Loading...
Logo TinLit
Read Story - Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
MENU
About Us  

Hujan turun tanpa aba-aba, seperti seseorang yang sudah terlalu lelah menahan diri. Butir-butirnya tipis, namun terus-menerus, mengalirkan suasana yang sepi dan berat ke sekitar. Tidak seperti hujan di Jakarta yang penuh dengan bau tanah basah, bau hujan di Tokyo lebih tajam. Aromanya seperti logam, seperti kabel basah yang terkelupas, menyatu dengan beton dan asfalt. Sebuah bau yang selalu membuatku merasa seperti sedang berjalan di tempat yang jauh lebih asing, jauh lebih sepi, meski aku mengenali tiap sudut jalan ini.

Aku keluar bukan untuk mencari siapa-siapa. Hanya untuk berjalan, berusaha mengendapkan pikiranku yang terus berputar sejak pertengkaran semalam. Suara gaduh yang tidak bisa diredam, pertanyaan yang tidak punya jawaban, dan ketakutan akan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Semua itu menghantui setiap langkahku. Aku tidak tahu ke mana harus pergi, hanya tahu aku harus pergi.

Saat aku belok di tikungan kecil dekat taman, sosok itu muncul. Sosok yang sudah terlalu familiar meski aku hanya bisa melihatnya dari jauh. Sakura.

Dia berdiri di bawah halte kecil, tidak menunggu bus, tidak memeriksa ponselnya, hanya menatap hujan. Seperti seseorang yang sedang mendengarkan lagu lama yang tidak ingin diingat. Tidak ada rasa kaget di wajahnya saat matanya bertemu dengan mataku. Tidak ada penghindaran, tidak ada kata-kata. Hanya keheningan yang menggantung di udara.

Aku merasa langkahku mulai melambat, entah karena ingin menghindar atau justru karena aku tahu bahwa pertemuan ini, tanpa kata, adalah sesuatu yang sudah terlalu lama tertunda. Aku berjalan pelan menuju halte itu, dan akhirnya berdiri di bawah atap kecil bersamanya, mencoba mengabaikan rasa canggung yang muncul di antara kami.

Beberapa detik kami diam, hanya suara hujan yang terdengar. Suara itu terasa lebih keras di telinga, seolah memaksa kami untuk menghadapi kenyataan yang kami coba hindari. Hujan seperti ingin mengisi kekosongan ini, menyampaikan sesuatu yang tidak bisa kami katakan dengan kata-kata.

Kemudian, Sakura mengeluarkan payung lipat dari tasnya. Payung itu merah tua, sedikit sobek di salah satu sisinya. Tanpa sepatah kata pun, dia membuka payung itu dan mengarahkannya ke atas kami berdua. Cakupannya sempit, jauh dari cukup untuk menutupi kami dengan baik. Bahu kami saling bersentuhan karena tak ada ruang lain, dan untuk pertama kalinya setelah semalam, aku merasa sedikit lebih dekat dengannya, meskipun hanya karena hujan dan payung yang terlalu kecil itu.

Aku menghela napas panjang. "Sakura..."

Dia tidak menjawab, namun dia tidak juga menoleh pergi. Hanya diam, seolah menunggu kata-kata yang mungkin akan aku ucapkan, atau mungkin menunggu aku untuk memulai percakapan ini.

"Aku... belum tahu harus ngomong apa," kataku akhirnya, suaraku terasa kaku, seperti sesuatu yang sudah lama terpendam. Perasaan itu muncul kembali, rasa takut yang sama yang menghambatku kemarin malam. Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan, atau apa yang seharusnya aku sampaikan. Semua yang keluar terasa tidak cukup.

Namun, Sakura tetap diam, dan tanpa menatapku, dia akhirnya berbicara. Kalimat itu singkat, tapi rasanya seperti pintu yang terbuka pelan.

“Jangan pergi sebelum berani gagal.”

Kalimat itu mengingatkanku pada perasaan yang pernah aku coba sembunyikan. Perasaan takut gagal yang selama ini membayangi setiap langkahku. Tetapi saat dia mengatakannya, ada sesuatu yang berbeda, seperti sebuah undangan untuk tetap bertahan, meskipun aku tahu bahwa ada risiko besar yang harus dihadapi.

