Loading...
Logo TinLit
Read Story - To the Bone S2
MENU
About Us  

Di Bawah Sadar yang Tak Mau Pergi

 

Ruang terapi itu sunyi. Dindingnya putih bersih, dan hanya diisi oleh satu sofa kulit cokelat, satu meja kecil, dan sebuah kursi kerja. Di sana, Nafa berbaring dengan mata terpejam, sementara Zac duduk di sebelahnya, memegang buku catatan dan alat perekam suara.

 

“Tarik napas dalam,” ujar Zac pelan. Suaranya lembut, mengalun seperti nyanyian tenang. “Lalu lepaskan perlahan…”

 

Nafa mengikuti.

 

“Kamu sekarang berada di tempat yang nyaman. Tidak ada rasa takut. Tidak ada rasa sakit. Kamu bisa melihat semuanya dari kejauhan…”

 

Dahi Nafa sedikit berkerut. Zac memperhatikan gelombang napasnya.

 

“Coba ceritakan... tempat terakhir yang kamu lihat sebelum kamu koma.”

 

Hening. Lalu Nafa berbisik:

 

“…motor.”

 

Zac mencatat cepat.

 

“Motor siapa?”

 

“…Christian…”

 

Jantung Zac berdegup lebih cepat, tapi ia tetap tenang.

 

“Bagaimana kamu tahu itu Christian?”

 

Nafa mengernyit. Matanya tetap terpejam, tetapi bibirnya bergerak lirih.

 

“...jaket... tato... dia bilang... kita pergi…”

 

Zac menelan ludah. Ia tahu dari Adam, tidak ada bukti bahwa Christian yang benar-benar mengendarai motor itu. Tapi Nafa… begitu yakin.

 

“Kemudian apa yang terjadi?”

 

“Truk… truk besar... cahaya… kecelakaan…”

 

Tangan Nafa mulai mengepal. Tubuhnya sedikit gemetar.

 

“Baik… kamu sekarang menjauh dari adegan itu,” ucap Zac cepat, mencoba menstabilkan emosi bawah sadarnya. “Kamu berdiri dari kejauhan. Aman. Tidak ada yang menyakitimu.”

 

Nafas Nafa kembali tenang.

 

Zac mengganti pendekatan.

 

“Coba lihat… apakah kamu masih bisa merasakan Christian… dalam pikiranmu?”

 

Dan tanpa ragu, Nafa menjawab.

 

“Dia selalu ada.”

 

Zac terdiam.

 

“Dalam mimpi… di suara… bahkan ketika aku bangun. Rasanya seperti dia belum pergi.”

 

Zac menunduk.

 

Ia tahu tugasnya adalah menghapus trauma. Tapi yang dihadapinya bukan trauma biasa. Bukan luka, melainkan kenangan yang masih hidup.

 

 

---

 

Setelah sesi selesai, Nafa tertidur sejenak di sofa. Zac berdiri pelan, berjalan ke jendela. Hujan mulai turun.

 

Adam muncul di balik pintu kaca. “Gimana?” tanyanya, pelan tapi tegas.

 

Zac hanya menggeleng. “Dia tidak lupa.”

 

“Bisa dihapus?” suara Adam penuh harap.

 

Zac berpaling. “Saya bisa bantu dia berdamai… tapi saya nggak yakin bisa bikin dia melupakan seseorang yang begitu... dalam.”

 

Adam menarik napas panjang. “Saya cuma pengen dia hidup normal.”

 

“Saya juga,” kata Zac lirih, lalu menatap Nafa yang tertidur damai. “Mungkin… saya pengen lebih dari itu.”

 

Adam melirik tajam. Tapi tak berkata apa-apa. Hanya menatap Zac sejenak, lalu berbalik dan pergi.

 

Zac tetap berdiri di sana. Jiwanya bergulat. Di satu sisi, ia ingin menjadi pelindung Nafa. Di sisi lain, ia tahu—ada bagian dari hati perempuan itu… yang belum bisa ia sentuh.

 

Dan lebih buruk lagi…

 

Bagian itu masih milik orang lain.

 

Awal yang Tak Direncanakan

 

Pagi itu di ruang konseling klinik tempat Zac bekerja sebagai psikiater, Nafa duduk di bangku tunggu dengan mata sayu dan tangan gemetar. 

 

Ia datang bukan untuk mencari cinta. Ia hanya ingin bisa tidur tanpa mimpi buruk. Bisa makan tanpa mual karena ingatan. Bisa hidup tanpa merasa bersalah karena masih bernapas sementara orang yang dicintainya hilang entah ke mana.

