Aku tidak sengaja bertemu Raka.
Saat itu aku duduk sendiri di pojok perpustakaan kota, bukan untuk baca, tapi hanya nebeng Wi-Fi dan sok sibuk di depan halaman permohonan visa online yang membingungkan. Halaman-halaman itu menampilkan kolom-kolom yang semakin membuatku merasa jauh dari rumah, jauh dari apa yang kurencanakan. Aku menatap layar, berharap jawabannya muncul begitu saja, atau setidaknya ada kejelasan, tapi yang aku dapat malah sekumpulan petunjuk yang tampak lebih seperti jebakan.
Kemudian, suara itu datang, suara yang kutahu itu suara orang yang tidak pernah benar-benar dewasa. Suara yang mampu menghentikan seluruh waktuku sejenak, bahkan tanpa aku harus menoleh:
“Arya? Gila. Lu ngapain di sini?”
Aku memalingkan kepala.
Dan seperti tokoh lama dari babak yang sudah kututup, dia berdiri di sana, Raka, dengan penampilannya yang tak banyak berubah. Kurus, rambut gondrong terikat asal, jaket kulit imitasi dengan tambalan bendera Indonesia dan Jepang berdampingan, seolah-olah dia ingin menunjukkan dua identitas sekaligus, atau mungkin ingin memberi perasaan bahwa dia tak benar-benar terikat oleh satu dunia.
“Raka,” kataku pelan, setengah bingung setengah waspada. “Lu masih di Tokyo?”
Dia duduk di kursi seberangku tanpa diundang, seperti biasa. Begitu tanpa beban, begitu familiar, seakan aku tak pernah benar-benar jauh darinya.
“Masih dong. Niatnya cuma satu tahun buat kuliah, ended up jadi… pengembara legalitas,” katanya sambil terkekeh, setengah bangga, setengah sinis.
Aku memaksakan senyum. “Visa lu... gimana?”
“Udah mati dua tahun lalu,” jawabnya santai, seperti dia bicara tentang sesuatu yang remeh, tak penting.
“Tapi ada jalan, bro. Jepang itu kayak hutan: kalau lu tau ngumpetnya di mana, aman-aman aja.”
Aku menatapnya, tak bisa menutupi rasa tidak nyaman yang tiba-tiba mendera. Ada sesuatu di nada bicaranya yang membuatku tidak tenang. Terlalu ringan. Terlalu seperti dia tidak sadar sedang bermain-main di pinggir jurang, di tempat yang bisa sangat berbahaya jika tidak hati-hati.
“Ada kenalan,” lanjutnya, suaranya tetap tenang, seakan semua ini hanya permainan biasa. “Bisa bantu bikin visa kerja palsu. Atau minimal KTP lokal KW. Cukup buat kerja jadi supir, kurir, atau yang penting gak ketahuan.”
Aku menggeleng pelan, seolah kata-katanya baru saja menyentuh bagian diriku yang rapuh. “Gue nggak mau kerja ilegal. Gue pengen bener.”
Dia mendengus. “Liat aja. Nanti lu juga capek sama sistemnya. Jepang itu nggak peduli sama cerita lu. Lu bisa jago masak, bisa sopan, bisa pacaran sama putri duyung pun, kalau nama lu nggak ada di sistem, lu cuma angka.”
Kata-katanya menggigit, bukan karena salah, tapi karena ada kebenaran yang bikin perih. Aku tahu dia benar. Aku tahu jika aku tidak bisa menemukan cara untuk mengatasi ini, aku akan jadi bagian dari sistem yang akan menggilingku tanpa ampun.
“Gue ada temen,” tambahnya. “Dia bisa bantu. Tapi ya... nggak ada kontrak, bro. Lu jalan, lu berdoa. Itu aja.”
Aku diam, tidak tahu harus berkata apa. Raka selalu punya cara untuk membicarakan masalah besar dengan begitu santai, seakan semuanya tidak lebih penting dari sekedar percakapan biasa di warung kopi.
Tapi sejak keluar dari perpustakaan itu, pikiranku tak bisa berhenti. Kata-kata Raka bergema di kepalaku, berputar-putar tanpa henti. Ada jalan pintas. Ada cara yang lebih mudah. Lebih cepat. Tapi aku tahu betul bahwa jalan pintas selalu membawa risiko yang lebih besar. Dan aku tidak tahu apakah aku cukup berani untuk mengambil risiko itu.
