Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
MENU
About Us  

Tangannya gemetar saat membuka amplop itu. Aku bisa merasakan bagaimana jantungnya berdetak kencang, seperti ingin melompat keluar dari dada.

Aditya membaca cepat isi surat itu. Tulisannya acak, penuh coretan, seperti ditulis dalam tangis atau panik.

"Gue udah nyoba kuat. Tapi nggak ada yang denger. Di rumah, suara gue kayak angin. Di sekolah, gue cuma jadi lelucon. Gue capek jadi 'anak baik' yang diem-diem patah. Kalau kalian baca ini, mungkin gue udah nggak ada. Atau... mungkin gue lagi cari tempat buat jadi diri sendiri, meski cuma sebentar. Maaf.”

Tiba-tiba, udara di dalam kamar berubah menjadi dingin. Padahal tak ada AC, tak ada kipas. Tapi kata-kata itu menampar keras, lebih keras dari apa pun yang pernah mereka dengar.

“Dia bisa aja pergi ke jembatan Kali Suci,” kata Raka, suaranya nyaris tak terdengar. “Dia pernah bilang, itu tempat satu-satunya yang bisa bikin dia ngerasa 'tenang'.”

Aditya menoleh cepat. “Lo yakin?”

Raka mengangguk pelan, wajahnya pucat.

Tanpa banyak tanya, Aditya keluar dari rumah. Langkahnya cepat, hampir seperti lari. Malam sudah jatuh sempurna, dan jalanan mulai sepi. Lampu-lampu kota memantulkan bayangan yang panjang di aspal, seperti garis waktu yang kian menipis.

Aku bisa merasakan tubuhnya berkeringat, meski angin malam menusuk kulit. Sepanjang perjalanan, pikiran penuh—tentang suara yang tak sempat didengar, tentang peringatan yang terabaikan, tentang bagaimana satu kalimat "nggak apa-apa" bisa saja menyelamatkan nyawa.

Tiba di jembatan Kali Suci, suasana benar-benar sunyi.

Tak ada suara motor. Tak ada pembicaraan warga.

Hanya aliran air yang terdengar di bawah, bergemuruh kecil.

Aditya menoleh ke kanan dan kiri. Raka berdiri di belakangnya, menarik napas cepat, panik. Lalu, dari kejauhan, mereka melihat sosok berdiri di tepian jembatan. Berdiri diam. Menatap ke bawah.

“Naufal!” teriak Aditya tanpa sadar.

Sosok itu tak bergerak.

Aditya berlari. Aku memantul-mantul di punggung, tapi aku tak peduli. Napasnya berburu, suara langkahnya menggema di badan jembatan yang sepi.

"Naufal! Denger gue dulu! Tolong!"

Sosok itu menoleh. Wajah pucat, mata sembab. Tapi ada kejutan di dalamnya. Sepertinya, dia tak menyangka akan ditemukan.

“Ngapain lo ke sini?” tanya Naufal, suaranya serak. “Lo nggak harus dateng… Gue nggak penting.”

Aditya berhenti dua meter dari tepian. Ia tak langsung menjawab. Ia tahu, satu kata yang salah bisa menggiring semuanya menjadi lebih gelap.

“Gue baca surat lo,” katanya pelan. “Dan itu... cukup bikin gue ngerasa gagal sebagai temen.”

Naufal menunduk. Bahunya bergetar.

“Gue tahu lo ngerasa sendirian. Tapi percaya deh… sekarang lo nggak sendirian lagi.”

"Lo nggak ngerti, Dit. Di rumah, gue kayak hantu. Di sekolah, gue cuma jadi bahan lelucon. Bahkan saat gue cerita ke wali kelas, katanya gue 'terlalu sensitif'. Gue... nggak tahu mau ke mana lagi."

Aditya melangkah perlahan. Satu langkah. Lalu berhenti. "Kalau lo masih mau pergi... gue nggak bisa nahan. Tapi gue minta satu hal: kasih gue waktu lima menit. Buat dengerin lo."

