Matahari belum tinggi ketika aku berdiri di depan Kantor Imigrasi Tokyo.
Bangunannya tampak seperti kebanyakan gedung pemerintahan di negara manapun, tidak ramah, tidak menyeramkan, hanya... dingin dan sangat serius. Mungkin itu adalah kesan pertama yang ingin ditinggalkan oleh gedung ini. Mengingatkan aku pada banyak hal, pengurusan yang serba rumit, prosedur yang tak terhitung, dan perasaan yang selalu terselip di antara keduanya: ketidakpastian.
Jendela kacanya mengkilat, seolah memantulkan sinar matahari yang mulai memancar. Dindingnya putih tanpa ekspresi, dan udara di sekitar gedung terasa lebih dingin daripada biasanya. Antrian panjang membentang di depan pintu masuk, seperti antre sembako pada zaman yang lebih sulit, dengan orang-orang yang sudah terbiasa dengan kerumitan ini, menunggu kesempatan untuk dipanggil. Ada rasa tenggelam dalam kerumunan ini, semua orang dengan tujuan yang sama, tapi masing-masing dengan cerita yang berbeda.
Sakura berdiri di sampingku, mengenakan masker, syal tipis, dan hoodie putih bersih yang sudah mulai kusut. Wajahnya setengah tertutup, hanya matanya yang tampak jelas, dan di sana aku melihat lebih banyak kecemasan daripada biasanya. Ia tidak berkata apa pun sejak kami keluar dari kereta. Namun, tangannya terus menggenggam map dokumen yang kami susun semalaman, paspor, surat keterangan dari restoran, fotokopi halaman visa, semuanya terlipat rapi dalam plastik bening seperti berkas ujian hidup yang akan menentukan segalanya.
Aku tidak tahu kenapa tanganku berkeringat. Padahal udara pagi ini dingin. Mungkin karena aku tahu ini adalah momen penentuan, momen yang akan membuktikan apakah aku masih punya kesempatan untuk bertahan di sini atau apakah aku harus mengucapkan selamat tinggal pada semuanya, pada dunia yang sudah mulai aku kenal, pada Sakura yang sudah menjadi bagian penting dalam hidupku.
Antrian berjalan lambat.
Satu langkah. Lima menit.
Dua langkah. Sepuluh menit.
Kami berdiri di antara orang-orang dari segala penjuru dunia. Bahasa Jepang terdengar di mana-mana, tetapi bercampur dengan aksen Rusia, Tagalog, Mandarin, Urdu, dan entah apa lagi. Semua orang sepertinya terbiasa dengan suasana ini, dengan prosedur yang tak mengenal kompromi. Wajah-wajah mereka tidak terlihat marah, juga tidak takut. Hanya… kosong.
Ada semacam perasaan kolektif di sini, seperti semua orang sudah tahu: harapan harus disimpan kecil-kecil, supaya kalau jatuh tidak terlalu sakit. Aku bisa merasakan udara di sekitarku semakin berat, semakin sunyi. Semua orang memiliki cerita mereka masing-masing, tetapi di sini, di ruang ini, kami semua hanya angka dan formulir.
***
Ketika akhirnya kami sampai di loket, seorang pria paruh baya dengan wajah setipis formulir menyambut kami.
Atau lebih tepatnya, ia melihat kami seperti kita melihat label harga, tanpa perhatian, hanya sekadar melihat, menilai, dan melanjutkan ke langkah berikutnya. Tidak ada senyum, tidak ada nada ramah dalam suaranya, hanya sebuah keheningan yang menyelimuti segala sesuatu.
Aku menunduk sedikit. "Konnichiwa. Sumimasen... visa extension, maybe change status..." kataku, suaraku hampir tenggelam dalam keraguan. Kata-kataku berantakan, seperti ada bagian dari diriku yang takut untuk keluar.
Sakura menyerahkan map dokumen dengan tangan yang sedikit gemetar. Petugas itu membuka dokumen kami dengan cara yang tidak bersemangat, seperti membuka kotak sereal yang sudah kosong. Ia melihat dokumen-dokumen kami tanpa ekspresi, seolah-olah kami hanya bagian dari rutinitas panjang yang harus ia jalani setiap hari.
Lalu ia melihat ke arahku, matanya menyiratkan sedikit rasa malas. “Your current visa is... tourist. No working permit?” tanyanya dengan nada datar, seakan mengulang pertanyaan yang sudah terlalu sering ia ajukan. Aku menggeleng pelan, tidak tahu harus menjelaskan apa lagi.
