Mata Bumi kini bergeser dari Agni… ke Remi.
Tatapan tajam dan dingin itu menembus lurus ke arah Remi, seperti sedang menilai apakah bocah SMA di hadapannya ini adalah ancaman nyata yang perlu dilenyapkan atau hanya butiran debu yang bisa diabaikan.
Refleks, Remi menegakkan tubuhnya. Ia menunduk sopan, berusaha menghindari tatapan itu.
“Siapa lo?” tanya Bumi, datar tapi menusuk.
“Re-Remi, Mas. Temen sekelasnya Agni,” jawab Remi, suaranya nyaris tercekat.
Bumi menatapnya sekali lagi, dalam dan lama, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke Agni.
“Pulang,” ucapnya pelan, tegas, dan tak bisa dibantah.
Ia berbalik, mulai melangkah.
Agni buru-buru meremas lengan Remi—sentuhan yang membuat Remi kembali tersentak, tapi Agni tak sadar.
“Gue duluan ya, Rem! Makasih udah nungguin. Sampai ketemu besok di kelas, bye!”
Agni buru-buru mengikuti langkah Bumi yang semakin cepat menjauh, hingga akhirnya mereka berdua tidak terlihat lagi di tengah kerumunan.
Sementara Remi masih berdiri mematung di tempat. Sentuhan tangan Agni masih terasa di lengannya. Ia menatap kosong ke arah kerumunan, mencoba memproses sesuatu yang lebih rumit daripada tatapan dingin Bumi—sebuah perasaan baru, yang mulai tumbuh pelan-pelan di dadanya… kepada Agni.
***
Sepanjang perjalanan, Bumi tak mengucap sepatah kata pun. Tidak bertanya, tidak menegur, bahkan tidak melirik. Namun heningnya terasa lebih memekakkan daripada teriakan. Agni tahu dia salah. Tapi bukan berarti dia siap menerima amarah itu. Setiap detik hening di atas motor seperti jarum jam yang menancap ke kulitnya—lambat, tapi menyakitkan.
Motor besar itu akhirnya berbelok masuk ke gang sempit menuju rumah mereka. Sesampainya di depan pagar, Agni turun lebih dulu, membuka pintu pagar. Bumi langsung masuk dengan motornya, sementara Agni mengikuti dari belakang dengan tangan dingin dan jantung berdetak tak beraturan.
Bumi memarkir motornya, turun, lalu melangkah ke arah pintu rumah. Agni berjalan mengikuti.
Namun sebelum Bumi sempat meraih gagang pintu, ia berhenti. Berbalik.
Agni refleks menelan ludah. Sosok laki-laki itu kini berdiri menjulang di depannya.
Perlahan, Bumi melipat tangannya di dada.
“Dengar baik-baik,” ucapnya dingin. “Ini terakhir kalinya lo pulang di atas jam tujuh. Sekali lagi lo keluyuran malam-malam… jangan harap bisa ke mana-mana lagi. Dunia lo cuma akan di rumah dan sekolah. Paham?”
Agni mengepalkan tangannya. Ia menarik napas dalam, seolah sedang mengumpulkan keberanian untuk membalas.
“Keretanya delay. Itu kan bukan salah gue.”
Bumi mengangkat satu alis. Tatapannya menancap ke wajah Agni, membuat keberanian yang tadi sempat tumbuh perlahan menciut.
Lalu, dengan gerakan tenang namun penuh tekanan, Bumi mencondongkan tubuhnya. Mata mereka bertemu. Pandangannya tajam, menusuk lurus ke dalam.
“Gue enggak peduli,” ucapnya pelan namun berat.
Agni menahan napas.
“Gue enggak ngulang perintah dua kali.”
Kata-kata itu jatuh seperti batu besar. Menutup semua pintu kompromi. Mengunci semuanya dengan paksa. Tidak ada jalan keluar.
Bumi menegakkan tubuhnya kembali. Diam sejenak. Seolah memberi waktu agar ucapannya meresap sepenuhnya.
Lalu ia membuka pintu. Masuk. Dan membantingnya tepat di depan wajah Agni.
Agni menghembuskan napas yang sejak tadi ia tahan.
Namun tangannya mengepal lagi. Matanya panas, tapi tak ada yang bisa ia lakukan—selain berdiri di ambang pintu, dengan kemarahan yang harus ia telan sendiri.
***
Keesokan paginya, Agni bersiap pergi ke sekolah dengan hati yang berat.
Bumi tidak terlihat pagi itu.