Diam Naufal. Air matanya mengalir pelan. Tapi ia tak melangkah mundur, juga tak maju.

Aditya melepaskan tugasku dari punggung. Ia letakkan perlahan di pinggir jembatan, lalu duduk di situ, bersila, seperti saat mereka podcast.

“Tempat ini memang tenang, Nauf. Tapi lebih tenang lagi kalau lo bisa cerita tanpa takut dihakimi.”

Hening. Lama.

Lalu Naufal bicara. Pelan. Terputus-putus. Tentang ayah yang berkata “ngapain sekolah kalau cuma bikin malu.” Tentang malam-malam tidur dengan musik keras di telinga biar gak denger konflik orangtuanya. Tentang rasa iri ke teman-temannya yang bisa tertawa tanpa beban.

Aditya mendengarkan.

Tak menyela.

Tak menawarkan solusi.

Hanya mendengarkan.

Dan untuk pertama kalinya, mungkin itu cukup.

Satu jam kemudian, mereka bertiga duduk di warung pinggir jalan, makan mi rebus instan. Naufal masih diam, tapi matanya mulai terbuka. Ada cahaya tipis di situ. Raka membuat lelucon receh tentang mie yang katanya rasa "galau berkarat" karena terlalu lama dimasak. Naufal tersenyum kecil. Pelan. Tapi nyata.

Malam itu, Aditya menulis satu catatan pendek di HP-nya:

“Mungkin kita nggak bisa nyelametin semua orang. Tapi kalau kita bisa jadi alasan satu orang tetap bertahan... itu udah lebih dari cukup.”

Keesokan harinya, Aditya kembali ke ruang BK. Ia minta bicara langsung dengan Bu Nindya.

“Bu,” katanya tenang, “kalau sekolah mau bantu, saya terbuka. Tapi kalau disuruh berhenti, saya tidak bisa. Karena malam kemarin, kami nyelametin teman kami dari niat buat... pergi selamanya.”

Bu Nindya prihatin.

"Saya nggak ahli, Bu. Tapi saya tahu rasanya jadi orang yang ngerasa nggak punya siapa-siapa. Dan saya nggak mau ada yang ngerasa kayak gitu lagi."

Ia menatap gurunya secara langsung. Tak ada rasa takut di matanya, hanya ketulusan yang nyaring.

“Saya pengin terus dengerin mereka. Karena kadang-kadang, satu-satunya hal yang membuat seseorang tetap hidup... adalah ketika akhirnya ada yang benar-benar mau dengerin.”

Aku bisa merasakan sesuatu berubah di ruangan itu. Seperti dinding tak terlihat yang mulai retak.

Tapi di luar ruangan...

Seorang murid perempuan berdiri diam di depan pintu BK. Ia mendengar sebagian dari percakapan tadi. Wajahnya pucat. Tangannya memegang ujung lengan seragamnya.

Dan saat Aditya keluar dari ruangan, gadis itu tiba-tiba memanggil dengan suara pelan.

"Aditya... boleh minta waktu sebentar? Gue... kayaknya butuh dengerin juga. Tapi... kayaknya suara gue udah terlalu lama hilang."

Aditya menoleh. Matanya membulat pelan. Bukan karena wajah gadis itu asing.

Tapi karena dia mengenalnya dengan baik— itu Zahra , satu-satunya murid yang selama ini dikenal selalu kuat. Selalu ceria.

