Loading...
Logo TinLit
Read Story - To the Bone S2
MENU
About Us  

Bengkel Tua, Malam Sebelum Balapan

 

Flashback

 

Marco menutup catatan kecil itu, menyelipkannya ke dalam jok motor. Tangannya bergetar, bukan karena dingin malam, tapi karena sesuatu yang lebih pelik: rasa takut akan kehilangan, dan sadar bahwa perasaan itu muncul terlambat.

 

Ia menyalakan rokok, menghembuskan asap ke langit-langit bengkel yang suram.

 

“Christian…” bisiknya lirih. “Lo temen gue. Dulu. Tapi lo juga orang yang ngambil semua hal yang bahkan belum sempat gue miliki.”

 

Ia menatap foto Nafa lagi.

“Kalo gue menang besok, gue bakal bilang semua. Tentang Nafa. Tentang apa yang gue rasain dari dulu.”

 

Ia lalu berdiri, menatap motornya. Mesinnya sudah ia modifikasi. Marco yakin—malam esok adalah panggungnya. Tapi jauh di lubuk hatinya, ada suara kecil yang menjerit:

Lo tahu ini bukan soal balapan. Ini soal siapa yang berani jujur lebih dulu.

 

Tapi Marco terlalu takut kalah. Bahkan takut mengakui bahwa ia iri—bukan hanya karena Nafa, tapi karena Christian yang berubah... dan berani.

 

Malam Ketika Semua Hancur

 

Langit malam itu seolah tahu ada sesuatu yang akan pecah. Di pelabuhan tua yang sepi, lima motor bersiap di garis start yang ditandai cat semprot putih. Tapi serasa hanya ada Christian dan Marco di arena balap liar itu..

Kerumunan bersorak, menyalakan lampu senter dan kamera ponsel, seolah sedang menyaksikan ajang resmi.

 

Tapi yang dipertaruhkan malam ini bukan sekadar kecepatan.

 

Yang dipertaruhkan adalah Nafa.

 

Gadis itu berdiri di sisi belakang kerumunan. Tangannya mengepal, napasnya tercekat. Ia tak bisa menghentikan Christian. Ia tahu, pria itu keras kepala — terutama kalau yang menyangkut harga diri dan... dirinya.

 

“Aku akan menang,” kata Christian tadi sebelum naik motor, menatap Nafa dalam-dalam. “Lalu kita akan pergi dari sini.”

 

Nafa tidak menjawab. Ia hanya menatap matanya, dan membiarkan hatinya berdoa tanpa suara.

 

Balapan dimulai.

 

Suara knalpot meraung. Lima motor melesat bagai peluru. Nafa menahan napas. Semua terjadi begitu cepat. Tapi di detik terakhir, motor Marco menyelip tajam.

 

Sorak sorai meledak.

 

Marco menang.

 

Sesuai taruhan yang dia buat sendiri, Marco mendekat dan meraih tangan Nafa dengan kasar. “Akhirnya kamu milik aku!” teriaknya sambil menarik kalung di leher Nafa.

 

“Lepaskan aku!” teriak Nafa, memukul-mukul tangan Marco.

 

Christian yang geram langsung menerjang Marco, menyeretnya ke tempat sepi. Mereka berkelahi habis-habisan.

 

Sementara itu, Nafa terduduk di pinggir jalan, tubuhnya gemetar, memeluk lutut sambil menangis.

 

Setelah baku hantam, Christian kalah telak dan tersungkur tak berdaya..

Christian tidak kembali ke arah Nafa.

Sebaliknya, Marco muncul — menggunakan motor dan jaket Christian. Helm menutupi wajahnya.

 

“Ayo Kita pergi,” katanya singkat sambil menarik tangan Nafa.

 

Nafa panik. Tapi ia melihat jaket dan motor Christian, dan suara helm yang diredam membuatnya yakin—itu Christian.

