Di Unversitas lain..
Kampus. Pagi hari.
Langit bersih menggantung di atas gedung fakultas. Mahasiswa berlalu-lalang dengan langkah cepat dan tawa ringan. Di antara riuhnya kehidupan kampus, Wina berdiri di depan lobi, melihat sosok yang begitu dikenalnya dari masa SMA.
Jefta.
Masih sama seperti dulu: tenang, kalem, dengan ekspresi yang sulit ditebak. Rambutnya rapi, tas selempangnya tergantung di bahu kiri. Saat ia berjalan mendekat, jantung Wina memukul-mukul rusuknya.
> “Eh, Jeft! Kita satu fakultas ya ternyata. Nggak nyangka banget.”
Jefta menoleh, tersenyum tipis. “Iya ya, dunia sempit. Kamu masih kayak dulu ya, rame dan ceria.”
“Aku? Ceria? Kamu pasti udah mulai bisa merhatiin aku sekarang,” kata Wina bercanda—tapi harapannya terlalu nyata.
> Jefta tertawa kecil. “Haha… iya, kamu memang susah nggak kelihatan.”
Dan di balik tawa ringan itu, hati Wina mekar pelan. Ia seperti remaja SMA lagi, jatuh cinta pada sosok yang sulit digenggam. Jefta tak tahu, Wina mengingat segalanya—selera makan, playlist Spotify, bahkan jenis pulpen favoritnya.
---
Rencana Wina
Panitia acara kampus. Ruang diskusi.
Wina sengaja duduk di samping Jefta. Tangannya penuh catatan, senyumnya selalu tersedia.
> “Jeft, kamu sibuk nggak minggu ini? Aku butuh bantuan edit video buat lomba antar jurusan. Kamu kan jago.”
> “Hmm… bisa sih. Tapi kenapa nggak minta Kevin aja?”
> “Soalnya aku pengen hasilnya bagus. Dan kamu… ya, kamu selalu terbaik, kan?”
Jefta mengangguk. Dan proyek itu menjadi pintu interaksi. Tapi Wina mulai sadar, Jefta terlalu netral. Ia memperlakukan semua orang dengan ramah. Tak ada isyarat spesial. Bahkan saat mereka hanya berdua.
---
Kemunculan Nara
Ruang DKV. Sore hari.
Wina melihat Jefta duduk dengan Nara—teman sekamarnya. Nara yang pendiam, kalem, dan cenderung tak menonjol.
Tapi di hadapan Nara, Jefta tertawa—lepas dan ringan. Dan tawa itu menghantam hati Wina seperti batu.
> “Menurutmu, warna ini terlalu terang nggak?”
“Nggak, malah bikin desain kamu kelihatan hidup. Kayak kamu.”
“Kamu tuh… ternyata bisa juga muji ya.”
“Kadang-kadang. Kalau yang dipuji emang pantas.”
Wina berdiri di balik pintu, mengintip dengan mata panas. Rasanya seperti kalah sebelum bertanding.
> “Apa aku harus berubah jadi sepertinya? Tapi aku sudah terlalu lama jadi aku yang sekarang.”
---
Wina Menyerah?
Taman kampus. Senja.
Angin sore mengusap pelan rambut Wina. Ia duduk di samping Jefta, dan tahu bahwa ia harus bicara. Sekarang, atau tidak pernah.
> “Jeft… kamu inget nggak, dulu waktu kita SMA, aku pernah nyatain suka sama kamu?”
> “Aku inget. Dan aku minta maaf karena waktu itu nggak bisa jawab apa-apa.”
> “Aku juga nggak maksa kamu suka balik. Tapi… sekarang kita udah dewasa. Aku udah banyak berubah. Kamu juga. Nggak mau coba lihat aku lagi… dari sisi yang beda?”
> “Win… kamu cewek yang luar biasa. Jujur, kuat, nggak pernah nyerah. Tapi mungkin justru karena kamu terlalu terang, aku jadi buta.”
> “Buta, ya? Jadi kamu lihat yang lain?”
> “Bukan soal siapa yang aku lihat. Tapi soal siapa yang bikin aku… ngerasa tenang.”
Wina menunduk. Tertawa kecil, getir.
> “Tenang, ya? Kayaknya aku terlalu ribut buat jadi rumah.”
---
Akar Luka
Lorong kampus. Beberapa hari kemudian.
Wina menatap Nara dari jauh. Senyumnya seperti biasa: manis, bersahabat.
Tapi di dalamnya: iri. Luka. Dendam.
> “Kalau aku nggak bisa punya Jefta… maka Nara juga nggak boleh.”
---
Pesan Anonim
Akun anonim dibuat. Kalimat-kalimat tajam mulai menyebar:
> 💬 “Nara anak DKV itu ya? Denger-denger suka deketin cowok orang.”
💬 “Kalemnya cuma akting. Banyak yang udah kena.”
Desas-desus mulai merambat. Nara gelisah. Jefta mulai menjaga jarak.
Wina mendekatinya.
> “Nar, kamu kelihatan murung. Ada apa?”
“Kayaknya Jefta menjauh akhir-akhir ini. Tapi aku nggak ngerti kenapa.”
“Hah? Padahal aku pikir kalian cocok, lho. Tapi ya… kamu tahu sendiri kan dunia kampus? Orang bisa berubah.”
Nara diam. Matanya merah.
Dan Wina tersenyum di bayang-bayang.
---
Akhir yang Gagal
Bawah tangga kampus. Senja.
Jefta berdiri, menunggu. Wina datang, membawa senyum lelah.
> “Wina, aku cuma mau tanya satu hal… Kamu yang nyebar gosip soal Nara?”
> “Hah? Gosip? Jefta, serius? Kamu pikir aku sejahat itu?”
> “Wina… aku kenal dia. Nara nggak kayak gitu.”
Wina diam. Wajahnya berubah. Suaranya pelan, tapi penuh racun.
> “Coba kamu pikir, kenapa dia tiba-tiba menjauh? Karena dia udah punya yang lain, Jefta. Kamu itu rumah singgah. Tempat dia mampir kalau lagi capek. Tapi bukan tempat dia tinggal.”
---
Malam Itu
Kamar kos Jefta. Sunyi.
Ia membuka ponselnya. Menatap nama Nara. Tapi jarinya tak bergerak. Lalu perlahan, ia hapus kontak itu. Tidak ada pesan. Tidak ada penjelasan.
> “Mungkin memang bukan aku yang dia pilih… dan mungkin aku terlalu memaksakan diri.”