Kata Mama, Bumi pergi sejak subuh karena ada kasus pembunuhan. Entah kenapa, ada sisi gelap dalam diri Agni yang berharap si pembunuh tidak segera tertangkap—supaya cowok kingkong itu tidak perlu pulang dalam waktu yang lama.
Agni keluar rumah sambil menenteng tas bekalnya. Ayahnya, Arjuna, sudah menunggu di atas motor di depan rumah. Tapi wajahnya pagi ini tampak lebih gelap dari biasanya.
Begitu Agni mendekat, Arjuna bertanya, “Kemarin kamu ke mana?”
Nadanya tenang. Tapi Agni tahu—suara itu menyimpan kekecewaan.
“Agni main sama teman-teman ke daerah Kota,” jawabnya pelan. “Pas pulang, keretanya delay… jadi Agni telat sampai rumah.”
Arjuna tidak menjawab. Hanya diam.
Dan itu lebih menyakitkan daripada marah-marah.
Mendadak mata Agni terasa panas. Tenggorokannya tercekat. Dadanya sesak.
Enggak adil, pikirnya. Emang gue yang mau keretanya terlambat? Emang gue sengaja pulang malam? Kenapa kesannya semua salah gue??
“Papah marah sama Agni?” tanyanya, mencoba menahan getar suaranya.
Arjuna menoleh. Matanya membulat saat melihat wajah Agni.
Bibir Agni bergetar. Air mata menggenang di pelupuknya.
“Eh, kok kamu nangis?” Arjuna panik, buru-buru turun dari motor dan menghampiri.
Tapi semuanya sudah terlambat.
Tangis itu pecah begitu saja.
“Huaaaa... Kenapa kesannya Agni yang salah? Emangnya Agni yang bikin keretanya delay? Agni juga udah usaha buat cepet pulang!”
Ia menutup wajahnya, menahan tangis yang tumpah ruah. Arjuna langsung memeluknya dan menepuk-nepuk kepala anaknya itu dengan lembut.
“Papah bukan marah, Agni… Papah sama Mama cuma khawatir. Soalnya sekarang banyak kejadian kejahatan. Papah enggak mau kamu kenapa-kenapa, itu aja…”
Agni masih terisak. Beberapa tetangga yang lewat sempat melirik penasaran, tapi buru-buru berpaling ketika tatapan Agni menyapu mereka dengan tajam.
“Bener kan Papah enggak marah?” tanyanya di sela tangis yang mulai mereda.
Arjuna mengusap matanya, tersenyum kecil sambil menggeleng.
“Enggak… Udah yuk, kita berangkat.”
Agni mengangguk pelan. Ia mengusap sisa air mata di pipinya, lalu naik ke jok motor di belakang Arjuna.
Sebelum motor dinyalakan, Agni meremas lengan ayahnya.
“Apa?” tanya Arjuna sambil melirik ke belakang.
“Beliin Agni es krim,” ujarnya lirih.
Arjuna tertawa kecil. “Sempet-sempetnya minta jajan.”
Ia menggeleng pelan dan akhirnya memutar kunci. Motor melaju pelan meninggalkan gang kecil itu, bersama sisa isak yang belum sepenuhnya reda—dan secuil harapan akan es krim manis di ujung hari yang masih panjang.
***
Agni melangkah masuk ke kelas sambil menjilati es krim cokelat di tangannya yang sudah hampir habis. Matanya masih sedikit merah, tapi setidaknya perasaannya lebih baik dibanding semalam.
“Sampai rumah jam berapa lo kemarin?” tanya Kinsha begitu Agni duduk di sebelahnya.
“Jam delapan kurang,” jawab Agni singkat.
“Lo… dimarahin?”
Agni hanya menghela napas pelan. “Ya, gitu deh.”
Kinsha mengerutkan kening, tapi akhirnya tidak bertanya lebih lanjut.
Agni menoleh ke belakang. Kursi Remi kosong.
“Si Remi ke mana?” tanyanya.
“Enggak masuk. Sakit katanya,” jawab Aliya tanpa mengangkat kepala dari buku catatannya.
Agni mengernyit. “Sakit apaan?”
“Masuk angin kayaknya.” Aliya mengangkat bahu.
Kinsha terkekeh. “Ringkih banget dah tuh orang. Kena angin malam dikit langsung tumbang.”
“Kemarin dia bilang mau ke rumah saudaranya. Dia turun bareng gue di Klender,” kata Agni.
Aliya berhenti menulis dan menatapnya. “Ke rumah saudaranya? Semalam gue nelepon dia nanya PR. Jam sembilan dia bilang udah di rumah.”
“Lagian gue enggak yakin dia punya saudara di Jakarta. Keluarga besarnya kan di Medan semua,” tambahnya. Aliya memang cukup tahu banyak soal Remi—mereka sudah kenal sejak SMP.
