Langit mulai gelap.
Tapi bukan gelap yang menakutkan.
Lebih seperti panggung besar sebelum tirai dibuka.
Udara membawa perubahan, seperti bisikan kecil bahwa sesuatu akan dimulai.
Kerumunan orang mulai bergerak ke arah lapangan terbuka di tepi festival, tempat kembang api akan diluncurkan.
Lampu-lampu dari yatai di belakang kami berkedip seperti bintang-bintang kecil yang menolak padam lebih dulu.
Teriakan anak-anak bercampur tawa remaja, musik dari pengeras suara terdengar jauh, bergema seperti mimpi yang belum selesai ditulis.
Aku dan Sakura berjalan pelan mengikuti arus, langkah kami selaras tanpa harus bicara.
Tak ada genggaman tangan, tak ada tawa, tapi ada semacam kesepakatan diam yang menggantikan semuanya.
Di tangannya masih ada sisa ramune yang ia pegang dengan dua tangan, seperti anak kecil menjaga es krim di musim panas.
Setiap beberapa langkah, ia menyesapnya pelan, bibirnya menyentuh botol kaca itu seperti menyentuh kenangan.
Aku menoleh sebentar ke wajahnya yang diterangi cahaya lentera.
Ia tidak tersenyum, tapi matanya penuh gerak, seperti ada sesuatu yang terus mengalir di balik sana, tidak bisa ditangkap tapi ingin dipahami.
Angin malam menyapu rambutku dan membelai wajahnya.
Ada aroma manis dari yatai yang masih sibuk di belakang, bercampur samar dengan bau rumput basah dan udara yang sudah mulai dingin.
Udara yang membuat kulit merinding tanpa alasan.
Kami berjalan sedikit keluar dari jalur utama, melewati beberapa pasangan dan keluarga yang sudah lebih dulu tiba.
Mereka duduk di atas tikar atau selimut, mengobrol pelan, atau sekadar menatap langit sambil memeluk bahu masing-masing.
Saat kami sampai di lapangan, kami memilih tempat di pinggir.
Sedikit jauh dari pusat keramaian, tapi cukup dekat untuk melihat langit penuh.
Di sana, suara terasa lebih lunak.
Lampu-lampu makin jarang, dan langit mulai menunjukkan bayangannya sendiri.
Sakura duduk lebih dulu. Aku menyusul.
Kami duduk di atas kain kecil yang ia bawa dari rumah, tanpa penjelasan, tanpa permisi.
Tindakan kecil yang membuatku ingin berterima kasih, tapi tanpa suara.
Ia menepuk-nepuk sisi kain di sebelahnya pelan, seolah bilang, "Duduklah. Di sini." Dan aku duduk.
Aku menatap ujung kain itu yang sedikit kusut.
Entah kenapa pikiranku melayang ke kamar kontrakanku yang sepi.
Tempat tidur yang terlalu keras. Tirai tipis yang tak pernah bisa menutup dunia luar.
Rak dapur kecil yang selalu berdebu walau sudah dibersihkan.
Dan jam dinding yang terus berdetak, seolah mengingatkanku bahwa waktu di sini bukan milikku sepenuhnya
Tapi malam ini, di tempat ini, ada ruang kecil yang terasa cukup.
Bukan karena tempatnya, tapi karena ada seseorang di sampingku.
Seseorang yang tidak mencoba menghiburku, tapi tetap tinggal.
Di sekeliling kami, suara manusia mulai mengecil, seolah semua sepakat untuk berhenti bicara sebelum langit yang bicara.
Beberapa anak kecil mulai berbisik, menunjuk ke langit, berharap bisa melihat bintang sebelum kembang api meledak.
Dan di belakang kami, festival terus berdetak, seperti jantung yang menolak tidur.
Lalu lampu-lampu jalan di sekitar taman padam.
Satu per satu, seperti kelopak yang menutup.
Hanya cahaya lentera dari festival yang masih berpendar samar di belakang.
Dan di detik itu…
Dentuman pertama mengoyak langit.
Bukan keras. Tapi cukup untuk menghentikan napas.
