Hari itu, pagi datang dengan dingin yang menggigit, bahkan lebih menusuk dari biasanya. Angin menyusup lewat jendela kamar Aditya yang belum tertutup rapat. Ia tidak bergeming. Masih terduduk diam di depan laptop yang sudah menyala sejak pukul lima subuh.
Di punggung kursinya, aku tergantung dalam diam, memperhatikan punggungnya yang makin membungkuk. Semalam ia tak banyak tidur. Aku tahu, karena setiap kali layar monitor memudar, tangannya kembali bergerak, membuka tab baru, menuliskan catatan, lalu menghapusnya lagi. Seolah sedang menyusun ulang bagian dari dirinya yang sempat hancur.
Hari ini bukan hari sekolah biasa. Ini hari di mana Aditya memutuskan untuk kembali bicara—bukan sebagai YouTuber, bukan sebagai siswa, bukan sebagai "anak broken home yang pintar menyembunyikan luka", melainkan sebagai seseorang yang mulai menerima kenyataan bahwa masa lalunya bukan sesuatu yang harus ditutupi.
“Udah waktunya,” gumamnya pelan. Ia menggenggam sebuah flashdisk kecil. File rekaman podcast terbaru ada di dalamnya. Bukan podcast komunitas Teman Pagi, bukan juga episode soal kesehatan mental seperti biasanya. Tapi satu rekaman khusus—tentang keluarga.
Tentang ibunya yang meninggal terlalu cepat.
Tentang ayahnya yang pergi tanpa jejak.
Tentang dirinya yang tumbuh di rumah nenek, dibiayai oleh Pakdenya, dan dibesarkan oleh banyak tanya yang tak sempat dijawab.
Kami berangkat ke sekolah dengan langkah pelan tapi stabil. Aditya menolak naik ojek hari ini. “Gue butuh ngerasain jalan kaki,” katanya. “Kayak... biar bisa mikir.”
Pagi masih sepi. Langit belum sepenuhnya biru. Aku bisa merasakan beban dalam dirinya berpindah-pindah, dari satu pikiran ke pikiran lain. Tapi anehnya, tidak seberat biasanya. Seperti seseorang yang akhirnya rela memanggul tas penuh luka karena tahu ada tempat untuk menaruhnya nanti.
Di sekolah, Aditya langsung menuju ruang podcast. Ia bertemu Bu Ratih, yang sudah menunggunya di depan pintu.
“Jadi ini yang mau kamu tayangkan?” tanya Bu Ratih, menerima flashdisk dari tangan Aditya.
“Iya, Bu. Tapi saya juga siap kalau... ini dianggap terlalu personal,” jawab Aditya cepat. “Saya nggak maksa buat ditayangkan.”
Bu Ratih menatapnya lama. “Dunia butuh cerita yang jujur, Dit. Dan kamu berani membagikannya. Itu nggak semua orang bisa.”
Aditya mengangguk. Aku bisa merasakan sedikit getar di bahunya. Ia belum sepenuhnya yakin dengan apa yang ia lakukan. Tapi dia tetap melakukannya. Dan mungkin, itu yang membuatnya berani.
Podcast itu akhirnya tayang di kanal sekolah. Judulnya simpel: "Bukan Salah Anak Kalo Orang Tua Kabur." Dalam rekaman itu, suara Aditya terdengar tenang, tapi sarat emosi. Ia tidak menyalahkan siapa pun. Ia hanya bercerita.
Tentang hari pertama tinggal di rumah nenek, ketika aroma dapur asing menyambutnya.
Tentang malam-malam di mana ia pura-pura tidur padahal hanya menahan tangis di balik selimut.
Tentang Pakde yang selalu datang diam-diam tiap awal bulan, meninggalkan amplop cokelat dan pergi sebelum sempat ditanya apa pun.
“Ada masa di mana gue mikir, apa gue seburuk itu sampai ditinggalin?” katanya dalam rekaman itu. “Tapi makin ke sini, gue sadar... bukan gue yang salah. Gue cuma anak. Anak yang juga pengin dimengerti.”
Podcast itu viral di kalangan siswa. Komentar mengalir dari berbagai arah.
“Gue juga tumbuh sama nenek. Dengerin ini bikin lega.”
“Gue nangis. Tapi kayak... lega juga akhirnya ada yang bilang ini.”
“Lo kuat, Dit. Tapi lo juga manusia. Dan itu oke.”
Sepulang sekolah, Aditya berjalan lebih lambat dari biasanya. Ia tidak buru-buru. Bahkan sempat duduk sebentar di pinggir taman dekat sekolah. Menyender di bangku besi sambil menghadap langit.
Aku masih di punggungnya, bisa merasakan degup jantungnya yang mulai tenang. Sesekali, dia menyentuh resletingku, seperti kebiasaan lamanya saat sedang cemas. Tapi kali ini bukan untuk menenangkan. Lebih seperti refleks—dan mungkin, rasa nyaman.
“Gue udah cerita,” bisiknya. “Sekarang, biarin orang lain cerita balik.”
Sesampainya di rumah, nenek menyambutnya dengan sepiring pisang goreng dan teh hangat. Ia tidak banyak tanya, tapi ada satu kalimat yang diucapkan dengan lirih:
“Nenek dengar rekamanmu. Terima kasih udah cerita, Dit.”
Aditya menunduk. Air matanya jatuh, tapi tak diseka. Ia biarkan mengalir.
Malam harinya, ia kembali membuka laptop. Kali ini bukan untuk mengedit, bukan juga untuk membaca komentar. Ia menulis satu catatan pendek:
"Kadang, luka nggak sembuh karena kita simpan terlalu rapat. Tapi begitu dikasih cahaya, ternyata nggak semenakutkan itu."
Catatan itu tidak disimpan di folder khusus. Ia print dan lipat kecil-kecil, lalu masukkan ke kantong dalamku. Tepat di sebelah kertas-kertas dari pertemuan Teman Pagi dulu.
Aku tahu, Aditya sedang berubah. Tapi bukan menjadi orang lain. Justru, ia sedang pulang ke dirinya sendiri.
Dan aku akan tetap di punggungnya—menyimpan semua yang tak bisa ia katakan, tapi ingin ia bawa.
***