Jam di ponsel menunjukkan 03.14.
Aku masih duduk di futon, punggung bersandar ke dinding kayu yang dingin, mata menatap langit-langit gelap yang tak memberi jawaban apa pun.
Bantal sudah berantakan. Jam weker sudah kusetel dua kali.
Tapi tidur tidak datang.
Yang datang hanya satu hal: bayangan kegagalan.
Aku menarik napas panjang. Lalu mengetik pesan pelan-pelan, jari-jari seperti dipandu oleh rasa takut.
Aku takut gagal.
Kukirim ke Sakura. Tanpa “hai”, tanpa emoji, tanpa “maaf kirim tengah malam.”
Kalau dia baca, dia baca. Kalau tidak, ya sudah.
Kutelungkupkan ponsel ke lantai, lalu memejamkan mata, bukan untuk tidur, tapi untuk berhenti melihat realitas.
Angin dari celah jendela meniup tirai tipis, mengangkatnya sebentar seperti hantu yang malu-malu menampakkan diri.
Aku mendengarnya, suara Tokyo di jam-jam yang tidak tahu malu: bunyi ban truk pengantar barang, klakson taksi dari kejauhan,dan suara sepatu tumit tinggi yang entah kenapa masih terdengar.
Ada orang lain yang juga belum tidur. Mungkin juga sedang takut.
Atau hanya terbiasa hidup di waktu yang aku sendiri tidak tahu cara menjalaninya.
Kupikir, mungkin malam ini memang bukan untuk tidur.
Malam ini untuk bergulat dengan pikiran yang tidak mau diajak kompromi.
Aku memejamkan mata lagi. Tapi tidak ada yang berubah.
Hanya denyut jantung yang lebih terasa.
Dan perasaan bahwa tubuhku di sini, tapi pikiranku entah sudah berapa kilometer jauhnya, melayang di ruang antara “apa yang aku inginkan” dan “apa yang mungkin”.
Entah jam berapa akhirnya aku tertidur.
Bukan tidur yang utuh, lebih seperti jatuh. Terlelap dalam posisi yang sama, tanpa mimpi.
Dan ketika pagi datang, ia datang tanpa suara, tanpa warna.
Seperti embun yang hanya meninggalkan bekas, tapi tidak pernah terlihat jatuh.
Aku bangun dengan kepala berat.
Bukan karena kurang tidur, tapi karena beban yang tidak ikut tidur.
Kupakai kemeja pinjaman dari Kenji. Biru pucat, sedikit kedodoran di bahu, tapi disetrika rapi.
Kujepit rambutku yang mulai terlalu panjang. Kusikat sepatu dengan tisu dapur.
Waktu menunjukkan pukul 08.52.
Interview jam sepuluh. Lokasi: Shibuya.
Aku berdiri di tengah kamar.
Melihat bayangan diri sendiri di cermin kecil yang ditempel seadanya di rak plastik.
Siapa kamu hari ini, Arya?
Calon pegawai? Imigran ilegal?
Atau hanya seseorang yang terlalu ingin tinggal untuk alasan yang tidak legal?
Kupalingkan wajah dari cermin.
Mengambil map berisi dokumen. Lalu langkah kakiku menuju tangga kayu yang menuju dapur.
Tapi sebelum aku membuka pintu kamar…
Tok. Tok. Tok.
Tiga ketukan.
Pelan. Tapi jelas.
Tidak seperti ketukan Yamamoto-san, yang biasanya langsung diikuti dengan teriakan.
Aku mendekat, membuka pintu.
Dan di sana, berdiri Sakura.
Rambutnya masih setengah kusut. Wajahnya tidak memakai riasan.
Dia memakai jaket yang biasa dia pakai kalau cuma ke konbini.
Di tangannya ada dua kaleng teh hangat.
Ia menyodorkan satu padaku.
Lalu berkata,
“Kalau kamu pergi ke perang... kamu nggak harus sendirian.”
Aku tidak menjawab. Tenggorokanku kaku.
Dia berjalan masuk ke kamar, duduk di futon seperti sudah tahu caranya.
Kemudian membuka satu kantong plastik kecil: roti isi telur dan mayones dari konbini.
“Sarapan dulu,” katanya. “Nggak enak wawancara sambil gemeter.”
Aku duduk di sebelahnya.
Kami makan dalam diam. Minum teh kaleng. Menatap jendela kecil di ujung kamar.
Udara pagi merayap masuk lewat sela-sela kayu yang mulai lapuk.
Jam berdetak pelan. Tapi entah mengapa, waktu terasa tidak mengejar kami.
Sakura mengunyah perlahan, seolah ingin memperpanjang setiap detik.
Aku hanya bisa melihat tangannya, kecil, tapi tidak gemetar seperti tanganku.
Ia tahu aku takut. Dan dia memilih diam. Mungkin karena tahu, dalam diam ada ruang untuk bernapas. Atau menangis, kalau perlu.
Mataku tertumbuk pada satu titik di lantai.
Satu tetes teh jatuh dari kalengku, membentuk noda bundar.
Lucu, pikirku. Bahkan benda mati pun bisa meninggalkan jejak.
Beberapa menit sebelum aku harus pergi, Sakura berkata pelan:
“Aku juga takut. Tapi aku lebih takut kalau kamu nyerah sebelum nyoba.”
Aku menoleh.
Matanya menatapku lama, tidak menuntut, tapi juga tidak membiarkanku kabur.
Seperti seseorang yang tidak akan memaksa, tapi juga tidak akan membiarkanmu sendirian di titik paling rapuhmu.
Seseorang yang diam-diam menyiapkan pelindung, bahkan saat kau sendiri belum tahu arah serangan datang dari mana.
“Terima kasih,” bisikku akhirnya.
Bukan karena itu cukup. Tapi karena aku tidak tahu cara bilang yang lebih tepat.
Dia mengangguk sekali.
Lalu berdiri pelan-pelan, mengambil sampah plastik, dan berkata seperti bukan apa-apa: “Kalau keterima, traktir ya. Kalau nggak keterima... ya, tetap traktir.”
Wajahnya menahan senyum. Senyum yang tidak menyembuhkan, tapi cukup untuk membuatku ingat caranya tersenyum juga.
Aku berdiri. Memasukkan map ke dalam tas selempang kusam yang pernah kena hujan.
Melangkah ke depan pintu.
Sakura berdiri di belakangku.
Dan saat aku memutar gagang pintu, dia berkata satu kalimat lagi, nyaris seperti doa: “Jangan lupa... kamu itu lebih dari hasil wawancaramu.”
Pintu terbuka. Angin pagi menyambut.
Dan untuk pertama kalinya hari itu, aku melangkah keluar bukan sebagai orang yang ingin lari,tapi sebagai seseorang yang siap mencoba.