Strategi Gagal Total
Ospek hari ketiga. Suasana kampus mulai sedikit longgar, tapi tekanan dari kakak tingkat tetap terasa. Cindy berusaha menjaga citra manisnya, padahal dalam hati dia sudah menyusun 1.001 strategi biar cepat lulus dari masa perploncoan.
Sayangnya, hari itu ia merasa diawasi. Dan ternyata benar.
Christian lagi.
Cowok itu berdiri di sudut lapangan, bersandar ke tiang bendera. Tangan di saku, mata tajamnya mengarah… ke Cindy.
> “Aduh kenapa sih dia ngeliatin terus? Gua lupa masang topi aneh ya? Atau jangan-jangan dia tau gue cuma pura-pura gak ngerti baris-berbaris semalam?”
Tepat saat Cindy mulai gelisah, Christian melangkah mendekat.
“Cindy, maju ke depan.”
“Eh? Kenapa kak?”
“Yel-yel kamu paling aneh semalam. Saya mau kamu ulangin. Tapi kali ini… sambil lompat kodok.”
Semua mahasiswa baru melongo. Cindy panik setengah mati.
> “Kak… tapi… saya—saya malu…”
> “Gawat! Kalau gue nolak, bisa-bisa makin dilihatin. Tapi kalau nurut, nanti makin jadi korban!”
Christian menatap dengan datar. Tapi entah kenapa, sudut bibirnya naik sedikit. Seperti menikmati kepanikan Cindy.
“Cepat. Atau kamu push-up bareng teman kelompokmu.”
Akhirnya Cindy pasrah. Dengan topi kartonnya bergoyang-goyang, dia melompat pelan sambil menyanyikan yel-yel yang konyol:
> “Saya Cindy dari jurusan… ekonomi!
Cita-cita saya… jadi menteri!
Kalau Kak Christian terlalu misteri…
Biarlah saya yang investigasi~”
Semua orang tertawa.
Christian memalingkan wajah… menahan senyum.
Cindy buru-buru kembali ke barisan, mukanya merah padam. Tapi dalam hati, dia deg-degan:
> “Astaga. Barusan gua ngode di depan umum??!”
---
Setelah Ospek
Sore itu, saat semua maba sibuk beberes, Cindy berniat kabur duluan ke kantin belakang kampus. Tapi begitu masuk, dia malah nyaris menabrak seseorang.
Tebak siapa? Ya, Christian.
“Eh… kak…”
“Lari dari barisan, ya?”
“Enggak… aku cuma haus…”
Christian mendekat. Cindy mundur satu langkah.
“Tadi yel-yelnya… kamu bikin sendiri?”
“Ehe… iya, maaf ya kalo aneh…”
Christian mendekat sedikit lagi. Suaranya pelan, seperti rahasia:
> “Kamu pikir aku misterius? Jadi investigasi, ya?”
Cindy menganga. “Eh?! Kak denger?!”
Christian menahan senyum.
“Aku suka ide investigasinya. Tapi kamu harus tau... peneliti biasanya jatuh cinta sama objek penelitian mereka.”
Deg.
Cindy bengong. Kaget. Malu. Mau lari, tapi kaki rasanya beku.
Christian menyender ke dinding kantin dan berjalan pergi santai. Tapi sebelum menghilang dari pandangan, dia menoleh dan berkata:
> “Ayo, investigator. Cari tahu lebih banyak tentang aku. Tapi hati-hati… jangan sampai kamu yang jatuh duluan.”
Investigasi Cinta ala Cindy
Setelah kejadian “yel-yel investigasi” dan dialog misterius Christian di kantin, Cindy tidak bisa tidur semalaman.
> “Peneliti biasanya jatuh cinta sama objek penelitian mereka…”
Kalimat itu terngiang-ngiang kayak notifikasi yang gak bisa dihapus. Cindy menatap langit-langit kamar kos.
> “Apa maksudnya itu flirting? Atau cuma akal-akalan biar aku makin bingung?”
Keesokan harinya, Cindy memulai misinya: menyelidiki siapa sebenarnya Christian. Tapi, tentu saja, dengan stealth mode aktif.
---
Misi Dimulai
Cindy mulai dari warung kopi sebelah fakultas. Tempat para kakak tingkat nongkrong. Ia pura-pura beli teh manis, tapi telinga siaga 100%.
Di pojok ruangan, dua senior berbincang sambil tertawa:
> “Eh, lo tau gak? Si Christian itu dulu sempat satu angkatan jadi ketua BEM jurusan, terus resign tengah jalan.”
> “Iya, katanya gara-gara ribut sama dosen. Tapi nilai dia tetap tinggi. Anak dekan, katanya. Pantes aja susah disentuh, wkwk.”
Cindy mencatat di kepalanya:
Christian = Anak dekan? Ketua BEM? Pemberontak tapi pintar. Wuih.
> “Misterius, oke. Tapi punya rekor akademik. Kenapa gak ada yang bisa deketin ya?”
Cindy sempat kepikiran buat tanya langsung ke senior, tapi khawatir jadi bahan gunjingan. Jadi ia pakai cara klasik: pura-pura nanya tugas ke teman dekat Christian di grup jurusan.
> “Kak, maaf, aku denger Kak Christian pinter debat. Dia ngajar kelas retorika gak, ya?”
Beberapa senior langsung ngeh. Tapi tak ada yang bisa kasih jawaban pasti.
> “Fix. Cowok ini bukan misterius. Ini mah sengaja bikin penasaran.”