***
Sakura langsung bisa membaca wajahku saat kami bertemu di depan restoran malam itu.
“Kamu ketemu siapa?” tanyanya, dengan nada suara yang sudah biasa aku dengar, penuh perhatian, tapi juga penuh kerisauan.
Aku tidak menjawab langsung.
Terlalu banyak yang ingin aku katakan, terlalu banyak yang ingin aku sembunyikan. Dalam pertemuan singkat tadi, Raka memberi tawaran yang menggiurkan, tapi aku tahu apa konsekuensinya. Aku tahu, jika aku melangkah ke arah itu, tidak ada jalan untuk mundur. Sakura pasti akan melihat perubahan itu, melihat keraguan dalam diriku, dan aku tidak bisa membiarkannya tahu betapa aku terjebak di antara pilihan-pilihan yang penuh ancaman ini.
Tapi setelah beberapa detik, aku berkata, “Temen lama. Dia tawarin... cara lain.”
Sakura menegang. Aku bisa melihat perubahan di wajahnya, dari yang biasanya cerah menjadi lebih kaku, lebih cemas.
“Cara?”
“Visa. Palsu. Bisa kerja. Bisa bertahan.”
Wajahnya berubah. Bukan karena kaget. Tapi seperti seseorang yang sedang dihantam oleh skenario buruk yang sudah lama ia takutkan. Sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindari. Aku tahu betul apa yang dia rasakan, karena aku juga merasakannya. Ada rasa takut yang mendalam, bukan hanya karena apa yang akan terjadi, tetapi karena kami berdua tahu bahwa ini adalah pertaruhan besar.
“Kamu percaya dia?” tanyanya pelan, suaranya hampir tak terdengar.
Aku diam, menatap Sakura, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan apa yang ada di kepalaku. Tapi tidak ada kata yang cukup kuat untuk mengungkapkan keraguan, ketakutan, dan harapan yang bercampur aduk di hatiku.
Lalu aku menggeleng.
“Tapi aku... mulai kehabisan pilihan, Sak.”
Ia menatapku lama, ada keheningan yang begitu dalam di antara kami. Seolah waktu berhenti sejenak, dan aku tahu, kami berdua sedang menimbang sesuatu yang sangat berat. Kemudian, ia berkata dengan suara yang lembut, namun sangat jelas:
“Kalau kamu jatuh... aku ikut jatuh.”
Aku ingin menenangkan dia, ingin meyakinkannya bahwa aku akan menemukan jalan yang benar. Tapi aku tahu, malam ini, aku tidak bisa janji apa-apa. Karena tawaran seperti itu bukan cuma jalan pintas. Itu jalan tanpa petunjuk balik. Dan aku tidak tahu apakah aku siap untuk itu.
***
Kami berjalan di sepanjang trotoar yang sudah mulai sepi, dengan suara langkah kaki yang terasa sangat berat. Sakura masih di sampingku, dan meskipun kami tidak bicara, aku tahu dia sedang berpikir keras. Mungkin sama seperti aku, memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi, memikirkan apa yang bisa kami lakukan jika semua yang kami rencanakan gagal.
Aku merasa sangat bingung. Di satu sisi, Raka menawarkan solusi yang tampak mudah, jalan pintas yang bisa membuatku bertahan di sini lebih lama. Tapi di sisi lain, aku tahu itu bukan jalan yang benar. Aku tidak tahu apakah aku bisa hidup dengan pilihan yang salah itu. Tapi semakin lama aku menunda, semakin besar tekanan yang kurasakan, semakin jelas bahwa pilihan-pilihan itu hanya akan semakin sempit.
Sakura menggenggam tanganku lebih erat, seolah mencoba memberi kekuatan. Aku bisa merasakan ketegangan dalam genggamannya, tapi aku juga tahu dia sedang berjuang untuk tetap ada di sisiku, apapun yang terjadi.
Kami tidak tahu apa yang akan datang, tapi malam ini, kami tahu satu hal: jalan kami tidak akan pernah sama lagi. Kami sudah berdiri di persimpangan, dan tidak ada jaminan apapun, selain keputusan yang harus diambil dengan hati-hati, meskipun tak ada lagi waktu untuk ragu.