Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kacamata Monita
MENU
About Us  

Setelah Aceng memutuskan untuk pecah kongsi, hal yang terlintas di benak Monita adalah minta maaf langsung ke Dirga. Meski Aceng mengatakan Dirga tidak terlalu mempermasalahkannya, dia tidak percaya seratus persen. Manusia mana yang tidak sakit hati setelah dibohongi teman sendiri? Apalagi kebenarannya diungkap oleh orang lain. Pasti ada perasaan kecewa walau hanya secuil.

Sepanjang hari, Monita memikirkan waktu dan tempat yang tepat untuk bertemu empat mata dengan Dirga. Masalahnya, sehabis pelajaran bahasa Inggris, Jhoni mengumumkan di obrolan grup bahwa mereka sudah mendapat izin untuk meliput ekskul Merpati Putih hari Jumat, tepatnya besok. Sepanjang jam istirahat, Risma sebagai ketua kelompok langsung grasah-grusuh mengerahkan pasukannya untuk mempersiapkan segala hal, mulai dari merampungkan pertanyaan wawancara hingga menetapkan sudut pengambilan gambar atau video.

Kesibukan itu menunda rencana minta maaf, sekaligus melahirkan teror baru. Selagi Risma merundingkan apakah etis bertanya pada pembina: "kenapa harus Merpati Putih, kenapa bukan karate?", Monita sibuk membayangkan bagaimana dia akan berhadapan dengan Dirga besok. Apakah harus menghindar? Atau lebih baik pura-pura tidak terjadi apa-apa? Bagaimana kalau Dirga malah bersikap dingin padanya?

Sempat terpikir untuk minta maaf lewat pesan singkat saja. Namun, itu malah akan membuatnya semakin terlihat seperti pecundang.

Hingga tiba waktunya mereka meliput Merpati Putih di lapangan sekolah, Monita belum menemukan cara untuk menuntaskan niatnya.

Anehnya, kekhawatiran itu ternyata tidak tepat sasaran. Selama meliput di lapangan sekolah, hal yang membuat Monita tidak nyaman bukanlah rasa bersalah pada Dirga, melainkan karena mereka sedang meliput Merpati Putih—termasuk Aceng.

"Ternyata anak MP memang serius-serius gitu ya luarannya. Gue pikir Aceng aja," kata Priska saat menyaksikan Merpati Putih sedang latihan pernapasan, tanpa berhenti mengarahkan kipas portabel ke seluruh wajahnya.

"Pasti serius, lah. Nggak mungkin juga main-main pas latihan," sahut Risma yang baru menyelesaikan wawancara singkat dengan pelatih yang juga ternyata alumni Raya Jaya. Tidak sekalipun dia mengalihkan perhatian dari layar ponsel, sibuk menyortir dan menamai berkas rekaman.

"Actually gue sempat merasa Merpati Putih itu rada creepy, apalagi pas lihat video mereka mecahin beton. Tapi, setelah riset lebih dalam, ternyata nggak seram-seram amat. Kesannya kayak ada seninya gitu," tambah Delia.

Risma kembali membalas, kali ini matanya memicing lebih dalam. "Ya jelas lah. Merpati Putih itu kan pencak silat, pencak silat itu termasuk seni bela diri. Dan FYI, mereka nggak pake istilah 'mecahin beton', tapi pematahan."

Sepanjang Delia, Priska, dan Risma lanjut bertukar pendapat soal Merpati Putih, Monita mencoba tetap pasif, menyibukkan diri membaca artikel-artikel yang dicetak Risma, sesekali melirik ke arah tengah lapangan.

Mereka sedang berteduh di koridor kelas yang mengarah langsung ke lapangan sekolah, duduk di salah satu kursi panjang di sisi dalam. Meski sudah lewat pukul tiga, sengatan matahari masih berada di level "beringas". Sepertinya keinginan Jhoni terkabul. Sejak semalam dia rewel soal cuaca dan semacamnya di obrolan grup.

Semoga nggak hujan👍. Dikirim saat Monita makan malam, diikuti gif pawang hujan yang sempat viral di arena balap motor.

Manteman, jangan lupa doain cuacanya bagus besok. Makin rame biasanya makin diijabah🙏. Dikirim lima menit sebelum tengah malam.

Paginya, dia mengirim tangkapan layar ramalan cuaca. Pukul tiga, cerah berawan.

Ramalan itu lumayan benar, hanya awannya saja yang belum kelihatan.

