Sagara—kakaknya Agni—punya tiga sahabat baik sejak SMA. Agni bahkan masih ingat pertama kali melihat mereka main ke rumah—mungkin saat itu usianya baru tiga atau empat tahun.
Ada Shelby, si jenius sombong yang sekarang jadi dosen di kampus teknologi ternama.
Ada Jani, atlet karate terkenal yang sering wara-wiri di TV, dan sekarang pacaran dengan Sagara.
Dan terakhir… Zain.
Kalau ada kontes cowok paling sempurna di muka bumi, menurut Agni, Zain pasti jadi juara mutlak.
Wajahnya setampan pangeran dari Timur Tengah, posturnya tinggi, bahunya lebar, rambutnya stylish, dan senyumnya… senyum yang membuat Agni merasa bisa minum kopi hitam tanpa gula.
Orangnya santai, lucu, pintar… dan kaya raya.
Dan bukan sekadar kaya. Tapi super-ultra-mega kaya.
Zain adalah pewaris grup konglomerat Al Hakim—sebuah dinasti bisnis raksasa yang sudah berdiri selama beberapa generasi.
Kata Sagara, ibunya Zain—Zulaika Al Hakim—adalah CEO Al Hakim Pharma, perusahaan farmasi yang skalanya sudah Asia Tenggara. Kalau ibunya pensiun, maka tahta itu akan jatuh ke tangan Zain.
Ya, tahta.
Karena menurut Sagara, hidup Zain memang seperti keluarga kerajaan—bedanya mereka tidak berkuasa pakai mahkota, tapi pakai saham dan koneksi sosial.
Agni masih ingat cerita Sagara waktu dia dan sahabat-sahabatnya itu liburan ke luar kota. Saat hendak pulang, Sagara yang merupakan seorang dokter forensik muda, mendadak harus menangani kasus pembunuhan di penginapan. Tiket pesawat mereka hangus.
Zain cukup melakukan satu panggilan dan memberi perintah,“Siapin jet.”
Beberapa jam kemudian, private jet Al Hakim sudah parkir manis di bandara.
Semua itu… hanya karena dia malas pesan tiket baru dan terlalu lelah menunggu jadwal terbang.
Agni tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya hidup seperti itu. Kadang dia berpikir, pasti enak yang jadi istrinya Zain. Tidak perlu lagi pusing mikirin bayar token listrik dan kuota Wifi.
Setelah tadi menyadari bahwa Zain dan sahabat-sahabat Sagara yang lain melihatnya saat sedang memukuli dan memaki Dirga dengan sumpah serapah, Agni langsung kabur ke kamar tanpa berkata sepatah kata pun. Wajahnya merah padam. Ia mengunci pintu rapat-rapat.
Malu.
Agni merutuki dirinya sendiri.
Kenapa sih harus ada dia segala? pikirnya frustrasi. Ia menghempaskan tubuh ke tempat tidur, menyembunyikan wajahnya di bawah bantal sambil memukuli kasur dengan gemas.
Menit demi menit berlalu.
Agni masih berdiam diri di kamar. Ia belum sanggup keluar dan menatap wajah Zain. Tapi masalah baru muncul—perutnya mulai keroncongan. Sudah pukul setengah empat sore, dan ia belum makan apa pun sejak siang.
Dari dalam kamar, ia masih bisa mendengar suara tawa Jani di ruang makan. Riuh dan lepas.
“Kapan sih mereka pulang…” gumam Agni lirih, sambil mengelus perutnya yang dari tadi seperti mengadakan konser orkestra.
Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu.
Agni terlonjak kecil di atas tempat tidur.
“Agni.”
Itu suara Sagara.
Ia bangkit, berjalan pelan ke arah pintu, dan membukanya sedikit. Sagara berdiri di sana.
“Lo udah makan belum?” tanyanya.
Agni menggeleng pelan, masih menunduk.