Dan kini, matanya sembab. Suaranya gemetar.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Bisikan yang Hilang
70      63     2     
Romance
Di sebuah sudut Malioboro yang ramai tapi hangat, Bentala Niyala penulis yang lebih suka bersembunyi di balik nama pena tak sengaja bertemu lagi dengan Radinka, sosok asing yang belakangan justru terasa akrab. Dari obrolan ringan yang berlanjut ke diskusi tentang trauma, buku, dan teknologi, muncul benang-benang halus yang mulai menyulam hubungan di antara mereka. Ditemani Arka, teman Radinka yan...
Fusion Taste
163      150     1     
Inspirational
Serayu harus rela kehilangan ibunya pada saat ulang tahunnya yang ke lima belas. Sejak saat itu, ia mulai tinggal bersama dengan Tante Ana yang berada di Jakarta dan meninggalkan kota kelahirannya, Solo. Setelah kepindahannya, Serayu mulai ditinggalkan keberuntunganya. Dia tidak lagi menjadi juara kelas, tidak memiliki banyak teman, mengalami cinta monyet yang sedih dan gagal masuk ke kampus impi...
Je te Vois
807      540     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandunganklaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menjadi ...
Langkah Pulang
480      340     7     
Inspirational
Karina terbiasa menyenangkan semua orangkecuali dirinya sendiri. Terkurung dalam ambisi keluarga dan bayang-bayang masa lalu, ia terjatuh dalam cinta yang salah dan kehilangan arah. Saat semuanya runtuh, ia memilih pergi bukan untuk lari, tapi untuk mencari. Di kota yang asing, dengan hati yang rapuh, Karina menemukan cahaya. Bukan dari orang lain, tapi dari dalam dirinya sendiri. Dan dari Tuh...
Langit-Langit Patah
28      24     1     
Romance
Linka tidak pernah bisa melupakan hujan yang mengguyur dirinya lima tahun lalu. Hujan itu merenggut Ren, laki-laki ramah yang rupanya memendam depresinya seorang diri. "Kalau saja dunia ini kiamat, lalu semua orang mati, dan hanya kamu yang tersisa, apa yang akan kamu lakukan?" "Bunuh diri!" Ren tersenyum ketika gerimis menebar aroma patrikor sore. Laki-laki itu mengacak rambut Linka, ...
To the Bone S2
533      378     1     
Romance
Jangan lupa baca S1 nya yah.. Udah aku upload juga .... To the Bone (untuk yang penah menjadi segalanya) > Kita tidak salah, Chris. Kita hanya salah waktu. Salah takdir. Tapi cintamu, bukan sesuatu yang ingin aku lupakan. Aku hanya ingin menyimpannya. Di tempat yang tidak mengganggu langkahku ke depan. Christian menatap mata Nafa, yang dulu selalu membuatnya merasa pulang. > Kau ...
Seharusnya Aku Yang Menyerah
134      114     0     
Inspirational
"Aku ingin menyerah. Tapi dunia tak membiarkanku pergi dan keluarga tak pernah benar-benar menginginkanku tinggal." Menjadi anak bungsu katanya menyenangkan dimanja, dicintai, dan selalu dimaafkan. Tapi bagi Mutia, dongeng itu tak pernah berlaku. Sejak kecil, bayang-bayang sang kakak, Asmara, terus menghantuinya: cantik, pintar, hafidzah, dan kebanggaan keluarga. Sementara Mutia? Ia hanya mer...
The Boy Between the Pages
1539      929     0     
Romance
Aruna Kanissa, mahasiswi pemalu jurusan pendidikan Bahasa Inggris, tak pernah benar-benar ingin menjadi guru. Mimpinya adalah menulis buku anak-anak. Dunia nyatanya membosankan, kecuali saat ia berada di perpustakaantempat di mana ia pertama kali jatuh cinta, lewat surat-surat rahasia yang ia temukan tersembunyi dalam buku Anne of Green Gables. Tapi sang penulis surat menghilang begitu saja, meni...
Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
3040      1167     26     
Romance
Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, tekanan bisa datang dari tempat paling dekat: keluarga, harapan, dan bayang-bayang yang tak kita pilih sendiri. Cerita ini mengangkat isu kesehatan mental secara mendalam, tentang Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan anhedonia, dua kondisi yang sering luput dipahami, apalagi pada remaja. Lewat narasi yang intim dan emosional, kisah ini menyajikan perj...
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
1265      780     0     
Inspirational
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berhas...