 

Zac telah memperhatikannya sejak pertama kali mereka bicara. Bukan karena wajah Nafa cantik, tapi karena ada keheningan dalam dirinya yang nyaring. Luka yang tidak pernah minta dimengerti, hanya butuh tempat untuk tidak merasa aneh.

 

Minggu demi minggu mereka bertemu. Awalnya formal. Konsultasi. Tanya jawab. Sampai suatu hari, hujan deras mengguyur kota dan Nafa masih duduk di ruang tunggu meski sesi mereka sudah selesai sejam lalu.

 

“Kamu gak pulang?” tanya Zac.

 

Nafa hanya menggeleng. “Gak pengen.”

 

Zac menatapnya, lalu mengambil dua cangkir kopi dari pantry kecil. Diberikannya satu ke Nafa.

 

“Kalau gak bisa pulang, kita diam bareng aja di sini. Gak usah bicara.”

 

Dan itulah awalnya.

 

 

---

 

Bukan Karena Jatuh Cinta, Tapi Dipeluk Diam-diam

 

Hari berganti. Mereka mulai berjalan kaki pulang bareng kadang-kadang, makan di warung ramen dekat taman, tertawa karena hal-hal kecil. Nafa belum bisa bilang ia bahagia. Tapi ia bisa bilang: dia tak lagi sendirian.

 

Zac tak pernah mendesaknya. Bahkan saat Nafa menangis di malam-malam tanpa alasan, saat ia tiba-tiba marah karena merasa bersalah tertawa—Zac hanya diam, menemaninya sampai reda.

 

“Kenapa kamu gak pernah tanya soal dia?” tanya Nafa suatu malam.

 

Zac menatapnya tenang. “Karena aku gak bisa bersaing dengan seseorang yang kamu cintai dari jauh. Tapi aku bisa berdiri di sini, dekat... kalau suatu hari kamu butuh tangan untuk digenggam.”

 

 

---

 

Pertama Kali Nafa Memegang Tangannya

 

Bukan saat Zac mengantar pulang, bukan saat makan malam pertama mereka, bukan saat diajak liburan ke luar kota. Tapi justru saat mereka sedang menunggu giliran laundry kering.

 

Nafa yang sedang membaca majalah tiba-tiba meletakkan tangannya di atas tangan Zac, yang bersandar di meja.

 

Tak berkata apa-apa. Hanya begitu.

 

Zac menoleh.

 

Nafa menatap lurus ke cucian yang berputar di mesin. “Aku capek membandingkan semua rasa. Jadi hari ini... aku berhenti menghitung dan mulai menerima. Apa pun bentuknya.”

 

Zac mengangguk. “Aku di sini, Naf. Selama kamu mau... aku tetap di sini.”

 

Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak kehilangan, Nafa mencium seseorang karena ingin hidup, bukan karena ingin melupakan.

 

“Pelan, Tapi Jelas”

 

Sudah hampir setahun sejak pertemuan pertama mereka di ruang konseling itu. Hubungan mereka tumbuh dalam diam, dalam percakapan yang tidak diburu-buru, dalam pelukan yang hadir tanpa paksaan.

 

Suatu malam, di balkon apartemen kecil milik Nafa, mereka duduk berdampingan. Di bawah selimut tipis, dengan dua cangkir cokelat panas, dan radio kecil yang memutar lagu-lagu lawas lembut.

 

Angin dingin menyusup, tapi dada Nafa hangat.

 

Zac menoleh padanya. “Aku tahu kamu belum benar-benar selesai dengan semua itu. Dan mungkin gak akan pernah benar-benar selesai.”

 

Nafa tersenyum tipis. “Iya. Tapi kamu tahu, aku juga gak mau lari terus.”

 

“Kalau gitu,” kata Zac pelan, “boleh gak aku jadi tempat kamu belajar berhenti berlari?”

 

Nafa menatapnya lama.

 

Lalu, tanpa kata, ia memeluk Zac. Lama. Dalam. Diam-diam meneteskan air mata.

 

“Aku belum bisa janji akan sempurna,” katanya, suaranya gemetar.

 

“Gak usah sempurna. Cukup kamu gak sendirian lagi.”

