Aku telah menyaksikan banyak hal sepanjang perjalanan Aditya: air mata yang diam-diam jatuh di perpustakaan, tawa yang meledak saat main kartu Uno bareng Teman Pagi, dan pidato-pidato tulus yang mengguncang ruang kelas. Tapi malam ini berbeda. Malam ini, aku bisa merasakan sesuatu yang mengendap di dadanya—campuran cemas, bingung, dan sepi yang tak bisa ia tumpahkan ke siapa-siapa.
Laptopnya menyala di meja. Video terbaru untuk channel YouTube-nya selesai di-render. Judulnya: Ketika Dunia Nyata Nggak Sama dengan Dunia Online. Tangannya menggenggam mouse, tapi belum juga menekan tombol “publish.”
“Kenapa malah takut, ya?” gumamnya.
Ia melirikku di pojok kamar, seolah berharap aku bisa menjawab.
Sebenarnya, aku tahu jawabannya. Dunia digital memberinya tempat aman. Tempat ia bisa jadi siapa pun yang ia mau. Tapi kini, dunia nyata mulai menuntut hal yang sama. Dan itu tidak semudah menekan tombol upload.
Besoknya di sekolah, Aditya berjalan pelan melewati lorong. Aku di punggungnya, seperti biasa. Tapi langkahnya tak sebersemangat biasanya. Teman-teman dari Teman Pagi menyapanya, namun ia hanya tersenyum kecil.
Di kelas, Bu Ratih memanggilnya ke ruang BK. Sesampainya di sana, Aditya duduk diam sementara Bu Ratih menatapnya dengan sorot lembut.
“Kamu kelihatan capek, Dit,” kata Bu Ratih.
Aditya mengangguk. “Kayak... banyak banget yang harus saya urusin, Bu. Sekolah, YouTube, Teman Pagi. Tapi saya juga pengin jadi anak yang nggak bikin nenek khawatir. Saya cuma... pengin semuanya jalan.”
“Tapi kamu juga manusia,” ujar Bu Ratih pelan. “Boleh loh kalau kamu lelah. Boleh banget kalau kamu istirahat.”
Aditya menarik napas panjang. “Tapi Bu, kalau saya berhenti sebentar aja, rasanya kayak semua bisa runtuh.”
Bu Ratih tersenyum. “Kalau kamu terus jalan tanpa istirahat, justru yang runtuh pertama kali itu diri kamu sendiri.”
Sepulang sekolah, Aditya mendapati neneknya sedang menyulam di teras. Ia duduk di samping sang nenek, diam, lalu tiba-tiba berkata, “Nek, kalau aku lelah, boleh nggak... aku diem aja dulu?”
Nenek menoleh dan menatapnya dengan lembut. “Kamu nggak harus selalu kuat, Dit. Nenek tahu kamu berusaha keras. Tapi nggak apa-apa kalau mau berhenti sebentar.”
“Takut, Nek... kalau berhenti, aku kayak... kehilangan semuanya.”
“Kamu nggak kehilangan apa-apa saat istirahat. Justru kamu sedang ngumpulin tenaga buat terus jalan.”
Malam itu, Aditya hanya merebahkan diri di kasur. Tak membuka laptop, tak membuka media sosial. Ia hanya menggenggam notes kecil berisi tulisan-tulisan dari Teman Pagi. Tangannya meraba tulisan tangan seseorang yang pernah menulis: “Lo nggak sendirian.”
Beberapa hari kemudian, Aditya dan Teman Pagi diundang oleh sekolah tetangga untuk berbagi pengalaman. Mereka duduk di aula yang asing, tapi tak sepenuhnya membuat Aditya gugup. Kali ini, ia tak berbicara panjang. Justru Bayu yang mengambil alih sebagian besar sesi, menceritakan bagaimana Teman Pagi membantunya saat ia merasa diabaikan di rumah.
Bayu—si anak pendiam yang dulu nyaris tak pernah bersuara—kini duduk di depan banyak orang dan berkata, “Waktu gue pertama kali ngobrol sama Aditya, gue kira dia cuma anak sok-sokan bikin komunitas. Tapi ternyata, dia dengerin. Dan kadang, itu doang yang gue butuh.”