Kami mulai berjalan di bawah payung kecil itu, langkah kami pelan, dan kami saling menyesuaikan agar tak ada yang terlalu basah. Terkadang bahuku sedikit keluar dari payung, terkadang payungnya bergeser ke arahnya. Tidak ada yang mengeluh, tidak ada yang mempermasalahkan jarak yang sempit itu. Kami hanya berjalan, mengikuti arus hujan yang terus turun.

Di persimpangan lampu merah, kami berhenti. Aku menatap Sakura sejenak. Dia masih menatap lurus ke depan, matanya tenang, seolah dia sudah tahu apa yang akan terjadi. Tapi aku tidak bisa menahan diri untuk berbicara.

"Sak," kataku, suaraku agak lebih tegas dari sebelumnya, "aku akan datang ke interview itu."

Dia akhirnya menoleh ke arahku. Tatapannya tidak meledak, tidak menunjukkan kelegaan yang berlebihan. Hanya ada sesuatu yang lebih dalam, lebih tenang, seperti seseorang yang telah menunggu, bukan jawaban, tapi kesadaran. Kesadaran bahwa, pada akhirnya, aku memilih untuk melangkah meski aku tidak tahu apa yang akan terjadi.

"Aku tahu," jawabnya pelan, tapi aku bisa merasakan ada kepastian dalam kata-katanya.

Dia menambahkan, “Dan kalau kamu gagal... kita cari jalan lain. Tapi bareng.”

Aku mengangguk. Lampu lalu menyala hijau, dan kami mulai menyebrang. Masih dengan payung kecil itu. Masih dengan hujan yang belum mau berhenti. Tidak ada percakapan lebih lanjut, tetapi ada sesuatu yang lebih kuat dari kata-kata, keheningan yang berbicara lebih banyak daripada apa pun.

***

Setelah melewati persimpangan lampu merah itu, kami berjalan tanpa tujuan yang pasti. Kami berjalan, tidak terburu-buru, di bawah payung yang mulai terasa semakin sempit seiring hujan yang terus turun. Langkah kami terasa tenang, tapi ada semacam ketegangan yang terus mengalir di udara. Tidak ada kata-kata lagi yang keluar dari mulut kami, tetapi entah kenapa, setiap detik yang berlalu terasa lebih penuh makna daripada yang bisa kami ucapkan.

Di satu titik, aku merasa seolah-olah kami sedang berjalan dalam sebuah jalan yang hanya ada dua pilihan: bertahan atau pergi. Tapi entah kenapa, rasanya kedua pilihan itu semakin kabur. Aku bukan orang yang pandai memilih, terutama ketika pilihan itu berhubungan dengan sesuatu yang seberat ini.

Aku bisa merasakan bahwa Sakura tidak sedang menunggu jawaban langsung dariku. Mungkin dia tahu aku sedang berjuang dengan perasaanku, dengan ketakutanku. Namun, yang lebih mengejutkanku adalah kenyataan bahwa meski kami tidak berbicara banyak, ada ketenangan yang melingkupi kami. Seolah-olah kami sudah berbicara dengan cara lain, bukan dengan kata-kata, tetapi dengan cara kami berjalan beriringan di bawah payung yang sempit ini.

Di tengah hujan yang terus turun, aku teringat kata-kata Sakura yang masih bergema di kepalaku: "Jangan pergi sebelum berani gagal."

Kalimat itu, meskipun singkat, terasa begitu dalam. Itu adalah panggilan untuk tidak menyerah, untuk tidak takut menghadapi kemungkinan buruk. Tetapi di sisi lain, ada rasa takut yang mencekam, takut jika kegagalan itu benar-benar datang, takut jika aku gagal dan kehilangan semuanya, bahkan Sakura. Namun, kata-kata itu juga seperti sebuah pengingat bahwa aku tidak bisa terus hidup dalam ketakutan. Aku harus melangkah, meskipun langkah itu terasa rapuh.

Aku menatap ke depan, mengikuti jejak langkah Sakura, yang semakin mantap meski kami tak pernah benar-benar tahu ke mana arah kami berjalan. Dalam keheningan itu, aku merasa seperti ada dua dunia yang bertabrakan dalam diriku. Dunia yang ingin aku lari darinya, dan dunia yang, meskipun penuh ketakutan, juga menawarkan kemungkinan yang belum pernah kuambil.