 

Malam itu, mereka tidak saling menyatakan “aku cinta kamu” seperti di film-film. Tapi ketika Zac mencium kening Nafa sebelum tidur dan Nafa membiarkannya berbaring di sebelahnya untuk pertama kali, mereka tahu:

 

Mereka sudah memilih. Bukan karena sudah sembuh. Tapi karena ingin tumbuh. Bersama.

Aku Ingin Tahu yang Kau Sembunyikan

Ruang terapi sore itu tenang. Hanya suara jam dinding dan desah napas Nafa yang terdengar pelan. Ia duduk tegak di sofa, menatap Zac yang sedang menulis di jurnalnya.

“Zac,” ucap Nafa pelan.

Zac mendongak. “Ya?”

Nafa menarik napas dalam. “Kamu pernah bilang kamu pengen aku sembuh, bukan melupakan. Tapi… kamu gak pernah bilang, sebenarnya bagian mana dari masa lalu yang harus aku lupakan?”

Zac terdiam. Pertanyaan itu akhirnya muncul. Ia meletakkan pena pelan, menatap mata Nafa.

“Kamu merasa ada yang disembunyikan darimu?”

Nafa tersenyum miris. “Aku gak merasa. Aku tahu.”

Zac menunduk, jari-jarinya menggenggam lutut.

“Aku sering mimpi... laki-laki itu. Kadang cuma tatapannya. Kadang suara motornya. Aku tahu dia nyata, Zac. Aku tahu aku kehilangan sesuatu. Atau seseorang.”

Zac menelan ludah.

“Namanya… Christian.”

Nafa menggigit bibir bawahnya. Seperti nama itu memantik sesuatu yang familiar—nyeri, tapi hangat.

“Kamu kenal dia?”

Zac mengangguk. “Sedikit. Hanya dari cerita Ayahmu.”

“Jadi, kamu dan Papa sepakat untuk menghapus dia dari hidupku?”

Zac menghela napas panjang.

“Nafa... Christian sudah meninggal. Mereka temukan tubuh laki-laki yang membawa kamu malam itu. Wajahnya rusak parah karena kecelakaan. Dia memegang kalung dan ada tato segitiga kecil di jari tengahnnya. Motor, helm dan jaketnya pun di identifikasi milik Christian. Ayahmu yang mengurus pemakamannya..

Nafa memejamkan mata. Ia hampir bisa melihat kalung itu—pernah digenggamnya dengan cinta.

“Papa yang urus pemakamannya?” bisiknya.

Zac mengangguk. “Iya. Papa kamu yang urus semuanya. Tanpa memberitahumu karena… kamu koma waktu itu. Dan begitu kamu sadar, kamu seperti orang yang hilang arah. Menyebut nama Christian berkali-kali. Menangis, menjerit, kadang nggak mau makan. Papa kamu takut kamu nggak akan pernah kembali. Dia minta bantuanku—bukan untuk menipu kamu, tapi untuk menyelamatkan kamu dari rasa kehilangan yang terlalu dalam.”

Nafa menatapnya dengan mata memerah.

“Jadi dia benar-benar pergi"

“Iya,” kata Zac pelan. "Kamu terlihat mulai tenang. Mulai bisa tersenyum. Papa kamu bilang, mungkin itu jalan terbaik. Mungkin Tuhan sudah ambil Christian... dan kamu harus bisa lanjut hidup.”

Air matanya jatuh diam-diam.

“Aku masih mencintainya… meski aku gak tahu siapa dia.”

Zac bicara pelan, jujur, dengan luka yang ia simpan rapat.

“Aku jatuh cinta padamu, Naf. Tapi aku gak bisa bersaing dengan seseorang yang mungkin sudah meninggal… dan tetap tinggal di hatimu.”

Nafa menatap Zac. Tak ada kemarahan di sana. Hanya keheningan. Luka yang mulai berbentuk.

“Kalau dia masih hidup, Zac… dan suatu hari dia kembali?”

Zac tersenyum pahit. “Aku akan tetap di sini. Tapi kamu yang harus memilih.”
...
Rumah Baru Itu Bernama Kamu

Sudah lewat tengah malam ketika Nafa duduk sendirian di balkon. Udara dingin menyapa kulit, tapi hatinya terasa lebih hangat daripada beberapa malam sebelumnya.

Langkah kaki terdengar dari arah belakang.

“Belum tidur?” suara Zac pelan.

Nafa menoleh dan tersenyum tipis. “Belum. Lagi... ngerasa penuh.”

Zac duduk di kursi seberangnya, memandang ke arah langit gelap.

“Penuh… yang menyenangkan atau yang menyakitkan?”

