Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kacamata Monita
MENU
About Us  

Merenung di dalam mobil sepanjang perjalanan menuju sekolah akhir-akhir ini menjadi kebiasaan baru Monita. Terlebih lagi setelah dia menemukan fakta baru yang berhubungan dengan kado ulang tahun dan orang-orang yang terlibat di sekitarnya. Seperti kemarin: Dirga dan Felix ternyata sepupuan. Semalaman dia berusaha mengingat-ingat apakah Delia, Priska, atau mungkin Dirga sendiri pernah menyinggung hal itu? Kenapa selama ini dia tidak tahu?

Dirga dan Felix jarang tampak bersama. Entah di kantin, di lapangan sekolah, di media sosial, atau bahkan di acara pembukaan cabang kafe. Namun, mungkin saja Monita yang kurang perhatian. Dia juga tidak setiap saat ada di dekat mereka. Lagipula, sepupuan bukan berarti harus terus menempel satu sama lain, bukan?

"Kamu ada dihubungi Tante Yola?"

Pertanyaan ibunya yang sedang berkemudi pelan, di tengah rintik-rintik hujan, membuat Monita mengesampingkan pertanyaan-pertanyaan yang berputar-putar di kepalanya. Dia teringat akan pesan dari tantenya yang belum dibalas karena sibuk merencanakan pertemuan dengan Mauren di kafe.

"Oh iya!" Monita melirik sekilas ke arah ibunya dan meringis penuh penyesalan. "Kemarin Tante ada ngirimin foto gelang sama kalung gitu. Dia tanya, Moni suka yang mana, tapi lupa Moni balas ...."

Ibunya tersenyum miring, seolah sudah menebak segalanya. "Katanya kamu juga nggak angkat-angkat pas di-video call."

"Itu karena kebetulan hape Moni lagi di-silent," jawab Monita jujur. Mereka sudah dekat dengan gerbang Raya Jaya. Namun, hujan membuat antrian kendaraan tersendat dan mengular cukup panjang. Memang, hujan pagi ini tidak terlalu deras, tetapi tetap saja tidak aman untuk rambut dan seragam.

"Mami perhatikan kamu lagi sibuk banget ya akhir-akhir ini?" Ibunya bertanya sambil memperlambat laju mobil. Di depan mereka ada kira-kira enam hingga delapan mobil, menunggu giliran dijemput Pak Satpam menggunakan payung. Ada juga orang tua atau supir yang mengantar tumpangan mereka dengan payung sendiri, tetapi hanya segelintir.

"Namanya juga udah mau ujian, Mi." Punggung Monita semakin merosot di kursi penumpang. "Gurunya rajin banget ngasih tugas; tugas praktik, kelompok, esai ...." Ditambah masalah kado. Poin terakhir hanya diucapkan dalam hati.

Untung saja ibunya tersenyum prihatin. "Ya udah, nanti Mami coba jelasin ke tantemu."

"Thanks, Mi. Janji deh, Moni bakal telepon Tante ntar malam," ucap Monita sambil terus memperhatikan wiper mobil yang bekerja tanpa henti mengusap kaca depan. Masih ada lima mobil di depan mereka dan untungnya hari ini ibunya tidak terlalu buru-buru. Monita awalnya sudah memutuskan untuk menunggu hingga mobil tiba tepat di depan gerbang sekolah, tetapi dia berubah pikiran. Di jalur kiri, dari sisi jendela, dia mendapati cowok berkardigan abu-abu melintas mengenakan payung biru. Itu Aceng.

"Mi, Moni turun di sini aja."

"Loh?" Mamanya menjalankan mobil dengan pelan, kemudian mengerem lagi. "Mau pakai payung di belakang? Biar Mami ambilin."

Monita buru-buru menggeleng dan memasang tudung kepala dari hoodie yang sedang dia kenakan. "Nggak papa, di depan ada teman Moni bawa payung. Moni nebeng dia aja." Ibunya mengangguk dan Monita segera keluar dari mobil, menyusuli Aceng yang sudah melewati satu mobil. Dari belakang, Aceng tampak sedang berjalan santai, tapi entah kenapa Monita kepayahan mengimbanginya.

