya elah, baru bentar. Ya udah lah.”
Kami berdiri dari kursi taman dan berjalan menuju parkiran motor lalu pulang ke rumahku.
Sesampainya di rumahku, mama dan papa sedang duduk santai di halaman depan rumah. Aku dan Davin turun dari motor lalu salim kepada mama dan papa.
“Assalamualaikum, Om, Tan.”
“Waalaikum salam.”
“Davin, kamu main aja dulu sebentar” tawaran mama.
“Iya masih siang kok” sambung papa.
Davin melirikku bermaksud untuk bertanya.
Aku hanya mengangkat kedua bahu sebagai tanda “terserah” lalu masuk ke dalam rumah.
Davin pun ikut masuk ke ruang tamu dan duduk di sofa tamu di sampingku.
“Vin, gue mau bilang kalo di rumah gue—“
Mama dan papa masuk rumah, padahal baru saja aku ingin membicarakan tentang mereka. Aku ingin memberitahu Davin kalau aku takut ia disuruh kegiatan agamaku seperti sholat, mengaji, atau yang lainnya.
Mereka berdua duduk di sofa di sebelahku dan Davin.
“Vin, Na. Sholat Asar dulu gih, udah azan tuh.” suruhan papa.
Baru saja aku ingin menyampaikan itu ke Davin, ternyata sudah terjadi.
“I...Iya nanti, Pa.”
“Eh kok nanti, semakin cepat semakin bagus dong.”
“Iya, sekarang aja. Udah ayo, Na, wudhu nya di mana?” tanya Davin dengan semangat.
Aku menatap Davin dengan tatapan heran dan bingung.
Akhirnya, aku mengantarkan Davin ke depan kamar mandi.
Davin masuk kamar mandi dan menutup pintunya, sedangkan aku sedang gelisah di luar kamar mandi sambil terus berputar-putar.
“Aduh, gimana dong kalo beneran disuruh sholat.”
Tak lama kemudian, Davin keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah dan anggota tubuh lainnya masih kering kecuali kaki. Aku sangat terpesona melihat rambut Davin yang basah terkena air wudhu meskipun itu palsu. Namun, aku tak boleh menampakan kalau aku terpukau melihat Davin seperti ini. Nanti dia kegeeran lagi. Andaikan wudhu itu benar-benar asli, bukan hanya pencitraan.
“Kok rambut doang sih?”
“Ya gua mana tau sih apa aja.”
“Udah, pokoknya basahin aja tangan sampe siku, kaki sama muka.”
“Et, gue pulang aja dah.”
Davin mulai pasrah. Ya sudah, lebih baik dia pulang daripada aku yang ribet.
“Ya udah, sana pulang dah.”
“Jadi ngusir?”
“Lah tadi—“
Mama menghampiriku dan Davin di kamar mandi.
“Davin, wudhunya udah?”
“Emm, Ma. Davin mau pergi sama ibunya, jadi dia disuruh pulang sekarang.”
Terpaksa aku berbohong lagi.
“Ya udah sholat dulu, biar nanti dimudahkan urusannya.”
“Ya udah, Vin. gue anterin ke mushola.”
Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Kok kamu belum wudhu? Jama’ah dong biar pahalanya 7x lipat.”
Kalau Davin benar-benar seagama sih pasti aku langsung meminta dia untuk selalu menjadi imamku.
“Aduh, ya udah deh. Lo tunggu sini ya, Vin.”
Aku mengambil air wudhu dengan pintu yang terbuka. Davin hanya melihat caraku mengambil air wudhu. Selesai aku berwudhu, kami berjalan menuju mushola.
Di mushola, aku menyuruh Davin pulang sebelum mama dan papa benar-benar menyuruh kami sholat. Kami segera berjalan dengan cepat ke halaman depan rumah.
“Udah, sana sana.”
Davin langsung menuju ke motornya yang diparkir.
“Kalian udah sholatnya?” pertanyaan papa secara gaib berada di kursi halaman depan.
“Udah kok, Pa.”
“Iya udah, Om. Makasih ya, aku mau pergi sama mama.”
Davin sudah menaiki motornya dan siap untuk pulang.
“Oh gitu, ya udah hati-hati ya.”
Papa terlihat sangat perhatian kepada Davin.
“Iya, Om. Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam.”
Setelah Davin pergi, aku berbalik badan dan masuk ke rumah.
“Diana.” panggilan papa dari halaman depan.
Aku berjalan mundur menghampiri papa lalu berdiri di samping papa.
“Apa, Pa?”
“Menurut papa sih ya, kamu sama Davin aja. Dia sholeh, baik, sopan.”
“Aku udah punya pacar, Pa.”
“Pacar yang di Amerika itu? Diana, papa kasih tau ya. Kamu punya pacar di luar negeri, gak pernah ketemu lagi. Terus buat apa? Gak bisa ngimamin kamu kan?”
“Bisa kok lewat video call.”
“Loh? Emangnya papa gak tau, Amerika itu perbedaan waktunya jauh. Walau bisa video call tapikan niat sholat dan rakaatnya beda. Kamu niat sholat maghrib, dia niat sholat shubuh. Kamu tiga rakaat dia dua rakaat, emang bisa?”
Pertanyaan Papa sangat menjebak. Mengapa aku tidak pernah berpikir seperti itu? Rasanya ada yang menusuk jantung saat papa melontarkan pertanyaan itu.
“Coba tuh kayak dia, bisa setiap hari bisa jadi imam kamu, Nak.”
Davin itu nonmuslim, bagaimana caranya ia bisa mengimamiku? Itu semua hanya pencitraan supaya kami masih bisa berteman seperti apa yang ada dipikiran papa dan mama.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, aku langsung pergi ke kamar dan mengunci pintu kamar. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan sekarang. Hanya bisa tawakal dengan keadaan ini.