Agni sibuk memilih-milih bahan di lorong penuh warna itu. Ia mengeluarkan ponselnya dan mengecek daftar belanjaan yang sudah ia susun rapi sebelumnya.
“Jadi lo mau bikin pakai tema apa?” tanya Kinsha, ikut melihat-lihat rak berisi berbagai jenis tepung.
“Tema summer,” jawab Agni dengan seringai kecil di wajahnya.
Aliya mengernyit. “Kata lo kemarin temanya kurang deep?”
Agni menggeleng pelan. “Belakangan ini gue sering nahan-nahan marah. Kayaknya tema summer cocok buat gambarin emosi gue yang lagi pengin banget meledak.”
“Dalem banget. Jadi lo milih tema itu karena lo lagi pengin marah-marah?” sahut Aliya dengan nada sarkastik.
Tawa kecil terdengar dari ketiganya.
“Mana si Remi?” tanya Kinsha kemudian. Ia menoleh ke kiri dan kanan, mencari sosok cowok itu.
Aliya menunjuk ke arah rak toples-toples selai. “Tuh dia.”
Remi berdiri mematung di depan deretan selai, pandangannya kosong menatap satu toples seolah sedang merenungi hidup. Mereka bertiga bertukar pandang.
“Kenapa tuh orang?” gumam Kinsha.
Aliya mengerutkan kening. “Katanya mau bikin konten, tapi malah diem aja…”
Agni tidak terlalu memperhatikan. Mungkin Remi juga masih terpesona dengan tempat ini—toko bahan kue baru dengan desain estetik dan aroma manis yang menggoda.
Ia mulai mengambil bahan-bahan yang dibutuhkannya. Tulisan besar DISCOUNT UP TO 50% yang terpajang di rak di hadapannya membuat senyumnya melebar.
Tanpa ragu, ia memasukkan tepung almond 250 gram, whipping cream, selai mangga, dan kotak kemasan macaron ke dalam keranjang. Di kepalanya, semua itu tak akan lebih dari 250 ribu rupiah.
“Paling tepung almond ini cuma empat puluh ribu setelah diskon, terus pewarna makanan diskon 50%, jadi dua puluh ribuan lah,” gumamnya penuh percaya diri.
Kinsha dan Aliya ikut membeli beberapa bahan tambahan seperti selai buah, cokelat, dan kacang untuk isian roti di rumah mereka. Setelah puas berkeliling dan melihat-lihat barang unik, mereka bertiga berjalan ke kasir. Remi mengikuti di belakang, masih diam seperti sedang membawa beban pikiran.
Agni menjadi yang pertama sampai. Ia mulai mengeluarkan satu per satu isi keranjangnya ke atas meja kasir.
“Selamat datang di Bake & Glow,” sapa kasir perempuan dengan ramah. Seragam pink pastel dengan apron putih membuatnya terlihat manis dan rapi.
Barang-barang mulai dipindai satu per satu.
Agni mengawasi angka di layar kasir yang terus bertambah—dan jantungnya tiba-tiba berdegup tak karuan.
“Kak… tepung almondnya bukannya diskon jadi empat puluh ribu? Kan diskon 50%?” tanyanya cepat, nyaris panik.
“Oh, yang diskon 50% itu khusus kemasan 1 kilo ya, Kak,” jawab sang kasir sambil tersenyum sopan.
“Total semuanya setelah diskon jadi Rp309.750,” lanjut kasir itu, mulai menyusun barang-barang ke dalam kantong kertas.
Agni baru menyadari sesuatu. Diskonnya UP TO 50%. Jadi tidak semua barang diskonnya 50%. Beberapa barang yang Agni kira diskonnya 50% ternyata diskonnya hanya 5-10%.
Kenapa gue bodoh banget sih? Pikirnya frustrasi.
Agni menelan ludah. Ia membuka dompetnya. Uangnya... hanya dua ratus lima puluh ribu.