Agni diam. Dahinya mengernyit.
Jadi kemarin dia bohong?
“Kenapa?” tanya Kinsha, melihat ekspresinya.
“Enggak apa-apa.” Agni buru-buru menepis pikirannya, lalu menghabiskan sisa es krimnya dalam sekali lahap. Ia menarik bukunya dari dalam tas.
“Ngomong-ngomong, kapan lo mulai nyoba bikin macaronnya?” tanya Kinsha lagi.
“Paling nanti abis pulang sekolah. Kenapa?”
Kinsha mengeluarkan ponselnya dan menyodorkannya pada Agni. Aliya ikut mencodongkan tubuhnya, penasaran.
“Yang ikut kompetisi udah pada mulai ngepost macaron mereka,” kata Kinsha.
Di layar, terpampang berbagai postingan cantik dengan tagar kompetisi Macaron Challenge dari Chef Meghan. Semua terlihat estetik, kreatif, dan nyaris profesional.
Mental Agni langsung ciut. Postingan mereka bagus-bagus banget. Ia mulai meragukan tema summer yang ia pilih—apa cukup menonjol? Tapi kalau ganti tema sekarang, dia harus beli bahan baru lagi. Sayang banget, pikirnya.
“Ngomong-ngomong, kata lo kakak lo suka ngambil makanan?” tanya Aliya, memecah lamunannya.
Agni mendengus. “Iya, si Anak Babi.”
“Lo simpen bahan-bahan kuenya di mana? Dia enggak bakal makan bahan kue lo, kan?”
Agni menelan ludah. Pikirannya langsung terlempar pada isi kulkas di rumah…
***
Rumah Agni memiliki empat kamar tidur: satu kamar utama untuk orang tua mereka, lalu kamar Agni, kamar Bumi, dan kamar Sagara. Awalnya Bumi berbagi kamar dengan Dirga, tapi karena kebiasaan Dirga yang jorok dan tak tahu diri, Bumi menolak berbagi ruang lagi dengannya. Setelah itu ia berbagi kamar dengan Sagara, tapi Sagara juga menolaknya dengan alasan yang sama.
Akhirnya, Dirga terusir ke ruangan kecil di ujung koridor, tepat di depan tangga menuju rooftop lantai dua. Ruangan itu awalnya gudang, tapi perlahan bertransformasi menjadi kamar dadakan. Meskipun kecil, sumpek, dan nyaris tanpa ventilasi, Dirga tampak betah-betah saja tinggal di sana.
Kamarnya nyaris kosong—hanya ada kasur single tipis yang dibentangkan langsung di lantai, sebuah komputer dengan headset yang menggantung di atas meja lesehan, lemari pakaian kecil, dan satu rak penuh komik. Di sudut ruangan, mangkuk-mangkuk bekas mi instan mulai menumpuk, beberapa bahkan sudah dikerubungi lalat. Tempat sampah di pojok kamar meluap dengan bungkus makanan dan minuman, menebar bau tak sedap yang entah bagaimana tak mengganggu Dirga sama sekali.
Siang itu, Dirga duduk di depan layar komputer dengan ekspresi antusias. Headset melingkar di kepalanya, jari-jarinya lincah menari di atas keyboard. Suara permainan membahana dari speaker.
“YES!” serunya, mengangkat tangan ke udara dengan kemenangan.
Namun euforia itu tak bertahan lama. Perutnya kembali keroncongan.
“Baru juga makan mi tadi,” gumamnya sambil melepas headset. Ia bangkit dari duduknya dan menyeret tubuh gempalnya ke luar kamar, berjalan ke arah dapur dengan langkah malas.
Setibanya di dapur, Dirga membuka kulkas dan menunduk, melongok isi dalamnya. Matanya menyapu rak satu per satu—hanya ada sisa biskuit, beberapa potong semangka, dan sebungkus keripik.
“Hmm, bosen,” desisnya.
Lalu matanya tertumbuk pada sebuah toples bening berisi selai buah. Ia mengangkatnya dan membaca labelnya pelan.
“Selai nanas… selai mangga… lumayan.”
Di meja, ia melihat sisa roti tawar. Dengan semangat baru, Dirga mengambil sebuah nampan, menaruh roti dan kedua selai di atasnya. Saat membuka freezer, matanya berbinar menemukan cokelat batang terselip di antara es batu. Tanpa pikir panjang, ia mengambilnya dan menaruhnya di atas nampan juga.
Sambil bersenandung kecil, Dirga kembali melenggang ke kamarnya—ke gudang kecil yang kini sudah resmi menjadi kandangnya.
