Loading...
Logo TinLit
Read Story - Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
MENU
About Us  

Kami tidak bicara saat mulai berjalan. Dan itu tidak aneh.

Ada jenis keheningan yang tidak mengharuskan apa-apa, tidak mengusik, tidak mengisi ruang secara paksa. Dan malam itu, di tengah keramaian festival musim panas, keheningan itu terasa seperti musik yang hanya bisa didengar oleh kami berdua.

Langkah kami menyusuri jalan yang dihiasi lampion-lampion kertas berwarna pastel. Mereka bergoyang pelan, diterpa angin lembut dari sungai yang tak jauh. Seperti langit-langit malam meminjam warna bunga, menggantungkannya satu per satu untuk merayakan sesuatu yang tak kami tahu.

Sakura ada di sisiku, mengenakan yukata biru muda yang berpola seperti langit sebelum badai. Pola-pola tipis seperti semburat awan. Kipas kertas tergantung di pergelangan tangannya dengan pita kecil. Rambutnya disanggul rapi, tapi ada helaian-helaian kecil yang jatuh menari di pipinya, menciptakan kesan bahwa ia bukan berdandan untuk memukau siapa pun, hanya sekadar hadir, dan itu cukup.

Aku menatapnya sekilas. Tak lama. Tapi cukup untuk menangkap keindahan dalam kebersahajaannya.

Senyumnya belum muncul, tapi tidak perlu. Kehadirannya sendiri sudah seperti senyum yang tertunda.

Di tangannya ada kipas. Di tanganku, segulung gugup yang tak tahu harus dibuka dengan kata atau diam.

Aku merasa aneh. Seperti bukan Arya yang biasa menyeka meja dapur restoran dengan tangan pecah-pecah. Aku berdiri di sini, di tengah lampion dan suara riuh, seolah aku bagian dari sebuah cerita yang bukan milikku.

Kami melewati sekelompok anak kecil berlarian mengenakan topeng kitsune dan yukata mini yang berkilau. Mereka tertawa, mencoret-coret wajah satu sama lain dengan stempel festival. Suara mereka menyatu dengan musik tradisional dari kejauhan, shamisen dan genderang taiko yang dipukul lembut, tidak untuk pamer, tapi untuk mengingat.

Sakura berjalan sedikit lebih lambat. Sesekali menengok kiri dan kanan, matanya mengamati bukan seperti turis, tapi seperti seseorang yang mencari fragmen masa kecil di antara kios-kios takoyaki dan mainan plastik.

Aku mengikutinya. Tidak bertanya. Tidak mendahului.

Kami berhenti di dekat lorong kecil yang dihiasi gantungan kertas warna-warni. Di tiap kertas, tertulis harapan-harapan dalam bahasa Jepang. kadang dengan huruf anak-anak, kadang dalam goresan yang nyaris kaligrafi.

Sakura mendekat dan membaca pelan. Aku tak bisa ikut membacanya, tapi dari ekspresinya, aku tahu beberapa kalimat menyentuhnya.

Lalu dia menoleh padaku dan berkata, “Mau tulis juga?”

Aku mengangguk. Mungkin ini bukan tentang bisa membaca. Tapi tentang berani berharap.

Dia mengambil dua kertas dari penjaga kios, menyerahkan satu padaku bersama spidol kecil berwarna ungu.

Aku menatap kertas kosong itu lama.

Di tengah semua yang belum pasti, menulis harapan terasa seperti membuka dada di depan langit. Tapi aku menulis juga.

Sakura tidak melihat apa yang kutulis. Aku juga tidak bertanya tentang miliknya.

Kami menggantung kertas itu berdampingan.

Angin berhembus. Dan dua harapan itu bergoyang, saling menyentuh sesekali, seperti tangan kami yang belum berani bersentuhan, tapi sudah saling tahu kehangatannya.

Dan malam terus berjalan. Bersama kami.

***

Setelah menuliskan harapan kami, kami kembali berjalan menyusuri festival yang semakin riuh.

Aroma gurih dan manis menguar dari tiap sudut, makanan, kembang api, tawa. Semuanya bercampur jadi satu dalam simfoni warna dan suara.

Kami berhenti di depan sebuah stand takoyaki. Bola-bola adonan yang menggelembung di atas panggangan panas, dibalik dengan cepat menggunakan tusuk bambu.