Dengan gugup, ia mulai memilah barang-barang.
“Kenapa, Ni?” tanya Aliya yang melihat gelagatnya.
Agni menggigit bibir bawahnya. Wajahnya memerah karena malu. “Duit gue kurang…”
Ia memisahkan satu toples selai nanas, cokelat batang, dan kotak kemasan macaron. “Yang ini bisa di-cancel aja nggak, Kak?”
“Loh, masa lo cuma pakai selai mangga? Terus cokelatnya buat ganache kan?” tanya Kinsha heran.
Agni menggeleng pelan. “Nggak apa-apa. Pakai selai mangga aja juga cukup. Enggak pakai ganache juga enggak masalah.”
Kinsha dan Aliya bertukar pandang sejenak, lalu tersenyum kecil.
“Udah, sisanya kita aja yang bayarin,” ujar Kinsha. “Tadi berapa totalnya, Kak?”
“Rp309.750,” ulang kasir itu.
Mata Agni membulat. “Eh, enggak usah! Serius, gue—”
Aliya melambaikan tangan. “Udah, santai aja. Kapan lagi bisa beli bahan premium pas diskon gini?”
Ia menyerahkan uang pada Kinsha, lalu menoleh ke Remi. “Oi, Rem, lo ikut patungan juga, kan? Dari tadi diem aja.”
Remi tersentak kecil, lalu buru-buru merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan beberapa lembar uang yang langsung disambar oleh Kinsha.
Setelah semua terbayar, Agni hanya bisa berdiri terpaku. Ia menunduk, matanya berkaca-kaca.
“Makasih ya, guys… Nanti gue ganti,” ucapnya dengan suara serak.
Kinsha dan Aliya terkekeh.
“Santai, Ni. Lagian lo sering ngasih kita brownies gratis. Anggap aja ini bayarannya,” kata Kinsha sambil menepuk bahu Agni pelan.
Rasa hangat memenuhi dada Agni, membuatnya tanpa sadar tersenyum kecil.
Di tengah toko yang dingin dan wangi vanilla, ia merasa dikelilingi cinta yang tak bisa dibeli dengan diskon berapa pun.
***
Setelah belanja, mereka duduk-duduk di lantai 2 Bake&Glow. Agni awalnya tidak ingin membeli apa-apa. Uangnya sudah habis, hanya tersisa untuk ongkos pulang. Namun Remi, sahabat influencer mereka yang dermawan dengan murah hati menjadi sponsor untuk Agni hari itu.
Mereka mengobrol santai, bercanda, berfoto, dan mem-posting hasilnya ke Instagram, tanpa sadar waktu berlalu begitu cepat. Saat jam tangan Agni menunjukkan pukul setengah enam sore, matanya langsung membulat.
“Udah jam segini. Ayo pulang!” serunya panik, buru-buru menyambar ransel dan membenahi tas belanjaannya.
“Buru-buru amat?” tanya Kinsha heran.
“Kalau jam tujuh malam gue belum sampai rumah… gue bisa mati,” gumam Agni ngeri.
Bayangan Bumi dengan otot besar dan mata tajam seperti elang terlintas di kepalanya, membuat bulu kuduknya berdiri.
Mereka pun ikut membereskan belanjaan dan bergegas keluar. Perjalanan menuju stasiun kembali dimulai, kali ini dengan langkah yang lebih tergesa.
Setelah menunggu sekitar lima belas menit di peron, kereta akhirnya tiba. Kereta sore itu padat, penumpang berjejal karena jam pulang kerja. Kinsha dan Aliya turun lebih dulu di stasiun transit, menyisakan Agni dan Remi berdua.
Mereka berdiri berdampingan di tengah keramaian, mencoba menjaga keseimbangan sambil berpegangan pada tiang atau tali gantung. Dari balik jendela kereta, matahari mulai tenggelam, meninggalkan semburat jingga di langit senja.