"Ceng! Aceng!" seru Monita.

Aceng menoleh dan menunggu. Dia juga tidak keberatan berbagi payung dengan Monita.

"Nggak diantar sampai depan?" tanya Aceng.

"Lama," kata Monita sambil menurunkan tudung hoodie-nya.

Mereka kembali berjalan bersama menuju gerbang sekolah. Kira-kira harus melewati tiga mobil lagi. Itu bukanlah jarak yang luar biasa, hanya saja entah kenapa terasa agak mencekam. Hari ini Aceng terlalu senyap. Biasanya, meski tidak mengeluarkan sepatah kata pun, pandangan dan geraknya tetap bersuara. Kali ini Monita tidak bisa menangkap apa pun dari gerak-geriknya. Ibaratnya, jika dia bisa membaca pikiran seperti Aceng, hari ini kemampuan itu tidak berkerja dengan baik. Bahkan meskipun Monita berkali-kali menoleh ke arahnya secara terang-terangan, Aceng sama sekali tidak menggubris. Tatapannya tetap lurus ke depan.

Apa mungkin karena jam pelajaran pertama hari ini Bahasa Inggris? Ada pengumpulan tugas lirik lagu. Mungkin saja Aceng cemas dipanggil ke depan kelas.

"Eh, lo tau nggak sih, ternyata Kak Felix itu sepupuan sama Dirga." Monita berharap mengalihkan kekhawatiran Aceng. Tadinya dia ingin mengadu tentang Mauren dan puisi Kana, tapi sepertinya lebih baik mengangkat topik yang relevan dengan kado.

Aceng menanggapi singkat, "Tau dari mana?"

"Kemarin gue jumpa Kak Felix di kafe depan, bareng tantenya Dirga. Terus, Kak Felix panggil 'Ma ...' gitu, ke tantenya Dirga."

"Oh ...." Aceng mengangguk-angguk seperti baru saja dibacakan info dari Wikipedia.

"Terus, gue kepikiran, mungkin kita bisa dapetin info dari Kak Felix. Mungkin aja dia tau jadwal Dirga minggu depan." Monita kembali melirik Aceng, memeriksa apakah ada tanda-tanda keberatan saat dia tanpa pikir panjang menggunakan kata kita.

Monita yakin, Aceng mendengarnya, pangkal alisnya sedikit turun. Dia pernah melihat Aceng memberikan reaksi serupa saat kuis Kimianya mendapatkan nilai pas-pasan. Itu bukan reaksi yang menyenangkan.

Monita ingin meralat kata-katanya. Dia tidak ingin Aceng mengiranya terlalu oportunis. Namun, mereka sudah semakin dekat dengan gerbang sekolah, dan kebetulan berpapasan dengan satpam sekolah yang hendak menjemput penumpang.

Begitu melihat mereka, Pak Satpam langsung berceletuk, "Cie .... Jaketnya kapel ...."

Monita mengernyit heran dan memeriksa pakaiannya. Dia baru sadar warna hoodie yang dia kenakan serupa dengan warna kardigan Aceng. Hanya saja punya Aceng lebih gelap.

Untung saja Aceng sama sekali tidak memperlihatkan wajah malu atau tersinggung. Dia tertawa ringan dan membalas santai, "Warnanya aja yang pasaran, Pak." Jadi, Monita tidak perlu berusaha keras membantah. Kali ini dia mengalah, mengingat kegigihan Pak Satpam mengantar-jemput Anak Raja dengan payung satu per satu, ditambah raut wajah Aceng mulai bersuara.

"Dia memang gitu, ya?" kata Monita setelah mereka terbebas dari celotehan iseng Pak Satpam. Dia berusaha terus berjalan di bawah payung bersama Aceng tanpa canggung.

"Gitu gimana?"

"Suka cie-cie-in orang."

"Mungkin biar lebih akrab aja," jawab Aceng sekadarnya. Setelah melewati guru piket, dia berhenti sejenak untuk melipat payung. Namun, perhatiannya kembali tidak terarah penuh.

Monita semakin tergugah untuk memastikan apa sebenarnya yang Aceng pikirkan.