Sakura menatap dengan mata berbinar, tapi aku tahu, yang dia inginkan bukan sekadar makanan. Ia ingin merasakan momen ini, bukan sebagai pengunjung festival biasa, tapi sebagai bagian dari sesuatu yang lebih dekat, lebih nyata.

“Aku traktir,” kataku sambil mengeluarkan beberapa koin yang sudah kupungut dari kerja keras cuci piring.

Dia tersenyum tipis, menerima tanpa kata.

Seporsi takoyaki isi delapan akhirnya ada di tangan kami. Kami duduk di bangku kayu kecil yang tersusun berjajar di pinggir jalan.

Sakura mengambil tusuk bambunya, meniup pelan satu bola kecil yang baru saja diambilnya. Aku ikut memperhatikan dengan cemas.

“Panas?” tanyaku, setengah tertawa.

Dia mengangguk cepat, mulut masih penuh. “Netsui! Netsui!” ujarnya sambil tertawa kecil.

Aku tersenyum, cepat-cepat mengambil botol air dari vending machine terdekat, menyodorkan ke arahnya. Dia menerima dengan senyum malu-malu.

“Kamu tahu,” kataku sambil duduk, “di Indonesia, makan makanan panas seperti ini itu semacam ujian kesabaran.”

Dia tertawa, meski dengan mulut masih penuh. “Kamu... sabar?” tanyanya nakal.

Aku menggeleng. “Tidak sama sekali.”

Tawa kami pecah lagi, dan kali ini, bukan karena canggung atau perbedaan bahasa. Tapi karena kami benar-benar saling mengerti, meskipun tanpa perlu banyak kata.

Aku memperhatikan Sakura yang duduk di sampingku, wajahnya diterangi lampu warna-warni dari stand di sekitar kami.

Dia terlihat rileks, bukan gadis yang biasanya aku lihat dengan ekspresi dingin dan terjaga. Dia membiarkan dirinya larut dalam kegembiraan kecil ini.

Kami berjalan lagi, melanjutkan festival dengan langkah yang lebih ringan.

Berhenti di depan stand permainan lempar cincin yang penuh warna-warni plastik dan botol kaca.

Aku mencoba lempar pertama, gagal. Sakura mencoba, gagal lebih parah. Kami tertawa lagi, suara kami bersatu dengan dentuman musik dan teriakan riang anak-anak.

Dia mengumpat dalam bahasa Jepang dengan cepat, dan aku tahu itu bukan makian serius, hanya ekspresi kekecewaan yang lucu.

“Ayo coba lagi?” tawarku.

Dia mengangguk, lalu membayar tiga koin lagi ke penjaga. Kali ini, dengan konsentrasi penuh, dia berhasil memasukkan cincin ke salah satu botol soda ramune.

Dia tersenyum dan menyerahkan botol itu padaku. “Untuk kamu.”

Aku pura-pura serius. “Kenapa bukan boneka besar?”

“Karena aku tidak kuat bawa pulang,” katanya polos.

Aku menatapnya lama. Dalam riuhnya festival yang tak henti, ada kehangatan sederhana yang merayap pelan ke dalam dada.

Bersama Sakura, dalam kesederhanaan itu, aku merasakan rumah yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.

***

Setelah bermain lempar cincin, kami berjalan perlahan menyusuri lorong festival yang penuh dengan cahaya warna-warni dan hiruk-pikuk yang riang.

Suara tawa, teriakan anak-anak, dan musik dari pengeras suara membaur jadi latar belakang yang hidup.

Sakura berjalan di sampingku, sesekali melihat ke arah orang-orang yang lewat, sesekali menatap langit malam yang mulai gelap.

Yukata birunya berkibar lembut saat angin kecil menyapa, dan aku tak bisa menahan senyum saat melihat helaian rambutnya yang lepas menari-nari.

Aku sadar, malam ini bukan hanya soal makanan atau permainan, tapi tentang bagaimana kami berdua ada di sini, berbagi momen tanpa harus banyak bicara.

Dalam keheningan itu, aku merasa seperti sedang menghapus semua keraguan dan ketakutan yang selama ini membelenggu.

Di antara tumpukan manusia, di tengah lampu warna-warni dan bau takoyaki yang menguar, aku merasa tak lagi seorang pengungsi tanpa nama.

Aku adalah Arya, yang bisa tertawa, gagal melempar cincin, dan menerima ramune dari gadis dalam yukata biru.

Sakura menggenggam tanganku, perlahan tapi mantap.
“Terima kasih,” bisiknya, hampir seperti rahasia yang hanya kami yang tahu.

