Aku terlempar ke lantai kamar Aditya, kosong dari buku dan perlengkapan sekolah. Dia membongkarku begitu saja sepulang sekolah tadi, lalu duduk di lantai, membelakangi jendela yang dibiarkan terbuka meski senja menyemburkan hawa dingin ke dalam kamar.
Sudah seminggu sejak presentasi itu. Banyak yang memuji Aditya. Bahkan kepala sekolah ikut memberi apresiasi, menyebut forum “Teman Tak Terlihat” sebagai gerakan kecil yang berdampak besar. Tapi hari ini, senyum itu seolah lenyap. Ada yang aneh dengan Aditya.
Tadi pagi, sebelum berangkat sekolah, aku merasakan dia membongkar dan membanting beberapa buku ke dalam tubuhku tanpa rapi seperti biasa. Jemarinya gemetar waktu dia menutup ritsletingku. Langkahnya berat saat menggendongku.
Sepulang sekolah, Aditya langsung melempar tubuhku ke lantai dan duduk membisu selama lebih dari satu jam. Tidak membuka laptop. Tidak menyalakan lampu. Tidak menyapa neneknya. Hanya diam.
“Dit, makan dulu, Nak,” suara neneknya terdengar dari luar kamar.
“Sebentar, Nek,” jawabnya pelan.
Tapi tak ada gerakan. Tak ada niat membuka pintu. Setelah suara langkah neneknya menjauh, Aditya menunduk, memeluk lututnya. Bahunya berguncang pelan. Suara isakan tertahan memenuhi kamar.
Aku tak bisa berbuat apa-apa. Hanya diam di pojok, melihat bagaimana anak itu rapuh untuk pertama kalinya sejak semua orang menganggap dia kuat.
Aditya tidak datang ke sekolah keesokan harinya. Atau hari setelahnya. Aku tetap kosong, tergeletak di pojok kamar. Telepon genggamnya juga nyaris tidak disentuh.
Baru pada hari ketiga, dia membuka laptop. Aku pikir dia akan bermain atau membuka YouTube. Tapi bukan itu yang terjadi.
Dia membuka dokumen kosong, mengetik satu kalimat:
"Gue capek jadi simbol keberanian, padahal gue sendiri masih berantakan."
Ia menatap layar cukup lama. Lalu mulai mengetik lagi, lebih cepat:
"Mereka bilang gue inspiratif. Tapi gue ngerasa munafik. Gue bantu orang lain, tapi gue sendiri nggak tahu cara bantu diri gue sendiri."
Tangannya berhenti. Lalu, dengan suara parau, dia bicara seolah pada diriku:
“Kenapa harus gue? Kenapa semua beban kayaknya nempel terus di gue?”
Sore itu, Bu Ratih datang ke rumah. Mungkin karena dia menyadari absennya Aditya selama tiga hari. Nenek menyambutnya dengan ramah dan mengizinkan masuk ke kamar.
Aditya tidak menyangka. Dia buru-buru duduk tegak, mengusap wajahnya.
“Boleh Bu Ratih duduk?” tanya gurunya lembut.
Aditya mengangguk.
“Bu denger kamu nggak masuk. Semuanya baik-baik aja?”
Aditya menghela napas, lama. “Gue bingung, Bu. Semua orang bilang forum ini bagus, bahwa gue ngebantu banyak orang... tapi gue sendiri ngerasa makin hancur.”
“Kenapa kamu ngerasa makin hancur?”
“Gue kayak... kehilangan arah. Semua orang ngelihat gue sebagai ‘anak kuat’ itu. Padahal gue masih sering ngerasa kosong, takut, capek. Gue mulai ngerasa harus jadi kuat terus biar mereka nggak kecewa.”
Bu Ratih mendengarkan dengan tenang. “Itu wajar, Dit. Kamu manusia. Bukan simbol. Bukan penyelamat. Justru yang bikin forum kamu berarti adalah karena kamu juga sedang berjuang. Itu yang bikin kamu bisa ngerti orang lain.”
“Lalu kalau gue jatuh, siapa yang bantu gue?” suara Aditya nyaris pecah.
“Ada. Kami semua. Nenekmu. Teman-temanmu. Kamu nggak sendiri, Dit. Tapi kamu harus belajar minta tolong.”
Hari itu, Bu Ratih mengenalkan Aditya pada seorang konselor remaja, yang biasa membantu siswa dari sekolah lain dengan pendekatan empatik dan relaksasi. Pertemuan itu jadi awal baru.
Aditya sempat ragu. Tapi akhirnya dia mau bicara. Aku tahu karena ketika dia kembali ke kamar setelah sesi pertama, dia menulis di notes-nya:
“Ternyata menyembuhkan bukan soal cepat. Tapi soal jujur sama luka yang nggak kelihatan.”
Forum online mereka sempat hening seminggu. Tapi akhirnya, Aditya kembali menulis.
“Buat lo yang ngerasa harus selalu kuat supaya nggak ngecewain orang lain... mungkin hari ini, lo perlu bilang ke diri sendiri: ‘Nggak apa-apa kalau gue juga butuh pelukan.’”
Tulisan itu jadi entri terbanyak yang dikomentari bulan itu. Banyak yang bilang merasa lega. Banyak juga yang akhirnya berani cerita soal tekanan jadi anak sulung, atau jadi ‘teman tempat curhat’ yang capek sendiri.
Dan Aditya mulai sadar. Bahwa perjuangan menemukan jati diri bukan berarti harus selalu tahu jawabannya. Kadang, cukup dengan berani bertanya, “Gue kenapa, ya?” itu pun sudah langkah besar.
Malam itu, dia membereskan isi tubuhku: laptop, buku catatan, air minum, dan satu benda baru—sebuah jurnal kecil. Dia menyelipkannya dengan hati-hati.
“Mulai sekarang, kita bawa ini juga, ya,” gumamnya sambil menepuk punggungku.
Aku bukan sekadar ransel lagi. Aku adalah ruang penyimpan luka, cerita, dan perjalanan sunyi anak laki-laki yang sedang belajar mengenal dirinya. Dan malam ini, untuk pertama kalinya dalam minggu yang berat, Aditya tidur lebih tenang.
Karena dia tahu: menjadi kuat bukan berarti tak pernah goyah. Tapi berani bilang, “Aku butuh waktu.”
***