Sakura akhirnya memperlambat langkahnya, menoleh ke arahku. Mungkin dia merasa aku sedang berpikir keras tentang sesuatu, mungkin dia juga tahu betapa beratnya keputusan yang harus kuambil. Tapi yang membuatku terkejut adalah tatapannya, bukan tatapan penuh harapan, bukan juga tatapan yang penuh dengan tekanan. Tatapannya adalah tatapan yang penuh pengertian, seperti dia tahu persis apa yang aku rasakan. Mungkin, lebih dari siapa pun, Sakura mengerti ketakutanku.

"Arya," katanya, memecah keheningan, "jangan pernah merasa bahwa kamu harus memilih antara aku dan dirimu. Ini bukan tentang aku yang ingin kamu berhasil demi aku. Ini tentang kamu yang harus percaya kalau kamu bisa berhasil untuk dirimu sendiri."

Kalimat itu seperti belati yang menusuk bagian terdalam diriku, tapi juga menenangkan. Sakura benar, aku telah terlalu lama menganggap diriku sebagai orang yang hanya bergantung pada orang lain. Aku sudah terlalu sering mencari pelarian, mencari penyelamat, tanpa sadar bahwa yang sebenarnya aku butuhkan adalah untuk mempercayai diriku sendiri.

Kami berhenti sejenak di sebuah kedai kopi kecil yang buka 24 jam. Sakura mengangguk ke arah pintu, dan aku tahu dia tidak ingin menunggu lebih lama di bawah hujan. Kami masuk, dan meskipun tubuh kami basah kuyup, ada perasaan aneh yang menghangatkan hati. Suasana di dalam kedai itu hangat, penuh dengan aroma kopi dan roti panggang. Kami duduk di pojokan yang agak sepi, dengan secangkir kopi di tangan, dan akhirnya, aku merasa bisa sedikit lebih tenang.

Saat aku memandang Sakura, aku tahu bahwa dia tidak menuntut apa pun dariku selain satu hal: untuk melangkah maju, untuk mencoba. Aku memandangi wajahnya, dan kali ini, aku tidak melihat kekhawatiran atau keraguan di matanya. Yang ada hanya ketenangan, sebuah keyakinan yang diam-diam aku butuhkan. Sakura tahu aku harus berjalan di jalanku sendiri, tetapi dia juga tahu bahwa aku tidak harus melakukannya sendirian.

“Aku akan datang ke interview itu,” kataku akhirnya, suaraku lebih mantap dari sebelumnya. Aku bisa merasakan beban yang sedikit mengendur di bahuku. Mungkin ini bukan jawaban penuh keyakinan, tetapi setidaknya ini adalah langkah pertama.

Sakura tersenyum tipis, tidak ada kegembiraan berlebihan, hanya sebuah senyum yang penuh dengan pemahaman. "Aku tahu," katanya, dan suara itu tidak hanya berarti bahwa dia mengerti, tetapi juga bahwa dia menerima segala kemungkinan yang akan terjadi.

“Aku nggak janji akan sukses,” lanjutku, “Tapi aku akan mencoba. Kalau aku gagal, kita cari jalan lain. Tapi bareng, kan?”

Sakura mengangguk pelan. “Iya. Bareng.”