“Makan, yuk. Zain sama Jani pesen makanan banyak,” ajak Sagara, nada suaranya tenang.
Aroma ayam goreng langsung menyergap hidung Agni, membuat perutnya makin berteriak. Tapi ia menahan diri.
“Gue... ganti baju dulu deh,” katanya cepat.
Sagara mengangguk. “Oke. Gue tunggu di luar.”
Ia berbalik dan pergi.
Agni menutup pintu perlahan. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya pelan.
Tenang... tenang... tenang... bisiknya pada diri sendiri, sambil membuka lemari dan mengganti seragam sekolahnya yang sudah bau matahari.
***
Beberapa menit kemudian, Agni ikut duduk di meja makan. Makanan cepat saji berjejer di atas meja—ayam goreng, kentang, burger, nasi.
Mata Agni melebar, ia menelan ludah. Ini sih bukan makan-makan, ini pesta, pikirnya ketika melihat banyaknya makanan yang memenuhi meja makan di depannya.
Dirga—si anak babi—ikut bergabung, duduk dengan rambut acak-acakan, bekas selai mangga dan cakaran di pipinya.
Sagara melirik sekilas. “Tadi kenapa?” tanyanya pada Agni.
Agni menunjuk Dirga tanpa ragu dan penuh kebencian. “Si Dirga—dia ngabisin bahan-bahan buat kue gue.”
Sagara hanya mendelik ke arah Dirga yang sedang mengunyah burgernya dan hanya nyengir kecil dengan mulut penuh ketika mendengar namanya disebut. Sagara menggeleng pelan, seperti guru yang lelah memberi peringatan pada murid paling bandel.
Zain menoleh ke Agni. “Oh iya, kamu suka bikin kue ya, Ni? Enak. Waktu itu Kak Zain pernah cobain.”
Agni tersipu. “I-iya… Makasih, Kak…”
“Sekarang mau bikin apa?”
“Macaron… Buat ikut Macaron Challenge-nya Chef Meghan.”
Zain mengangkat alis. “Meghan?”
Agni mengangguk pelan.
Zain mengangguk santai, “Ohh dia…”
Jani—pacarnya Sagara—menyipit. “Lo kenal?”
“Dia mantan gue,” jawab Zain sambil mengambil sepotong ayam.
Agni membelalak. “Hah??”
Jani juga terkejut. “Kapan pacarannya?”
Zain mengangkat bahu. “Gue lupa. Cuma beberapa bulan. Pacaran casual aja. Sekarang kita temenan.”
Shelby mendengus.
Zain melirik. “Kenapa lo?”
“Pacaran casual…” gumam Shelby sinis.
Zain memutar mata. “Ya udah, Ni. Kamu mau ketemu Meghan? Nanti Kak Zain kenalin.”
Namun Agni langsung berkata, “Enggak.”
Semua menoleh padanya.
Agni menarik napas. “Aku mau ketemu Chef Meghan karena usaha sendiri. Bukan karena lewat jalur belakang.”
Zain memandang Agni sejenak—lalu tersenyum.
“Ya udah. Kalau gitu Kak Zain investasi aja ke kamu.”
Agni mengerutkan kening. “Maksudnya?”
“Nanti Kak Zain kasih dana buat beli bahan kue ikut challenge itu.”
Mata Agni membulat, “Serius, Kak?”
Zain menyandarkan tubuh ke kursi, santai. “Kamu promosiin, produksi, jualin. Balikin modal dan bagi untung. Win-win.”
Tangannya menjentik ringan ke udara, seolah semua itu hal biasa baginya.
Tiba-tiba Shelby menyela tajam. “Kenapa lo enggak sebaik itu waktu gue minta lo investasi buat riset gue?”
Zain menoleh, datar. “Karena riset lo enggak ada gunanya buat gue.”
Shelby mendelik. “Ngomong apa lo? Riset gue udah publish jurnal Q1 Scopus [1]!”