 

 

Mereka melaju menembus malam. Nafa memeluk erat tubuh di depannya, berusaha memahami kenapa semuanya terasa... salah.

 

 

---

 

Di tempat lain—di lorong gelap belakang pelabuhan—Christian tersungkur.

 

Marco menghajarnya dengan besi stir bekas. Tak ada yang melihat, semua sibuk menyoraki kemenangan. Darah mengucur dari pelipis Christian. Dunia tampak kabur.

 

Seseorang datang berlari.

 

“Bro! Bro, sadar, bro! Sialan itu Marco!”

 

Kevin.

 

Sahabat Christian sejak SMA. Dulu anak jalanan. Anak buah Pak Adam, ayah Nafa, waktu masih jadi preman pasar

 

“Sial Marco bawa motor, jaket Christian. Dia juga bawa Nafa" kata Kevin panik dia ingin mengejar tapi Christian sudah tidak sadarkan diri

 

“Lu nggak boleh mati, anjir. Nggak sekarang,” desis Kevin sambil mengangkat tubuh Christian ke mobil bututnya.

 

 

---

 

Di jalan, motor yang dikendarai Marco melaju ugal-ugalan. Nafa berteriak, “Ian pelan-pelan nanti kita kecelakaan?”

 

Marco tidak menjawab.

 

Sampai sebuah truk besar muncul dari tikungan.

 

Tabrakan keras. Suara logam beradu. Tubuh terpental.

 

Nafa terlempar ke semak-semak. Darah di dahinya mengalir deras. Nafa kehilangan setengah kesadaran. 

 

Dua brankar didorong paramedis. Nafa sempat tersadar, meski tubuhnya tak berdaya. Di atas brankar, ia menoleh lemah ke kiri... brankar satunya ditutupi kain putih. Tangan yang menjuntai ke samping memegang kalung miliknya.

 

“Christian…” bisiknya. Air matanya jatuh, lalu kesadarannya pun lenyap dengan keyakinan penuh Christian telah meninggalkannya.. 

---

2 Hari Kemudian

 

Titto tergesa-gesa berlari memasuki Oasis Shade. Nafasnya terengah, wajahnya panik.

 

Titto: “Di mana Nafa?!”

 

Seorang resepsionis terkejut dan menjawab sopan,

Resepsionis: “Maaf, Pak. Ibu Nafa sudah tiga hari tidak masuk.”

 

Titto: “Kalau begitu, tolong panggilkan Ibu Iriantie.”

 

Resepsionis: “Baik, Pak. Mohon tunggu sebentar.”

 

Tak lama kemudian, Iriantie muncul, tampak cemas melihat ekspresi Titto.

 

Iriantie: “Titto? Ada apa?”

 

Titto: “Di mana Nafa? Sudah tiga hari nggak ada kabar. Christian juga nomornya tidak bisa dihubungi.”

 

Iriantie: “Christian juga??...Nafa juga gak ada kabar.”

 

Titto: “Apa yang sebenarnya terjadi?!”

 

Tiba-tiba Emilia datang tergesa-gesa dengan napas tersengal.

 

Emilia: “Nafa dan Christian... kecelakaan!”

 

Ia menunjukkan foto dari layar ponselnya.

Emilia: “Ini... motor Christian. Beritanya dari portal online. Nama korban: Christian dan Nafa.”

 

Mereka bertiga terdiam. Suasana café mendadak terasa terlalu sunyi, meskipun pengunjung lain tetap bercengkerama. Rasanya waktu berhenti di meja itu.

 

Iriantie: “Kita ke rumah sakit sekarang!”

 

 

---

 

Di Rumah Sakit

 

Iriantie: “Permisi, pasien atas nama Nafa Stefania?”

 

Petugas mengetik sesuatu di komputernya.

 

Petugas: “Pasien kecelakaan tiga hari lalu? Sudah dibawa pulang oleh orang tuanya.”

 

Titto: “Kalau Christian?”