“Yes. Tourist. But... situation change. Home, no more. I need... stay,” jawabku, mencoba menjelaskan sebaik mungkin, meskipun aku tahu kata-kataku terdengar sangat terputus-putus.
Petugas itu mengetuk keyboard dengan jari-jarinya yang cepat, namun gerakannya tidak menunjukkan sedikit pun tanda kesungguhan. Ia hanya mencatat data yang sudah kami serahkan, sementara matanya tetap kosong, tidak ada perhatian lebih.
“No sponsor. No institution. No school. No family here?” tanyanya lagi, matanya bergerak dari layar komputer ke dokumen kami, tanpa benar-benar melihat kami. Aku menggeleng lagi, merasa semakin kecil.
Sakura mencoba bicara, bahasa Jepangnya cepat, lebih lancar daripada aku, dan aku hanya menangkap sebagian dari apa yang ia katakan. Ia menjelaskan tentang restoran tempat aku bekerja, tentang rekomendasi yang kami punya, tentang keadaan di Indonesia yang semakin sulit. Tetapi petugas itu hanya mendengarkan setengah hati, dan aku tahu jawabannya tidak akan jauh lebih baik.
Setelah beberapa detik yang terasa panjang, petugas itu mencetak selembar kertas dan meletakkannya di atas meja, seperti mengeluarkan barang yang tidak bernilai. “Fill this. But... chance is small. Tourist visa change is not normal. You may have to leave, re-apply from outside,” katanya datar, tanpa sedikit pun mengangkat pandangannya.
Aku menatap kertas itu, tidak tahu apa yang harus aku rasakan. Kolom-kolomnya penuh dengan istilah yang tak akrab bagiku, dan di setiap bagian, aku merasa seolah-olah ada ruang kosong yang tidak bisa diisi, tidak ada kotak untuk menjelaskan perasaan, tidak ada kolom untuk mengatakan bahwa aku tidak punya rumah lagi, bahwa semuanya bisa berubah dalam sekejap.
***
Kami duduk di bangku plastik yang keras, mencoba mengisi formulir yang tampak seperti ujian hidup. Sakura membantuku menulis. Aku menyebutkan kata per kata, dan ia menuliskannya perlahan, rapi, seolah sedang membantu anak SD mengisi ujian nasional. Tangannya yang tenang dan hati-hati, seolah memberikan sedikit kelegaan di tengah keheningan yang begitu berat.
Kami berdua tahu ini adalah bagian dari proses yang harus dilalui, tetapi entah mengapa, setiap langkahnya terasa semakin jauh. Setiap detik yang kami habiskan di sini hanya mengingatkan kami akan betapa banyak yang masih harus kami hadapi, dan betapa sedikit yang bisa kami kendalikan.
Saat kami mengumpulkan ulang berkasnya, petugas tadi sudah berganti dengan seorang perempuan muda. Namun ekspresinya tetap sama, netral, sopan, dan tidak peduli. “Estimated processing... two to three weeks,” katanya, sambil menatap layar komputer. Lalu, tanpa melihat mataku, ia menambahkan dengan nada datar, “But… high chance of rejection.”
Aku hanya mengangguk, merasa seolah-olah dunia tiba-tiba semakin berat di pundakku. Semua yang kami lakukan, semua yang kami harapkan, tidak berarti apa-apa di hadapan keputusan yang sudah ditentukan sebelumnya. Kami adalah bagian dari sistem yang tak mengenal keinginan pribadi.
***
Kami keluar dari kantor saat matahari mulai tinggi, cahaya pagi menerpa wajahku, tetapi rasanya tak memberi hangat apa pun. Di luar gedung, dunia tetap berjalan seperti biasa, orang-orang tertawa di halte, anak-anak menggoda burung merpati, seorang pria makan sandwich sambil berjalan santai. Semua itu terasa sangat jauh, seolah aku tidak bisa ikut dunia itu, seolah aku sudah dipisahkan oleh tembok yang tak terlihat.
Sakura berjalan di sampingku. Kami tidak bicara, hanya mendengarkan suara langkah kaki yang beriringan. Aku tahu dia kecewa. Bukan karena hasilnya, karena kami sudah tahu itu akan terjadi. Tapi karena dia tahu, seperti aku, bahwa ini baru permulaan dari jalan yang panjang, dan sangat sepi.