Hari-hari setelah peluncuran resmi forum itu seperti roller coaster: naik, turun, cepat, dan kadang bikin mual. Tapi anehnya, Aditya bertahan. Mungkin karena untuk pertama kalinya dalam hidup, dia merasa dibutuhkan bukan karena pencitraan, tapi karena keberaniannya menjadi jujur.
Pagi itu aku dibawa ke sekolah seperti biasa, menggantung di punggung Aditya yang sedikit lebih ringan meski ujian tengah semester sedang berlangsung. Ada semacam lega yang tak bisa dijelaskan.
Di kelas, pelajaran fisika hampir tak terdengar karena semua kepala menunduk menghafal rumus, tapi satu kertas kecil dilempar ke arah Aditya.
"Thanks ya, gue nulis di forum lo minggu lalu. Gue ngerasa lega."
Aditya membaca, menoleh, dan tersenyum ke arah pengirimnya: Rama, teman sekelas yang jarang bicara. Aditya membalas dengan anggukan pelan. Aku bisa merasakan detak jantungnya menghangatkan punggungku.
Usai sekolah, mereka bertiga—Aditya, Ayu, dan Alif—bertemu di perpustakaan. Bukan untuk belajar, tapi menyusun ide: mereka ingin membuat sesi offline. Sebuah ruang diskusi tatap muka untuk siapa pun yang ingin datang. Bukan sesi curhat atau seminar. Cuma tempat untuk merasa nggak sendiri.
Ayu berkata, "Nggak usah rame-rame dulu. Cuma sepuluh orang. Duduk melingkar. Ngobrol biasa."
Alif menambahkan, “Gue bisa bawa roti bakar sama minuman dari warung tante gue.”
Aditya manggut-manggut. “Gue bakal bikin video teaser buat ngajak orang datang.”
Dan seperti biasa, mereka bekerja cepat.
Satu minggu kemudian, mereka menggelar sesi pertama. Di pojok perpustakaan, sepuluh kursi dilingkarkan. Tujuh di antaranya terisi. Semua datang dengan raut canggung. Tapi setelah dua puluh menit, suasana mencair.
Seorang anak kelas X berkata, “Kadang gue ngerasa kayak bayangan. Ada di sekitar orang-orang, tapi nggak pernah dianggap.”
Yang lain menyahut, “Gue juga pernah ngerasa gitu, terutama pas nyokap bokap gue pisah.”
Dan Aditya, dengan suara lirih, menjawab, “Gue juga. Gue tinggal sama nenek. Dan kadang, gue ngerasa kayak bukan bagian dari rumah mana pun.”
Itulah malam ketika suara-suara yang selama ini bersembunyi akhirnya bersuara. Dan aku, tas ransel yang diam di samping mereka, ikut mendengarkan dalam haru.
Setelah pertemuan itu, Ayu bilang, “Gue baru tahu, ternyata banyak dari kita punya beban yang sama. Kita cuma terlalu takut buat ngomong.”
Aditya membalas, “Dan ketika satu orang berani ngomong, yang lain ikut berani.”
Namun perubahan selalu datang dengan konsekuensi. Kegiatan ini mulai terdengar oleh guru, bahkan kepala sekolah. Pada suatu pagi, Aditya dipanggil ke ruang BK.
Bu Ratih, guru BK yang selama ini cukup pengertian, membuka pembicaraan, “Kami dengar kalian membuat forum dan pertemuan di luar jam pelajaran.”
Aditya mengangguk. “Iya, Bu. Kami berusaha bikin ruang buat teman-teman yang merasa nggak punya tempat cerita.”
“Tujuan kalian baik. Tapi kalian harus hati-hati. Masalah mental itu sensitif. Sekolah tidak bisa mengabaikan dampaknya kalau ada hal yang tidak diantisipasi.”
Aditya menunduk. “Kami nggak maksud sok tahu, Bu. Kami juga ngajak konselor untuk ikut. Tapi kami tahu... kami bukan ahli.”
Bu Ratih menghela napas. “Saya percaya niat kalian. Tapi saya ingin kalian diskusi lebih lanjut. Libatkan guru. Bukan untuk membatasi, tapi untuk mendukung.”
Aditya mengangguk pelan. Di balik ketegangan itu, ada angin segar. Mungkin, forum ini tak lagi berjalan sendirian.
Sore itu di rumah, Aditya duduk di depan laptop. Ia membuka email baru, kali ini dari seorang alumni yang bekerja di bidang psikologi remaja.
“Saya dulu juga merasa kayak Aditya waktu SMA. Saya ingin bantu. Kalau perlu, saya bisa ikut mendampingi sesi diskusi atau review tulisan.”
Aditya tertegun. “Gue nggak nyangka, dunia ini bisa ngebales gue kayak gini,” gumamnya.
Aku hanya terbaring di samping kursi kerjanya. Tapi aku bisa merasakan: suara-suara yang dulu terkubur dalam diam kini mulai menemukan jalannya keluar. Dan Aditya, anak laki-laki yang dulu hanya bicara lewat game Roblox, sekarang jadi jembatan bagi suara-suara itu.
Malam itu, Aditya kembali menulis.
“Kadang, langkah pertama cuma butuh keberanian kecil. Tapi setelah itu, langkah-langkah lain datang dari banyak kaki. Gue nggak sendiri. Dan lo juga nggak.”
Postingan itu viral di dalam forum. Tapi yang lebih penting, itu menyentuh banyak hati. Bukan karena kata-kata indah, tapi karena kejujuran.
Aditya kembali memelukku keesokan harinya, memakaikanku di punggungnya seperti biasa. Tapi kali ini ada sesuatu yang lain—beban dunia yang ia pikul terasa lebih ringan. Karena sekarang, dia tak lagi memikulnya sendiri.
***