Kata-katanya begitu sederhana, namun terasa seperti jaminan yang lebih kuat daripada apa pun. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, tetapi pada saat itu, di bawah hujan yang masih terus mengguyur, kami tahu bahwa tidak ada yang harus dijalani sendirian. Kami mungkin tidak punya jawaban pasti tentang masa depan, tetapi kami punya keberanian untuk berjalan bersama, walaupun hanya dengan payung kecil yang tak cukup menutupi kami sepenuhnya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
My Private Driver Is My Ex
339      209     10     
Romance
Neyra Amelia Dirgantara adalah seorang gadis cantik dengan mata Belo dan rambut pendek sebahu, serta paras cantiknya bak boneka jepang. Neyra adalah siswi pintar di kelas 12 IPA 1 dengan julukan si wanita bermulut pedas. Wanita yang seperti singa betina itu dulunya adalah mantan Bagas yaitu ketua geng motor God riders, berandal-berandal yang paling sadis pada geng lawannya. Setelahnya neyra di...
Me vs Skripsi
1748      707     154     
Inspirational
Satu-satunya yang berdiri antara Kirana dan mimpinya adalah kenyataan. Penelitian yang susah payah ia susun, harus diulang dari nol? Kirana Prameswari, mahasiswi Farmasi tingkat akhir, seharusnya sudah hampir lulus. Namun, hidup tidak semulus yang dibayangkan, banyak sekali faktor penghalang seperti benang kusut yang sulit diurai. Kirana memutuskan menghilang dari kampus, baru kembali setel...
Behind The Spotlight
3171      1526     621     
Inspirational
Meskipun memiliki suara indah warisan dari almarhum sang ayah, Alan tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang penyanyi, apalagi center dalam sebuah pertunjukan. Drum adalah dunianya karena sejak kecil Alan dan drum tak terpisahkan. Dalam setiap hentak pun dentumannya, dia menumpahkan semua perasaan yang tak dapat disuarakan. Dilibatkan dalam sebuah penciptaan mahakarya tanpa terlihat jelas pun ...
Rumah Tanpa Dede
113      75     1     
Inspirational
Kata teteh, Bapak dan Mama bertengkar karena Dede, padahal Dede cuman bilang: "Kata Bapak, kalau Bi Hesti jadi Mama kedua, biaya pengobatan Dede ditanggung Bi Hesti sampai sembuh, Mah." Esya---penyintas penyakit langka Spina Bifida hanya ingin bisa berjalan tanpa bantuan kruk, tapi ekonomi yang miskin membuat mimpi itu terasa mustahil. Saat harapan berwujud 'Bi Hesti' datang, justru ban...
Glitch Mind
40      37     0     
Inspirational
Apa reaksi kamu ketika tahu bahwa orang-orang disekitar mu memiliki penyakit mental? Memakinya? Mengatakan bahwa dia gila? Atau berempati kepadanya? Itulah yang dialami oleh Askala Chandhi, seorang chef muda pemilik restoran rumahan Aroma Chandhi yang menderita Anxiety Disorder......
When Flowers Learn to Smile Again
779      574     10     
Romance
Di dunia yang menurutnya kejam ini, Jihan hanya punya dirinya sendiri. Dia terjebak pada kelamnya malam, kelamnya hidup, dan kelamnya dunia. Jihan sempat berpikir, jika dunia beserta isinya telah memunggunginya sebab tidak ada satu pun yang peduli padanya. Karena pemikirannya itu, Jihan sampai mengabaikan eksistensi seorang pemuda bernama Natha yang selalu siap menyembuhkan luka terdalamnya. B...
Mana of love
209      141     1     
Fantasy
Sinopsis Didalam sebuah dimensi ilusi yang tersembunyi dan tidak diketahui, seorang gadis tanpa sengaja terjebak didalam sebuah permainan yang sudah diatur sejak lama. Dia harus menggantikan peran seorang anak bangsawan muda yang dikenal bodoh yang tidak bisa menguasai teknik adu pedang yang dianggap bidang unggul oleh keluarganya. Namun, alur hidup ternyata jauh lebih kompleks dari ya...
Kisah Cinta Gadis-Gadis Biasa
725      406     0     
Inspirational
Raina, si Gadis Lesung Pipi, bertahan dengan pacarnya yang manipulatif karena sang mama. Mama bilang, bersama Bagas, masa depannya akan terjamin. Belum bisa lepas dari 'belenggu' Mama, gadis itu menelan sakit hatinya bulat-bulat. Sofi, si Gadis Rambut Ombak, berparas sangat menawan. Terjerat lingkaran sandwich generation mengharuskannya menerima lamaran Ifan, pemuda kaya yang sejak awal sudah me...
Trust Me
53      46     0     
Fantasy
Percayalah... Suatu hari nanti kita pasti akan menemukan jalan keluar.. Percayalah... Bahwa kita semua mampu untuk melewatinya... Percayalah... Bahwa suatu hari nanti ada keajaiban dalam hidup yang mungkin belum kita sadari... Percayalah... Bahwa di antara sekian luasnya kegelapan, pasti akan ada secercah cahaya yang muncul, menyelamatkan kita dari semua mimpi buruk ini... Aku, ka...
Hello, Me (30)
18990      809     6     
Inspirational
Di usia tiga puluh tahun, Nara berhenti sejenak. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena tak lagi tahu ke mana arah pulang. Mimpinya pernah besar, tapi dunia memeluknya dengan sunyi: gagal ini, tertunda itu, diam-diam lupa bagaimana rasanya menjadi diri sendiri, dan kehilangan arah di jalan yang katanya "dewasa". Hingga sebuah jurnal lama membuka kembali pintu kecil dalam dirinya yang pern...