Bukannya mendapat kejelasan, semua terasa semakin simpang siur. Setelah menyadari pertanyaan Dirga tidak selaras dengan persepsinya, Monita hanya memberi jawaban samar, lalu segera mencari-cari pengalihan. Untung saja saat itu dia menangkap sesuatu di lapangan. Anggota Merpati Putih mulai kembali merapatkan barisan. Jadi, Monita mengajak Dirga untuk bergegas agar tidak ketinggalan.
Sisa hari itu berjalan begitu saja. Monita tidak terlalu memperhatikan demonstrasi Merpati Putih, dan tidak lagi memusingkan antusiasme berlebihan Delia. Pikirannya melayang-layang, membuat sekitarnya mengabur. Sekabur pemandangan di luar jendela mobil saat ini.
Satu hari telah berlalu, dan Monita harus kembali menghadapi hari lainnya untuk menemukan jalan keluar. Semalam dia mencoba menyambung petunjuk-petunjuk yang saling bersilangan. Kesimpulan sementara yang dia dapat agak mengkhawatirkan: orang yang bisa memberikan penjelasan hanyalah Aceng.
"Semalam Tante Yola ngabarin penerbangannya di-reschedule."
Monita menghela napas pelan. Untuk beberapa saat dia sempat berpikir jadwal kepulangan tantenya itu bukan hal penting. Namun, dia tidak bisa menyalahkan ibunya yang hanya berniat berbagi kabar. Monita pun berhenti memandangi jalanan yang sibuk dari jendela di sebelahnya dan bertanya, "Jadinya kapan, Mi?"
Ibunya tidak langsung menjawab karena sibuk mengatur jarak di lampu merah. Tinggal satu persimpangan lagi, mereka akan tiba di Raya Jaya.
"Hari Minggu depan. Kamu ikut Mami, ya, jemput ke bandara?"
Hari Minggu libur sekolah. Seharusnya Monita tidak keberatan. Namun, dia langsung teringat kado Dirga. Kedatangan tantenya bertepatan dengan hari yang pernah disebut Aceng. Meski Monita semakin tidak yakin akan mengetahui isi kado itu sebelum waktunya, tetapi dia harus tetap meluangkan waktu untuk berjaga-jaga.
Lampu merah sudah berubah hijau. Ibunya sempat menoleh ke arahnya sebelum kembali menjalankan mobil.
"Moni kayaknya udah ada janji ...," katanya ragu-ragu, "tapi masih belum pasti."
"Bareng Kana-Delia?"
Monita tidak mengangguk maupun menggeleng, hanya cepat-cepat menambahkan, "Tapi masih rencana aja, Mi. Nanti Moni pastiin lagi."
Ibunya mengangguk paham. "Atau kamu nanti nyusul aja ke rumahnya Tante Yola. Apa kita nginap aja, ya? Seninnya tanggal merah, kan? Biar kita bisa bantu-bantu di sana. Apalagi sekarang Sisy udah nggak di rumah ...."
Selanjutnya Monita hanya bisa menyimak rencana dadakan dan pengertian yang ibunya coba tanamkan. Karena tidak terlalu masalah dengan acara menginap semalam, dia hanya mengangguk-angguk setuju dan menyerahkan semuanya pada ibunya. Sesampainya di depan sekolah, dia langsung berpamitan seperti biasa tanpa berkomentar apa-apa. Namun, langkahnya melambat begitu hendak melewati gerbang. Tampak seorang perempuan memarkirkan sepeda motornya di dekat gerbang dan fokus mengetik sesuatu di ponselnya. Karena merasa familiar, Monita sedikit memelankan langkah untuk memperhatikan lebih saksama.
Ternyata perempuan itu juga menyadari kehadiran Monita. Dia ikut menoleh dan tersenyum manis. "Hai! Moni, kan?"
Dia perempuan yang sering mengantar-jemput Aceng, yang juga pernah mengantarkan botol minum yang ketinggalan. Monita sempat memeriksa sekelilingnya sekilas untuk memastikan orang yang disapa memang dia. Mungkin saja ada Moni lain di Raya Jaya.