Aku mengangguk, hati penuh kehangatan yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata.

Malam ini, di bawah langit Tokyo yang penuh cahaya dan warna, aku belajar bahwa rumah bukan hanya tempat, tapi juga perasaan.

Kami terus berjalan, melangkah bersama ke arah masa depan yang belum pasti, tapi terasa lebih ringan saat dijalani berdua.

***

Kami berhenti sejenak di sebuah sudut yang agak sepi, jauh dari keramaian stand makanan dan permainan.

Sakura menarik napas panjang, lalu menatapku dengan mata yang bersinar samar di bawah sinar lampu festival.

“Tahu nggak, Arya,” katanya pelan, “di Jepang, ada lelucon yang nggak bisa diterjemahkan ke bahasa lain.”

Aku penasaran. “Kenapa bisa?” tanyaku.

Dia tersenyum kecil. “Karena lelucon itu terkait dengan kata-kata yang punya arti ganda, atau permainan kata yang cuma orang Jepang paham.”

Aku mengangguk, membayangkan betapa rumitnya bahasa itu.

“Tapi kadang,” dia melanjutkan, “justru lelucon yang tidak perlu diterjemahkan itulah yang paling membuat kita merasa dekat.”

Aku menatapnya, mengerti maksudnya.

“Apa kamu punya lelucon seperti itu?” tanyaku, setengah menggoda.

Sakura tertawa pelan, lalu berkata, “Mungkin kamu sendiri, Arya. Karena kamu selalu berhasil membuat aku tertawa, meski aku nggak ngerti semua kata-katamu.”

Aku tertawa, merasa hangat sampai ke tulang.

Tawa kami berbaur dengan suara festival, jadi melodi sederhana yang tak perlu kata-kata rumit untuk dimengerti.

Malam itu, aku belajar bahwa bahasa hati kadang lebih kuat dari kata-kata.

Bahwa tawa, perhatian, dan kehadiran bisa jadi jembatan tanpa perlu terjemahan.

Dan dengan itu, aku tahu perjalanan ini belum berakhir.

Tapi aku siap melangkah, dengan Sakura di sisiku,dalam bahasa apapun.

***

Setelah lelucon tanpa terjemahan itu, kami berjalan pelan menyusuri lorong-lorong festival yang mulai sepi.

Lampu-lampu warna-warni bergelayut di atas kepala kami, memantulkan bayangan panjang di jalanan yang sedikit basah.

Sakura berhenti dan memandang ke langit malam yang mulai temaram.

“Aku suka festival ini,” katanya lirih. “Banyak kenangan masa kecil di sini.”

Aku ikut menatap langit, mencoba menangkap makna yang terselip di balik kata-katanya.

Di kota yang asing ini, festival kecil itu terasa seperti rumah sementara, sebuah tempat di mana kami bisa jadi diri sendiri tanpa beban.

“Tapi aku senang kamu ada di sini,” tambahnya sambil menatapku. “Bukan sebagai orang asing. Tapi sebagai teman.”

Aku tersenyum, merasakan sesuatu yang hangat mengalir di dada.

Bukan hanya karena kehangatan jaket yang ia pinjamkan, tapi karena kehadiran yang tulus itu.

Kami berdiri di bawah langit festival, dua jiwa yang saling menguatkan dalam sunyi yang penuh arti.

Dan malam itu, aku tahu:

Aku sudah menemukan tempat yang membuatku merasa… pulang.

***

Kami melanjutkan langkah kami, melewati gerombolan anak-anak yang masih berlarian dan tawa yang mengisi udara malam.

Suara musik tradisional Jepang mengalun pelan dari panggung kecil di ujung jalan, menambah hangat suasana festival.

Sakura berhenti sejenak, memandang ke arahku dengan mata yang penuh arti.

“Kamu tahu,” katanya, “Kadang kata-kata itu tidak cukup. Malam ini, kita tidak butuh banyak bicara.”

Aku mengangguk pelan, merasakan benang tak terlihat yang mengikat kami tanpa perlu diucapkan.

Sebuah janji tanpa kata, yang menguatkan tanpa beban.

Dia menggenggam tanganku sebentar, bukan erat, hanya sentuhan lembut yang mengatakan, ‘Aku di sini.’

Dan aku tahu, aku tidak perlu kata-kata panjang untuk mengerti.