Untung saja, secara teknis, tugas Monita sudah selesai. Di kelompoknya, dia dan Risma bertugas mengumpulkan informasi, baik dari internet maupun wawancara. Kana, Fara, dan Jhoni kebagian mengambil gambar dan video. Sementara Aceng ikut bergabung bersama anggota Merpati Putih lainnya. Karena masuk dalam bagian Merpati Putih, dia dibebastugaskan hari ini.

Agak ke tengah lapangan, Merpati Putih sedang memperagakan serangkaian gerakan. Tidak terlalu kompak, tetapi tetap rapi. Dari semua anggota, hanya Aceng yang dia—dan mereka—kenal, otomatis bukan hanya Monita, topik obrolan Risma dan lainnya juga lebih sering terfokus padanya. Aceng ada di tepi barisan paling depan. Terlihat jelas dari tempat mereka berteduh. Setiap gerakannya tampak pasti, tetapi tidak kaku. Setiap hentakannya tajam dan kukuh.

Menurut artikel yang dicetak Risma, nama Merpati Putih diambil dari falsafah Jawa yang kurang lebih berarti "mencari kebenaran dengan ketenangan". Saat membaca itu, muncul keraguan di benak Monita. Apa mungkin kehadirannya telah mengganggu ketenangan yang selama ini Aceng patuhi? Jika benar, sangat masuk akal jika Aceng ingin berhenti. Monita pun harus mendukung keputusan itu, membiarkan Aceng kembali ke tempatnya semula, menjadi Aceng yang selama ini dia kenal. Meski dia tidak yakin apakah selanjutnya mereka masih bisa saling mengenal.

"Tapi, gue penasaran ...." Tiba-tiba obrolan di sebelahnya berubah serius, membuat Monita refleks menoleh. Priska melanjutkan, "Si Aceng bisa baca pikiran karena Merpati Putih?"

Mendengar itu, Delia melirik heran. "Lo percaya dia bisa baca pikiran?"

Priska mengangkat bahu. "Gue awalnya nggak terlalu percaya. Tapi, anak MP kan bisa mecahin—maksudnya matahin beton, besi, atau apalah ..., ada juga tuh yang bisa nyetir pake mata tertutup. Gue kan jadi ngeri."

"No no no. Itu beda banget. Baca pikiran nggak ada kaitannya dengan tenaga dalam."

Risma menambahkan, "Yang mata tertutup, setahu gue itu ilmu getaran, deh. Iya kan, Mon?"

Gelagat Monita yang sejak tadi menekuni artikel-artikel ternyata dianggap serius oleh Risma. Meski tidak siap diikutsertakan, Monita tetap mengangguk pasrah, membenarkan pernyataan Risma, membuat Delia semakin optimis dengan opininya.

"Kalau memang Aceng bisa baca pikiran, gue rasa maksudnya bukan literally dia bisa baca pikiran kayak di film-film. Palingan dia cuma jago baca situasi."

"Tapi dia nggak ngebantah." Monita spontan menyanggah. Persepsi Delia benar-benar mengusik, membuatnya merasa seperti pasien pengobatan alternatif yang baru saja mendengar kabar bahwa dokter yang selama ini dia percaya ternyata palsu.

"Tapi nggak pernah nge-iya-in juga, kan?" balas Delia.

Monita tidak punya jawaban yang sesuai. Kontradiksi di kepalanya semakin berkecamuk. Jika Aceng tidak bisa baca pikiran, kenapa dia mau membantu? Bagaimana dia bisa tahu kadonya hilang? Dari mana dia mendapatkan petunjuk tentang tanggal dan nomor 49?

"Girls!" Dari arah lapangan, Kana dan Fara tampak mendekat, keduanya sama-sama menenteng kamera digital. Merpati Putih ternyata sudah membubarkan barisan, tetapi tidak benar-benar meninggalkan lapangan. Sebagian ada yang duduk-duduk di tepi lapangan. Sebagian lagi mengerumuni pelatih yang tampaknya sedang mengarahkan sesuatu. Monita kurang mengerti apakah mereka sedang istirahat sejenak, atau memang latihan sudah berakhir.

Anggota kelompok lainnya menyusul di belakang Kana dan Fara. Dirga dan Aceng jalan paling belakang, terlihat sedang membahas sesuatu, yang sepertinya berkaitan dengan Merpati Putih karena Aceng sempat menunjuk sesuatu di lapangan. Sialnya, seolah tahu sedang diperhatikan, Aceng tiba-tiba menoleh ke arahnya. Monita segera menunduk, membolak-balik artikel tanpa tujuan.