Kembang api pertama naik seperti panah dari bumi lalu meledak dalam bentuk bunga krisan emas yang jatuh perlahan dalam pecahan cahaya, seolah langit sendiri sedang mengingat.
Sakura mengangkat wajahnya.
Siluetnya tersorot merah jingga dari kilatan cahaya.
Kelopak matanya tampak berkedip pelan, tapi tidak karena silau
lebih seperti seseorang yang sedang mencoba menyimpan sesuatu, agar tidak lepas begitu saja.
Aku menoleh pelan ke arahnya.
Bukan untuk melihat wajahnya sepenuhnya,
tapi cukup untuk tahu: dia masih di sana.
Masih menatap.
Dia tidak bicara. Tidak berseru “kirei!” seperti orang-orang di sekitar kami.
Dia hanya menatap. Diam. Tapi penuh.
Seolah langit malam adalah halaman, dan ia sedang membaca sesuatu di balik warnanya.
Aku bertanya-tanya apa yang sedang ia lihat di balik langit itu.
Kenangan masa kecil? Harapan yang belum pernah sempat tumbuh?
Atau sesuatu yang bahkan aku tidak akan pernah bisa sentuh?
Kilatan biru meledak, membentuk lingkaran yang terbuka di tengah.
Sekilas seperti mata. Sekilas seperti pelukan.
Sekilas seperti luka yang membeku di udara.
Sakura masih tidak bergerak. Tapi matanya berkaca.
Atau mungkin hanya pantulan cahaya.
Atau mungkin, aku yang ingin percaya.
Lalu, ia menyandarkan kepalanya ke pundakku.
Pelan. Nyaris tidak terasa. Tapi cukup untuk membuatku berhenti bernapas sejenak.
Ada sesuatu yang rapuh tapi nyata dalam sentuhan itu.
Seperti benang yang menghubungkan dua titik yang tidak pernah berani saling panggil.
Aku tidak menoleh. Aku tidak berani.
Pundakku menegang,lalu perlahan mengendur.
Dan di bawah langit Tokyo yang bermandikan ledakan cahaya, tubuh kami saling berbagi ruang tanpa bicara.
Dentuman terus berdentang.
Hijau. Ungu. Perak.
Langit membuka pintu demi pintu, memperlihatkan isi dadanya.
Ada satu kembang api yang pecah dalam bentuk hati. Klise, tapi tak ada yang tertawa.
Semua hanya melihat.
Dan malam itu, dadaku juga penuh.
Penuh kesadaran.
Bahwa semua ini mungkin hanya sementara.
Bahwa di balik keindahan, selalu ada akhir yang pelan-pelan mendekat.
Aku ingin tetap di sini. Dengan gadis ini.
Di negara yang tidak menginginkanku, di bawah langit yang tidak pernah benar-benar ku miliki.
Tapi malam ini, untuk beberapa menit, semuanya terasa mungkin.
Seolah batas itu memudar.
Seolah aku bukan orang luar.
Seolah keberadaanku pun punya tempat.
Ada suara kecil dalam diriku yang berkata ini salah, bahwa aku tidak boleh terlalu nyaman.
Bahwa aku ini tamu, dan tamu tidak seharusnya terlalu lama duduk.
Bahwa saat semua ini selesai, aku akan kembali menjadi sunyi yang berjalan sendirian.
Tapi suara itu seperti dipeluk diam-diam oleh sesuatu yang lebih hangat.
Lebih lembut.
Dan untuk pertama kalinya, aku ingin memeluk balik.
Sakura menggenggam lenganku perlahan. Tidak erat. Tapi cukup.
Seolah berkata: "Aku ada di sini."
Jari-jarinya dingin sedikit, tapi yakin.
Sentuhannya bukan permintaan. Tapi pernyataan.
Aku memejamkan mata.
Dan dalam gelap yang dipenuhi cahaya, aku membiarkan diriku percaya.
Walau hanya malam ini.
Walau hanya sebentar.
Bahwa ada momen yang tidak perlu dimiliki, untuk tetap berarti.