Saat kereta tiba di Stasiun Manggarai, Agni menoleh ke Remi yang masih berdiri tenang meski pintu kereta sudah terbuka.
“Lo bukannya turun di sini?” tanyanya bingung.
Remi menoleh, lalu menggeleng pelan. “Gue turun bareng lo aja. Mau ke tempat saudara gue dulu.”
Agni mengerutkan kening, tapi tidak bertanya lebih lanjut.
Kereta kembali dipenuhi orang yang masuk dari peron, membuat suasana di dalam makin sesak. Tubuh Agni tergencet dari segala arah. Napasnya terasa berat. Lalu tiba-tiba, sebuah tangan menariknya ke dekat pembatas di sisi pintu.
“Berdiri di sini, Ni,” kata Remi, menariknya ke tempat yang sedikit lebih lapang. Ia berdiri sangat dekat, hanya berjarak beberapa sentimeter. Tangannya menggenggam tali pegangan di atas kepala, sementara wajahnya berpaling ke samping.
Namun Agni bisa melihat pipi Remi memerah, keningnya dipenuhi keringat.
“Lo sakit, Rem? Muka lo merah,” tanyanya pelan, sedikit khawatir.
Remi tersentak kecil. “Hah? Enggak… cuma… panas aja.”
Tiba-tiba, suara pengumuman terdengar dari pengeras suara. Kereta tertahan karena pergantian jalur. Pintu sudah tertutup, tapi kereta belum juga bergerak.
“Ck… sial…” desis Agni, mulai gelisah.
Ia melirik jam tangannya. Panik mulai menjalar dari dada ke seluruh tubuhnya. Kalau kereta tidak segera jalan, ia akan sampai rumah lewat dari jam tujuh.
Jantungnya berdegup kencang. Ia membayangkan apa yang menantinya di rumah—Bumi, berdiri di depan pintu dengan tatapan membunuhnya.
Namun, tanpa ia sadari, bukan hanya jantungnya sendiri yang saat ini berdegup cepat tak beraturan.
Remi menarik napas dalam-dalam, menatap ke luar jendela, lalu meletakkan satu tangan di atas dadanya—seolah mencoba menenangkan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.
***
Indira duduk di meja makan, matanya berkali-kali melirik ke arah jam dinding. Jarum panjang sudah melewati angka dua belas—pukul tujuh malam. Namun, anak perempuan satu-satunya belum juga pulang.
Tadi sore Agni sempat mengirim pesan, memberitahu bahwa ia pergi bersama teman-temannya ke daerah Kota. Tapi itu pesan terakhirnya. Setelah itu, tak ada balasan apa pun lagi.
“Agni nggak aktif HP-nya... kemana sih anak itu,” gumamnya sambil berkali-kali mencoba menelepon tapi tak tersambung.
Di ruang tengah, Dirga tampak duduk santai di sofa, menikmati cemilan sambil menonton acara stand-up comedy di televisi. Sesekali ia tertawa terbahak, seolah tak terganggu sedikit pun dengan fakta bahwa adiknya belum pulang.
Di sebelahnya, Bumi duduk dengan kaki naik ke atas meja kopi. Wajahnya datar, mata tertuju pada layar ponsel.
“Dirga, Papah ke mana?” tanya Indira, melirik ke arah anak laki-lakinya itu.
Dirga mengangkat bahu tanpa menoleh. “Enggak tahu. Tapi kayaknya ikut rapat ronda di rumah Pak RT.”
Indira mendecak pelan, lalu mengeluarkan ponselnya. Ia bermaksud menelepon suaminya, meminta pulang dan mencari Agni.
Sementara itu, Bumi terlihat sibuk. Matanya fokus pada story Instagram yang tadi sore diposting Agni—video singkat bersama teman-temannya di sebuah tempat bernama Bake&Glow. Ia membuka akun bisnis toko itu, menelusuri halaman profilnya, lalu mengetuk alamat dan peta lokasi.