"Lo takut disuruh nyanyi ke depan, ya?"

"Hah?" Aceng menoleh heran sembari memasukkan payung ke dalam sarung dan menyimpannya di kantong kecil di sisi ranselnya.

"Soalnya dari tadi lo kayak lagi banyak pikiran gitu."

Mereka kembali berjalan menuju kelas. Lapangan di sebelah mereka jelas kosong. Di sepanjang koridor juga tidak terlalu ramai Anak Raja yang berlalu-lalang. Duduk diam di dalam kelas hingga bel masuk berbunyi jadi pilihan paling tepat bagi mereka, apalagi hujan semakin lama semakin terdengar deras.

Aceng tidak memberi tanggapan, dan itu membuat Monita semakin khawatir. Jangan-jangan Aceng tersinggung karena ketahuan demam panggung. Atau mungkin dia lagi ada masalah pribadi? Ah! Monita teringat, bisa jadi berhubungan dengan kejuaraan pencak silat. Apa dia tidak lolos seleksi?

Saat akan berbelok ke arah kelas mereka, Monita ingin mampir sebentar ke kios fotokopi. Mungkin di sana Aceng bisa mencurahkan keluh kesahnya. Dan dia bisa memberikan kata-kata penghiburan, mungkin sambil mentraktir minuman yoghurt dingin.

Namun, sebelum mengutarakan ide itu, Aceng sendiri sudah menghentikan langkahnya. Apa dia punya ide yang sama? Hanya saja, Aceng cuma menepi ke dinding koridor yang mengarah ke kios fotokopi.

Mungkin Aceng akan cerita singkat saja, pikir Monita, jadi tidak perlu mampir ke kios fotokopi, apalagi jam pelajaran sebentar lagi dimulai. Namun, di sisi lain, Monita kurang setuju dengan pemilihan tempat ini. Suasana di sekitar mereka kurang kondusif. Mereka ada di persimpangan koridor. Meski hanya sebentar, ada beberapa Anak Raja yang melintas dengan langkah cepat. Ditambah angin semakin kencang, membawa titik-titik hujan dari arah lapangan. Belum lagi dinding di sebelah mereka tidak terlalu mampu menahan suara berisik dari dalam kelas.

"Kenapa?" Monita berusaha mempercepat urusan.

Aceng menatapnya dengan cara yang terlalu rumit untuk diterjemahkan. Biasanya, jika hendak menyampaikan hal serius, sorot matanya tidak tajam seperti ini. Apakah Aceng marah? Tapi kenapa bibirnya bergerak kaku? Seolah sedang dilanda keraguan dahsyat.

"Gue udah ceritain ke Dirga."

"Cerita apa?"

"Dirga udah tau kadonya hilang," jelas Aceng.

"APAA??" Monita membekap mulutnya sendiri, memeriksa sekitar berharap tidak ada yang memperhatikan mereka. Untung saja murid yang terakhir kali melewati mereka sudah berjarak cukup jauh.

"Dia nggak marah. Jadi, daripada capek-capek sembunyiin ini-itu, atau curiga sana-sini, mending lupain aja. Nggak perlu di—"

"Kok jadi lo yang mutusin?" Monita tidak percaya Aceng bisa bertindak begitu semena-mena. "Itu kan kado dari Dirga, buat gue. Lo nggak berhak ikut campur. Oke, gue memang minta bantuan lo, tapi .... Lo kenapa, sih? Gue punya salah apa?"

Monita benar-benar berharap bisa mendapatkan penjelasan yang masuk akal. Dia ingin menatap Aceng langsung, menegaskan perlawanan. Tapi, dia tidak ingin menunjukkan matanya yang semakin berkunang-kunang.

Terdengar Aceng menghela napas panjang, helaan yang sering Monita dengar setelah mengeluh tentang Delia atau setiap kali dia merasa buntu.

"Gara-gara kado itu, masalah lo jadi banyak. Belum tentu juga isinya sesuai harapan. Lagian Dirga juga nggak masalah. Beres, kan?"

Mendengar itu, Monita mendapatkan satu kesimpulan. Selagi masih bisa menguasai diri, dia segera berpaling dan siap-siap menjauh.

