Atap apartemen kami bukan tempat yang istimewa.
Tidak ada lampu gantung, tidak ada taman kecil, bahkan tidak ada pagar yang tinggi.
Hanya lantai beton kasar, satu tangki air besar, dan suara Tokyo dari kejauhan:
kereta, sirine samar, tawa yang datang dari jendela di bawah.
Tapi malam ini, kami duduk di situ.
Berdua. Di atas tikar kecil dan dua pasang sandal yang kami lepaskan begitu sampai.
Di antara kami, ada satu piring besar nasi goreng.
Masakan terakhir untuk hari itu. Bukan eksperimen kuliner, bukan menu komunitas.
Hanya... makanan rumah. Dalam versi kami.
Sakura menyuap pelan, lalu bersandar ke belakang.
Kepalanya menengadah ke langit gelap tanpa bintang.
“Tokyo malam ini kayak nggak ada atapnya,” katanya. “Langitnya terlalu besar.”
Aku mengangguk, lalu menyandarkan diri ke sisi lain tangki air.
Kami tidak bicara tentang kerja.
Tidak bicara tentang kelas.
Tidak bicara tentang masa lalu, atau siapa yang pernah salah jalan.
Kami hanya duduk.
Makan.
Bernapas.
Udara malam masih dingin. Tapi tidak menggigit.
Mungkin karena tubuh kami sudah terbiasa.
Atau mungkin karena malam ini... tidak ada rasa asing yang tersisa.
Sakura menoleh ke arahku, rambutnya bergerak pelan ditiup angin.
“Kalau nanti kita pindah… aku pengen ada dapur kayak yang sekarang.”
Aku menoleh. “Yang cuma muat dua orang sempit-sempitan?”
Dia mengangguk. “Iya. Yang kalau kita berdua masak, harus saling minta maaf setiap dua menit.”
Aku tertawa pelan.
“Deal.”
Dia kembali menatap langit.
“Dulu aku kira rumah itu tempat yang besar, yang harus punya banyak ruang dan lampu. Tapi ternyata… rumah itu cuma butuh satu tempat buat duduk bareng dan nggak merasa harus bicara terus.”
Aku tidak jawab.
Tapi aku mengangkat sendok terakhir dari piring dan menyuapkannya pelan.
Sakura mencondongkan kepala, lalu bersandar ke pundakku.
Kami diam.
Dan dalam diam itu, aku tahu satu hal:
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi lima tahun lagi.
Apakah visaku akan diperpanjang.
Apakah Sakura akan melukis sampai tua.
Apakah kami akan tetap di Tokyo, atau pindah ke kota kecil.
Tapi aku tahu, kalau suatu hari nanti aku tersesat lagi, aku akan tahu ke mana harus kembali.
Bukan ke negara.
Bukan ke rumah.
Tapi ke meja kecil. Dua cangkir. Sepiring nasi goreng.
Dan seseorang yang cukup diam untuk membuatku merasa pulang.