---
Sementara itu… Christian Memperhatikan
Di sisi lain kampus, Christian sedang duduk santai di taman sambil membaca makalah.
Tapi matanya sebenarnya sedang mengikuti seseorang:
Cindy.
Ia melihat Cindy mondar-mandir ke taman, ke perpustakaan, ke warung. Kadang dengan buku, kadang hanya duduk di bangku lalu melirik sekeliling.
> “Dia lagi nyari info tentang gue?”
Christian tersenyum kecil.
> “Anak baru itu lebih jago nyamar dari dugaan gue…”
---
Pertemuan Tak Terduga
Sore harinya, saat Cindy tengah mengambil air minum di mesin dispenser kampus, Christian muncul begitu saja di belakangnya.
“Tugas kamu investigasi, bukan jadi stalker.”
Cindy hampir tersedak. “Eh?! Enggak! Aku cuma—lagi nyari—eh…”
Christian melipat tangan, menatap Cindy dengan gaya detektif dadakan.
> “Pakai catatan kecil di balik binder, ya? Strategi yang bagus.”
Cindy buru-buru menyembunyikan catatannya. “Kak! Itu—itu bukan apa-apa! Aku cuma…”
Christian mendekat sedikit, lalu dengan suara tenang tapi menusuk:
> “Kamu itu bahaya, Cindy.”
Cindy menelan ludah. “Bahaya gimana?”
> “Bisa-bisa kamu tau terlalu banyak… sampai lupa jaga perasaan sendiri.”
Lalu dia pergi. Lagi.
Meninggalkan Cindy terdiam, dengan detak jantung balapan seperti suara printer rusak.
Mundur Satu Langkah, Nyangkut Dua Langkah
Cindy menatap kaca cermin kamar kosannya. Ia menghembuskan napas keras.
> “Mulai hari ini… aku gak akan cari-cari tahu soal dia lagi. Udah. Cukup. Gak usah jatuh cinta sama kakak tingkat misterius yang bisa baca pikiran!”
Dari tempat tidur atas ranjang susun, Popi mengintip dari balik masker lumpur.
> “Ngomong sama siapa sih, Cin? Ngaca sambil drama monolog lagi?”
> “Piii… aku tuh beneran butuh detox hati. Kak Christian tuh kayak jebakan kampus. Aku harus menjaga jarak.”
Popi menjatuhkan masker dan ikut turun dari tempat tidur.
> “Jaga jarak apanya, barusan kamu tulis nama dia di binder pake pulpen warna glitter!”
Cindy kaget dan buru-buru menutup bukunya.
> “Itu... refleks…”
Popi menyilangkan tangan. “Oke, kalau kamu mau berhenti suka, harus dihindari total. Gak boleh saling tatap, gak boleh terjebak momen bareng, dan apalagi... jangan pernah satu kelompok tugas bareng dia!”
Cindy mengangguk mantap.
Tapi hidup tidak semudah itu, Ferguso.
---
Kampus Hari Selanjutnya…
Pengumuman tugas kelompok muncul di mading digital. Mata Cindy membesar begitu melihat namanya… berjejer persis di bawah nama: Christian Nathanael.
> “Bentar. Ini pasti konspirasi. Kenapa kita sekelompok?!”
Popi, yang ikut melihat, menahan tawa.
> “Kayaknya semesta emang pengin kalian jadian, bukan jaga jarak.”
Cindy menatap layar mading digital dengan pasrah.
> “Fix. Alam semesta pengkhianat.”
---
Momen Ketemuan Tak Terelakkan
Cindy duduk di pojok taman kampus dengan binder, catatan, dan highlighter warna-warni. Dia berniat jadi profesional.
Tiba-tiba, suara langkah mendekat.
> “Kamu serius banget. Aku kira kamu udah berhenti investigasi.”
Cindy menoleh. Christian sudah duduk di sampingnya. Ia mengenakan kemeja putih lengan digulung, rambutnya sedikit berantakan tertiup angin. Visualnya kayak cowok K-Drama episode 3.
Cindy bersikap seolah-olah biasa saja. “Saya profesional, Kak. Sekarang kita rekan kerja kelompok. Saya netral.”
Christian menyipitkan mata. “Neutral, ya? Tapi warna highlighter kamu masih warna yang sama waktu kamu nyatat soal aku di binder.”
Cindy: 😶
Christian tersenyum kecil. “Kamu lucu kalau panik.”
Cindy berusaha menjauh, tapi Christian menahan ujung binder-nya.
> “Tenang. Aku juga berusaha jaga jarak kok. Tapi kamu selalu ada di mana-mana. Jadi gimana?”
> “Saya... nggak sengaja, Kak.”
> “Aku juga.”
Keduanya diam sebentar. Canggung, tapi anehnya hangat.
---
Kembali ke Kamar Kos
Popi langsung menyerbu Cindy begitu ia pulang.
> “Kamu ngobrol berapa menit? Tatapan mata berapa detik? Ada senyum miring? Ada lirikan? AYOK JAWAB!!”
Cindy menghempaskan diri ke kasur.
> “Gagal, Pii . Aku gagal total… dia bahkan nahan binder-ku tadi.”
Popi membeku.
> “Nahan binder? CIN. Itu sama aja kayak dia nahan hati kamu!”
> “Gak,. Itu dia nahan aku supaya gak kabur.”
> “PERSIS. Dia gak mau kamu pergi dari hidupnya!!!”
Cindy hanya menutup wajah pakai bantal.
Entah kenapa, senyum Christian tadi masih terbayang-bayang.