Namun, murid-murid lain hanya lewat begitu saja, tidak ada yang merasa terpanggil. Perempuan itu juga sudah beranjak dari sepeda motornya dan berjalan ke arah Monita.
"Moni, kan?" Dia masih mengulangi pertanyaannya. "Temannya Aceng."
Monita mengangguk ragu. Untuk pertanyaan pertama, dia tidak bisa membantah. Namun, untuk yang kedua—yang lebih terdengar seperti pernyataan daripada pertanyaan, dia kurang yakin fakta itu masih berlaku atau tidak.
Tampaknya perempuan itu tidak terlalu memedulikan kecanggungan Monita. Sebelum sempat Monita bertanya, dia langsung mengutarakan maksudnya, "Boleh minta tolong, nggak?"
Suaranya terdengar terlalu ceria untuk orang yang membutuhkan bantuan. Meski begitu, Monita tidak mungkin menolak sebelum mengetahui permintaannya, dia juga yakin teman Aceng ini tidak akan meminta hal yang macam-macam, jadi Monita kembali mengangguk.
"Bisa hubungi Aceng?"
"Hah?"
"Kamu bisa telepon Aceng, nggak? Suruh dia ke sini. Punya nomornya, kan?"
"Oh. Iya ...." Monita mengangguk kikuk. Sesungguhnya dia tidak sepenuhnya mengerti tujuan perempuan itu. Jika ada keperluan penting, seharusnya langsung saja datangi Aceng di kelas, seperti saat botol minumnya ketinggalan. Lebih praktis. Tidak merepotkan orang lain.
Namun, Monita tetap mengeluarkan ponsel dari saku rok dan mencari kontak Aceng. Semua dilakukan dengan gerakan spontan. Hingga layar ponsel menampilkan nama Aceng, Monita sedikit menyesal. Dia baru teringat, mereka masih perang dingin. Apa yang harus diucapkan jika Aceng mengangkat panggilan itu? Bagaimana jika Aceng berpikir Monita ingin kembali mengganggu, dan malah memilih mengabaikannya?
Saat Monita melirik perempuan di hadapannya, berharap dia berubah pikiran, perempuan itu malah kembali melempar senyuman manis dan penuh harap. Jadi Monita tidak bisa mundur.
Nada dering terdengar agak lama sampai-sampai Monita yakin Aceng masih menghindar. Namun, pada akhirnya terdengar suara dari seberang.
"Halo?" Suara Aceng terdengar rendah dan ragu, membuat Monita semakin bimbang harus menjawab apa.
Seolah bisa memahami situasi, perempuan di depannya memberi instruksi, "Bilang: Amel nunggu di depan gerbang."
Jadi namanya Amel? Monita sempat tertegun sejenak, lalu mengulangi perintah yang diberikan kata demi kata, "Amel nunggu di depan gerbang."
Aceng diam beberapa saat hingga kembali membalas pendek, "Oke."
Saat panggilannya terputus, Monita mulai bernapas lega. Bukan hanya karena tugasnya jadi pengantar pesan sudah selesai, tetapi juga karena Aceng tidak menghindar. Sejujurnya, tidak saling sapa selama dua hari dengan Aceng ternyata cukup menyita pikirannya. Bahkan terasa lebih berat dibandingkan saat dia dan Delia saling silang pendapat. Meski panggilan barusan hanya berkisar sepuluh detik, dan meski hanya mendengar dua kata singkat dari Aceng, angin di Raya Jaya kini terasa lebih segar berkali-kali lipat.
"Gimana?"
Pertanyaan Amel memaksa Monita kembali ke realita.
Monita menjawab, "Dia bilang 'oke'."
"Ya udah, kita tunggu aja," kata Amel kemudian, yang membuat Monita sontak kembali mengerjap waspada.