Festival malam itu berubah menjadi momen sakral, sebuah kenangan kecil yang akan kami bawa dalam perjalanan panjang yang belum tentu mudah.

Namun, bersama-sama, aku yakin kami bisa menghadapi apa pun.

Kami melangkah kembali ke keramaian, tapi di dalam hati, kami sudah menemukan keheningan yang penuh arti.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Reandra
1393      945     66     
Inspirational
Rendra Rangga Wirabhumi Terbuang. Tertolak. Terluka. Reandra tak pernah merasa benar-benar dimiliki oleh siapa pun. Tidak oleh sang Ayah, tidak juga oleh ibunya. Ketika keluarga mereka terpecah Cakka dan Cikka dibagi, namun Reandra dibiarkan seolah keberadaanya hanya membawa repot. Dipaksa dewasa terlalu cepat, Reandra menjalani hidup yang keras. Dari memikul beras demi biaya sekolah, hi...
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
113      91     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
168      149     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...
Me vs Skripsi
1748      707     154     
Inspirational
Satu-satunya yang berdiri antara Kirana dan mimpinya adalah kenyataan. Penelitian yang susah payah ia susun, harus diulang dari nol? Kirana Prameswari, mahasiswi Farmasi tingkat akhir, seharusnya sudah hampir lulus. Namun, hidup tidak semulus yang dibayangkan, banyak sekali faktor penghalang seperti benang kusut yang sulit diurai. Kirana memutuskan menghilang dari kampus, baru kembali setel...
DocDetec
213      154     1     
Mystery
Bagi Arin Tarim, hidup hanya memiliki satu tujuan: menjadi seorang dokter. Identitas dirinya sepenuhnya terpaku pada mimpi itu. Namun, sebuah tragedi menghancurkan harapannya, membuatnya harus menerima kenyataan pahit bahwa cita-citanya tak lagi mungkin terwujud. Dunia Arin terasa runtuh, dan sebagai akibatnya, ia mengundurkan diri dari klub biologi dua minggu sebelum pameran penting penelitian y...
Fusion Taste
128      118     1     
Inspirational
Serayu harus rela kehilangan ibunya pada saat ulang tahunnya yang ke lima belas. Sejak saat itu, ia mulai tinggal bersama dengan Tante Ana yang berada di Jakarta dan meninggalkan kota kelahirannya, Solo. Setelah kepindahannya, Serayu mulai ditinggalkan keberuntunganya. Dia tidak lagi menjadi juara kelas, tidak memiliki banyak teman, mengalami cinta monyet yang sedih dan gagal masuk ke kampus impi...
FAYENA (Menentukan Takdir)
285      240     2     
Inspirational
Hidupnya tak lagi berharga setelah kepergian orang tua angkatnya. Fayena yang merupakan anak angkat dari Pak Lusman dan Bu Iriyani itu harus mengecap pahitnya takdir dianggap sebagai pembawa sial keluarga. Semenjak Fayena diangkat menjadi anak oleh Pak Lusman lima belas tahun yang lalu, ada saja kejadian sial yang menimpa keluarga itu. Hingga di akhir hidupnya, Pak Lusman meninggal karena menyela...
Semesta Berbicara
902      550     10     
Romance
Suci adalah wanita sederhana yang bekerja sebagai office girl di PT RumahWaktu, perusahaan di bidang restorasi gedung tua. Karena suatu kejadian, ia menjauh dari Tougo, calon tunangannya sejak kecil. Pada suatu malam Suci memergoki Tougo berselingkuh dengan Anya di suatu klub malam. Secara kebetulan Fabian, arsitek asal Belanda yang juga bekerja di RumahWaktu, ada di tempat yang sama. Ia bersedia...
Rumah?
47      45     1     
Inspirational
Oliv, anak perempuan yang tumbuh dengan banyak tuntutan dari orangtuanya. Selain itu, ia juga mempunyai masalah besar yang belum selesai. Hingga saat ini, ia masih mencari arti dari kata rumah.
Qodrat Merancang Tuhan Karyawala
890      615     0     
Inspirational
"Doa kami ingin terus bahagia" *** Kasih sayang dari Ibu, Ayah, Saudara, Sahabat dan Pacar adalah sesuatu yang kita inginkan, tapi bagaimana kalau 5 orang ini tidak mendapatkan kasih sayang dari mereka berlima, ditambah hidup mereka yang harus terus berjuang mencapai mimpi. Mereka juga harus berjuang mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang mereka sayangi. Apakah Zayn akan men...