“Campur,” Nafa menghela napas, “Aku sadar, Christian itu nyata. Cinta itu nyata. Tapi aku juga sadar... yang sudah berlalu gak harus selalu dilupakan.”

Zac hanya diam. Mendengarkan.

“Aku mau berdamai dengan itu semua, Zac. Aku gak mau lari dari rasa sakitnya lagi. Tapi aku juga gak mau tenggelam di dalamnya. Aku... mau hidup. Sekarang. Dengan semua kenangan itu tetap di sini,” ujarnya sambil menyentuh dadanya.

Zac menatapnya lama.

“Dan aku bukan Christian,” katanya akhirnya.

Nafa menoleh cepat, takut menyakiti.

“Tapi aku juga gak pengen jadi dia,” lanjut Zac. “Aku cuma pengen jadi seseorang yang bisa kamu ajak jalan bareng mulai sekarang. Bukan untuk menggantikan, tapi untuk... melengkapi.”

Nafa terdiam. Kata-kata itu masuk seperti embun ke dalam pikirannya.

“Aku gak mau kamu harus berpura-pura melupakan dia. Atau merasa bersalah karena memilih bahagia. Kamu boleh tetap menyayanginya. Asal kamu tahu… kamu juga boleh mencintai lagi.”

Mata Nafa berkaca.

“Rumah... bukan cuma tempat pulang,” katanya pelan.

Zac mengangguk. “Rumah itu... tempat di mana kamu boleh menjadi dirimu sendiri. Dengan luka, dengan kenangan, dengan tawa barumu.”

Nafa tersenyum. “Rumah itu... kamu?”

Zac menarik napas lega, matanya menghangat. “Kalau kamu izinkan, iya.”

Malam itu, tanpa pelukan atau ciuman, mereka hanya saling menatap. Tapi dalam diam itu, dua hati akhirnya menemukan ruang.

Yang satu melepaskan.
Yang lain... menawarkan tempat baru untuk tinggal.
Beberapa saat berlalu dalam sunyi yang tidak canggung. Hanya suara angin menyentuh dedaunan, dan sesekali suara serangga malam.

Nafa menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, lalu menatap langit. “Aku pikir aku sudah rusak, Zac.”

Zac menoleh padanya. “Kenapa bilang begitu?”

“Karena hatiku seperti ruang tamu yang pernah kebakaran,” ia menghela napas. “Semua orang takut masuk. Bahkan aku sendiri pun takut duduk di dalamnya.”

Zac tidak langsung menjawab. Ia membiarkan jeda itu ada. Lalu dengan tenang, ia berkata, “Tapi aku lihat di ruang tamu itu masih ada jendela. Masih ada cahaya masuk. Mungkin tinggal diberesin sedikit. Dicat ulang. Dikasih bunga.”

Nafa tertawa kecil, tapi suaranya serak. Air matanya jatuh perlahan.

Zac menatapnya lekat. “Kamu gak rusak, Nafa. Kamu cuma... habis hujan besar. Dan aku gak keberatan bantu jemurin semuanya satu-satu.”

Nafa menutup matanya, membiarkan ucapan itu meresap. Ucapannya bukan janji kosong. Zac tidak pernah mencoba jadi pahlawan. Tapi ia selalu ada, bahkan saat Nafa tidak tahu bagaimana cara berdiri.

"Zac..." suaranya lirih. "Kalau suatu hari aku goyah lagi... kamu masih mau tungguin aku?"

Zac tersenyum lemah. "Aku gak mau nungguin kamu, Na. Aku maunya jalan bareng. Kalau kamu jatuh, aku bantu bangun. Kalau aku yang jatuh, kamu boleh marah dulu… tapi habis itu tolong tarik aku juga."

Untuk pertama kalinya, Nafa merasa tak perlu menggenggam masa lalu sekuat itu lagi.

“Kita mulai pelan-pelan ya, Zac?” bisiknya.

Zac mengangguk. “Satu hari, satu langkah.”

Langit mulai memudar. Warna biru gelap berubah menjadi ungu, lalu merah muda.

Fajar datang. Tak dramatis, tapi pasti.