Nasibnya terancam. Dia tidak yakin bisa bersikap wajar di hadapan Aceng dan Dirga sekaligus. Dia harus segera menghindar. Izin ke toilet atau ke kantin? Monita menimbang. Namun, itu malah menyita waktu dan menyia-nyiakan kesempatan. Kana dan lainnya tiba lebih dulu sebelum dia bisa mengambil keputusan.

Delia segera beranjak untuk menyambut mereka. "Gimana, Guys? Oke kan?" Pertanyaan itu lebih ditujukan pada Yoga dan Dirga.

Di kelompok Delia, pembagian tugas mereka hampir sama dengan kelompok Monita. Ada yang fokus mengumpulkan informasi, ada yang fokus mengambil foto dan video. Namun, meski begitu, Delia dan Priska sempat membantu merekam suasana lapangan dengan ponsel mereka, sesuai arahan Yoga.

"Aman. Selama ada Yoga, aman." Dirga menanggapi santai dan bersandar pada dinding luar kelas. Dari gerak-geriknya, Monita tidak menemukan kegelisahan. Malah suasana hatinya tampak secerah langit sore ini. Senyuman kecil tak pernah lenyap dari wajahnya saat menanggapi pertanyaan-pertanyaan kecil dari Delia dan Priska. Monita yakin sikap hangat itu tidak dibuat-buat. Sepertinya dia juga harus pura-pura seolah semua baik-baik saja. Namun, pemikiran itu malah makin membuatnya bersalah.

Di sisi lain, Risma beralih dari layar ponsel dan bertanya ragu, "Udah kelar?", dijawab Kana dengan gelengan.

"Malah pertunjukan intinya baru mau mulai," jelas Jhoni yang bersandar pada satu tiang di koridor. "Iya, kan, Ceng?"

Di sebelahnya, Aceng berdecak malas. "'Pertunjukan' .... Memangnya sirkus?" komentarnya.

Aceng masih berseragam Merpati Putih lengkap. Dengan atasan putih dan celana hitam. Sabuk merahnya juga masih terpasang di pinggang. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. Sama seperti Dirga, nada suara Aceng juga terdengar ringan tanpa beban. Monita sedikit mengasihani diri sendiri. Mungkin dia yang terlalu membesar-besarkan masalah, padahal kedua orang yang dicemaskan tidak terlalu ambil pusing. Mungkin benar kata Aceng, semuanya benar-benar telah beres.

"Memangnya bakal ada pertunjukan apa lagi, Ceng?" tanya Risma.

"Demo tanding sama pematahan," jawab Aceng.

"Lo ikutan?" Delia menimpali dengan penuh perhatian.

Sayangnya Aceng memberikan gelengan singat.

"Aceng lagi simpan tenaga buat kejuaraan," kata Jhoni, membuat Delia semakin tertarik.

"Whoa! Lo ikut kejuaraan? Kapan?"

Monita merasa Delia kelewat antusias. Rasanya aneh jika minatnya jadi meluap-luap pada Merpati Putih hanya karena tugas kelompok. Untuk apa pula dia tanya-tanya 'kapan'? Ingin jadi pemandu sorak? Atau responsnya barusan itu memang ... disengaja?

Aceng sendiri sempat beku sejenak, kemudian menjawab singkat, "Baru seleksi."

"Oh, ya? Gimana hasilnya? Lo lolos seleksi, nggak?"

Pertanyaan Delia semakin berapi-api. Monita sangat yakin itu semua hanya fabrikasi. Entak apa tujuannya, dia tidak ingin mendengar lebih lanjut.

"Gue ke kantin dulu, ya. Mau beli minum," katanya pelan, lebih ditujukan pada Kana yang sejak tadi duduk di sebelahnya sambil mengamati hasil tangkapan kamera.

"Mau gue temenin?" tanya Kana.

Monita menggeleng singkat, dan tanpa disangka, bersamaan dengan itu terdengar tawaran mengejutkan, "Gue ikut, deh. Sekalian beli buat yang lain."

Tanpa menoleh pun Monita sudah bisa menebak siapa yang baru saja mengajukan diri. Saat Monita memastikan pendengarannya, Dirga tampak berjalan ke arahnya sambil tersenyum ringan. Bukan hanya dia yang terpaku, Delia dan Priska juga sempat menyipit curiga.