"Kalo lo memang nggak mau direpotin, tinggal bilang aja. Bukan gini caranya," katanya sebelum meninggalkan Aceng dengan langkah secepat mungkin.

Di dalam kelas, Jhoni tampak sibuk mempersiapkan loudspeaker. Ini akal-akalan mereka sekelas untuk menutupi suara sumbang saat bernyanyi dengan musik asli. Sementara itu, di meja mereka, Kana melambaikan tangannya begitu melihat kedatangan Monita.

"Momon! Gue pikir lo telat."

Dari raut wajahnya, kelihatannya suasana hati Kana sudah membaik. Sejak kejadian di kafe, Monita sengaja tidak menghubungi Kana ataupun Delia, supaya mereka berdua punya waktu untuk diri sendiri.

"Iya, hujan. Agak lama di jalan." Monita sebisa mungkin bersikap seperti biasa, tapi pengakuan Aceng barusan masih terngiang-ngiang di kepalanya.

"By the way, sorry banget kalo gue bikin lo tersinggung kemarin. Anggap aja gue lagi kurang gula. Gue juga udah ngomong baik-baik ke Delia. Semua udah beres."

Beres. Tadi Aceng, sekarang Kana. Mungkin membereskan masalah hanya bisa dilakukan orang lain, selain dirinya. Monita ingin menanggapi dengan anggukan saja, tetapi dia tidak ingin Kana salah tangkap. Jangan sampai Kana merasa dia bersikap acuh tak acuh karena kejadian kemarin.

"Santai aja, Na," katanya dengan cibiran usil, "gue ikut senang kalo masalahnya udah beres."

Tepat saat mengucapkan kata keramat itu, Aceng tampak memasuki kelas. Langkahnya lebih gontai dari biasanya. Tatapan mereka sempat bersinggungan. Namun, Monita buru-buru berusaha menyibukkan diri mempersiapkan alat tulis dan buku pelajaran.

"Serius lo nggak marah, kan? Soalnya hari ini lo agak ... mendung, gitu."

Monita berdecak kesal, "Mendung apaan? Kebanyakan nyari arti idiom bahasa Inggris lo."

Kana hanya bisa menanggapi dengan cengengesan kecil.

Saat bel masuk berbunyi, Risma di depan mereka tiba-tiba berbalik. "Na, ayo kita taruhan. Siapa yang bakal lipsync. Jhoni atau Aceng?"

Tawaran itu ditanggapi dengan ceria oleh Kana. "Ya Jhoni lah. Secara dia yang paling parno dipanggil ke depan," katanya.

"Oke, gue pegang Aceng. Taruhannya siomai porsi jumbo, ya." Risma mengulurkan tangan, dan seketika mereka pun bersalaman, seolah bisa meramal kalau Jhoni dan Aceng sudah pasti akan dipanggil ke depan.

Ternyata keinginan mereka terkabul. Begitu pelajaran dimulai, nama pertama yang dipanggil adalah Jhoni dan Aceng. Mereka terpaksa harus menyanyikan lagu yang sudah dipilih Aceng. Sementara teman lainnya berseru riang dicampur menggoda, Monita berharap waktu cepat berlalu agar dia tidak harus menyaksikan Aceng berdiri di depan lama-lama.

"Kok jadi si Aceng sih yang lipsync?" Di sebelahnya, Kana berceletuk kecewa.

Risma berbalik sebentar demi membisikkan, "Siomai porsi jumbo," kepada Kana.

Kana hanya bisa mencibir, kemudian kembali bergumam "Habis deh si Aceng, siap ini pasti kena amukan Jhoni."

Monita melirik sekilas demi memastikan ucapan Kana. Aceng tampak tidak ingin beralih dari kertas berisi teks lirik yang dipegangnya. Alih-alih bernyanyi, kentara sekali bibirnya hanya mengucapkan lirik. Itu bukan Aceng yang selama ini dia kenal. Sangat berbeda dari Aceng yang ada di barisan Merpati Putih Jumat lalu. Apakah ini pengaruh kado itu? Monita memang kecewa, tapi hal terakhir yang ingin dia lakukan adalah membuat Aceng merasa bersalah.