Otaknya bekerja cepat. Ia memetakan rute, mempertimbangkan mode transportasi yang mungkin digunakan Agni.
Anak itu terlalu hemat. Udah pasti dia pilih yang paling murah.
Bumi membuka situs jadwal KRL, menelusuri rute dan jam keberangkatan. Matanya menyipit saat menemukan stasiun yang paling dekat dengan rumah.
Begitu informasi terkumpul, ia menyimpan ponsel ke saku celana, bangkit berdiri, lalu berjalan menuju gantungan di dekat pintu untuk mengambil jaketnya.
Indira menoleh. “Kamu mau ke mana?”
“Jemput Agni,” jawab Bumi singkat sambil mengambil kunci motor.
“Kamu tahu dia di mana?” tanyanya lagi, dahi mengernyit.
Bumi hanya melirik dengan wajah datar, tidak menjawab. Tapi langkahnya mantap saat mendorong pintu dan melangkah keluar rumah.
***
Pukul 19.40.
Stasiun Klender malam itu masih cukup ramai. Lalu-lalang para pekerja yang baru pulang kantor memenuhi peron dan pintu keluar. Di tengah keramaian, Agni berdiri sendiri di dekat gerbang. Matanya terpaku pada layar ponsel yang gelap.
Mati.
Ia lupa menge-charge ponselnya saat berada di Bake&Glow tadi siang.
Agni menghela napas panjang, lalu memasukkan ponsel itu ke dalam saku rok abu-abunya yang sudah sedikit kusut. Di sampingnya, Remi masih berdiri, tidak beranjak.
“Lo belum pergi?” tanya Agni heran.
Remi menggeleng pelan. “Lo masih lama?”
“HP gue mati. Kayaknya gue mesti masuk lagi ke dalam, nge-charge dulu, baru pesen ojek online.”
Remi diam sejenak, tampak berpikir.
“Ya udah… gue temenin aja.”
Agni mengangkat alis. “Bukannya lo mau ke rumah saudara lo?”
Remi mengusap tengkuknya dengan canggung. Tatapannya tak berani bertemu dengan tatapan Agni.
“Enggak buru-buru juga sih. Lagian udah malem juga. Kasian lo sendiri.”
Agni menatapnya sejenak. Lalu menyeringai lebar.
“Duhh... baik banget sih temen selebgram gue ini…” katanya sambil iseng menggaruk dagu Remi.
Refleks, Remi tersentak mundur satu langkah. Seolah sentuhan kecil itu mengalirkan listrik seribu volt ke kulitnya.
Agni mengerutkan kening, heran melihat reaksi berlebihan itu. Tapi belum sempat ia bertanya, langkah berat terdengar mendekat dari kejauhan—dan entah kenapa, udara di sekitarnya mendadak terasa lebih dingin.
Bulu kuduknya berdiri. Instingnya langsung menyadari sesuatu yang… berbahaya mendekat.
Agni menoleh.
Seorang pria tinggi tegap melangkah ke arahnya. Jaket kulit hitam membungkus tubuhnya yang kokoh. Tangan terlipat di dada. Wajahnya datar—tanpa ekspresi, tanpa suara—tapi aura yang memancar dari tubuhnya membuat udara seolah menegang, seperti detik-detik sebelum badai datang.
Bumi.
Ketika ia berjalan, kerumunan di depannya secara otomatis membelah. Seolah orang-orang secara instingtif tidak ingin berada di orbitnya terlalu lama.
Ia berhenti beberapa langkah dari tempat Agni berdiri. Tatapannya menusuk tajam, membuat jantung Agni terasa jatuh ke perut.
Kemudian, Bumi menyeringai.
Dingin. Mengerikan.
“Gue udah bilang, kan?” suaranya rendah namun mengandung tekanan. “Kalau lo masih di luar sampai jam tujuh malam... lo gue cari.”
Agni menggenggam tas belanjanya lebih erat.
Mati gue.