Namaku masih tas ransel hitam, satu-satunya barang yang selalu menempel di punggung Aditya ke mana pun ia pergi. Tapi akhir-akhir ini, aku merasa lebih seperti teman yang menyaksikan perubahan besar dalam hidup anak itu. Dan hari ini, perubahan itu akan tampil di atas panggung—secara harfiah.
Semuanya bermula dari sebuah undangan kecil: "Festival Literasi Pelajar." Sekolah Aditya terpilih untuk mengisi satu sesi presentasi. Bu Ratih, guru BK mereka yang kini menjadi mentor tidak resmi forum “Teman Tak Terlihat,” mengusulkan agar Aditya dan teman-temannya berbagi kisah tentang forum tersebut.
"Kita butuh ruang seperti ini dikenalkan lebih luas. Bukan demi popularitas, tapi karena siapa tahu ada anak lain yang butuh tempat seperti ini di sekolah mereka," kata Bu Ratih di ruang BK saat briefing bersama.
Aditya, seperti biasa, tidak langsung menjawab. Aku bisa merasakan punggungnya menegang. Reya mengangkat tangan, “Kalau Aditya ragu, gue bisa bantu presentasiin. Tapi... sebaiknya lo yang bicara.”
Alif ikut menimpali, “Lo pendirinya, Dit. Gue sama Ayu bisa backup. Lo nggak sendiri.”
Dan seperti itu, keputusan dibuat. Aditya setuju.
Persiapan dilakukan hampir setiap sore sepulang sekolah. Aku terlempar dari pundaknya ke lantai ruang pertemuan kecil yang mereka pakai di perpustakaan. Setiap catatan dibacakan, diedit, lalu dibacakan ulang. Mereka melatih tempo bicara, pilihan kata, dan ekspresi wajah. Tapi di balik itu semua, ada satu hal yang paling sulit dilatih: keberanian.
Suatu sore saat semua pulang, Aditya tetap duduk di depan layar laptopnya. Punggungnya bersandar di kursi, dan aku tergeletak di sebelahnya. Di layar, dia mengetik draft presentasi:
"Kami memulai forum ini bukan karena kami hebat, tapi karena kami lelah diam. Karena kami tahu diam bisa menyakiti lebih dari kata-kata."
Kalimat itu ia baca berulang kali. Lalu dihapus. Lalu diketik ulang.
Hari presentasi tiba. Aula sekolah lain yang menjadi lokasi festival itu ramai oleh siswa dari berbagai SMA di kota. Panggungnya kecil, hanya cukup untuk tiga orang berdiri berdampingan, tapi bagi Aditya, panggung itu terasa seperti dunia.
Aku dibawa seperti biasa, diisi dengan laptop, charger, dan sebotol air minum. Tapi lebih dari itu, aku membawa rasa gugup Aditya yang tak bisa disembunyikan.
Sesi mereka dimulai pukul sepuluh pagi. Sebelumnya, ada presentasi tentang komunitas pecinta literasi, kelompok seni puisi, bahkan kampanye menulis cerpen remaja. Semua bicara lancar, memakai infografis menarik dan bahasa yang mengalir.
Lalu giliran Aditya.
Dia berdiri di tengah. Ayu dan Alif berdiri di sisi kanan dan kiri. Slide pertama muncul di layar: "Teman Tak Terlihat: Suara yang Tidak Ingin Hilang."
Aditya menarik napas.
"Hai. Nama saya Aditya. Saya bukan pembicara hebat. Saya bukan penulis puisi atau aktivis. Saya hanya seorang siswa biasa... yang sempat merasa tidak ada." Suaranya terdengar sedikit bergetar.
Aku bisa mendengar dentuman jantungnya dari dalam. Tapi dia terus bicara.
"Forum ini dimulai dari sebuah unggahan. Tentang rasa kosong. Tentang beban yang disimpan terlalu lama. Saya pikir saat itu, saya hanya satu-satunya yang merasa begitu. Tapi ternyata... banyak yang ikut bicara setelah saya berani nulis duluan."
Ayu lalu mengambil alih untuk menjelaskan bagaimana sistem forum itu bekerja. Alif menunjukkan data singkat jumlah pengguna dan cerita yang dikurasi. Tapi saat Aditya kembali ke mic, suasana berubah menjadi hening lagi.
"Kami tidak menyembuhkan siapa pun. Kami bukan ahli. Tapi kami percaya: didengar itu bisa menyelamatkan. Dan kami ingin lebih banyak sekolah punya ruang seperti ini, bukan karena ini tren, tapi karena ini penting."
Tepuk tangan pun terdengar. Tidak meriah. Tidak dramatis. Tapi hangat dan tulus. Beberapa guru bahkan berdiri memberi apresiasi.
Dan untuk pertama kalinya, aku melihat Aditya tidak menunduk malu. Dia berdiri tegak, bahkan tersenyum.
Usai presentasi, beberapa siswa dari sekolah lain menghampiri. Ada yang bertanya, ada yang hanya mengucapkan terima kasih. Seorang anak perempuan dari sekolah swasta bahkan berkata, “Gue pikir gue satu-satunya yang ngerasa kayak hantu di kelas sendiri.”
Aditya membalas pelan, “Lo nggak sendiri.”
Kalimat itu seperti mantra. Pendek, tapi menghangatkan.
Dalam perjalanan pulang naik angkot, Aditya duduk diam. Reya tertidur di sampingnya. Alif sibuk memainkan ponselnya. Aku di pangkuan Aditya, dan tangan kanannya sesekali menggenggam tali pundakku.
Aku tahu, di balik diamnya, pikirannya bekerja keras. Bukan hanya tentang acara tadi, tapi tentang hal yang lebih dalam: kepercayaan diri yang perlahan tumbuh. Percaya bahwa dia punya nilai, bahkan saat tidak sempurna. Percaya bahwa kehadirannya berarti, bahkan saat dia tidak bersuara paling lantang.
Malamnya, Aditya membuka laptop dan menulis satu entri blog untuk forum:
"Gue baru sadar, panggung nggak selalu berarti sorotan. Kadang panggung adalah tempat lo berdiri, menatap mata orang-orang yang juga takut bicara, lalu lo bilang, 'Gue juga ngerasa itu.' Dan itu cukup."
Post itu dibaca lebih dari seribu kali dalam dua hari. Tapi Aditya tidak peduli angka. Yang dia pedulikan adalah komentar dari seseorang yang menulis:
"Gue ikut festival itu. Lo ngebantu gue percaya kalau rasa sakit gue itu valid. Makasih ya, Kak."
Keesokan harinya di sekolah, Bu Ratih memanggil Aditya.
"Kamu sudah membuat perubahan, Dit. Tapi ingat, perubahan itu harus dirawat. Forum ini akan terus berkembang. Kamu siap kalau nanti tidak semua orang setuju dengan caramu?"
Aditya terdiam. "Gue nggak yakin, Bu. Tapi gue tahu gue nggak akan sendirian."
Bu Ratih tersenyum. "Itu yang penting. Bukan soal yakin, tapi soal nggak berhenti saat ragu."
Sore itu, Aditya duduk di kamar sambil memeluk lutut. Cahaya senja menyusup lewat celah jendela. Aku tergeletak di dekat meja, kosong, karena semua isiku sudah dibongkar.
Tapi aku tahu, aku nggak benar-benar kosong.
Karena Aditya pun kini tidak lagi kosong.
Dan untuk pertama kalinya, aku tidak sekadar jadi tas ransel. Aku adalah saksi bahwa suara sekecil apa pun bisa punya gaung besar, selama ia tulus.
***