***
Agni mempercepat langkahnya saat perjalanan pulang. Begitu menginjak lantai teras, pandangannya langsung tertumbuk pada tiga pasang sepatu asing yang berjejer rapi di rak.
Ada tamu? pikirnya sekilas.
Namun pikirannya segera teralihkan. Sejak di sekolah tadi, otaknya dipenuhi kecemasan soal bahan-bahan kue yang ia simpan di kulkas. Ia sudah mengirim pesan ancaman ke Dirga agar tidak menyentuh apapun di dalam kulkas. Tapi status pesannya masih unread. Ditelepon pun tak diangkat.
Si babi itu pasti lagi asyik main game di kandangnya, geram Agni dalam hati.
Begitu pintu rumah terbuka, Agni langsung melempar tasnya ke sofa dan bergegas menuju kulkas.
Ia membuka pintunya.
Matanya langsung membelalak.
Selai buahnya… hilang.
Dengan panik ia membuka pintu freezer.
Cokelat batang premiumnya… ikut lenyap.
Tangan Agni mengepal. Dadanya terasa panas, meletup seperti gunung yang siap meledak.
"Anjing," desisnya, nyaris seperti geraman.
Ia berbalik cepat dan melangkah lebar-lebar ke arah gudang Dirga. Tanpa mengetuk, pintu itu dibanting terbuka hingga menjeblak ke dinding.
Dirga menoleh dari depan komputer dengan wajah polos. Di tangannya, sebuah toples selai mangga sudah hampir kosong, dan tangan satunya sibuk memegang sendok yang diemut.
Di atas meja, bungkusan cokelat batang berserakan. Beberapa remahnya bahkan jatuh ke lantai.
Mata Agni bergetar. Tangan yang terkepal makin keras, tubuhnya gemetar menahan amarah.
“Kenapa?” tanya Dirga polos, seakan tak paham dosa besar apa yang baru ia lakukan.
Agni menarik napas tajam. “ANAK BABI!!!”
Ia menerjang. Kakinya melayang dan menghantam bahu Dirga hingga cowok itu jatuh tersungkur ke lantai.
“Apa-apaan nih?! Salah gue apa?!” seru Dirga sambil meringis kesakitan.
Agni sudah tak bisa ditahan. Ia mendekat dan mulai menghujani Dirga dengan pukulan bertubi-tubi dan membabi buta.
“Dasar anak babi!!! Berani-beraninya lo makan bahan kue gue!! ARRGHH!!”
Dirga mengangkat tangan untuk melindungi kepalanya, berusaha merangkak menjauh. Tapi Agni lebih cepat. Dengan tenaga yang entah datang dari mana, ia menyeret Dirga kembali dan terus memukulnya tanpa ampun.
“Sialan! Lo pikir gue beli bahan itu enggak pake duit?! Gue udah bilang, jangan sentuh makanan gue! Anak babi!!!”
“Gue enggak tahu! Mana gue tahu itu punya lo?!”
“Tanya! Gunain mulut lo buat nanya, bukan buat ngunyah mulu! Mau ke mana lo?!”
Dirga akhirnya berhasil meloloskan diri dari cengkeraman Agni. Tapi belum sempat jauh, kakinya tersandung oleh kaki Agni yang menyelip di depan jalurnya. Dirga jatuh terguling.
Agni tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia kembali menghujani tubuh kakaknya dengan pukulan.
“Anjing! Gue enggak mau tahu! Lo ganti bahan kue gue! SEMUA!”
“Gue enggak ada duit!!” teriak Dirga, masih menutupi kepalanya.
“GUE ENGGAK PEDULI!!!”
Namun, mendadak, pandangan Agni menangkap sesuatu.
Di depan gudang Dirga, tepat di bawah tangga menuju rooftop, ada perpustakaan kecil milik Sagara. Tempat itu biasanya jadi ruang tenang bagi Sagara—sekaligus ruang di mana ia sering berkumpul bersama sahabat-sahabatnya.
Dan saat itu, tempat itu ternyata tidak kosong.
Agni baru sadar… karena sedari tadi pikirannya hanya dipenuhi niat membunuh Dirga.
Bukan hanya Sagara yang sekarang ada di sana. Tapi juga para sahabatnya. Termasuk satu orang yang paling tidak ingin Agni lihat saat dirinya sedang dalam mode barbar seperti saat ini.
“Hai, Ni,” sapa suara ramah itu, disertai senyum paling menawan yang pernah Agni lihat di muka bumi.
Tangan Agni yang masih menggantung di udara membeku.
Sial…
Kak Zain.