Seragam itu masih terasa kaku.
Kerahnya tinggi, lengannya terlalu panjang, dan celana dapurnya seperti kebesaran setengah ukuran. Tapi ketika aku melihat bayangan diriku di kaca pintu kulkas besar di dapur, aku tidak melihat seseorang yang sedang menyamar.
Aku melihat seseorang yang akhirnya... diakui.
Ini bukan pertama kalinya aku berdiri di dapur restoran. Tapi ini pertama kalinya aku berdiri dengan nama di daftar gaji, izin kerja yang sah, dan tag ID kecil yang tergantung di saku dada bertuliskan “Arya S.”
Restoran Kusunoki Dining jauh lebih besar dari tempat Yamamoto-san.
Lebih banyak meja, lebih banyak staf, lebih banyak tekanan.
Tapi juga lebih terang. Lebih terbuka.
Hari pertama berjalan seperti pelatihan militer tanpa pelatih yang marah.
Chef utama, lelaki Jepang setengah botak dengan wajah kaku tapi mata cerdas, memberiku tugas potong-potong dan mengatur stok dapur. Semua dilakukan dalam sunyi, kecuali suara logam dan kompor.
Tidak ada yang menyambut dengan hangat. Tapi juga tidak ada yang curiga.
Dan untuk seseorang sepertiku, itu sudah cukup mewah.
Sakura tidak mengantarku ke tempat kerja pagi itu. Tapi sebelum aku pergi, dia meninggalkan bekal kecil di meja: dua onigiri dan satu potong kertas.
Inhale. Exhale. Chop. Stir. Serve.
I believe in you. ☁
Aku menyimpannya di saku belakang.
Jam makan staf datang lebih cepat dari yang kukira.
Beberapa pegawai dapur mulai menghangatkan bekal mereka sendiri.
Chef utama menatapku dan berkata, “Masak apa. Terserah. Untuk semua orang. Tapi jangan terlalu gagal.”
Aku menelan ludah.
Lalu membuka kulkas.
Nasi sisa semalam. Telur. Bawang putih. Kecap asin. Daun bawang.
Tidak ada sambal. Tidak ada kecap manis. Tapi itu cukup.
Tanganku bergerak sendiri.
Wajan panas. Telur dikocok. Nasi masuk. Kecap dituangkan seperti ritual masa kecil.
Tiga menit. Selesai.
Aku tidak bilang ini nasi goreng Indonesia. Tidak bilang ini masakan warisan.
Hanya menyendoknya ke mangkuk-mangkuk putih dan menaruhnya di meja makan staf.
Mereka makan diam-diam. Seperti biasa.
Satu staf perempuan dengan rambut dicat abu berkata pelan, “Wangi.”
Yang lain menambah dua sendok.
Lalu seorang pegawai bagian pencuci piring, orang Nepal, mungkin, mengangkat mangkuknya dan berkata dalam bahasa Inggris patah, “Ini… kayak pulang.”
Aku terdiam.
Dan entah kenapa, tenggorokanku mendadak sempit.
Aku menyuap sisa nasi dari wajan langsung.
Dan saat aku menelan, mataku terasa panas.
Bukan karena bawang.