Aku belum pernah melihat Aditya sesibuk ini. Pagi-pagi, ia sudah menyiapkan tripod, memeriksa mikrofon clip-on yang ia pinjam dari ruang OSIS, dan memeriksa ulang daftar pertanyaan di ponsel. Podcast perdana Teman Pagi akan direkam hari ini, dan mereka memilih ruang perpustakaan tua yang jarang dipakai sebagai tempatnya.
Di belakangnya, aku bisa merasakan ketegangan yang berbeda dari pidato hari Senin lalu. Kali ini bukan soal bicara di depan orang banyak. Tapi soal merekam kerapuhan—dan membagikannya.
“Lo yakin gak mau sensor nama?” tanya Aditya ke Raka, teman pertama di komunitas itu. Suaranya pelan tapi tulus.
Raka mengangguk. “Yakin. Kalau gue nggak mulai buka suara sekarang, gue takut suara gue nggak akan pernah keluar sama sekali.”
Dan saat mikrofon menyala, ruangan menjadi hening. Hanya ada suara AC tua yang berisik dan detik-detik gugup yang terasa seperti gema.
“Selamat datang di Teman Pagi Podcast. Episode satu: Ketika Kita Nggak Tahu Mau Jadi Apa,” Aditya membuka dengan suara rendah. “Hari ini, gue ngobrol bareng Raka. Dan kita mau cerita tentang hal-hal yang biasanya... gak diomongin.”
Aku bisa merasakan tangan Aditya sedikit gemetar. Tapi dia tetap melanjutkan.
Raka tertawa kecil, lalu mulai bicara. Tentang tekanan dari keluarga yang selalu menuntut nilai sempurna. Tentang malam-malam penuh kecemasan. Tentang mimpi yang berubah-ubah. Tentang rasa takut gagal yang membuat ia tidak berani memulai apa pun.
“Kadang gue ngerasa hidup gue kayak file download yang stuck di 0% terus,” katanya. “Tapi waktu lo ngajak ngobrol minggu lalu, gue ngerasa kayak... file itu tiba-tiba resume lagi.”
Aditya tertawa, lalu mengangguk. “Mungkin kita semua file yang lagi buffering, Rak. Dan itu nggak apa-apa.”
Setelah rekaman selesai, mereka saling menampar punggung. Tak ada tepuk tangan. Tak ada penonton. Tapi ada perasaan lega yang besar. Misalnya, sebagian beban itu benar-benar turun bersama suara yang akhirnya berani diucapkan.
Seminggu setelah podcast itu diunggah, jumlah views-nya tak langsung meledak. Tapi komentar-komentarnya—sekali lagi—jadi bukti bahwa kata-kata punya daya untuk disentuh.
“Aku pikir cuma aku yang takut ngelangkah. Ternyata, ada juga yang ngerasa sama.”
"Gue nonton ini pas lagi nyalahin diri sendiri. Tapi sekarang... mungkin gue bisa maafin diri gue juga."
Aditya mulai percaya bahwa yang mereka lakukan bukan sekedar hobi. Ini semacam jembatan—dari orang yang diam, menuju orang yang mulai bicara.
Tapi tak semua orang melihatnya seperti itu.
Hari Rabu siang, Aditya dipanggil ke ruang BK.
Bu Nindya, guru BK selain Bu Ratih yang selama ini jarang terlihat, bertanya duduk dengan ekspresi yang tak bisa ditebak.
“Aditya, saya dengar kamu membuat komunitas dan konten tentang... kesehatan mental?”
“Iya, Bu,” jawab Aditya hati-hati.
"Bagus kalau tujuannya membantu teman-teman. Tapi kamu tahu, ulasan seperti ini harus hati-hati. Bisa sensitif. Bisa salah menangkap. Kamu bukan ahli, Dit."
Aditya mengangguk. “Saya ngerti, Bu. Tapi saya juga nggak pernah ngaku sebagai ahli. Kami hanya pengin jadi tempat buat teman-teman ngobrol.”
Bu Nindya menatap Aditya lama. "Saya tahu niatmu baik. Tapi beberapa orang tua murid mulai khawatir. Ada yang bilang anaknya jadi 'melankolis' setelah nonton podcast-mu."
Aku bisa merasakan tangan Aditya mengepal di bawah meja.
“Kalau kamu masih ingin melanjutkan, saya sarankan kamu berdiskusi dulu dengan pihak sekolah. Jangan bertindak sendiri, ya?”
Aditya mengangguk pelan, tapi aku tahu, kepalanya sedang penuh tanya. Apakah ini peringatan? Atau permintaan untuk berhenti?
Malamnya, Aditya duduk lama di kamar. Ia membuka ulang semua komentar di podcast. Lalu membuka kolom DM di Instagram, di mana ada pesan dari seorang akun anonim:
"Gue pengin banget cerita. Tapi gue nggak tahu harus mulai dari mana. Tolong jangan berhenti bikin konten itu. Itu satu-satunya alasan gue masih bertahan minggu ini."
Aku melihat wajah Aditya berubah. Campuran antara bingung, takut, dan tekad yang perlahan tumbuh lagi.
Ia membuka jurnal, dan menulis:
“Ternyata, dengerin orang juga bisa bikin kita merasa sendirian lebih sedikit. Tapi kenapa, ya... pas kita mulai dengerin, dunia malah nyuruh kita tutup telinga?”
Hari Jumat, Raka datang ke rumah Aditya. Mereka duduk di teras seperti biasa. Tapi kali ini, Raka membawa kabar yang berat.
“Gue dapet chat dari Naufal,” katanya pelan. “Katanya... dia kepikiran buat kabur dari rumah.”
Aditya langsung duduk tegak. “Yang benar?”
“Dia cerita soal bokapnya yang makin keras. Soal ibunya yang cuek. Dia bilang... dia udah nyoba nulis surat pamit.”
Aku bisa merasakan nafas Aditya tercekat. Tanpa banyak bicara, ia langsung membuka HP dan mencoba menghubungi Naufal.
Nada tunggu. Lalu tak terhubung.
Sekali lagi.
Dan lagi.
Tak diangkat.
Aditya langsung berdiri dan berlari masuk ke kamar. Ia membuka tugasku, memasukkan power bank, dompet, dan jaket tipis. Raka ikut mengekor.
“Naufal rumahnya di mana?” tanya Aditya.
“Depan gang pasar lama.Nomor 17.”
“Yuk, sekarang.”
Aku digendong erat di punggung. Tak ada keraguan dalam langkah Aditya, hanya kekhawatiran yang mendesak. Langit sudah mulai gelap, dan angin sore berhembus seperti pertanda buruk yang sulit ditepis.
Di tengah jalan, Aditya berkata setengah berbisik, “Kalau dia benar-benar pergi, Rak… dan kita telat…”
Raka menunduk. Tak menjawab. Tapi langkah mereka semakin cepat.
Sesampainya di depan rumah Naufal, pagar tampak setengah terbuka. Tak ada suara dari dalam. Tak ada lampu yang menyala.
Aditya memanggil pelan. Naufal?
Tak ada jawaban.
Ia melangkah ke dalam. Detak jantungnya semakin cepat. Aku bisa merasakannya. Tangannya mulai gemetar.
Dan saat ia membuka pintu kamar Naufal yang tak terkunci—
Kosong.
Di atas tempat tidur, hanya ada satu amplop putih.
Dengan tulisan tangan yang goyah:
“Maaf. Tapi gue udah terlalu capek.”