Kita? Monita yakin "kita" yang dimaksud adalah Amel dan dia, bukan cowok yang baru saja lewat dan mengangguk ramah ke arah mereka—lebih tepatnya ke arah Amel.
"Loh, Ci Amel? Ngapain? Ada reunian?" sapa cowok itu.
Meski tidak begitu kenal, Monita tahu cowok itu adalah senior di Raya Jaya. Dia pernah melihatnya menjadi Pemimpin Upacara saat anak kelas XII IPS-1 bertugas.
Amel berdecak jenaka dan membalas, "Singgah bentar, lihat-lihat keadaan."
"Hahaha, calon-calon anak audit. Laporannya nanti ke mana, Ci?"
Amel pun kembali menanggapi dengan melempar gurauan ringan. Monita tidak mengerti, tetapi dia tetap berusaha tersenyum saat keduanya tertawa. Dari apa yang bisa ditangkap, kemungkinan besar Amel alumni Raya Jaya. Hanya saja Monita tidak ingat pernah melihat Amel sebelumnya. Apa mungkin Amel sudah lulus saat dia masuk SMA?
Ketika senior itu pamit dan meninggalkan mereka, Monita memberanikan diri bertanya, "Kakak alumni sini?"
"Ah, iya, lupa. Aku Amel, saudaranya Aceng. Jangan panggil 'Kakak', panggil 'Amel' aja."
Jadi, sebenarnya Amel ini temannya atau saudaranya Aceng? Lagi-lagi Monita menemukan kesimpang-siuran antara pengakuan Aceng dan orang lain.
"Aku baru lulus tahun kemarin." Amel kembali menjelaskan. "Kamu nggak familiar, kan, ya? Maklum sih, aku mainnya di situ-situ aja."
Monita ingin mengangguk, tapi takut Amel mengira dia setuju dengan kalimat terakhir. Tapi, dia juga tidak tahu cara membantah.
"Kakak Anak IPS, ya?"
Tadinya pertanyaan itu dikira bisa menimbulkan kesan peduli, setidaknya dia berusaha mengenal Amel. Namun, setelah diucapkan, rasanya dia sedang menilai yang "mainnya di situ-situ aja" pasti Anak IPS.
Untung saja Amel mengangguk penuh semangat sambil sekali lagi mengingatkannya untuk memanggil dengan nama saja.
Monita hanya bisa tersenyum sungkan, tidak tahu harus menjawab apa. Aneh saja rasanya baru kenal langsung panggil nama. Senior pula. Lalu tiba-tiba dia teringat sesuatu.
"Kakak yang pernah kehilangan handphone?"
Dugaannya tepat karena setelah itu, Amel melepas tawa kecil. "Benar! Itu kejadiannya memang rada gempar dulu. Untung ada A—"
"Kenapa?"
Tiba-tiba suara dari sebelah mereka memotong. Keduanya sontak menoleh. Aceng tampak memberi kesan ogah-ogahan, dengan kedua tangan masuk ke masing-masing saku celananya. Amel membalas dengan bahasa yang Monita tidak mengerti. Suaranya pelan dan seperti sedang memberi nasihat, tetapi tidak terlihat marah. Sementara itu, Aceng hanya menjawab singkat-singkat. Ternyata Amel tidak lama-lama. Setelah menyampaikan dua kalimat, dan menerima respons singkat dari Aceng dua kali, dia kembali ke sepeda motornya.
"Moni, makasih, ya!" serunya sebelum melaju kecepatan.
Semua terasa kurang masuk akal bagi Monita. Dia kira, Amel hendak memberikan sesuatu yang ketinggalan, atau menyampaikan berita genting. Namun, reaksi Aceng yang terlihat adalah dia seperti baru mendengar hal remeh.
Monita menimbang-nimbang, siapa yang harus masuk lebih dulu? Dia atau Aceng? Atau bersama-sama? Sebentar dia diam dan menunggu. Namun Aceng pun ikut bergeming.