🕶️

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Isi Hati
496      351     4     
Short Story
Berawal dari sebuah mimpi, hingga proses berubahnya dua orang yang ingin menjadi lebih baik. Akankah mereka bertemu?
Nina and The Rivanos
10209      2465     12     
Romance
"Apa yang lebih indah dari cinta? Jawabannya cuma satu: persaudaraan." Di tahun kedua SMA-nya, Nina harus mencari kerja untuk membayar biaya sekolah. Ia sempat kesulitan. Tapi kemudian Raka -cowok yang menyukainya sejak masuk SMA- menyarankannya bekerja di Starlit, start-up yang bergerak di bidang penulisan. Mengikuti saran Raka, Nina pun melamar posisi sebagai penulis part-time. ...
Cinta dan Rahasia
451      343     0     
Short Story
Perasaan tak mudah untuk dipendam. Ketahuilah, manusia yang ‘kuat’ adalah manusia yang mampu mengekspresikan perasaanya. Itu semua wajar. Manusia akan merasakan senang bila mendapatkan kebahagiaan dan sedih bila harus kehilangan.
Kuncup Hati
661      455     4     
Short Story
Darian Tristan telah menyakiti Dalicia Rasty sewaktu di sekolah menengah atas. Perasaan bersalah terus menghantui Darian hingga saat ini. Dibutuhkan keberanian tinggi untuk menemui Dalicia. Darian harus menjelaskan yang sebenarnya terjadi. Ia harus mengungkapkan perasaan sesungguhnya kepada Dalicia.
NWA
2312      927     1     
Humor
Kisah empat cewek penggemar boybend korea NCT yang menghabiskan tiap harinya untuk menggilai boybend ini
Penerang Dalam Duka
489      328     2     
Mystery
[Cerita ini mengisahkan seorang gadis bernama Mina yang berusaha untuk tetap berbuat baik meskipun dunia bersikap kejam padanya.] Semenjak kehilangan keluarganya karena sebuah insiden yang disamarkan sebagai kecelakaan, sifat Mina berubah menjadi lebih tak berperasaan dan juga pendiam. Karena tidak bisa merelakan, Mina bertekad tuk membalaskan dendam bagaimana pun caranya. Namun di kala ...
Blue Rose
292      242     1     
Romance
Selly Anandita mengambil resiko terlalu besar dengan mencintai Rey Atmaja. Faktanya jalinan kasih tidak bisa bertahan di atas pondasi kebohongan. "Mungkin selamanya kamu akan menganggapku buruk. Menjadi orang yang tak pantas kamu kenang. Tapi rasaku tak pernah berbohong." -Selly Anandita "Kamu seperti mawar biru, terlalu banyak menyimpan misteri. Nyatanya mendapatkan membuat ...
IMPIANKU
27366      4127     14     
Mystery
Deskripsi Setiap manusia pasti memiliki sebuah impian, dan berusaha untuk mewujudkan impiannya itu. Walau terkadang suka terjebak dengan apa yang diusahakan dalam menggapai impian tersebut. Begitu pun yang dialami oleh Satria, dalam usaha mewujudkan segala impiannya, sebagai anak Broken Home. Walau keadaan keluarganya hancur karena keegoisan sang ayah. Satria mencoba mencari jati dirinya,...
Warna Untuk Pelangi
8334      1779     4     
Romance
Sebut saja Rain, cowok pecinta novel yang dinginnya beda dari yang lain. Ia merupakan penggemar berat Pelangi Putih, penulis best seller yang misterius. Kenyataan bahwa tidak seorang pun tahu identitas penulis tersebut, membuat Rain bahagia bukan main ketika ia bisa dekat dengan idolanya. Namun, semua ini bukan tentang cowok itu dan sang penulis, melainkan tentang Rain dan Revi. Revi tidak ...
Seberang Cakrawala
120      109     0     
Romance
sepasang kekasih menghabiskan sore berbadai itu dengan menyusuri cerukan rahasia di pulau tempat tinggal mereka untuk berkontemplasi