Senjata makan tuan. Ini di luar perkiraan. Monita tidak menduga Dirga punya inisiatif mendekatinya. Tidak mungkin hanya sekadar ingin membeli minum. Monita yakin Dirga pasti ingin membahas masalah kado. Seketika dia tidak bisa mengingat satu pun kalimat minta maaf yang sudah dirangkai semalaman. Semua terlalu tiba-tiba. Namun, akan terdengar ganjil jika dia menolak. Jadi, mau tak mau Monita akhirnya mengikuti Dirga mengarah ke kantin.

"Seru juga ya kerja kelompok gini." Di tengah perjalanan, Dirga sempat berkomentar singkat. Senyumnya sama seperti biasa. Ramah, bahkan kali ini lebih tulus, membuat kecemasan Monita sedikit mereda.

Monita membalas hanya dengan anggukan kecil. Tersenyum sebisanya dan berharap cepat tiba di kantin. Untung saja jarak kantin tidak seberapa jauh, jadi kecanggungan itu tidak terlalu bertahan lama.

Di kantin, hanya satu-dua gerai yang masih buka. Pengunjungnya juga hanya segelintir. Monita dan Dirga menghampiri gerai nasi goreng yang lemari pendinginnya masih menyala. Gerai yang sama saat Monita dan Aceng mengantri nasi goreng minggu lalu. Hanya saja kali ini tidak ada antrian. Dirga membuka lemari pendingin dan mengambil beberapa minuman dalam kemasan, menaruhnya satu per satu ke meja di depan etalase.

"Lo mau minum apa?"

Monita terperangah mendengar pertanyaan wajar Dirga. Yang pertama kali dia lihat adalah minuman yoghurt kesukaannya, tetapi itu malah semakin mengingatkannya pada Aceng.

"Ini aja." Monita mengambil sebotol air mineral.

Dirga mengangguk dan menambahkannya ke meja, lalu membayar. Saat akan kembali ke lapangan, Monita memaksa diri untuk berpikir logis. Bisa jadi Dirga memang ingin membahas soal kado, dan dari yang Monita kenal, Dirga bukan tipe yang blak-blakan, langsung menyerang dengan meminta penjelasan. Sudah pasti dia berhati-hati tidak menyinggung Monita. Jadi, kesimpulannya, semua ada di tangan Monita. Dia yang harus memulai. Jika tidak, dia hanya akan mengecewakan Dirga untuk yang kedua kali.

Setelah mengambil napas panjang untuk memberanikan diri, Monita akhirnya bersuara. "Dir ...."

Dirga memelankan langkahnya dan menoleh, tatapannya penuh dorongan, seolah siap mendengar sesuatu yang selama ini dia nantikan. Dan itu membuat Monita semakin yakin.

"Soal kado itu. Lo pasti udah dengar dari Aceng, kan?" lanjut Monita.

Mereka sudah akan keluar dari area kantin saat Dirga memutuskan untuk berhenti dan meletakkan kantong plastik berisi minuman dalam kemasan ke meja terdekat. Dia sedikit bersandar di tepi meja sebelum memberi tanggapan.

"Gue sebenarnya mau nanyain soal itu, tapi takut lo nggak nyaman."

Tebakan Monita ternyata tidak melenceng.

Dirga lanjut bertanya, "Lo beneran nggak bisa datang?"

Monita mengerutkan kening, mencoba mencerna maksudnya.

"Gue pikir semua oke-oke aja, kalian juga makin akrab, kan? Kenapa? Ada masalah apa? Mungkin gue bisa bantu."

Monita masih berusaha menelaah rentetan pertanyaan Dirga. Kenapa semua terdengar kurang sinkron? Kenapa Dirga terkesan seperti mengkhawatirkan orang lain? Ini kan masalah antara mereka berdua. Siapa "kalian" yang dimaksud? Tidak mungkin dia dan Aceng, kan?