Karena semakin banyak Anak Raja yang melintas memasuki gerbang, dan akan terlihat aneh jika mereka berdiri di sana seperti patung penerima tamu, Monita melangkahkan kakinya tanpa mengucap sepatah kata pun. Saat melewati pos satpam, sekilas dia bisa melihat Pak Satpam tersenyum jenaka. Monita hanya mengangguk kecil demi sopan santun.
Ketika Monita melewati jalur masuk utama dan akan berbelok ke koridor kelas, Aceng memanggil dari belakang.
"Moni, tunggu."
Monita berhenti tepat di depan mading. Puisi anonim dengan inisial nama Kana masih ada di situ. Namun sekarang itu bukan lagi prioritas. Dia menoleh ke belakang, menunggu Aceng dengan begitu banyak kecemasan. Apa sekarang mereka akan baikan?
Setelah Aceng berhasil menyusul, dia langsung melontarkan kalimat yang membuat Monita terperangah sejenak, "Soal Kamis kemarin, maaf ya."
Monita segera membalas, "Dirga belum tau kadonya hilang."
Kali ini giliran Aceng yang terpaku.
"Lo sebenarnya udah tau isi kadonya, kan?" Monita kembali melontarkan dugaannya.
Bisa dilihat Aceng mengedipkan mata beberapa kali, respon yang biasa dia berikan saat mendengarkan hal mengejutkan atau memikirkan sesuatu.
Monita semakin tidak ingin berhenti. "Kalau gue tanya apa isi kado itu, lo mau jelasin?"
Aceng tetap tidak memberikan jawaban. Meski begitu, Monita mendapatkan sedikit pencerahan. Dia tidak menerima bantahan. Itu berarti dia sudah mengarah ke kebenaran. Aceng tidak ingin memberi tahu isi kado itu karena ada sesuatu yang dicemaskan. Dan entah kenapa, Monita yakin kecemasan itu hanya berasal dari satu sisi: hanya dari sisi Aceng.
Tanpa menunggu lama, Monita kembali berkata, kali ini dengan penuh keyakinan, "Kalau gitu, gue bakal cari tau sendiri." Setelah itu, dia melangkah pergi.
🕶️
Monita tidak mengarah langsung ke kelasnya. Dia berbelok lebih dulu ke kelas Delia. Tujuannya bukan untuk menemui Delia, Priska, ataupun Dirga, melainkan mencari Kevin. Seperti biasa, Kevin duduk tepat di meja terdepan, berhadapan dengan meja guru. Cowok itu tampak serius mengerjakan sesuatu di laptopnya.
Jam pelajaran akan dimulai sepuluh menit lagi. Kelas Delia tampak sudah hampir penuh. Monita tidak menemukan Dirga, tetapi Delia dan Priska sudah duduk di kursi mereka, memicing curiga ketika mendapati Monita menampakkan diri di pintu kelas. Baru kali ini Monita mendapati dirinya berhasil tidak mengabaikan tatapan curiga itu. Dia terus melangkah menuju meja Kevin tanpa menoleh sekali pun.
"Kevin, lo dipanggil ke ruang guru," katanya sedikit agak keras agar orang-orang di dekat mereka bisa mendengar alasan yang dibuat-buat itu. Meski yakin Delia dan Priska tetap menaruh curiga, setidaknya Monita sudah berusaha membuat aksinya terlihat masuk akal.
Kevin sempat tercengang sebentar, kemudian beranjak dari kursinya dan mengikuti Monita. Tadinya Monita ingin membawa Kevin ke kios fotokopi, tetapi kemudian urung ketika teringat dia dan Aceng telah banyak berbagi rahasia di sana, rasanya kurang etis membawa orang lain. Jadi, Monita terus berjalan ke arah ruang guru. Namun, tepat setelah melewati dua kelas, Kevin menghentikannya.
"Aku memang benar-benar dipanggil ke ruang guru?"
Monita ikut berhenti dan tersenyum penuh rasa bersalah. "Sebenarnya gue mau tanya sesuatu."
"Tanya apa?"
"Soal kado Dirga."