Dan di antara dua orang yang telah saling menyimpan luka, ada satu hal yang akhirnya tumbuh: pengampunan—pada diri sendiri, pada masa lalu, dan pada cinta yang datang terlambat tapi tetap bermakna.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
When You Reach Me
7685      2013     3     
Romance
"is it possible to be in love with someone you've never met?" alternatively; in which a boy and a girl connect through a series of letters. [] Dengan sifatnya yang kelewat pemarah dan emosional, Giana tidak pernah memiliki banyak teman seumur hidupnya--dengan segelintir anak laki-laki di sekolahnya sebagai pengecualian, Giana selalu dikucilkan dan ditakuti oleh teman-teman seba...
Ineffable class
430      283     12     
Mystery
Seluruh penghuni kelas XII IPS E rata-rata tidak waras. Di mana ketua bucin menjadi wakil ketua dan ketua kelas sendiri adalah musuhnya guru BK. Dari 15 siswa separuhnya kerapkali hilang saat jam pelajaran, 5 lainnya tidur, sisanya pura-pura menyimak guru. 15 kepribadian berbeda yang jarang akur ini, harus bersatu mencari wali kelas dikabarkan menghilang selama seminggu. Gawatnya, tuduhan tidak...
Dear Groom
511      364     5     
Short Story
\"Kadang aku berpikir ingin seperti dulu. Saat kecil, melambaikan tangan adalah hal yang aku sukai. Sambil tertawa aku melambaikan tangan pada pesawat yang lewat. Tapi sekarang, bukan seperti ini yang aku sukai. Melambaikan tangan dengan senyuman terpaksa padanya bersama orang lain.\"
Karena Aku Bukan Langit dan Matahari
665      469     1     
Short Story
Aku bukan langit, matahari, dan unsur alam lainnya yang selalu kuat menjalani tugas Tuhan. Tapi aku akan sekuat Ayahku.
KASTARA
464      366     0     
Fantasy
Dunia ini tidak hanya diisi oleh makhluk hidup normal seperti yang kita ketahui pada umumnya Ada banyak kehidupan lain yang di luar logika manusia Salah satunya adalah para Orbs, sebutan bagi mereka yang memiliki energi lebih dan luar biasa Tara hanya ingin bisa hidup bebas menggunkan Elemental Energy yang dia miliki dan mengasahnya menjadi lebih kuat dengan masuk ke dunia Neverbefore dan...
Snazzy Girl O Mine
543      342     1     
Romance
Seorang gadis tampak berseri-seri tetapi seperti siput, merangkak perlahan, bertemu dengan seorang pria yang cekatan, seperti singa. Di dunia ini, ada cinta yang indah dimana dua orang saling memahami, ketika dipertemukan kembali setelah beberapa tahun. Hari itu, mereka berdiam diri di alun-alun kota. Vino berkata, Aku mempunyai harapan saat kita melihat pesta kembang api bersama di kota. ...
Apartemen No 22
489      339     5     
Short Story
Takdir. Tak ada yang tahu kemana takdir akan menuntun kita. Kita sebagai manusia, hanya bisa berjalan mengikuti arus takdir yang sudah ditentukan.
Bimbang (Segera Terbit / Open PO)
6122      1979     1     
Romance
Namanya Elisa saat ini ia sedang menempuh pendidikan S1 Ekonomi di salah satu perguruan tinggi di Bandung Dia merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara dalam keluarganya Tetapi walaupun dia anak terakhir dia bukan tipe anak yang manja trust me Dia cukup mandiri dalam mengurus dirinya dan kehidupannya sendiri mungkin karena sudah terbiasa jauh dari orang tua dan keluarganya sejak kecil juga ja...
After School
3319      1362     0     
Romance
Janelendra (Janel) bukanlah cowok populer di zaman SMA, dulu, di era 90an. Dia hanya cowok medioker yang bergabung dengan geng populer di sekolah. Soal urusan cinta pun dia bukan ahlinya. Dia sulit sekali mengungkapkan cinta pada cewek yang dia suka. Lalu momen jatuh cinta yang mengubah hidup itu tiba. Di hari pertama sekolah, di tahun ajaran baru 1996/1997, Janel berkenalan dengan Lovi, sang...
Heartbeat
226      178     1     
Romance
Jika kau kembali bertemu dengan seseorang setelah lima tahun berpisah, bukankah itu pertanda? Bagi Jian, perjumpaan dengan Aksa setelah lima tahun adalah sebuah isyarat. Tanda bahwa gadis itu berhak memperjuangkan kembali cintanya. Meyakinkan Aksa sekali lagi, bahwa detakan manis yang selalu ia rasakan adalah benar sebuah rasa yang nyata. Lantas, berhasilkah Jian kali ini? Atau sama seper...