Zain mengunyah tenang. “Q1 [2] apaan? Gue cuma tahu Q1 kemarin revenue grup perusahaan gue udah tembus 200T.”
Shelby menghela napas keras. “Kapitalis norak.”
“Akademisi songong,” balas Zain tanpa dosa.
Jani memutar mata. “Lo berdua sama-sama annoying.”
Sagara hanya menggeleng pelan dan tertawa kecil melihat kelakuan teman-temannya.
Sementara itu, Agni masih duduk terdiam di kursinya. Wajahnya kosong—seperti belum bisa memproses apa yang baru saja terjadi.
Dia dapat dana investasi. Dari Kak Zain.
Rasanya seperti baru saja diangkat jadi Putri Wakanda.
Perlahan, senyumnya melebar. Ia meraih potongan ayam goreng dengan semangat baru, seperti sedang menyantap kemenangan.
[1] Q1 dalam konteks Scopus adalah klasifikasi jurnal ilmiah internasional bereputasi berdasarkan kualitas dan pengaruhnya. Q1 (Quartile 1) adalah peringkat tertinggi, menunjukkan jurnal tersebut termasuk 25% terbaik di bidangnya dalam database Scopus.
[2] Q1 dalam konteks ini adalah Kuartal Pertama
***
Setelah selesai makan, Zain, Shelby, Jani, dan Sagara kini santai duduk di sofa sambil menikmati kopi mereka. Sementara Agni duduk di meja makan, memperhatikan mereka sambil menyeruput teh boba yang dibelikan Jani.
Zain yang masih mengunyah sisa kentang goreng tadi menoleh ke Agni, “Satu juta cukup, Ni?” tanyanya ringan.
Mata Agni membulat. “Sa-satu juta??” ulangnya tergagap.
Itu jumlah yang biasanya baru ia dapat setelah menjual puluhan loyang kue, dihitung-hitung sampai mengirit gas dan plastik kemasan. Sekarang ditawarkan seperti menawarkan pisang goreng.
Agni mengangguk pelan. “Kayaknya itu… lebih dari cukup, Kak.”
Zain menepuk-nepuk kantong celananya. “Tapi bentar ya… Kak Zain enggak bawa cash.”
Ia duduk lebih tegak, menekan beberapa angka di ponselnya.
“Dani, ke rumah Sagara sekarang. Bawain gue duit cash.”
Lalu… ia meletakkan ponsel dan melanjutkan debat ringan dengan Shelby dan Jani, seolah tak terjadi apa-apa.
Beberapa menit kemudian, terdengar ketukan di pintu depan.
Agni berdiri buru-buru dan membukanya.
Seorang pria bersetelan hitam rapi, lengkap dengan earpiece di telinga, berdiri dengan tubuh tegap.
“Permisi, Mas Zainnya ada?” tanyanya sopan.
Agni masih ternganga saat menunjuk ke arah dalam. “Di sana…”
Dani melangkah masuk. Dengan langkah tenang, ia menghampiri Zain dan menyodorkan sebuah dompet kulit hitam.
Zain menoleh sekilas, membuka dompet, lalu menyelipkan jarinya dan menarik sepuluh lembar uang merah—segar dan tebal.
Agni berdiri tak jauh darinya. Sekilas, matanya menangkap sisa tumpukan uang di dalam dompet itu.
Mulutnya sedikit terbuka.
Gilaa... Itu lebih banyak dari uang jajan setahun.
Zain menyerahkan kembali dompet ke Dani, lalu melambai ke arah Agni. Pria bernama Dani itu menunduk sekilas, mundur dan berdiri siaga dekat tembok.
“Sini, Ni.”
Agni mendekat pelan.
Zain menyodorkan lembaran itu, tidak pakai amplop, tidak pakai formalitas.
“Satu juta, balikin dalam tiga bulan, plus 15%. Itu murah. Kalau investor lain bisa minta sampai 30%,” kata Zain sambil terkekeh pelan.