 

Petugas: “Korban satunya lagi dinyatakan meninggal di lokasi kejadian.”

 

Titto terdiam. Lalu tubuhnya ambruk. Emilia dan Iriantie segera menopangnya.

Titto merasa jantungnya seperti dihantam palu. Ia menunduk, berusaha menelan kenyataan. “Jadi... Christian…”

 

Titto: (dengan suara gemetar) “Tidak… ini tidak mungkin...”

 

Tangisnya pecah. Mata Emilia dan Iriantie pun sudah lama basah, air mata telah membanjiri pipi mereka

 

Emilia: “Aaapa,, hiksss hikss kamu punya kontak ayah Nafa?” terbata-bata tak tahan 

 

Iriantie menangis sampai sudah tidak mampu berkata-kata dan menyodorkan ponselnya.. 

 

Emilia mencoba menelepon, namun hasilnya nihil.

 

Emilia: “Tidak tersambung...hikss hikas Kita ke rumahnya saja.” sambil seskali mengusap air mata nya

 

 

---

 

Di Rumah Adam

 

Seorang ibu tetangga menjawab sambil menyapu halaman.

 

Tetangga: “Maaf, Pak Adam sudah pindah hampir setahun lalu. Rumah ini kosong.”

 

Emilia: “Pindah ke mana, Bu?”

 

Tetangga: “Katanya sih ke luar negeri. Tapi saya nggak tahu pastinya ke mana.”

 

Iriantie: “Makasih banyak, Bu.”

 

Emilia: “Aku ingat. Nafa pernah cerita... Tuan Adam pindah ke Amerika.”

 

Titto: “Gimana caranya kita hubungi dia?”

 

Emilia: “Coba cari akun sosmed Nafa, siapa tahu ada jejak ayahnya.”

 

Mereka pun sibuk mengecek ponsel masing-masing. Tapi hasilnya nihil.

 

Titto: “Apa kita ke kantor polisi saja, cari tahu kronologi kejadian sebenarnya?”

 

Iriantie: “Iya. Itu ide bagus.”

 

 

---

 

Di Kantor Polisi

 

Titto: “Pak, bolehkah kami melihat rekaman CCTV kecelakaan tiga hari lalu? Korbannya Christian.”

 

Petugas: “Kalian siapa?”

 

Emilia: “Kami teman korban.”

 

Petugas: “Maaf, kami tak bisa menunjukkan rekaman CCTV.”

 

Titto: “Tolong, Pak... Kami cuma ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

 

Polisi itu menghela napas, lalu mulai menjelaskan.

 

Petugas:

“Pukul 02.00 dini hari, terlihat motor Kawasaki Ninja merah dengan plat B23**CA melaju kencang dari arah selatan dan menabrak truk kontainer di perempatan lampu merah 7. Diduga pengendara di bawah pengaruh alkohol. Salah satu korban meninggal di tempat. Karena ledakan motor. Korban telah dibawa ke rumah sakit terdekat. Sopir truk hanya luka ringan.”

 

Titto: “Ciri-ciri fisik pengendara motor?”

 

Petugas:

“Tinggi sekitar 180 cm, jaket coklat atau hitam tidak begitu jelas karena gelap dan tato segitiga kecil di jari tengah kanan. Serta Kondisi jenazah sangat mengenaskan, tidak bisa dikenali. Keluarga korban menolak autopsi dan langsung memakamkan.”

 

Emilia: “Keluarga korban?”

 

Petugas: “Bapak Adam Azizbek.”

 

Ia lalu menunjukkan barang bukti: foto kalung dan ponsel rusak.

 

Iriantie: “Itu... kalung Nafa.”

 

Emilia: “Boleh minta kontak Pak Adam?”

 

Petugas memberikan secarik kertas.

Petugas: “Ini nomor yang kami punya.”

 

Rasa tak percaya mendorong mereka meminta rekaman CCTV jalanan dari toko terdekat pada malam kejadian. Mereka menatap layar saat video diputar.