Seketika Kevin menoleh cemas ke belakang, ke arah kelasnya, seolah Delia bisa kapan saja menyusul dan mendengar perbincangan mereka.
"Aku nggak bisa kasih tau. Kamu harus tanya langsung ke Delia."
Jawaban Kevin sesuai dengan prediksi Monita. Maka, dia berusaha meluruskan. "Maksud gue, bukan kado Delia, tapi kado Dirga buat gue."
Kevin mendongak penuh tanya.
"Kado itu hilang. Belum sempat gue buka."
Kevin tampak terkejut mendengar pengakuan Monita. Di sisi lain, Monita pun terkejut menyadari betapa lancarnya dia mengakui semuanya. Dia tidak terlalu dekat dengan Kevin, dia juga tidak tahu apakah Kevin bisa menjaga rahasia. Monita hanya berharap kejujurannya bisa dibalas dengan kejujuran juga.
"Untuk tau isi kado yang hilang itu, gue butuh info tentang kado Delia. Lo bisa bantuin gue?"
Dia dan Delia sama-sama menerima kado dari Dirga. Bisa jadi keduanya punya kemiripan. Dari hasil interogasi dadakan yang Monita lakukan pada Kevin minggu lalu, Delia sepertinya menyembunyikan sesuatu. Kado yang dia terima bukan hanya sekadar jam tangan. Aceng juga enggan memberi tahu isi kado Monita yang sebenarnya. Bisa jadi, kedua hal yang mereka sembunyikan sebenarnya hal yang serupa.
Monita tahu, jika dia blak-blakan bertanya hadiah apa yang diterima Delia selain jam tangan, Kevin akan tetap bersikeras menutup mulut. Jadi, dia mencoba memodifikasi pertanyaannya. "Lo tau kenapa Delia ngundang lo ke pesta ultah gue? Ada hubungannya dengan kado itu?"
Kevin tidak menjawab dan semakin menurunkan pandangannya, menatap kedua tangannya yang sejak tadi tertaut kencang.
Monita masih tidak menyerah. "Kenapa lo mau datang?"
"Karena udah janji ke Dir—"
Sebelum sempat menyelesaikan ucapannya, Kevin segera menutup mulut. Meskipun agak terkejut karena Kevin benar-benar membawa nama Dirga, Monita tidak berusaha menekan, dengan sabar dia menunggu Kevin melanjutkan apa pun yang hendak disampaikan.
"Kamu pasti tau nggak banyak yang mau berteman sama aku. Tapi Dirga beda. Dia baik sama orang-orang di dekatnya. Dia juga suka ajak orang lain ikut peduli dengan sekitarnya. Delia sering bilang, aku outsider, kurang cocok ikut pesta-pesta begitu. Jadi, Dirga minta Delia buat ajakin aku ke pesta kamu. Aku tahu Delia terpaksa. Tapi, bohong kalau aku bilang aku nggak senang."
Monita terenyuh dan mencoba menyambungkan cerita Kevin dengan pengakuan Delia. Semuanya selaras. Delia mengundang Kevin karena campur tangan Dirga. Fakta itu melahirkan kecurigaan baru di benaknya.
"Kevin, gue tau lo orangnya tepat janji, lo nggak bakal bocorin kado Delia, jadi gue nggak bakal maksa. Tapi, ada yang perlu gue pastikan. Kalau misalnya, Delia ada di posisi gue. Kadonya hilang, dan dia belum sempat lihat isinya, dan tiba-tiba lo nemuin kado itu. Lo bakal kasih kado itu ke Delia atau nggak?"
Sepertinya pertanyaan Monita terlalu berat untuk dipikirkan di menit-menit terakhir sebelum bel masuk sekolah. Apalagi saat ini semakin banyak Anak Raja melintasi mereka dengan terburu-buru, menuju kelas masing-masing. Kevin terdiam cukup lama, menimbang dengan serius. Hingga akhirnya dia selesai memutuskan jawabannya.
"Untuk Delia, lebih baik dia nggak terima kado itu."
🕶️