🕶️

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tanpo Arang
43      35     1     
Fantasy
Roni mengira liburannya di desa Tanpo Arang bakal penuh dengan suara jangkrik, sinyal HP yang lemot, dan makanan santan yang bikin perut “melayang”. Tapi ternyata, yang lebih lemot justru dia sendiri — terutama dalam memahami apa yang sebenarnya terjadi di sekitar villa keluarga yang sudah mereka tinggali sejak kecil. Di desa yang terkenal dengan cahaya misterius dari sebuah tebing sunyi, ...
Premium
From Thirty To Seventeen
28897      3446     11     
Romance
Aina Malika bernasib sial ketika mengetahui suaminya Rayyan Thoriq berselingkuh di belakangnya Parahnya lagi Rayyan langsung menceraikan Aina dan menikah dengan selingkuhannya Nasib buruk semakin menimpa Aina saat dia divonis mengidap kanker servik stadium tiga Di hari ulang tahunnya yang ke30 Aina membuat permohonan Dia ingin mengulang kehidupannya dan tidak mau jatuh cinta apalagi mengenal R...
Sanguine
5586      1700     2     
Romance
Karala Wijaya merupakan siswi populer di sekolahnya. Ia memiliki semua hal yang diinginkan oleh setiap gadis di dunia. Terlahir dari keluarga kaya, menjadi vokalis band sekolah, memiliki banyak teman, serta pacar tampan incaran para gadis-gadis di sekolah. Ada satu hal yang sangat disukainya, she love being a popular. Bagi Lala, tidak ada yang lebih penting daripada menjadi pusat perhatian. Namun...
Lost in Drama
1950      774     4     
Romance
"Drama itu hanya untuk perempuan, ceritanya terlalu manis dan terkesan dibuat-buat." Ujar seorang pemuda yang menatap cuek seorang gadis yang tengah bertolak pinggang di dekatnya itu. Si gadis mendengus. "Kau berkata begitu karena iri pada pemeran utama laki-laki yang lebih daripadamu." "Jangan berkata sembarangan." "Memang benar, kau tidak bisa berb...
Asmara Mahawira (Volume 1): Putri yang Terbuang
6123      1223     1     
Romance
A novel from Momoy Tuanku Mahawira, orang yang sangat dingin dan cuek. Padahal, aku ini pelayannya yang sangat setia. Tuanku itu orang yang sangat gemar memanah, termasuk juga memanah hatiku. Di suatu malam, Tuan Mahawira datang ke kamarku ketika mataku sedikit lagi terpejam. "Temani aku tidur malam ini," bisiknya di telingaku. Aku terkejut bukan main. Kenapa Tuan Mahawira meng...
Blue Rose
296      245     1     
Romance
Selly Anandita mengambil resiko terlalu besar dengan mencintai Rey Atmaja. Faktanya jalinan kasih tidak bisa bertahan di atas pondasi kebohongan. "Mungkin selamanya kamu akan menganggapku buruk. Menjadi orang yang tak pantas kamu kenang. Tapi rasaku tak pernah berbohong." -Selly Anandita "Kamu seperti mawar biru, terlalu banyak menyimpan misteri. Nyatanya mendapatkan membuat ...
DELUSI
551      388     0     
Short Story
Seseorang yang dipertemukan karena sebuah kebetulan. Kebetulan yang tak masuk akal. Membiarkan perasaan itu tumbuh dan ternyata kenyataan sungguh pahit untuk dirasakan.
Train to Heaven
1073      692     2     
Fantasy
Bagaimana jika kereta yang kamu naiki mengalami kecelakaan dan kamu terlempar di kereta misterius yang berbeda dari sebelumnya? Kasih pulang ke daerah asalnya setelah lulus menjadi Sarjana di Bandung. Di perjalanan, ternyata kereta yang dia naiki mengalami kecelakaan dan dia di gerbong 1 mengalami dampak yang parah. Saat bangun, ia mendapati dirinya berpindah tempat di kereta yang tidak ia ken...
What If I Die Tomorrow?
424      270     2     
Short Story
Aku tak suka hidup di dunia ini. Semua penuh basa-basi. Mereka selalu menganggap aku kasat mata, merasa aku adalah hal termenakutkan di semesta ini yang harus dijauhi. Rasa tertekan itu, sungguh membuatku ingin cepat-cepat mati. Hingga suatu hari, bayangan hitam dan kemunculan seorang pria tak dikenal yang bisa masuk begitu saja ke apartemenku membuatku pingsan, mengetahui bahwa dia adalah han...
The Friends of Romeo and Juliet
20348      3015     3     
Romance
Freya dan Dilar bukan Romeo dan Juliet. Tapi hidup mereka serasa seperti kedua sejoli tragis dari masa lalu itu. Mereka tetanggaan, satu SMP, dan sekarang setelah masuk SMA, mereka akhirnya pacaran. Keluarga mereka akur, akur banget malah. Yang musuhan itu justru....sahabat mereka! Yuki tidak suka sikap semena-mena Hamka si Ketua OSIS. dan Hamka tidak suka Yuki yang dianggapnya sombong dan tid...