Senin pagi. Langit Mendung. Suasana sekolah sedikit lebih muram dari biasanya. Mungkin karena hujan kecil yang turun semalaman, atau mungkin karena banyak yang masih lelah menghabiskan kegiatan akhir pekan. Tapi bagi Aditya, ini hari yang penting. Hari di mana podcast perdana Teman Pagi akan tayang di kanal sekolah.
Ia datang lebih pagi dari biasanya. Langkahnya ringan, tapi aku bisa merasakan detak jantungnya berdetak cepat di punggungku. Dalam perutku, ada flashdisk berisi rekaman suara mereka kemarin. Judulnya masih sama seperti yang ia tulis di jurnal: Ketika Kita Ngak Tahu Mau Jadi Apa .
Di ruang OSIS, tempat mereka biasa berkumpul, sudah ada Bayu dan Saka. Bayu sedang menggambar sesuatu di papan tulis kecil—gambar headphone dan mikrofon dengan tulisan “Podcast Teman Pagi” di atasnya. Sedangkan Saka, seperti biasa, menyalakan sibukin laptop sambil mengunyah biskuit.
“Ada yang udah denger?” tanya Aditya sambil duduk.
“Belum,” jawab Bayu pelan. "Tapi gue udah share ke grup angkatan. Sama ke grup alumni juga."
“Alumni?” Saka ngangkat alis. “Kapan lo jadi admin?”
Bayu nengir kecil. "Nggak jadi admin. Cuma nitip ke kakak kelas yang dulu pernah ngobrol bareng kita. Ternyata mereka masih peduli."
Aditya tersenyum. Ia tidak membayangkan percakapan sederhana bisa meluas sejauh itu.
Podcast itu berdurasi 90 menit. Di dalamnya, mereka hanya ngobrol. Tidak ada backsound, tidak ada efek suara. Tapi justru itu yang membuatnya terasa nyata. Saka membuka dengan gaya khasnya:
"Kita bukan orang sukses, bukan motivator, bukan psikolog. Kita cuma remaja yang kadang bingung hidup ini mau dibawa ke mana."
Lalu Aditya menyambung:
“Dan itu wajar. Yang tidak wajar adalah pura-pura tidak apa-apa terus menerus.”
Bayu menutup dengan suara pelan, hampir seperti bisikan:
“Kalau lo yang lagi dengerin ini juga ngerasa bingung, berarti lo nggak sendirian.”
Setelah bel masuk, mereka menaruh headphone dan peralatan ke dalam perutku. Hari itu mereka sepakat: podcast akan tayang seminggu sekali. Topiknya bisa dari mana saja—curhatan, cerita, atau hal-hal remeh yang sebenarnya penting.
Di kelas, suasana lebih ramai dari biasanya. Beberapa teman sekelas mulai saling bisik-bisik.
“Lo dengerin podcast-nya Aditya nggak?”
"Serius itu dia? Suaranya beda."
“Gue dengerin semalem. Lumayan ngena sih...”
Aditya pura-pura cuek. Tapi aku tahu, kupingnya merah. Dia nggak terbiasa dapat perhatian seperti itu.
Setelah pelajaran, Bu Ratih datang ke kelas. Ia memanggil Aditya dan Bayu untuk berbicara di ruang BK. Tapi kali ini, bukan karena masalah.
“Podcast kalian bagus,” ujar Bu Ratih sambil menunjuk ke layar laptopnya. “Isinya jujur. Maksudnya, saya suka.”
Bayu hanya menunduk. Aditya mengangguk pelan.
“Tapi... saya juga dapat laporan dari beberapa guru. Katanya topik kalian terlalu 'melankolis'. Mereka takut anak-anak jadi kepikiran hal-hal berat.”
Ada jeda. Lalu Bu Ratih melanjutkan, lebih lembut:
"Saya ngerti maksud mereka. Tapi saya juga ngerti maksud kalian. Karena itu, saya mau menawarkan ruang BK sebagai tempat rekaman. Lebih aman, dan bisa jadi contoh pendekatan positif."
Mata Aditya membulat. “Serius, Bu?”
Bu Ratih mengangguk. “Asal kalian konsisten dan tetap hati-hati sama konten yang kalian bawa. Jangan terlalu gelap. Tapi juga jangan terlalu pura-pura bahagia.”
Suatu hari nanti, Aditya duduk di atap rumah neneknya—tempat yang biasanya ia datangi jika butuh sendiri. Dari sini, ia bisa melihat langit yang mulai cerah.
Tiba-tiba, notifikasi masuk ke ponselnya. DM dari akun anonim:
"Gue udah mau nyerah minggu lalu. Tapi podcast lo bikin gue nunda itu. Makasih, Dit. Meski lo nggak kenal gue, lo nyelametin gue."
Tangannya gemetar saat membaca itu. Ia tidak langsung membalas. Dia hanya diam saja. Memandang langit. Menyeka air mata yang jatuh tanpa aba-aba.
Dan aku, si ransel hitam, masih tergantung di sandaran kursi. Di dalamku, ada mikrofon, kabel, catatan kecil, dan harapan-harapan baru.
Terkadang, suara paling kecil pun bisa menyelamatkan.
Apalagi kalau suara itu jujur.
Dan Aditya baru saja mulai belajar bagaimana menjadi suara itu.
***