 

motor merah terlihat melaju cepat di turunan tajam. Itu adalah motor Christian, mereka kenali dari stiker dan warna helm. Kejadian yang sama persis seperti yang di ceritakan petugas kepolisian. 

 

“Berhenti di sini,” kata Emilia pelan.

 

Petugas mem-pause video.

 

Satu tubuh tergeletak. Helmnya terlepas. Tapi wajahnya tak terlalu terlihat jelas — hanya kalung yang terlihkar di tangan dan tato di jari tengah yang bisa dikenali dari bidikan terakhir kamera.

 

Titto menunduk lemah. “Gak salah lagi... itu dia.”

 

Iriantie mengusap air matanya. “Christian…”

 

Emilia menarik napas panjang, menahan air mata. “Mungkin... ini memang sudah takdir.”

 

Tak ada yang menimpali. Di ruangan sempit itu, ketiganya diam, larut dalam kesedihan. Bagi mereka, malam itu Christian pergi — dan tak akan kembali.

 

Jejak yang Tertinggal

Beberapa hari setelah kejadian…

 

Christian terbangun di rumah sederhana yang tidak asing.

 

Kevin duduk di kursi plastik, dengan wajah penuh luka.

 

“Lu hidup. Tapi semua orang pikir lu mati.”

 

Christian menatap langit-langit.

 

“Mungkin… itu lebih baik.”

 

Kevin menggeleng. “Nafa nggak tahu lu masih hidup. Lu pikir dia baik-baik aja?”

 

Christian memejamkan mata. Luka fisiknya bisa sembuh. Tapi yang di dadanya? Tidak.

 

Ia membuka ponselnya. Notifikasi media sosial sudah tak aktif. Dunia mengira ia pergi. Dan ia membiarkan semuanya percaya begitu.

 

Kevin meletakkan semangkuk bubur di meja kayu reyot di samping tempat tidur.

 

“Gue udah cari info, Nafa selamat… tapi koma. Orang tuanya bawa dia ke Amerika buat berobat.”

 

Christian diam. Matanya menatap kosong ke langit-langit.

 

“Gue bisa temuin dia, bro,” lanjut Kevin pelan. “Gue bisa kasih tahu lu hidup.”

 

Christian menggeleng pelan.

 

“Jangan sekarang"

 

Kevin mendekat, duduk di pinggir ranjang. “Lu yakin? Dia mikir lu yang bawa dia malam itu. Lu tahu kan kenapa?”

 

Christian menatap tangannya yang diperban. Di jari tengahnya, tato kecil masih tertinggal samar. Sama dengan tato yang di miliki Marco karena dulu mereka sahabat

 

“Ada waktunya, aku udah jadi luka buat dia, Vin.” Suaranya pelan, penuh retakan. “Kalau dia bisa bahagia tanpa tahu aku hidup, biarin.”

 

Kevin mengatupkan rahangnya. Ada luka juga di matanya. Tapi ia tahu, Christian bukan lari. Ia hanya… terlalu patah untuk kembali.

 

“Janji,” ucap Christian lirih. “Jangan bilang siapa-siapa. Bahkan ke ayah Nafa sekalipun. Biar semua tetap kayak gini…”

 

Kevin menghela napas dalam-dalam. Lalu mengangguk.

 

“Baik. Tapi kalau suatu hari lu berubah pikiran…”

 

Christian tidak menjawab.