Tepuk tangan mengisi aula. Aditya menoleh padaku dan tersenyum kecil. Aku tahu, ia merasa lega karena bukan hanya dia yang bicara kini. Beban itu mulai terbagi.
Namun malam itu, ketika semua anak pulang, Aditya menerima DM anonim di Instagram.
“Lo pikir lo pahlawan? Channel lo sok-sokan banget.”
“Semua itu cuma buat cari perhatian kan?”
“Gue tahu lo bukan sebaik itu.”
Aditya menatap layar ponselnya lama. Lalu meletakkannya. Ia tidak menangis. Tapi diamnya menyakitkan. Aku tahu. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang kembali tak teratur. Tangannya gemetar kecil saat mematikan lampu kamar.
Keesokan harinya, ia tidak langsung berangkat sekolah. Ia berdiri lama di depan cermin, memandangi wajahnya sendiri. Mungkin ia bertanya dalam hati, apakah benar semua yang ia lakukan hanya untuk pengakuan?
Tapi kemudian ia membuka notes kecil itu lagi. Membaca ulang satu demi satu tulisan:
“Gue bangga sama lu yang masih di sini.”
“Lu nggak harus hebat buat pantas dicintai.”
“Kalau hari ini berat, istirahat bentar juga nggak apa-apa.”
Dan aku tahu, perlahan-lahan, ia memilih untuk tetap berangkat. Mungkin tidak sekuat dulu. Tapi cukup kuat untuk berjalan.
Hari Jumat, kelas mereka kedatangan guru tamu. Seorang konselor muda dari luar kota yang sedang studi banding tentang pendekatan kesehatan mental di sekolah.
Namanya Kak Meira. Ia bertanya pada murid-murid, “Siapa di sini yang pernah ngerasa hidupnya kayak sandiwara?”
Hampir setengah kelas mengangkat tangan.
“Dan siapa yang pernah pura-pura baik-baik aja, padahal enggak?”
Kali ini, hampir semua tangan terangkat. Termasuk tangan Aditya.
Kak Meira tertawa lembut. “Berarti kalian manusia. Dan itu kabar baik. Karena kalau kita udah bisa jujur soal luka kita, kita bisa mulai ngobrolin cara buat sembuh.”
Aditya mencatat semua kata-katanya. Bukan di buku pelajaran. Tapi di lembar kosong di buku catatan pribadinya. Di lembar itu, ia menulis:
“Ternyata gue nggak perlu jadi sempurna buat bisa bantu orang lain. Gue cuma perlu jujur.”
“Dan buat jujur, kadang gue harus berani kecewa dulu sama ekspektasi orang lain.”
Malam harinya, ia merekam podcast sendirian. Di kamar, hanya ada dia, laptop, dan aku.
“Ada yang bilang gue cuma cari perhatian. Mungkin iya. Mungkin karena selama ini gue nggak pernah dapet perhatian yang gue pengin.”
Hening sebentar.
“Tapi makin ke sini, gue sadar... perhatian yang paling penting itu bukan dari orang lain. Tapi dari diri sendiri. Dari keberanian buat ngakuin, ‘gue lagi nggak baik-baik aja.’ Dan itu nggak bikin gue lemah.”
Ia menutup laptop setelah selesai merekam. Lalu menyelipkan catatan kecil ke dalam tasku.
“Terima kasih, karena udah selalu nemenin gue, walaupun lo cuma ransel.”
Aku merasa hangat. Karena aku tahu, walau aku hanya benda mati, aku jadi saksi hidup perubahan besar dalam dirinya.
Besoknya, Aditya berjalan ke sekolah dengan langkah lebih ringan. Ia menyapa orang-orang dengan senyum yang tidak dipaksakan. Saat bertemu Bu Ratih di koridor, ia hanya bilang, “Bu, saya udah publish videonya.”
Bu Ratih hanya mengangguk, tapi senyumnya penuh arti.
Dan aku, si ransel hitam, tahu: dunia memang belum sepenuhnya menerima sisi rapuh manusia. Tapi Aditya sedang belajar berdamai, satu langkah kecil setiap harinya.
***