Agni masih memandangi lembaran uang merah di depan matanya itu.
“Bisa?” tanya Zain.
Agni mengangguk pelan. Ia mengulurkan tangan akan mengambil uang itu, tapi tiba-tiba Zain menariknya lagi.
Senyumnya mendadak menghilang. Matanya kini menatap lurus ke mata Agni—tenang tapi membuat kulit merinding.
“Kalau kamu enggak bisa balikin, kamu hutang ya sama Kak Zain.”
Agni menelan ludah. Sadar bahwa jika ia setuju, maka tidak ada lagi jalan kembali. Tapi akhirnya ia berkata, “I-iya Kak.”
Zain diam sejenak, lalu senyum pangerannya itu muncul lagi.
“Okee… semoga sukses.”
Zain mengulurkan lagi uangnya yang diterima Agni dengan tangan sedikit gemetar.
“Makasih… Kak Zain.”
Zain hanya mengangguk singkat.
Lalu ia kembali merebut sisa kentang goreng dari tangan Shelby, membuat si profesor itu kesal lagi.
***
Sahabat-sahabat Sagara akhirnya berpamitan ketika jarum jam menunjuk pukul tujuh malam. Indira dan Arjuna yang baru pulang beberapa saat sebelumnya sempat menawarkan untuk membelikan sate ayam dan tongseng kambing—sebagai jamuan untuk para tamu yang sejak dulu sudah dianggap seperti anak sendiri. Terutama Jani, yang kini diam-diam telah menjadi calon menantu mereka, meski hubungan itu belum diumumkan secara terbuka ke publik.
Namun tawaran itu buru-buru ditolak dengan sopan. Perut mereka bertiga sudah tak sanggup menampung makanan lagi.
Sagara mengantar mereka berjalan hingga ke ujung gang, tempat mobil Zain dan Jani terparkir. Dari balik jendela, Agni mengintip pemandangan itu.
Sagara merangkul pinggang Jani dengan santai saat melangkah keluar pagar, sementara di depan mereka, Zain dan Shelby kembali terlibat dalam adu argumen kecil seperti biasa. Saat Sagara mencondongkan tubuh dan mengecup pipi Jani dengan singkat, pipi Agni langsung ikut bersemu. Ia buru-buru menyingkir dari jendela sambil menggeleng-geleng.
Setahu Agni, Sagara dan Jani sudah bersahabat sejak SMA. Tapi baru dua tahun belakangan ini mereka benar-benar bersama—entah apa yang terjadi saat liburan mereka waktu itu, yang jelas mereka pulang sebagai pasangan.
Gimana rasanya pacaran sama temen sendiri, ya? pikir Agni.
Ia mengangkat bahu, lalu berbalik meninggalkan jendela. Begitu masuk ke kamar, Agni langsung mengunci pintu dan menuju tempat tidurnya. Ia mengeluarkan sesuatu dari kantong celana—lembaran-lembaran uang yang tadi diberikan Zain.
Satu per satu, ia jejerkan uang itu di atas kasur. Matanya menatap lekat-lekat.
Ini bukan cuma soal uang.
Agni tahu, jumlah sebanyak ini tidak ada artinya bagi orang seperti Zain. Tapi buatnya, ini lebih dari sekadar pinjaman. Ini soal kepercayaan. Dan ia harus membuktikan bahwa kepercayaan itu tidak salah diberikan.
Ia mengepalkan tangan, menggertakkan gigi, dan matanya menyala penuh tekad.
Dengan hati-hati, ia merapikan lembaran-lembaran itu, lalu memindahkannya ke dalam dompet kecil—terpisah dari uang jajannya.
Setelah itu, ia duduk di meja belajar. Tangannya meraih pulpen, dan dengan napas yang berat tapi mantap, ia mulai menulis rencana penjualan.