 

Di luar jendela, angin laut meniup tenang. Tapi di dalam dada Christian, badai belum reda.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Search My Couple
558      319     5     
Short Story
Gadis itu menangis dibawah karangan bunga dengan gaun putih panjangnya yang menjuntai ke tanah. Dimana pengantin lelakinya? Nyatanya pengantin lelakinya pergi ke pesta pernikahan orang lain sebagai pengantin. Aku akan pergi untuk kembali dan membuat hidupmu tidak akan tenang Daniel, ingat itu dalam benakmu---Siska Filyasa Handini.
Anikala
1357      593     2     
Romance
Kala lelah terus berjuang, tapi tidak pernah dihargai. Kala lelah harus jadi anak yang dituntut harapan orang tua Kala lelah tidak pernah mendapat dukungan Dan ia lelah harus bersaing dengan saudaranya sendiri Jika Bunda membanggakan Aksa dan Ayah menyayangi Ara. Lantas siapa yang membanggakan dan menyanggi Kala? Tidak ada yang tersisa. Ya tentu dirinya sendiri. Seharusnya begitu. Na...
Snow
3209      1061     3     
Romance
Kenangan itu tidak akan pernah terlupakan
FLOW in YOU (Just Play the Song...!)
3449      993     2     
Romance
Allexa Haruna memutuskan untuk tidak mengikuti kompetisi piano tahun ini. Alasan utamanya adalah, ia tak lagi memiliki kepercayaan diri untuk mengikuti kompetisi. Selain itu ia tak ingin Mama dan kakaknya selalu khawatir karenanya. Keputusan itu justru membuatnya dipertemukan dengan banyak orang. Okka bersama band-nya, Four, yang terdiri dari Misca, Okka, dan Reza. Saat Misca, sahabat dekat A...
Tanda Tangan Takdir
207      174     1     
Inspirational
Arzul Sakarama, si bungsu dalam keluarga yang menganggap status Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai simbol keberhasilan tertinggi, selalu berjuang untuk memenuhi ekspektasi keluarganya. Kakak-kakaknya sudah lebih dulu lulus CPNS: yang pertama menjadi dosen negeri, dan yang kedua bekerja di kantor pajak. Arzul, dengan harapan besar, mencoba tes CPNS selama tujuh tahun berturut-turut. Namun, kegagal...
Dessert
1054      555     2     
Romance
Bagi Daisy perselingkuhan adalah kesalahan mutlak tak termaafkan. Dia mengutuk siapapun yang melakukannya. Termasuk jika kekasihnya Rama melakukan penghianatan. Namun dia tidak pernah menyadari bahwa sang editor yang lugas dan pandai berteman justru berpotensi merusak hubungannya. Bagaimana jika sebuah penghianatan tanpa Daisy sadari sedang dia lakukan. Apakah hubungannya dengan Rama akan terus b...
Smitten Ghost
211      173     3     
Romance
Revel benci dirinya sendiri. Dia dikutuk sepanjang hidupnya karena memiliki penglihatan yang membuatnya bisa melihat hal-hal tak kasatmata. Hal itu membuatnya lebih sering menyindiri dan menjadi pribadi yang anti-sosial. Satu hari, Revel bertemu dengan arwah cewek yang centil, berisik, dan cerewet bernama Joy yang membuat hidup Revel jungkir-balik.
Angel in Hell
535      404     0     
Short Story
Dia memutar-mutar pena di genggaman tangan kanannya. Hampir enam puluh detik berlalu dan kolom satu itu masih saja kosong. Kegiatan apa yang paling Anda senang lakukan? Keningnya berkerut, menandakan otaknya sedang berpikir keras. Sesaat kemudian, ia tersenyum lebar seperti sudah mendapatkan jawaban. Dengan cepat, ia menggoreskan tinta ke atas kertas; tepat di kolom kosong itu. Mengha...
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
1281      781     0     
Inspirational
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berhas...
No Longer the Same
420      315     1     
True Story
Sejak ibunya pergi, dunia Hafa terasa runtuh pelan-pelan. Rumah yang dulu hangat dan penuh tawa kini hanya menyisakan gema langkah yang dingin. Ayah tirinya membawa perempuan lain ke dalam rumah, seolah menghapus jejak kenangan yang pernah hidup bersama ibunya yang wafat karena kanker. Kakak dan abang yang dulu ia andalkan kini sibuk dengan urusan mereka sendiri, dan ayah kandungnya terlalu jauh ...